Translate

Jumat, 17 Juli 2015

Sejarah Syaikh Nuruddin Arraniri Ulama Besar Kesultanan Aceh

Syaikh Nuruddin Ar-Raniri adalah negarawan, ahli fikih, teolog, sufi, sejarawan dan sastrawan penting dalam sejarah Melayu pada abad ke-17. Nama lengkapnya, Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji Al-Hamid (atau Al-Syafi'i Al-Asyary Al-Aydarusi Al-Raniri (untuk berikutnya disebut Al-Raniri). la dilahirkan di Ranir (Randir), sebuah kota pelabuhan tua di Pantai Gujarat, sekitar pertengahan kedua abad XVI M. Ibunya seorang keturunan Melayu, sementara ayahnya berasal dari keluarga imigran Hadhramaut.
Seperti ketidakpastian tahun kelahiran, asal usul keturunan Al-Raniri pun memuat dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, nenek moyangnya adalah keluarga Al-Hamid dari Zuhra (salah satu dari sepuluh keluarga Quraisy). Sementara kemungkinan yang lain Al-Raniri dinisbatkan pada Al-Humayd, orang yang sering dikaitkan dengan Abu Bakr 'Abdulloh  bin  Zubair Al-As'adi Al-Humaydi, seorang mufti Makkah dan murid termasyhur Al-Syafii.‎
Daerah asal Al-Raniri, sebagaimana layaknya kota-kota pelabuhan yang lain, kota Ranir sangat ramai dikunjungi para pendatang (imigran) dari berbagal penjuru dunia.

Ada yang berasal dari Timur-Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, dan Eropa. Tujuan utama mereka untuk melakukan aktifitas bisnis dan mencari sumber-sumber ekonomi baru. Di samping itu, mereka juga berdakwah dan menyebarluaskan ilmu-ilmu agama, sehingga menghabiskan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Dari Ranir pula, mereka kemudian berlayar kembali menuju pelabuhan-pelabuhan lain di Semenanjung Melayu dan Hindia untuk keperluan yang sama.

Jadilah orang Ranir dikenal sebagai masyarakat yang gemar merantau dari satu tempat ke tempat yang lain. Pola hidup yang berpindah-pindah seperti ini juga terjadi pada keluarga besar Al-Raniri sendiri, yaitu ketika pamannya, Muhammad Al-jilani bin Hasan Muhammad Al-Humaydi, datang ke Aceh (1580-1583 M) untuk berdagang sekaligus mengajar ilmu-ilmu agama, seperti fiqh, ushul fiqh, etika, manthiq, dan retorika. Kebanyakan dari mereka (perantau) biasanya menetap di kota-kota pelabuhan di pantai Samudera Hindia dan wilayah-wilayah kepulauan Melayu-Indonesia, lainnya.‎

Jejak-jejak Intelektual Al-Raniri

Al-Raniri sendiri memulai perjalanan intelektualnya dengan belajar ilmu agama di tanah kelahirannya (Ranir), sebelum berkelana ke Tarim, Hadramaut, Arab Selatan, yang ketika itu menjadi pusat studi agama Islam.

Pada tahun 1621 M, ia mengunjungi Makkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Nabi. Di tanah haram inilah Al-Raniri menjalin hubungan dengan para jamaah haji dan orang-orang yang sudah menetap dan belajar di Arab, yang kebetulan berasal dari wilayah Nusantara.

Dalam kapasitas seperti ini, Al-Raniri sudah dapat dikategorikan telah menjalin hubungan dengan orang-orang Melayu, khususnya dalam hal komunikasi intelektual Islam. Jalinan hubungan inilah yang menjadi awal mula bagi perjalanan intelektual Islam Al-Raniri di kemudian hari.

Dalam perkembangannya, Al-Raniri juga merupakan seorang syeikh tarekat Rifa'iyyah, yang didirikan oleh Syaikh Achmad Rifai (w. 1183 M). Ia belajar ilmu tarekat ini melalui ulama keturunan Arab Hadramaut, Syeikh Said Abu Hafs Umar bin 'Abdulloh  Ba Syaiban dari Tarim, atau yang dikenal di Gujarat dengan sebutan Sayid Umar Al Aydarus. Sementara Ba Syaiban sendiri belajar tarekat dari ulama-ulama Haramain selama empat tahun, seperti Sayyid Umar bin 'Abdulloh  Al-Rahim Al-Bashri (w. 1638), Syaikh  Achmad Ibrahim bin Alan (w. 1624 M), dan Syaikh Rahman Al-Khatib Al-Syaib 1605 M). Dari Ba Syaiban pulalah Al-Raniri dibaiat sebagai khalifah (penggantinya) untuk menyebarluaskan tarekat Rifaiyyah di tanah Melayu. Kendati demikian, Al-Raniri juga memiliki silsilah inisiasi dengan tarekat Aydarusiyyah dan Qodiriyyah Maqassari.‎

Setelah beberapa tahun melakukan perjalanan intelektual di Timur-Tengah dan wilayah anak benua India, Al-Raniri mulai merantau ke wilayah Nusantara dengan memilih Aceh sebagai tempat tinggalnya. la datang di Aceh pada tanggal 31 Mei 1637 M (6 Muharram 1047 H), namun hingga kini belum diketahui secara pasti faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya memilih Aceh. Pilihan ini diduga karena ketika itu Aceh berkembang menjadi pusat perdagangan, kebudayaan, politik dan agama Islam di kawasan Asia Tenggara, yang menggantikan posisi Malaka setelah dikuasai oleh Portugis, Adapun kemungkinan lainnya, Al-Raniri mengikuti pamannya, Syeikh Muhammad Jailani bin Hasan Muhammad  (1588 M).

Tidak hanya itu, tahun 1637 diragukan sebagai awal mula kedatangan Al-Raniri di Aceh. Ada dua keraguan yang menyebabkan hal itu. Pertama, jika dilihat dari kemahirannya dalam berbahasa Malayu, sebagaimana ditunjukkan dalam kitab-kitabnya, maka sangat mustahil Al-Raniri baru ke Aceh pada tahun tersebut. Shirat al-Mustaqim, misalnya, yang berbahasa Melayu disususn pada tahun 1634, ketika belum menetap di Aceh. Sementara keraguan kedua, jumlah karya-karyanya yang menyampai 29 buku tidak mungkin dapat diselesaikan hanya dalam waktu tujuh tahun selama di Aceh (1637-1644 M).

Dua keraguan inilah yang memperkuat asumsi bahwa sebelumnya Al-Raniri pernah datang ke Aceh, tetapi waktu itu tidak memperoleh sambutan dan penerimaaan yang layak dari pihak istana Sultan Iskandar Muda. Dari sini, ia melanjutkan perjalanannya ke daerah lain di kawasan ini. Sebagaimana tercatat dalam sejarah Kesultanan Aceh ketika Iskandar Muda berkuasa, ulama yang berpengaruh dan berperan sebagai mufti kerajaan adalah Syeikh Syamsudin  Al-Sumaterani. Pada masa ini paham wujudiyyah menjadi ajaran resmi kerajaan. Sementara Al-Raniri menyerukan ajaran Sunni dan menentang paham wujudiyyah jelas kurang mendapat simpati dari Sultan

Setelah Syeikh Al-Sumaterani meninggal, kemudian disusul pula oleh Sultan Iskandar Muda dalam beberapa waktu sesudahnya, Al-Raniri memiliki kesempatan yang lebih baik untuk menyebarluaskan ilmu-ilmu agamanya. Ketika itu, sultan yang berkuasa, Sultan Iskandar Tsani, menantu Iskandar Muda, memberikan penghormatan tinggi kepada Al-Raniri dengan menjadikannya mufti kerajaan. Seperti Al-Raniri, Sultan Iskandar Tsani juga menentang paham wujudiyyah. Dengan kedudukan dan dukungan seperti ini, Al-Raniri dengan leluasa dapat memberikan sanggahan terhadap paham yang dikembangkan oleh dua ulama Aceh sebelumnya, Syaikh Hamzah Fansuri dan Syaikh  Syamsudin Al-Sumaterani. Tidak hanya itu, Al-Raniri juga sering menerima permintaan dari sultan untuk menulis kitab-kitab agama, terutama tentang tasawuf, dalam rangka membatasi pengaruh paham wujudiyyah di Aceh.

Kedekatan Al-Raniri dengan Sultan ini membawa implikasi yang cukup luas. Misalnya, dalam satu kesempatan dan didukung oleh Sultan, Al-Raniri mengadakan majelis persidangan dengan 40 ulama pendukung paham wujudiyyah guna membahas paham tersebut. Dari sidang ini kemudian lahir fatwa Syeikh Al-Raniri dan para ulama istana yang menghukumi kafir terhadap para pengikut paham wujudiyyah, sehingga boleh dbunuh. Tidak hanya sampai disini, Al-Raniri dengan penuh semangat menulis dan sering berdebat dengan para penganut paham panteisme ini dalam banyak kesempatan. Bahkan, perdebatan itu sering dilakukan dihadapan sultan.

Dalam berdebat, dengan segala kemahirannya, ia berupaya keras membongkar kelemahan dan kesesatan paham wujudiyyah yang dianggapnya bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits, seraya meminta para pengikutnya untuk bertaubat dan kembali pada jalan yang benar (Al-Qur’an dan Hadits). Namun, kegigihan Al-Raniri ini tidak banyak memenuhi target yang diharapkan. Sebab para pengikut paham wujudiyyah tetap bersikukuh pada pendiriannya. Sehingga akhirnya dengan penuh keterpaksaan, mereka harus dihukum mati. Selain itu, untuk membumihabguskan paham wujudiyyah, maka kitab-kitab wujudiyyah-nya Harnzah dan Syams Al-Din dibakar di depan masjid Baiturrahman Banda Aceh.

Setelah tujuh tahun sebagai mufti kerajaan, pada tahun 1644 Al-Raniri tiba-tiba kembali ke tanah kelahimnnya, dan tidak kembali lagi ke Aceh. Ketika itu, Al-Raniri sedang menulis kitab jawahir baru sampai bab kelima. Dan selanjutnya, ia perintahkan salah seorang murid dekatnya untuk menyelesaikan kitab tersebut. Kepulangan Al-Raniri yang secara mendadak ini menimbulkan. pertanyaan. di kernudian hari. 

Pertama, sebagaimana diungkapkan oleh Achmad  Daudy dalam bukunya, Syeikh Nuruddin AI-Raniri, Al-Raniri kembali ke tanah leluhurnya karena ada ketidaksesuaian dengan kebijakan Sultanah Safiyyat al-Din yang berencana menghukum bunuh pada orang-orang yang menentang diperintah oleh seorang pemimpin perempuan. Sebagaimana berkembang dalarn tradisi masyarakat saat itu dan juga seiring dengan syari'at Islam yang dipahami masyarakat setempat, perempuan tidak layak jadi penguasa. Achmad  Daudy memperkirakan bahwa Al-Raniri termasuk bagian dari kelompok penentang tersebut.

Kedua, berdasarkan artikel Takeshi Ito pada tanggal 8 dan 22 Agustus 1643 dilaporkan, bahwa kepulangan Al-Raniri disebabkan karena perdebatan antara dirinya dengan ulama baru keturunan Minangkabau, Sayf Al-Rijal. Perdebatan ini terus berlarut-larut karena Al-Raniri selalu menilai pandangan Sayf Al-Rijal sebagai doktrin "sesat" karena termasuk paham wujudiyyah. Pada mulanya, Sultanah mengikuti pikiran-pikiran Al-Raniri, tetapi saat itu pendapat Rijal menemukan momentum terbaiknya di mata sultanah.

Nampaknya, alasan yang terakhir atas lebih mendekati kebenaran. Pasalnya, jika Al-Raniri tergabung dalam kelompok oposan yang menentang Sultanah, bagaimana mungkin Sultanah memberikan banyak kemudahan dan fasilitas dalam menyelesaikan karya-karyanya, termasuk beberapa waktu sebelum keberangkatannya. Meski demikian, terlepas apa yang melatarbelakangi kepulangan Al-Raniri, ia tergolong salah satu ulama besar yang telah memberikan sumbangsih besar bagi dunia Islam Nusantara, terutama dalam bidang tasawuf dan fiqh. Bahkan,secara metodologis, pikiran-pikiran Raniri memiliki keterkaitan dengan kehidupan tradisional Islam Indonesia.

Banyak perkara menarik mengenai ulama ini, di antaranya kitab fikah dalam bahasa Melayu yang pertama sekali berjudul ash-Shirath al-Mustaqim adalah karya beliau. Demikian juga mengenai kitab hadis yang berjudul al-Fawaid al-Bahiyah fi al-Ahadits an-Nabawiyah atau judul lainnya Hidaya al-Habib fi at-Targhib wa at-Tarhib, adalah kitab membicarkan hadis yang pertama sekali dalam bahasa Melayu.

Hampir semua penulis menyebut bahawa Syeikh Nuruddin ar-Raniri dilahirkan di Ranir, berdekatan dengan Gujarat. Asal usul beliau ialah bangsa Arab keturunan Quraisy yang berpindah ke India. Tetapi salah seorang muridnya bernama Muhammad 'Ali atau Manshur yang digelarkan dengan Megat Sati ibnu Amir Sulaiman ibnu Sa'id Ja'far Shadiq ibnu 'Abdullah dalam karyanya Syarab al-'Arifin li Ahli al-Washilin menyebut bahawa Syeikh Nuruddin ar-Raniri adalah "Raniri negerinya, Syafi'ie nama mazhabnya, Bakri bangsanya."

Pendidikan asasnya dipercayai diperolehnya di tempat kelahirannya Raniri atau Rander. Raniri/Rander, sebahagian riwayat mengatakan berdekatan dengan Kota Surat, dan riwayat lain mengatakan dekat Bikanir, kedua-duanya di negeri India. Syeikh Nuruddin ar-Raniri berhasil berangkat ke Mekah dan Madinah dalam tahun 1030 H/1621 M dan di sana beliau sempat belajar kepada Syeikh Abu Hafash 'Umar bin 'Abdullah Ba Syaiban atau nama lain ulama ini ialah Saiyid 'Umar al-'Aidrus. Kepada ulama ini beliau mengambil bai'ah Thariqat Rifa'iyah. Dalam sektor Thariqat Rifa'iyah itu syeikh yang tersebut adalah murid kepada Syeikh Muhammad al-'Aidrus. Selain Thariqat Rifa'iyah, Syeikh Nuruddin ar-Raniri juga pengamal Thariqat Qadiriyah.

Kedatangan Syeikh Nuruddin ar-Raniri buat pertama kalinya ke Aceh diriwayatkan dalam tahun 1577 M, tetapi ada juga ahli sejarah mencatat bahawa beliau sampai di Aceh pada tahun 1637 M. Ini bererti setahun setelah mangkatnya Sultan Iskandar Muda (memerintah dari tahun 1606 M hingga 1636 M). Syeikh Nuruddin ar-Raniri seakan-akan kedatangan pembawa satu pendapat baru, yang asing dalam masyarakat Aceh. Setiap sesuatu yang baru selalu menjadi perhatian dan pengamatan orang, sama ada pihak kawan atau pun pihak lawan. Fahaman baru yang dibawa masuk oleh Syeikh Nuruddin ar-Raniri itu ialah fahaman anti atau penolakan tasawuf ajaran model Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani. Kedua-dua ajaran ulama sufi itu adalah sesat menurut pandangan beliau.

Syeikh Nuruddin ar-Raniri mendapat tempat pada hati Sultan Iskandar Tsani, yang walaupun sebenarnya pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda beliau tidak begitu diketahui oleh masyarakat luas.

Oleh sebab ketegasan dan keberaniannya ditambah lagi, Syeikh Nuruddin ar-Raniri menguasai berbagai-bagai bidang ilmu agama Islam, mengakibatkan beliau sangat cepat menonjol pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Tsani itu. Akhirnya Syeikh Nuruddin ar-Raniri naik ke puncak yang tertinggi dalam kerajaan Aceh, kerana beliau mendapat sokongan sepenuhnya daripada sultan. Beliau memang ahli dalam bidang ilmu Mantiq (Logika) dan ilmu Balaghah (Retorika). Dalam ilmu Fikah, Syeikh Nuruddin ar-Raniri adalah penganut Mazhab Syafie, walaupun beliau juga ahli dalam ajaran mazhab-mazhab yang lainnya. Dari segi akidah, Syeikh Nuruddin ar-Raniri adalah pengikut Mazhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang berasal daripada Syeikh Abul Hasan al-Asy'ari dan Syeikh Abu Manshur al-Maturidi. Pegangannya dalam tasawuf ialah beliau adalah pengikut tasawuf yang mu'tabarah dan pengamal berbagai-bagai thariqah sufiyah. Tetapi suatu perkara yang aneh, dalam bidang tasawuf beliau menghentam habis-habisan

Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani. Walau bagaimanapun Syeikh Nuruddin ar-Raniri tidak pernah menyalahkan, bahkan menyokong Syeikh Muhyuddin ibnu 'Arabi, Abi Yazid al-Bistami, 'Abdul Karim al-Jili, Abu Manshur Husein al-Hallaj dan lain-lain. Perkataan yang bercorak 'syathahiyat' yang keluar daripada ulama-ulama sufi yang tersebut itu tidak pernah beliau salahkan tetapi sebaliknya perkataan yang bercorak 'syathahiyat' yang berasal daripada Syeikh Hamzah al- Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani selalu ditafsirkan secara salah oleh Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Di dalam karyanya Fath al-Mubin 'ala al-Mulhidin, Syeikh Nuruddin ar-Raniri berpendapat bahawa al-Hallaj mati syahid. Katanya: "Dan Hallaj itu pun syahid fi sabilillah jua." Padahal jika kita teliti, sebenarnya Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani itu pegangannya tidak berbeda dengan al-Hallaj.

Ajaran Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani berpunca daripada ajaran Syeikh Muhyuddin ibnu 'Arabi, Syeikh Abi Yazid al-Bistami, Syeikh 'Abdul Karim al-Jili dalam satu sektor. Dan bahagian lain juga berpunca daripada ajaran Imam al-Ghazali, Syeikh Junaid al-Baghdadi dan lain-lain, adalah dipandang muktabar, sah dan betul menurut pandangan ahli tasawuf. Bahawa ajaran tasawuf telah berurat dan berakar di kalbi, bahkan telah mesra dari hujung rambut hingga ke hujung kaki, dari kulit hingga daging, dari tulang hingga ke sumsum pencinta-pencintanya, yang tentu saja mereka mengadakan tentangan yang spontan terhadap Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Bahkan kepada siapa saja yang berani menyalah-nyalahkan pegangan mereka. 

Pengikut-pengikut Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani menganggap kedua-dua guru mereka adalah wali Allah, yang faham terhadap pengetahuan syariat, tarekat, haqiqat dan makrifat. Mereka beranggapan, walaupun diakui bahawa Syeikh Nuruddin ar-Raniri sebagai seorang ulama besar, yang dikatakan juga telah mengetahui ilmu tasawuf, namun tasawuf yang diketahui oleh Syeikh Nuruddin ar-Raniri itu hanyalah tasawuf zahir belaka. Bahawa beliau hanyalah mengetahui kulit ilmu tasawuf, tetap tidak sampai kepada intipati tasawuf yang sebenar-benarnya. Bahawa beliau baru mempunyai ilmu lisan sebagai hujah belaka, tetapi belum mempunyai ilmu kalbi, yang dinamakan juga dengan ilmu yang bermanfaat. Oleh itu, wajiblah mereka membela guru mereka yang mereka sanjung tinggi itu.‎

Selama menetap di Pahang atau pun setelah beliau pindah ke Aceh, ramai penduduk yang berasal dari dunia Melayu belajar kepada ulama besar yang berasal dari India itu, namun sampai riwayat ini saya tulis, belum dijumpai tulisan yang menyenaraikan nama murid-murid Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Untuk memulakan penjejakan mengenainya di sini dapat saya perkenalkan hanya dua orang, iaitu: Syeikh Yusuf Tajul Mankatsi/al-Maqasari al-Khalwati yang berasal dari Makasar/tanah Bugis. Tidak begitu jelas apakah Syeikh Yusuf Tajul Khalwati ini belajar kepada Syeikh Nuruddin ar-Raniri sewaktu beliau masih di Aceh atau pun Syeikh Yusuf datang menemui Syeikh Nuruddin ar-Raniri di negerinya, India. Sementara pendapat lain menyebut bahawa Syeikh Yusuf Tajul Khalwati benar-benar dapat berguru kepada Syeikh Nuruddin ar-Raniri sewaktu masih di Aceh lagi, dan Syeikh Yusuf Tajul Khalwati menerima bai'ah Tarekat Qadiriyah daripada Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Yang seorang lagi ialah Syeikh Muhammad 'Ali, ulama ini berasal dari Aceh.

Pengaruh Al-Raniri

Berdasarkan paparan sebelumnya, Al-Raniri merupakan sosok ulama yang memiliki banyak keahlian. Dia seorang sufi, teolog, faqih (ahli hukum), dan bahkan politisi. Keberadaan Al-Raniri seperti ini sering menimbulkan banyak kesalahpahaman, terutama jika dilihat dari salah satu aspek pemikiran saja. Maka sangat wajar, jika beliau dinilai sebagai seorang sufi yang sibuk dengan praktek-praktek mistik, padahal di sisi lain, Al-Raniri adalah seorang faqih yang memiliki perhatian terhadap praktek-praktek syariat. Oleh karena itu, untuk memahaminya secara benar, haruslah dipahami semua aspek pemikiran, kepribadian dan aktivitasnya.
Keragaman keahlian Al-Raniri dapat dilihat kiprahnya selama. di Aceh. Meski hanya bermukim dalam waktu relatif singkat, peranan Al-Raniri dalam perkembangan Islam Nusantara tidak dapat diabaikan. Dia berperan membawa tradisi besar Islam sembari mengeliminasi masuknya tradisi lokal ke dalam tradisi yang dibawanya tersebut. Tanpa mengabaikan peran ulama lain yang lebih dulu menyebarkan Islam di negeri ini, Al-Ranirilah yang menghubungkan satu mata rantai tradisi Islam di Timur Tengah dengan tradisi Islam Nusantara.
Bahkan, Al-Raniri merupakan ulama pertama yang membedakan penafsiran doktrin dan praktek sufi yang salah dan benar. Upaya seperti ini memang pernah dilakukan oleh para ulama terdahulu, seperti Fadhl Allah Al-Burhanpuri. Namun, Al-Burhanpuri tidak berhasil merumuskannya dalam penjabaran yang sisternatis dan sederhana, malahan membingungkan para pengikutnya, sehingga Ibrahim Al-Kurani harus memperjelasnya. Upaya-upaya lebih lanjut tampaknya pernah juga dilakukan oleh Hamzah Fansuri dan Samsuddin Al-Sumaterani, tetapi keduanya gagal memperjelas garis perbedaan antara Tuhan dengan alam dan makhluk ciptaannya.
Oleh karena itu, dalam pandangan Al-Raniri, masalah besar yang dihadapi umat Islam, terutama di Nusantara, adalah aqidah. paham immanensi antara Tuhan makhluknya sebagaimana dikembangkan oleh paham ‎wujudi"ah merupakan praktek sufi yang berlebihan. Mengutip doktrin Asy'ariyyah, Al-Raniri berpandangan bahwa antara Tuhan dan alam raya terdapat perbedaan (mukhalkfah), sementara antara manusia dan Tuhan terdapat hubungan transenden.
Selain secara umum Al-Raniri dikenal sebagai syeikh Rifaiyyah, ia juga memiliki mata rantai dengan tarekat Aydarusiyyah dan Qadiriyyah. Dari tarekat Aydarusiyyah inilah Al-Raniri dikenal sebagai ulama yang teguh mernegang akar-akar tradisi Arab, bahkan simbol-simbol fisik tertentu dari budayanya, dalam menghadapi lokal. Tidak hanya itu, ketegasan Al-Raniri dalam menekankan adanya keselarasan antara praktek mistik dan syari'at merupakan bagian dari ajaran tarekat Aydarusiyyah.
Dari paparan di atas, sepintas memang belum banyak pembaruan yang telah dilakukan oleh Al-Raniri, kecuali mempertegas paham Asy'ariyyah, memperjelas praktek-praktek syariat, dan sanggahan terhadap paham wujudiyyah. Di sinilah dibutuhkaan kejelian untuk memandang Al-Raniri secara utuh, baik kirah, pikiran maupun karya-karyanya. Bahkan, dari catatan sanggahan Al-Raniri terhadap paham wujudiyyahlah dapat ditemukan, sejumlah pembaruan terutama dalam hal metodologi.‎ penulisan ilmiah, dimana beliau selalu mencantumkaan argumentasi berikut referensinya. Dari cara seperti ini pula dalam perkembangannya ditemukan sejumlah ulama -ulama baru yang belum pernah diungkap oleh penulis-penulis lain sebelumnya, berikut pemikiran-pemikiran yang baru.
Meski Al-Raniri berpengaruh besar dalam perkembangan Islam Nusantara, tetapi hingga kini belum ditemukan para muridnya secara langsung, kecuali Syeikh Yusuf Al-Maqassari. Al-Maqassari dalam kitabnya, Safinat al-Najah menjelaskan bahwa dari Al-Ranirilah diperoleh silsilah tarekat Qadiriyyah, karena Al-Raniri adalah guru sekaligus syeikhnya. Hanya saia, bukti ini belum dianggap valid, karena belum diketahui kapan dan dimana mereka bertemu. Kesulitan lainnya juga akan muncul ketika dicari hubungan dan jaringan Al-Raniri dengan para ulama lain penyebar agama Islam di wilayah Nusantara, ataupun para ulama asli Nusantara yang berkelana sampai ke Timur-Tengah. Yang ada hanyalah kemungkinan bertemunya Al-Raniri dengan para jamaah haji dan para pedatang dari Nusantara yang kebetulan menuntut ilmu di tanah haram, tepatnya ketika Al-Raniri bermukim di Makkah dan Madinah (1621 M). Pertemuan inilah yang diduga adanya komunikasi langsung dengan para muridnya dari Nusantara, termasuk dengan Al-Maqassari.
Kesulitan ini juga terus berlanjut, jika dikaitkan dengan keingianan mencari hubungan Al-Raniri dengan dunia pesantren di wilayah Nusantara. Pasalnya, selain tiada literatur yang menunjukkan hal tersebut, manuskrip-manuskrip yang berkaitan dengan pesantren pun tidak menunjukkan adanya hubungan tersebut. Meski demikian, bukan berarti Al-Raniri tidak memiliki keterkaitan sama sekah dengan dunia pesantren. Setidaknya, peran Al-Maqassari dan para jamaah haji serta para muridnya di Makkah dan Madinah yang kemudian kembali ke tanah air merupakan keterkaitan tidak langsung Al-Raniri dengan dunia pesantren di Indonesia.

Ar Raniry di Taman Raja-raja (Bustanussalatin)

Kebesaran Syeikh Nuruddin Ar Raniry, salah satunya terdapat dalam kitab Bustanussalatin, yang merupakan kitab terkenal mufti kerajaan Aceh tersebut. Kitab itu ditulis pada tahun 1637 M (1047 H), pada masa Kerajaan Aceh dipimpin Sultan Iskandar Thani.

Dalam kitab itu digambarkan keindahan Taman Ghairah, yakni taman para raja. Ar Raniry menulis. “Pada zaman bagindalah berbuat suatu bustan, yaitu kebun, terlalu indah-indah, kira-kira seribu depa luasnya. Maka ditanami berbagai bunga-bungaan dan aneka buah-buahan. Digelar Baginda bustan itu Taman Ghairah.”

Keindahan Taman Ghairah yang disebutkan dalam kitab Bustanussalatin, pernah distulis oleh Dr Hoesein Djajaninggrat pada tahun 1961 dalam bahasa Belanda, kemudian diterjemahkan oleh Aboe Bakar dan Ibrahim Alfian. Diceritakan, taman gunung (gunongan) di dalamnya sangat memukau.

Taman itu sangat luas dan daliri oleh sungai Darul Isyki, kini dikenal sebagai Krueng Daroy. Taman itu dipenuhi tumbuhan buang dan buah. Di dalam taman juga terdapat bangunan-bangunan yang terbuat dari batu pualam warna-warni, serta tiang-tiang yang terbuat dari tembaga, perak, dan suasa yang berukir indah. Bangunan yang masih tersisa sampai sekarang adalah gunongan dan pinto khop.

Dikisahkan dalam Kitab Biustabussalatin, air sungai Darul Isylki sangat sejuk dan menyehatkan, bersumber dari mata air di bawah jabalul a’la di arah magrib. Sekarang dikenal sebagai tempat wisata pemandian Mata Ie.

Di pertengahan jalur sungai Darul Isyki ditemukan sebuah pulau kecil bernama Pulau Sangga Marmar, berlais batu dan dikelilingi karang aneka warna yang disebut Pancalogam. Ada pula jembatan besar yang indah yang dinamai Rambut Kamalai.

Diceritakan pula berbagai jenis batu yang dipakai sebagai tarupan tanah dan lereng, serta tebing sungai, diselingi oleh taman bunga dan berbagai pohon yang berbuah. Oleh sultan Aceh, taman ini digelar Taman Ghairah.

Begitulah Nuruddin Ar Raniry menggambarkan keindahan dalam Bustanussalatin. Marwah taman itu bukan saja karena aneka bangunan mungil yang sesak dengan berbagai material pembangunannya, tapi juga oleh beragam jenis tanaman bunga dan buah yang membuat keasrian taman sangat alami. 
Bustan as-Salatin ditulis antara tahun 1638-1641 dan terbagi ke dalam tujuh bagian dan terdiri dari empat puluh bab.

Bagian 1 terdiri dari tiga bab, yang membahas tentang Bumi dan ketujuh petala langit, Nur Muhammad, janji Tuhan terhadap seluruh umat manusia, arasy (tahta) Tuhan, dan sebagainya.

Bagian 2 membahas tentang sejarah nabi-nabi dan raja-raja. Dua bab terakhir pada bagian ini ditekankan pada Semenanjung Melaka dan Sumatra. Bab 12 diadaptasi dari Sejarah Melayu dan diakhiri dengan pembahasan tentang penobatan Sultan Iskandar Tani yang megah. Bab 13 membahas tentang sejarah raja-raja Aceh.

Bagian 3 menceritakan tentang para raja yang adil dan wazir yang bijak.

Bagian 4 membatas tentang raja-raja Muslim yang saleh dan para pahlawan Muslim.

Bagian 5 menceritakan tentang raja-raja yang bengis dan para bangsawan yang dungu yang berusaha memberontak kepada raja mereka.

Bagian 6 terdiri dari dua bab dan bercerita tentang orang-orang yang mulia dan rendah hati serta para pendekar yang gagah berani.

Bagian 7 membahas beragam topik, seperti kebijaksanaan, pengetahuan, pengertian, ada kaum wanita, dan mencakup juga beberapa cerita hantu yang ganjil dan menarik.

Ketika menulis Bustan as-Salatin, Nuruddin berusaha keras agar karya ini dapat menyamai atau bahkan melebihi kitab legendaris Taj as-Salatin—ia memang gemar berpolemik, seperti yang terlihat dalam karya-karya polemisnya dengan aliran wujuidyah yang cukup banyak. Karena itulah tema-tema dalam kedua kitab ini hampir sama, tetapi Nuruddin menambahkan pembahasan yang luas tentang sejarah lokal. Nuruddin juga berusaha mengikuti jejak Tas as-Salatin dengan menggunakan bentuk sajak yang diambil dari khasanah Persia, yaitu syair, seperti terlihat pada bait dari bab 13 Bagian 2 ini: Ialah perkasa terlalu berani, Turun-temurun nasab Sultani, Ialah menyunjung inayat rahmani, Bergelar Sultan Iskandar Tani.

Menilik isinya, Bustan as-Salatin merupakan sebuah gubahan ensiklopedis yang menggabungkan genre “sejarah universal” dengan “cermin didaktis”. Karangan ini begitu besar sehingga tidak tersimpan sebuah pun naskah yang mengandung semua babnya. Biasanya naskah-naskahnya berisi hanya satu atau dua-tiga bab tertentu.

Bustan memberikan gambaran tentang Aceh pada abad ke-17, walaupun Nuruddin sama sekali tidak menyebutkan tentang Hamzah Fansuri—tetapi Nuruddin menyebutkannya dalam beberapa kitab lain. Namun, kitab ini sering dianggap gagal dan tidak mampu menyamai kebesaran Taj as-Salatin.

Jika dibandingkan, maka Taj as-Salatin adalah sebuah kitab teologis-etis. Maka yang ditunjukkan oleh kitab ini adalah, bagaimana hukum Ilahi menegakkan harmoni dunia, yang di dalam kehidupan masyarakat diwujudkan dalam pemerintahan yang bersendi atas akal dan keadilan. Perjalanan sejarahnya pun, misalnya dalam hal genealogi raja-raja Iran sebelum Islam, pada hakikatnya tidak lain merupakan ilustrasi untuk konsepsi etika yang dirumuskan oleh Bukhari al-Jauhari, sang pengarangnya. Melalui perumusan itu, bangsa Melayu diberi kemungkinan untuk masuk ke dalam golongan Islam yang berbudaya.

Adapaun Bustan as-Salatin adalah sebuah kitab yang bersifat teologis-historis. Di dalamnya dilukiskan gambaran dinamis tentang penciptaan alam semesta dan kelanjutan proses itu, yaitu sejarah dunia, namun terutama sejarah dunia Islam. Pada pasal-pasal terakhir bab sejarahnya, Bustan dengan tegas memasukkan sejarah bangsa Melayu ke dalam sejarah dunia yang dipaparkan sebelumnya. Dengan demikian ia seakan-akan menamatkan pekerjaan yang dimulai oleh pengarang Sejarah Melayu, yang kroniknya dari versi tahun 1612 diketahui dengan baik oleh Syaikh  kelahiran Gujarat ini.

Berdasarkan uraian tersebut, dunia Melayu, melalui sejarahnya yang bermula dari Iskandar Zulkarnain, mempunyai akarnya di dalam sistem budaya Islam. Barulah kemudian kepada bangsa Melayu dianjurkan konsepsi tentang etika sosial, tingkah laku raja-raja dan pembesar-pembesar negara, seperti yang yang diceritakan dalam Tas as-Salatin, juga tentang dasar-dasar pendidikan dan ilmu pengetahuan Islam.

Karya-karya Besar Syeikh Nurruddin Ar-Raniry:
Secara keseluruhan, Nuruddin Ar-Raniri menulis sekitar tiga puluh naskah, di antaranya adalah:

Karya-karya Besar Syeikh Nurruddin Ar-Raniry: 
1. Kitab Al-Shirath al-Mustaqim (1634) 
2. Kitab Durrat al-faraid bi Syarh al-‘Aqaid an Nasafiyah (1635) 
3. Kitab Hidayat al-habib fi al Targhib wa’l-Tarhib (1635) 
4. Kitab Bustanus al-Shalathin fi dzikr al-Awwalin Wa’l-Akhirin (1638) 
5. Kitab Nubdzah fi da’wa al-zhill ma’a shahibihi 
6. Kitab Latha’if al-Asrar 
7. Kitab Asral an-Insan fi Ma’rifat al-Ruh wa al-Rahman 
8. Kitab Tibyan fi ma’rifat al-Adyan 
9. Kitab Akhbar al-Akhirah fi Ahwal al-Qiyamah 
10. Kitab Hill al-Zhill 
11. Kitab Ma’u’l Hayat li Ahl al-Mamat 
12. Kitab Jawahir al-‘ulum fi Kasyfi’l-Ma’lum 
13. Kitab Aina’l-‘Alam qabl an Yukhlaq 
14. Kitab Syifa’u’l-Qulub 
15. Kitab Hujjat al-Shiddiq li daf’I al-Zindiq 
16. Kitab Al-Fat-hu’l-Mubin ‘a’l-Mulhiddin 
17. Kitab Al-Lama’an fi Takfir Man Qala bi Khalg al-Qur-an 
18. Kitab Shawarim al- Shiddiq li Qath’I al-Zindiq 
19. Kitab Rahiq al-Muhammadiyyah fi Thariq al-Shufiyyah. 
20. Kitab Ba’du Khalg al-samawat wa’l-Ardh 
21. Kitab Kaifiyat al-Shalat 
22. Kitab Hidayat al-Iman bi Fadhli’l-Manaan 
23. Kitab ‘Aqa’id al-Shufiyyat al-Muwahhiddin 
24. Kitab ‘Alaqat Allah bi’l-‘Alam 
25. Kitab Al-Fat-hu’l-Wadud fi Bayan Wahdat al-Wujud 
26. Kitab ‘Ain al-Jawad fi Bayan Wahdat al-Wujud 
27. Kitab Awdhah al-Sabil wa’l-Dalil laisal li Abathil al-Mulhiddin Ta’wil 
28. Kitab Awdhah al-Sabil laisan li Abathil al-Mulhiddin Ta’wil. 
29. Kitab Syadar al-Mazid 30. dll

Wafatnya Syaikh
Ada yang berpendapat bahawa beliau meninggal dunia di India. Pendapat lain menyebut bahawa beliau meninggal dunia di Aceh. Ahmad Daudi, menulis: "Maka tiba-tiba dan tanpa sebab-sebab yang diketahui, Syeikh Nuruddin ar-Raniri meninggalkan Serambi Mekah ini, belayar kembali ke tanah tumpah darahnya yang tercinta, Ranir untuk selama-lamanya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1054 H (1644 M)." Bahawa beliau meninggal dunia pada 22 Zulhijjah 1069 H/21 September 1658 M. Tetapi Karel A. Steenbrink dalam bukunya, Mencari Tuhan Dengan Kacamata Barat berpendapat lain, bahawa hingga tahun 1644 M bererti Syeikh Nuruddin masih berada di Aceh. Menurutnya terjadi diskusi yang terlalu tajam antara beberapa kelompok pemerintah: Seorang uskup agung (ar-Raniri) di satu pihak dan beberapa hulubalang dan seorang ulama dari Sumatera Barat di pihak lain. Pihak yang anti ar-Raniri akhirnya menang, sehingga ar-Raniri dengan tergesa-gesa kembali ke Gujarat. Tulisan Karel itu barangkali ada benarnya, kerana secara tidak langsung Syeikh Nuruddin mengaku pernah kalah berdebat dengan Saiful Rijal, penyokong fahaman Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i, perkara ini beliau ceritakan dalam kitab Fath al-Mubin.
Ada pun tempat meninggalnya, H.M. Zainuddin, berbeza pendapat dengan Ahmad Daudi di atas. Menurut Zainuddin dalam Tarich Atjeh Dan Nusantara, jilid 1, bahawa terjadi pertikaian di istana, dalam perebutan itu telah terbunuh seorang ulama, Faqih Hitam yang menentang tindakan Puteri Seri Alam. Dalam pada itu Syeikh Nuruddin diculik orang, kemudian mayatnya diketemukan di Kuala Aceh. Menurut H.M. Zainuddin pula, bahawa makam Syeikh Nuruddin itu dikenal dengan makam keramat Teungku Syiahdin (Syeikh Nuruddin ar-Raniri) terletak di Kuala Aceh.

Dalam masa pemerintahan Iskandar Muda, kerajaan Aceh maju, ajaran sufi tidak menghalang kemajuan yang berasaskan Islam. Sebaliknya masa pemerintahan Iskandar Tsani, ajaran sufi dianggap sesat, ternyata kerajaan Aceh mulai menurun. Bantahan terhadap sesuatu pegangan yang pernah berkembang di dunia Islam perlulah ditangani dengan penuh kebijaksanaan. Siapa saja yang memegang urusan keislaman janganlah tersalah penilaian, sering terjadi yang benar menjadi salah, atau sebaliknya yang salah menjadi benar.‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar