Translate

Senin, 20 Juli 2015

Manaqib Syaikh Khotib As-Sambasi (Maha Guru Ulama Nusantara)

Salah seorang ulama Indonesia paling berpengaruh sepanjang abad 19, yang juga pendiri tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah (TQN) yang tersebar luas di Nusantara, terutama di Jawa. Beliau juga dikenal sebagai cendekiawan ulung terutama di bidang ilmu agama, seperti Qur’an, hadits, fiqih, kalam, dan, tentu saja, tasawuf.

Syeikh Ahmad Khatib Sambas adalah seorang ulama yang mendirikan perkumpulan Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah. Perkumpulan Tarekat ini merupakan penyatuan dan pengembangan terhadap metode dua Tarekat sufi besar. yakni Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah.

Kehidupan Awal Beliau

Syaikh Achmad Khotib Sambas dilahirkan di daerah Kampung Dagang, Sambas, Kalimantan Barat, pada bulan shafar 1217 H. bertepatan dengan tahun 1803 M. dari seorang ayah bernama Abdul Ghaffar bin Abdullah bin Muhammad bin Jalaluddin. Ahmad Khatib terlahir dari sebuah keluarga perantau dari Kampung Sange’. Pada masa-masa tersebut, tradisi merantau (nomaden) memang masih menjadi bagian cara hidup masyarakat di Kalimantan Barat.Sebagai sebuah daerah yang dibangun oleh Raja Tengah, keturunan dari Raja Brunei Darussalam, pada tahun 1620 M. dan menobatkan diri sebagai sebuah kerajaan sepuluh tahun kemudian. Maka wilayah Sambas adalah daerah yang telah memiliki ciri-ciri kemusliman khusus sejakRaden Sulaiman yang bergelar Muhammad Tsafiuddin dinobatkan sebagai Sultan Sambas pertama.

Pada waktu itu, rakyat Sambas hidup dari garis agraris dan nelayan. Hingga ditandatanganinya perjanjian antara Sultan Muhammad Ali Tsafiuddin (1815-1828) dengan pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1819 M. Perjanjian ini membentuk sebuah pola baru bagi masyarakat Sambas yakni, perdagangan ‎maritim.

Dalam suasana demikianlah, Ahmad Khatib Sambas menjalani masa-masa kecil dan masa remajanya. Di mana sejak kecil, Ahmad khatib Sambas diasuh oleh pamannya yang terkenal sangat alim dan wara’ di wilayah tersebut.‎

Masa pendidikan Beliau 

Achmad khatib Sambas menghabiskan masa remajanya untuk mempelajari ilmu-ilmu agama, ia berguru dari satu guru-ke guru lainnya di wilayah kesultanan Sambas. Salah satu gurunya yang terkenal di wilayah tersebut adalah, H. Nuruddin Musthafa, Imam Masjid Jami’ Kesultanan Sambas.

Karena terlihat keistimewaannya terhadap penguasaan ilmu-ilmu keagamaan, Ahmad Khatib Sambas kemudian dikirim oleh orang tuanya untuk meneruskan pendidikannya ke Timur Tengah, khususnya Mekkah. Maka pada tahun 1820 M. Ahmad Khatib Sambas pun berangkat ke tanah suci untuk menuntaskan dahaga keilmuannya. Dari sini kemudian ia menikah dengan seorang wanita Arab keturunan Melayu dan menetap di Makkah. Sejak saat itu, Ahmad Khatib Sambas memutuskan menetap di Makkah sampai wafat pada tahun 1875 M. 

Dari pernikahannya Ia dikaruniai tiga orang anak. Putera-puterinya bernama: Syekh Yahya, Siti Khadijah, dan Syekh Abdul Gaffar. Dari 3 orang anak Syekh Ahmad Khatib Sambas tersebut seterusnya mempunyai keturunan dan beranak cucu, hingga di antara keturunan beliau itu sekarang banyak yang tinggal di Singkawang. Mereka diperkirakan adalah keturunan kelima dan keenam. Di antara mereka itu ialah: Bapak S Chalidi (almarhum) yang tinggal di Sekip Lama Singkawang, Bapak S Hamidi, tinggal di Jl Ali Anyang Singkawang dan Saihah, Aminah, S Ramli, Fatomah, Haimunah, dan S Ahmadi yang tinggal di Jalan Ali Anyang Singkawang.

Guru-gurunya : ‎
1. H. Nuruddin Musthafa, Imam Masjid Jami’ Kesultanan Sambas. ‎
2. Syeh Muhammad Arsyad Al Banjari‎
3. Syeh Daud Bin Abdullah Al Fatani (ulama asal Patani Thailand Selatan yang bermukim di Mekkah) seorang alim besar dan mursyid tarekat Syattariyah. ‎
4. Syeh Abdusshomad Al Palimbani (ulama asal Palembang yang bermukim di Mekkah) ‎
5. Syeikh Abdul hafidzz al-Ajami
6. Syeh Ahmad al-Marzuqi ‎
7. Syeh Syamsudin, mursyid tarekat Qadiriyah yang tinggal dan mengajar di Jabal Qubays Mekkah. 

Syekh al-Fatani lah yang memperkenalkan Syekh Ahmad Khatib kepada Syekh Syams al-Din, seorang mursyid dari Tarekat Qadiriyyah. Peristiwa agak aneh dan menimbulkan tanda tanya, yakni mengapa Syekh Ahmad Khatib Sambas tidak ikut pada tarekat guru pertamanya itu, padahal pada waktu itu Tarekat Syattariyyah bisa dikatakan cukup dominan dalam penyebarannya hingga akhir abad 19.

Syekh Syams al-Din ini amat mempengaruhi kehidupan Syekh Ahmad Khatib Sambas, dan Syekh Ahmad Khatib menjadi muridnya yang terbaik. Kelak Syekh Ahmad Khatib inilah yang menggantikan posisi gurunya sebagai mursyid Tarekat Qadiriyyah. Tetapi tidak diketahui dengan pasti dari siapa Syekh Ahmad Khatib Sambas menerima ijazah Tarekat Naqsyabandiyyah. Guru-guru lainnya diantaranya adalah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (mursyid Tarekat Sammaniyah), Syekh Bisyri al-Jabarti, Sayyid Ahmad al-Marzuqi, Sayyid Abd Allah ibn Muhammad al-Mirghani dan Utsman ibn Hasan al-Dimyati.
Peran Perjuangan Syaikh 

Ketika kemudian Ahmad Khatib telah menjadi seorang ulama, ia pun memiliki andil yang sangat besar dalam perkembangan kehidupan keagamaan di Nusantara, meskipun sejak kepergiannya ke tanah suci, ia tidaklah pernah kembali lagi ke tanah air. Masyarakat Jawa dan Madura, mengetahui disiplin ilmu Syeikh Sambas, demikian para ulama menyebutnya kemudian, melalui ajaran-ajarannya setelah mereka kembali dari Makkah. 

Syekh Ahmad Khatib Sambas adalah mursyid dari dua tarekat, meskipun kemudian dia tidak mengajarkannya secara terpisah, melainkan dikombinasikan. Kombinasi ini bisa dianggap sebagai bentuk tarekat baru yang berbeda dari dua tarekat sumbernya. Karenanya di Indonesia beliau dikenal sebagai pendiri Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah. Penyebaran tarekat ini juga dibantu oleh tersebar luasnya kitab karangan beliau, Fath al-Arifin, salah satu karya paling populer untuk praktik sufi di dunia Melayu. Kitab ini menjelaskan unsur-unsur dasar ajaran sufi, seperti baiat, zikir, muraqabah, silsilah (mata rantai spiritual) Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah.

Syeikh Sambas merupakan ulama yang sangat berpengaruh, dan juga banyak melahirkan ulama-ulama terkemuka dalam bidang fiqh dan tafsir, termasuk Syeikh Nawawi al-Bantani adalah salah seorang di antara murid-murid Beliau yang berhasil menjadi ulama termasyhur. Salah satunya adalah Syeikh Abdul Karim Banten yang terkenal sebagai Sulthanus Syeikh. Ulama ini terkenal keras dalam imperialisme Belanda pada tahun 1888 dan mengobarkan pemberontakan yang terkenal sebagai pemberontakan Petani Banten. Namun sayang, perjuangan fisiknya ini gagal, kemudian meninggalkan Banten menuju Makkah untuk menggantikan Syeikh Ahmad Khatib Sambas. Syeikh Ahmad Khatob Sambas dalam mengajarkan disiplin ilmu Islam bekerja sama dengan para Syeikh besar lainnya yang bukan pengikut thariqat seperti Syaikh Tolhah dari Cirebon, dan Syaikh Ahmad Hasbullah bin Muhammad dari Madura, keduanya pernah menetap di Makkah. 

Sebagian besar penulis Eropa membuat catatan salah, ketika mereka menyatakan bahwa sebagian besar Ulama Indonesia bermusuhan dengan pengikut sufi. 

Hal terpenting yang perlu ditekankan adalah bahwa Syeikh Sambas adalah sebagai seorang Ulama (dalam asti intelektual), yan g juga sebagai seorang sufi (dalam arti pemuka thariqat) serta seorang pemimpin umat yang memiliki banyak sekali murid di Nusantara. Hal ini dikarenakan perkumpulan Thariqat Qadiriyyah wa Naqsabhandiyyah yang didirikannya, telah menarik perhatian sebagian masyarakat muslim Indonesia, khususnya di wilayah Madura, Banten, dan Cirebon, dan tersebar luas hingga ke Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam. 

Peranan dan Karyanya Perlawanan yang dilakukan oleh suku Sasak, pengikut Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah yang dipimpin oleh Syeikh Guru Bangkol juga merupakan bukti yang melengkapi pemberontakan petani Banten, bahwa perlawanan terhadap pemerintahan Belanda juga dipicu oleh keikutsertaan mereka pada perkumpulan Thariqoh yang didirikan oleh Syeikh Ahmad Khatib Sambas ini. Thariqat Qadiriyyah wan Naqshabandiyyah mempunyai peranan penting dalam kehidupan muslim Indonesia, terutama dalam membantu membentuk karakter masyarakat Indonesia. Bukan semata karena Syaikh Ahmad Khatib Sambas sebagai pendiri adalah orang dari Nusantara, tetapi bahwa para pengikut kedua Thariqat ini adalah para pejuang yang dengan gigih senantiasa mengobarkan perlawanan terhadap imperialisme Belanda dan terus berjuang melalui gerakan sosial-keagamaan dan institusi pendidikan setelah kemerdekaan. 

Ajarah Syeikh Ahmad Khatib Sambas hingga saat ini dapat dikenali dari karyanya berupa kitab FATHUL ARIFIN nang merupakah notulensi dari ceramah-ceramahnya yang ditulis oleh salah seorang muridnya, Muhammad Ismail bin Abdurrahim. Notulensi ini dibukukan di Makkah pada tanggal tahun 1295 H. kitab ini memuat tentang tata cara, baiat, talqin, dzikir, muqarobah dan silsilah Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyah. Buku inilah yang hingga saat ini masih dijadikan pegangan oleh para mursyid dan pengikut Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyah untuk melaksanakan prosesi-prosesi peribadahan khusus mereka. Dengan demikian maka tentu saja nama Syeikh Ahmad Khatib Sambas selalu dikenang dan di panjatkan dalam setiap doa dan munajah para pengikut Thariqah ini. Walaupun Syeikh Ahmad Khatib Sambas termasyhur sebagai seorang tokoh sufi, namun Beliau juga menghasilkan karya dalam bidang ilmu fikih yang berupa manusrkip risalah Jum’at. Naskah tulisan tangan ini dijumpai tahun 1986, bekas koleksi Haji Manshur yang berasal dari Pulau Subi, Kepulauan Riau. Demikian menurut Wan Mohd. Shaghir Abdullah, seorang ulama penulis asal tanah Melayu. 

Kandungan manuskrip ini, membicarakan masalah seputar Jum’at, juga membahas mengenai hukum penyembelihan secara Islam. Pada bagian akhir naskah manuskrip, terdapat pula suatu nasihat panjang, manuskrip ini ditutup dengan beberapa amalan wirid Beliau selain amalan Tariqat Qadiriyah-Naqsyabandiyah. Karya lain (juga berupa manuskrip) membicarakan tentang fikih, mulai thaharah, sholat dan penyelenggaraan jenazah ditemukan di Kampung Mendalok, Sungai Kunyit, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat, pada 6 Syawal 1422 H/20 Disember 2001 M. karya ini berupa manuskrip tanpa tahun, hanya terdapat tahun penyalinan dinyatakan yang menyatakan disalin pada hari kamis, 11 Muharam 1281 H. oleh Haji Ahmad bin Penggawa Nashir. 

Sedangkan mengenai masa hidupnya, sekurang-kurangnya terdapat dua buah kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh orang Arab, menceritakan kisah ulama-ulama Mekah, termasuk di dalamnya adalah nama Syeikh Ahmad Khatib Sambas. Kitab yang pertama, Siyar wa Tarajim, karya Umar Abdul Jabbar. Kitab kedua, Al-Mukhtashar min Kitab Nasyrin Naur waz Zahar, karya Abdullah Mirdad Abul Khair yang diringkaskan oleh Muhammad Sa’id al-’Amudi dan Ahmad Ali. 

Ajaran Beliau

Ajaran Syeikh Ahmad Khatib Sambas adalah Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah memiliki ajaran yang diyakini kebenarannya, terutama dalam hal-hal kesufian. Beberapa ajaran yang merupakan pandangan para pengikut tarekat ini bertalian dengan masalah tarekat atau metode untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Metode tersebut diyakini paling efektif dan efisien. Karena ajaran dalam tarekat ini semuanya didasarkan pada Al-Qur'an, Al-Hadits, dan perkataan para 'ulama arifin dari kalanganSalafus shalihin.

Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah m‎empunyai peranan penting dalam kehidupan muslim Indonesia. Dan yang sangat penting adalah membantu dalam membentuk karakter masyarakat Indonesia. Bukan karena Syekh Ahmad Khatib Sambas sebagai pendiri adalah orang lokal (Indonesia) tetapi para pengikut kedua Tarekat ini ikut berjuang dengan gigih terhadap imperialisme Belanda dan terus berjuang melalui gerakan sosial-keagamaan dan institusi pendidikan setelah kemerdekaan.

Survey tentang sejarah Tarekat Qadiriyahdan Tarekat Naqsyabandiyah mempunyai hubungan yang erat dengan pembangunan masyarakat Indonesia. Thariqat ini merupakan salah satu keunikan masyarakat muslim Indonesia, bukan karena alasan yang dijelaskan di atas, tetapi praktek-praktek Thariqat ini menghiasi kepercayaan dan budaya masyarakat Indonesia.

Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyahsecara substansial merupakan aktualisasi seluruh ajaran Islam (Islam Kaffah); dalam segala aspek kehidupan. Tujuan Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah adalah tujuan Islam itu sendiri. Menurut sumber utamanya, Alquran, Islam sebagai agama diturunkan untuk membawa umat manusia ke jalan yang lurus, jalan keselamatan yang bermuara pada kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat (hasanah fi al-dunya dan hasanah fil al-akhirat).

Pandangan filosofis Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah mengenai hubungan kemasyarakatan, baik dengan sesama muslim mahupun dengan yang bukan muslim, dapat dilihat dalam bagian uraian Tanbih berikut:

1. Terhadap orang-orang yang lebih tinggi dari kita, baik zahir maupun batin, harus kita hormati, begitulah seharusnya hidup rukun saling menghargai.

2. Terhadap sesama yang sederajat dengan kita dalam segala-galanya jangan sampai terjadi persengketaan, sebaliknya harus bersikap rendah hati bergotong- royong dalam melaksanakan perintah Agama maupun Negara, jangan sampai terjadi perselisihan dan persengketaaan, kalau-kalau kita terkena firmanNya “Adzabun Alim” yang artinya duka nestapa untuk selama-lamanya dari dunia hingga akhirat;

3. Terhadap orang-orang yang keadaannya di bawah kita, janganlah menghinanya atau berbuat tidak senonoh bersika angkuh, sebaliknya harus bersikap belas kasihan dengan kesadaran, agar mereka merasa senang dan gembira hatinya harus dituntun dan dibimbing dengan nasihat yang lemah lembut yang akan memberi keinsafan dalam menginjak jalan kebajikan;

4. Terhadap fakir miskin, harus kasih sayang, ramah tamah serta bermanis budi, bersikap murah tangan, mencerminkan bahwa kita sadar. Coba rasakan diri kita pribadi, betapa pedihnya jika dalam keadaan kekurangan.‎

Metode dan ajaran zikir

Metode zikir tarekat ini menggunakan dua bentuk, zikir keras (jahar) dan diam (khafi). Untuk zikir keras beliau menggunakan teknik zikir dengan membaca laa ilaha illa Allah (kalimat nafy-itsbat) sebagaimana dipraktikkan dalam Tarekat Qadiriyyah. Sedangkan zikir “diam” menggunakan teknik dari Naqsyabandiyyah, yakni menyebut ism al-dzat: Allah. Namun praktik ini sedikit dimodifikasi dengan memasukkan unsur zikir Naqsyabandiyyah, di mana zikir kalimat tahlil itu dilakukan dengan mengacu pada titik-titik latha’if (pl: lathifah) yang ada dalam tubuh manusia sebagaimana diajarkan dalam Tarekat Naqsyabandiyyah. 

Tetapi dalam perkembangannya, meski prinsip dasarnya sama, namun kaifiyyah dalam beberapa otoritas TQN yang belakangan tampak sedikit berbeda, misalnya kaifiyyat zikir jahr TQN Suryalaya dengan TQN al-Utsmani memiliki sedikit perbedaan dalam penekanan pada hentakan dan tempo zikir, dan juga ada perbedaan dalam zikir khafinya. Demikian pula ada sedikit perbedaan dalam jumlah zikir khafi TQN Suryalaya dengan TQN Mranggen di bawah otoritas Kyai Muslih.. Walau demikian, prinsip dan tujuannya tetaplah sama – variasi itu tidak mengubah substansi dari amalan TQN secara keseluruhan. Berikut sedikit prinsip umum metode zikir TQN – namun penjelasan di bawah lebih didasarkan pada kaifiyyah dari TQN Suryalaya.

Zikir jahar la ilaha illa Allah dilakukan dengan membayangkan semacam garis imajiner yang melewati lathaif. Fungsi “penarikan” garis zikir itu, yakni dari bawah ke atas, lalu ke kanan dan kiri (untuk pemula yang belum berpengalaman dianjurkan dengan menggunakan gerak kepala, sehingga dari luar tampak mereka berzikir dengan menggeleng-gelengkan kepala) adalah agar kekuatan kalimat itu menyentuh titik-titik lthaif.

Gerakan simbolik dari zikir nafi-itsbat dimaksudkan agar semua lathifah tersebut, yang diyakini merupakan pusat pengendalian nafsu dan kesadaran jiwa dan spiritual, teraliri dan terkena energi dan panas zikir tahlil tersebut. Zikir pada mulanya pelan, dan cenderung lebih panjang tarikan bacaannya, tetapi kemudian temponya dipercepat dan suara makin meninggi, agar tercapai kondisi semacam “ekstase.” Percepatan bacaan ini juga dimaksudkan untuk membentengi pikiran dari “lintasan pikiran” (khatir) yang mengganggu hati, sehingga seluruh konsentrasi tertuju pada Allah saja.

Kitab Fath al-Arifin menggambarkan sepuluh lathifah, lima diantaranya yg utama adalah qalb,ruh, sirr, khafi, dan akhfa, yang dikenal sebagai alam al-amr (alam perintah). Lima lathifah lainnya adalah nafs, plus empat unsur: air, udara, tanah dan api (alam al-khalq).

Pada Naqsybandi dan tarekat cabang-cabangnya, termasuk TQN, ada satu lathaif yang barangkali paling tinggi dan sulit dicapai, yakni kullu jasad. Ini adalah kondisi “tanpa titik” di mana totalitas insan (dimensi ruh, kognitif, dan fisik) telah dawam dalam berzikir dan “menjadi” zikir itu sendiri. Itu adalah saat laya r kesadaran menjadi tanpa tepi dan siap menerima limpahan (faid) ilmu dan rahasia-rahasia ruhani dari Allah.
Murid-Muridnya antara lain 

1. Syeh Nawawi Al Bantani
2. Syeh Muhammad Kholil Bangkalan Madura ‎
3. Syeh Abdul Karim Banten‎
 4. Syeh Tolhah Cirebon 

Syeh Nawawi Al Bantani dan Syeh Muhammad Kholil selain berguru kepada Syeh Ahmad Khatib Sambas juga berguru kepada Syeh Ahmad Zaini Dahlan, mufti mazhab Syafii di Masjidil Haram Mekkah. 

Sepeninggal Syeh Ahmad Khatib Sambas, Imam Nawawi Al Bantani ditunjuk meneruskan mengajar di Madrasah beliau di Mekkah tapi tidak diberi hak membaiat murid dalam tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. 
Sedangkan Syeh Muhammad Kholil, Syeh Abdul Karim dan Syeh Tolhah diperintahkan pulang ke tanah Jawa dan ditunjuk sebagai Khalifah yang berhak menyebarkan dan membaiat murid dalam tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. 

Murid murid Syeh Ahmad Khatib Sambas diatas adalah guru para Ulama-Ulama Nusantara generasi berikutnya yang dikemudian hari menjadi ulama yang mendirikan pondok pesantren dan biasa dipanggil dan digelari sebagai KYAI, Tuan Guru, Ajengan, dsb. 

Sebagai contoh, Syeh Muhammad Kholil Bangkalan Madura mempunyai murid-murid antara lain : 

1. KH. Hasyim Asy’ari : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang. Beliau juga dikenal sebagai pendiri organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) Bahkan beliau tercatat sebagai Pahlawan Nasional. 
2. KHR. As’ad Syamsul Arifin : Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo Asembagus, Situbondo. Pesantren ini sekarang memiliki belasan ribu orang santri. 
3. KH. Wahab Hasbullah: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang. Pernah menjabat sebagai Rais Aam NU (1947 – 1971). 
4. KH. Bisri Syamsuri: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, Jombang.
5. KH. Maksum : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Jawa Tengah 
6. KH. Bisri Mustofa : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Beliau juga dikenal sebagai mufassir Al Quran. Kitab tafsirnya dapat dibaca sampai sekarang, berjudul “Al-Ibriz” sebanyak 3 jilid tebal berhuruf jawa pegon. 
7. KH. Muhammad Siddiq : Pendiri, Pengasuh Pesantren Siddiqiyah, Jember.
8. KH. Muhammad Hasan Genggong : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan, Genggong. Pesantren ini memiliki ribuan santri dari seluruh penjuru Indonesia. 
9. KH. Zaini Mun’im : Pendiri, Pengasuh Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Pesantren ini juga tergolong besar, memiliki ribuan santri dan sebuah Universitas yang cukup megah. 
10. KH. Abdullah Mubarok : Pendiri, Pengasuh Pondok , kini dikenal juga menampung pengobatan para morphinis.
11. KH. Asy’ari : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Darut Tholabah, Wonosari Bondowoso. 
‎12. KH. Abi Sujak : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Astatinggi, Kebun Agung, Sumenep. 
13. KH. Ali Wafa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Temporejo, Jember. Pesantren ini mempunyai ciri khas yang tersendiri, yaitu keahliannya tentang ilmu nahwu dan sharaf. 
14. KH. Toha : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Bata-bata, Pamekasan.
15. KH. Mustofa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Macan Putih, Blambangan 
16. KH Usmuni : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Pandean Sumenep
17. KH. Karimullah : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Curah Damai, Bondowoso.
18. KH. Manaf Abdul Karim : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. 
19. KH. Munawwir : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta
20. KH. Khozin : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Buduran, Sidoarjo.
21. KH. Nawawi : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Pesantren ini sangat berwibawa. Selain karena prinsip salaf tetap dipegang teguh, juga sangat hati-hati dalam menerima sumbangan. Sering kali menolak sumbangan kalau patut diduga terdapat subhat.‎
22. KH. Abdul Hadi : Lamongan.‎
23. KH. Zainudin : Nganjuk ‎
24. KH. Maksum : Lasem ‎
25. KH. Abdul Fatah : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Al Fattah, Tulungagung ‎
26. KH. Zainul Abidin : Kraksan Probolinggo.‎
27. KH. Munajad : Kertosono‎
28. KH. Romli Tamim : Rejoso jombang ‎
29. KH. Muhammad Anwar : Pacul Bawang, Jombang‎
30. KH. Abdul Madjid : Bata-bata, Pamekasan, Madura ‎
31. KH. Abdul Hamid bin Itsbat, banyuwangi ‎
32. KH. Muhammad Thohir jamaluddin : Sumber Gayam, Madura. ‎
33. KH. Zainur Rasyid : Kironggo, Bondowoso ‎
34. KH. Hasan Mustofa : Garut Jawa Barat ‎
35. KH. Raden Fakih Maskumambang : Gresik ‎
36. KH. Sayyid Ali Bafaqih : Pendiri, pengasuh Pesantren Loloan Barat, Negara, Bali. 

Dari tiga murid Syeh Ahmad Khatib Sambas,  Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah berkembang luas : 
1-. Syeh Abdul Karim Banten mempunyai murid : H. Sangadeli Kaloran, H. Asnawi Bendung Lempuyang, H. Abu Bakar Pontang, H. Tubagus Isma’il Gulatjir dan H. Marzuki Tanara. Dari semua muridnya ini yang paling terkenal adalah yang disebut paling akhir. Dimana, sepulang dari Mekkah H. Marzuki Tanara mendirikan pondok pesantren di tempat kelahirannya (Tanara). Di Tanara ia mengajar dari tahun 1877-1888. Dua ulama terkemuka Banten, Wasid dan Tubagus Isma’il sering berkonsultasi kepadanya tentang masalah agama dan masalah yang ditimbulkan oleh kolonialisme. Syeh Abdul Karim Banten sempat pulang ke Banten pada tahun 1872, membangkitkan perlawanan terhadap  Belanda yaitu peristiwa pemberontakan petani Banten yang sejatinya adalah perlawanan para pengilkut Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. 
Pada tahun 1876 Syeh Abdul Karim Banten kembali ke Mekkah menggantikan posisi Syeh Ahmad Khatib Sambas yang telah wafat. TQN centre dari jalur Syeh Abdul Karim Banten selanjutnya berpusat di Pagentongan Bogor dibawah asuhan Syeh Thohir Falak. 

2- Syeh Tolhah Cirebon mempunyai murid Syeikh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) yang berguru selama 25 tahun kepada Syeh Tolhah, kemudian diperintahkan oleh gurunya untuk mendirikan pesantren Suryalaya di Tasikmalaya yang kemudian diteruskan oleh anaknya Syeikh Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin (Abah Anom). ‎

3- Syeh Muhammad Kholil Bangkalan Madura memberikan estafet Mursyid kepada Syeh Ahmad Hasbullah di Rejoso Jombang, kemudian diteruskan kepada Syeh Khalil diteruskan kepada Syeh Romli Tamim, pimpinan pesantren Rejoso Jombang, diteruskan kepada anaknya Musta’in Romli ketua Jamiah Ahlul Thoriqot Muktabaroh. Ketika Syeh Mustain Romli berafiliasi ke Golkar, para pengurus Jamiah Ahlul Thoriqoh Muktabaroh membentuk JATMAN (Jamiah Ahlul Thoriqoh Muktabaroh An Nahdliyah) yang tetap berafiliasi ke NU dengan ketua Syeh Adlan Ali, salah satu murid Syeh Romli Tamim, pimpinan pesantren Cukir Jombang. 
Sepeninggal Kyai Adelan Ali ketua JATMAN dijabat oleh Habib Luthfi Bin Yahya Pekalongan (Tarekat Syadziliyah) sampai sekarang. Syeh Romli Tamim juga mempunyai murid Syeh Muslih pesantren Mranggen Semarang yang mengembangkan tarekat TQN di Jawa Tengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar