Translate

Minggu, 17 Februari 2019

Doa Kafarotul Majlis

Sebuah majelis, apalagi dengan jamaah yang sangat ramai, bukan jaminan seseorang senantiasa luput dari kesalahan kendatipun forum yang diikuti adalah positif seperti pengajian, kegiatan belajar-mengajar, shalawatan, atau sejenisnya. Kesalahan tersebut bisa berupa membual, berbohong, pamer, merasa saleh ketimbang lainnya, meremehkan orang lain, dan sebagainya.

Perilaku negatif tersebut sangat tidak dianjurkan. Namun, karena watak manusia yang serng lupa dan lalai, kekhilafan pun tetap saja kerap terjadi. Karena itu, setiap akan meninggalkan sebuah majelis, kita dianjurkan membaca:

سُبْحانَكَ اللَّهُمَّ وبِحَمْدِكَ أشْهَدُ أنْ لا إِلهَ إِلاَّ أنْتَ أسْتَغْفِرُكَ وأتُوبُ إِلَيْكَ


Subhânakallâhumma wa bihamdika asyhadu an-lâilâha illâ anta astaghfiruka wa atûbu ilaik

“Maha Suci Engkau, ya Allah. Segala sanjungan untuk-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”

Disebutkan dalam hadits,

عَنْ أَبِى بَرْزَةَ الأَسْلَمِىِّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ بِأَخَرَةٍ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَقُومَ مِنَ الْمَجْلِسِ « سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ ». فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ لَتَقُولُ قَوْلاً مَا كُنْتَ تَقُولُهُ فِيمَا مَضَى. قَالَ « كَفَّارَةٌ لِمَا يَكُونُ فِى الْمَجْلِسِ ».

Dari Abu Barzah Al-Aslami, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata di akhir majelis jika beliau hendak berdiri meninggalkan majelis, “Subhanakallahumma wa bihamdika asyhadu alla ilaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik (artinya: Maha Suci Engkau Ya Allah, segala pujian untuk-Mu, aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau dan aku meminta ampunan dan bertaubat pada-Mu).”

Ada seseorang yang berkata pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, engkau mengucapkan suatu perkataan selama hidupmu.” Beliau bersabda, “Doa itu sebagai penambal kesalahan yang dilakukan dalam majelis.” (HR. Abu Daud, no. 4857;  Ahmad, 4: 425. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Maksudnya, doa itu adalah penambal kesalahan berupa kata-kata laghwu atau perkataan yang sia-sia.

Doa itu diucapkan ketika akan berpisah atau akan selesai dari suatu majelis. Majelis ini tidak mesti dengan duduk-duduk. Pokoknya setiap pembicaraan atau obrolan biasa apalagi diyakini ada perkataan sia-sia yang terucap, maka doa kafaratul majelis sangat dianjurkan untuk dibaca.

Jika suatu majelis atau tempat obrolan yang membicarakan hal akhirat maupun hal dunia, lantas di dalamnya tidak terdapat dzikir pada Allah, sungguh sangat merugi.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَامِنْ قَوْمٍ يَقُوْمُوْنَ مِنْ مَجْلِسٍ لاَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ فِيْهِ إِلاَّ قَامُوْا عَنْ مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةً

“Setiap kaum yang bangkit dari majelis yang tidak ada dzikir pada Allah, maka selesainya majelis itu seperti bangkai keledai dan hanya menjadi penyesalan pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud, no. 4855; Ahmad, 2: 389. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Tentu kita tidak mau menjadi orang yang merugi dalam setiap waktu kita. Karenanya, jadikanlah akhir majelis dengan istighfar dan bacaan doa kafaratul majelis.

Setiap pertemuan bersama atau katakanlah belajar bersama, pasti mempunyai niat dan tujuan yang sudah ditentukan. Dalam suatu pertemuan itulah terkadang biasanya ada beberapa orang yang berselisih paham atau sering ‘nggrundel’, atau ada beberapa perbuatan yang kurang terpuji yang dilakukannya.

Sehingga menyebabkan suasana yang seharusnya membutuhkan rasa tentram, fokus, dan ramah tamah serta serius berubah menjadi ramai dan penuh dengan keributan. Bahkan bisa jadi sampai ada yang mengeluarkan perkataan atau perbuatan yang kurang terpuji pada teman lainnya.

Nah, kegunaan dari doa penutup majelis ini, sebenarnya tidak lain adalah sebagai bentuk pujian dan permohonan maaf diri kita masing-masing yang ada dalam majelis atau pertemuan tersebut kepada Allah SWT., agar hal-hal yang tidak baik, dan tidak berguna dalam suatu pertemuan tersebut mendapatkan ampunan, dan tidak terulang kembali pada pertemuan berikutnya. Dimanapun dan kapanpun.

Di samping itu, juga sebagai bentuk penghormatan kepada Allah SWT., Dzat Yang Maha Suci dan Luas Kasih Sayang-nya kepada diri kita umat manusia. Dengan membaca doa tersebut, kita semua tentu berharap agar ilmu atau pertemuan yang telah kita adakan, bisa menjadi lebih bermanfaat, bisa diamalkan dan tetap berdasarkan iman yang kuat pula. Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin..

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الجَنَّةِ

“Barang siapa yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, maka akan Allah mudahkan jalannya menuju surga.” (HR. Muslim).

Dari Abu Madinah Ad-Darimi, ia berkata,

كَانَ الرَّجُلانِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا الْتَقَيَا لَمْ يَفْتَرِقَا حَتَّى يَقْرَأَ أَحَدُهُمَا عَلَى الآخَرِ : ” وَالْعَصْرِ إِنَّ الإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ” ، ثُمَّ يُسَلِّمَ أَحَدُهُمَا عَلَى الآخَرِ

“Jika dua orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu bertemu, maka mereka tidak akan berpisah sampai salah satu di antara keduanya membaca ‘wal ‘ashr innal insana lafii khusr …’. Lalu salah satu dari keduanya saling mengucapkan salam untuk lainnya.” (HR. Abu Daud dalam Az-Zuhd, no. 417; Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath, 5: 215; Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman)

Para sahabat radhiyallahu ‘anhum selalu istiqomah membaca surat Al Ashr ketika hendak berpisah dari suatu majelis. Amalan ini bukanlah bid’ah yang dibuat-buat oleh para sahabat. Sudah barang tentu mereka melakukannya karena ada petunjuk dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, entah sabda, praktik atau penetepan dari beliau.

Abdullah bin Mas’ud dan Imam Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata,

مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُتَأَسِّيًا فَلْيَتَأَسَّ بِأَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّهُمْ كَانُوْا أَبَرَّ هَذِهِ اْلأُمَّةِ قُلُوْبًا، وَأَعْمَقَهَا عِلْمًا، وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا، وَأَقْوَمَهَا هَدْيًا، وَأَحْسَنَهَا حَالاً، قَوْمٌ اخْتَارَهُمُ اللهُ لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ وَلإِقَامَةِ دِيْنِهِ، فَاعْرِفُوْا لَهُمْ فَضْلَهُمْ وَاتَّبِعُوْهُمْ فِي آثَارِهِمْ، فَإِنَّهُمْ كَانُوْا عَلَى الْهُدَى الْمُسْتَقِيْمِ

“Barangsiapa di antara kalian yang ingin meneladani, hendaklah meneladani para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya mereka adalah umat yang terbaik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit bebannya, dan paling lurus petunjuknya, serta paling baik keadaannya. Suatu kaum yang Allah telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya, untuk menegakkan agama-Nya, maka kenalilah keutamaan mereka serta ikutilah atsar-atsarnya, karena mereka berada di jalan yang lurus.”(HR. Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Al-‘Ilm)

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar