Translate

Selasa, 12 Februari 2019

Fenomena Bisyaroh Para Pengajar Di Pesantren

Dakwah adalah perintah yang harus dilaksanakan dengan ikhlas serta berharap sepenuhnya kepada Allah ta’ala. Bagi seorang da’i, ustadz atau mubalig, rasanya tidak pantas jika menggantungkan kebutuhan hidupnya dari kegiatan dakwah. Sebab, hal itu bertentangan dengan perintah atau tuntunan dakwah para nabi.

وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ ۖإِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَىٰ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.” (QS. Asy-syuara: 109)

Ikhlas bukan berarti tanpa bisyaroh atau gaji. Zuhud bukan berarti melarat atau miskin. Bukankah syarat menjadi nabi adalah zuhud ? Tapi, kenapa Nabi Sulaiman itu kaya ? Beranikah kita mengatakan Nabi Sulaiman tidak Zuhud ? Kalau tidak zuhud berarti bukan Nabi. Beranikah kita mengatakan Nabi Sulaiman bukan Nabi ?.

Ini sangat bertentangan dengan Al-Qur’an yang jelas-jelas menyatakan bahwa Sulaiman adalah Nabi. Kalau pikiran kita tertuju pada ikhlas, artinya tidak digaji, berarti seluruh pegawai, mentri dan Presiden tidak ada yang ikhlas.

Guru itu bukan boneka, bukan robot dan bukan malaikat. Kalaupun robot, masih butuh setrum. Pemikiran kita mestinya, kualitas murid ditentukan oleh kualitas guru. Kualitas guru diantaranya ditentukan dengan adanya ekonomi yang cukup. Coba bayangkan, bila anak tidak mengaji dan tidak bersekolah, kenapa ? Karena gurunya tidak hadir. Kenapa tidak hadir ? Karena ia kerja. Karena tidak ada bisyaroh memadai dan ia punya keluarga dan sebagaianya.

Kalau guru sudah memikirkan anak-anak didik, mestinya orang tua yang memikirkan kesejahteraan guru. Mestinya sangat kasihan kalau guru disuruh memikirkan anak didik, memikirkan ekonomi keluarga dan sebagainya. Mestinya harus ada keadilan, keseimbangan dan keikhlasan orang tua yang memikirkan kesejahteraan guru dan mengikhlaskan tiap guru dengan model dan cara mengajar mereka masing-masing sesuai bagaimana mereka dahulu kala terdidik. Ingat ! Murah biasanya diremeh. Berapa SPP satu bulan yang dikeluarkan wali murid ?.

Ternyata kalau dihitung perharinya masih lebih mahal beli rokok. Atau bila dibandingkan, kencing di terminal saja, parkir Mini market, satu kali harus bayar dua ribu rupiah. Kita harus mulai sadar, bahwa pendidikan itu merupakan kebutuhan yang sangat penting. “Ingat! Memondokan anak di Pesantren atau sekolah Agama jauh lebih murah dibandingkan memondokkan anak di rumah sakit”.

Padahal di rumah sakit itu, hanya menghilangkan penyakit dhohir dimana dengan kematian selesai. Tetapi penyakit batin yang menular hingga menjadi penyakit dzahir justru akan berkembang menjadi (Jariah Su’;Amal Buruk Berkontinyu) dan mendapatkan siksa yang lebih berat lagi dibanding mendzolimi diri sendiri.

Orang takabur misalnya, ia mati malah akan disiksa. Dan penyakit hati takabur ini tidak akan sembuh di rumah sakit, tapi bisa sembuh di Tempat yang bernuansa Keagamaan seperti madrasah maupun pesantren.

Di lingkungan pesantren salaf nahdliyyin, gaji ustadz dikenal dengan nama bisyaroh yang artinya adalah penggembira atau hal yang menggembirakan, karena setiap kali para ustadz maupun ustadzah menerima bisyaroh mereka akan merasa gembira, namun sekedar gembira bukan bahagia, mengapa ? karena ternyata bisyarohnya itu hanya sekedar pengganti bensin belum bisa menjadi pengganti lelah apalagi untuk mengcover kebutuhan hidup sehari-hari dalam standar kelayakan, oleh karena itu tidak heran jika para ustadz tersebut harus banyak “konser” di beberapa pesantren, sebab semakin banyak pesantren yang dia konser disitu maka akan semakin banyak pula bisyaroh yang dia dapatkan.

Bisyaroh pesantren memang berbeda selisihnya dari pesantren satu dengan pesantren lainnya, tidak ada standar baku, bisyaroh itu tergantung kebijakan pengasuh atau yang memiliki otoritas pesantren, karena sesungguhnya itu adalah tradisi turun menurun dari zaman dahulu, bahwa bisyaroh adalah sekedar nilai sedarhana yang dapat pesantren kontribusikan ke para ustadznya, karena pelajaran sebenarnya bukanlah pada nilai kesetaraaan pengorbanan ustadz dengan nilai materi yang dia dapatkan, namun lebih kepada pendidikan terhadap para ustadz agar rela mengabdi ke pesantren, ikhlas mengamalkan ilmunya, demi kemberkahan dan kemanfaatan ilmunya, sehingga kebanyakan dari kalangan ustadz pesantren itu menerima dan menyadari bahwa mengajar di pesantren bukanlah lahan untuk mencari uang. terutama pada kalangan ustadz bujang atau ustadzah lajang yang belum menikah.

Hal tersebut berbeda kondisinya denagn para ustadz yang sudah berkeluarga, mereka dihadapkan pada dilema antara idealisme pengabdian dan khidmah ke pesantren dengan kenyataan bahwa mereka harus memenuhi kebutuhan dapur dan keluarga. sesungguhnya rata-rata ustadzd yang saya temui merekamenerima sistem ini, meskipun sebagian ada yang terpaksa dan mau bagaimana lagi, dan sebagian lagi tanpa komentar, namun kebayakan mereka akan sangat setuju jika bisyaroh mereka “disesuaikan” –penghalusan istilah dinaikkan-. hanya saja mereka tidak berani mengungkapkan ataupun mengusulkannya, karena takut dianggap tidak ikhlas dalam berjuang membantu pesantren, mereka takut merusak kemanfaatan dan keberkahan ilmunya kelak dikemudian hari, inilah yang menyebabkan tidak ada perubahan yang sigifikan dalam penggajian ustadz pesantren yang membawa kepada kesejahteraan mereka.

Sebagian orang ada yang berpendapat : “Hasil ekonomi yang lumayan bukan berarti ilmu yang dibisniskan”, Inilah kadang kita salah persepsi atau salah menafsirkannya. Kita ingat bahwa segala sesuatu itu sesuai dengan niatnya.

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ

Amal dunia kalau diniati untuk akhirat, maka ia bisa mendapatkan akhirat. Amal akhirat tanpa niat yang benar, maka ia tidak bisa mendapatkan pahala. Kita berpijak pada ayat :

وَ أَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”

Disini jelas yang kita jual-belikan adalah kertasnya bukan ilmunya. Coba bayangkan, andai buku-buku sekolah digratiskan. Lalu bagaimana kelanjutannya ?. Dana untuk bensin, membeli kertas, membayar karyawan dan sebagainya sedangkan mereka hanyalah guru dari salah satu sekolah swasta. Kita juga berpijak pada Ayat dan Hadits :

رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الْاَخِرَةِ حَسَنَةً

Artinya : “Wahai Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan di akhirat”.

لَيْسَ بِخَيْرِكُمْ مَنْ تَرَكَ دُنْيَاهُ لِأَخِرَتِهِ وَلَا آخِرَتَهُ لِدُنْيَاهُ حَتَّى يُصِيْبَ مِنْهُمَا جَمِيْعًا فَإِنَّ الدُّنْيَا بَلَاغٌ لِلْأَخِرَةِ وَلَا تَكُوْنُوْا كَلًّا عَلَى النَّاسِ

Artinya : “Orang yang baik bukanlah orang yang meninggalkan urusan dunia untuk kepentingan akhirat belaka. Dan tidaklah orang yang meninggalkan urusan akhirat untuk dunia belaka. Orang yang baik adalah, orang yang bisa meraih keduanya, karena sesungguhnya dunia adaalah perantara menuju akherat. Dan janganlah kamu semua menjadi beban masyarakat”.

Memang tidak mudah menentukan standar bisyaroh yang ideal, karena anggaran pesantren terbatas dan permasalahan keuangan pesantren juga komplek, namun menurut hemat saya masalahnya bukanlah disitu tetapi pada skala priorotas dan manajemen keuangan pesantren yang masih tradisionalis serta carut marut. sangat ironis sekali jika bisyaroh para ustadz sangat terbatas sedangkan mudir pesantrennya bermewah-mewahan dengan pakaian dan mobil serta rumah yang bagus, namun justru faktor yang paling penting dalam keberlangsungan dan kualitas ilmu yang didapatkan pari santri justru terlewatkan –ungkapan halus dari dikesampingkan-. karena sesungguhnya pengajaran dan pendidikan dipesantren adalah nyawa dari pesantren itu sendiri, ketika kesejahteraan pendidiknya di perhatikan maka kualitas pengajaran pun akan ditingkatkan, para ustadz akan semakin semangat dan aktif.

Barang kali inilah yang sering dilupakan oleh para menajer pesantren, atau bisa jadi tidak ada orang yang berani mengingatkan mereka, atau mungkin karena dulu mereka juga mengalami hal yang sama sehingga mendoktrin kepada para ustadznya agar bersabar sejenak, belajar mengalami masa-masa yang sulit, bersusah-susah dahulu, karena ada saatnya ketika mereka naik “maqam”, derajat, atau kasta sosial sebagai kyai atau pengasuh, mereka akan mendapatkan kesejahteraan yang sama kelak. Hal ini diamini oleh para ustadz santri meskipun pada kenyataannya belum tentu terjadi. Faktor loyalitas, ketaatan dan harapan untuk mendapat keridloan kyai membungkam keinginan para ustadz untuk mendapatkan “penghasilan lebih”

Dari contoh kasus tersebut kita dapatkan bahwa bisyarah yang “berkualitas” menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keaktifan, semangat, kualitas pengajaran, tanggungjawab, dedikasi, dan keikhlasan ustadz pengajar. inilah jawaban dari permasalahan ketidakstabilan pengajaran dipesantren, kurang aktifnya madrasah diniyyah dan pengajian wetonan, dan kurang semangatnya pendidik maupun peserta didik saat mengaji di pesantren. peningkatan bisyaroh merupakan bentuk penghargaan terhadap pendidik pesantren, sarana silaturahim dan pengikat persaudaraan ustadz, santri dan pengasuh, sekaligus media pendongkrak semangat, loyalitas, tanggungjawab, dedikasi, serta kreatifitas dan kualitas pengajaran dari sang ustadz itu sendiri. sebuah kata kunci yang sering terlupakan para pimpinan pesantren.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar