Translate

Rabu, 06 Februari 2019

Makam Keramat Jabal Nur Kaliwungu

Makam Waliyullah sebagai salah satu benda atau tempat cagar budaya dirasa telah mendapat kepedulian yang cukup dari masyarakat maupun pemerintah daerah Kabupaten Kendal. Salah satu bukti konkritnya adalah seringnya dilakukan pengajian, mujahadah, napak tilas, syawalan, slametan, maupun Khaul Akbar yang dilaksanakan di pelataran kompleks makam wali yang ada di Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal.

Pada dasarnya keberadaan makam para wali saja sampai sekarang masih terus dirawat dan disakralkan oleh masyarakat Kendal. Tentu saja hal itu terkait dengan masa lampau para wali tersebut yang mempunyai peran sentral bagi pengembangan Islamisasi di wilayah Kabupaten Kendal.

Sejak dahulu Kaliwungu, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah dikenal sebagai kota santri. Lingkungannya kental dengan nuansa religius. Selain ditumbuhi banyak pesantren dengan ribuan santri, dari Kaliwungu pula lahir ulama-ulama kharismatik yang memiliki pengaruh besar di masyakarat.

Salah satu ulama yang berjasa besar dalam menyebarkan agama Islam di Kaliwungu dan Jawa Tengah pada umumnya adalah KH Asy'ari atau Kiai Guru. Ia adalah pendiri masjid Al-Muttaqin Kaliwungu pada tahun 1653 M.

Semasa menyebarkan Islam di Kaliwungu, Kiai Guru berdakwah melalui pendekatan budaya. Ia juga yang mengenalkan dan mengajarkan kepada masyarakat tentang nilai-nilai ajaran Islam, seperti mauludan, rajaban, rebo pungkasan, nyadran, nyekar, slametan, dan dzikir atau tahlil.

Mengenang para ulama tidak lengkap rasanya bila hanya lewat cerita-cerita saja, namun perlu berziarah langsung ke makamnya. Berkunjung ke Kaliwungu, Kendal Jawa Tengah untuk menapaki jejak Kiai Guru lewat makamnya yang berada di sebuah bukit bernama Jabal Nur.

Terletak di Desa Protomulyo Kecamatan Kaliwungu Selatan, bukit Jabal Nur menjadi tempat peristirahatan terakhir ulama-ulama Kaliwungu yang kesohor kewaliannya itu.

Setiap hari makam ini tidak pernah sepi dari para penziarah yang datang. Terlebih pada bulan Syawal, makam ini selalu ramai dipadati peziarah dari berbagai daerah.  Puncaknya pada tanggal 8 Syawal. Sebab tanggal itu merupakan peringatan haul atau hari wafatnya Kiai Guru.

Makam di bukit Jabal Nur terbagi menjadi tiga bagian. Untuk sampai ke makam-makam itu bisa dengan berjalan kaki atau mengendarai sepeda motor dengan panjang jalan sekitar 200 meter.

Di ujung atas, adalah Makam Kiai Guru. Berada di dalam sebuah bangunan yang ditutupi kelambu  putih. Makamnya pun tampak bersih dan terawat. Kiai Guru wafat pada tahun 1697, seperti keterangan yang tertulis di tembok bangunan itu.

Di dalam bangunan itu terdapat pula makam-makam ulama yang lain. Seperti makam Syekh Bakhur Syatha atau cucu Syekh Abu Bakar Syatha,  pengarang kitab 'Ianatuttholibin yang mashur itu. Masih di area ini, dimakamkan pula Pangeran Mandurorejo (Bupati Pekalongan Pertama) dan Pangeran Puger.

Turun ke bawah, terdapat makam Kanjeng Sinuwun Sunan Katong. Konon ia adalah pemegang pemerintahan di Kaliwungu, semasa dengan Kiai Guru.

Sementara di ujung bawah atau bagian yang ketiga, adalah makam Wali Musyaffa, KH Ahmad Rukyat, KH Abu Khoer, dan KH Mustofa. Mereka adalah ulama-ulama Kaliwungu yang dikenal kealiman dan kewaliannya. Namun area makam ini sudah masuk Desa Kutoharjo Kecamatan Kaliwungu.

Dari atas bukit ini, peziarah juga bisa melihat pemandangan kota Kaliwungu yang luas. Masyarakat setempat memanfaatkan keramaian peziarah dengan mendirikan warung-warung yang menjual aneka makanan, minuman dan aksesoris.

Turun dari atas bukit, masih terdapat makam ulama Kaliwungu yang menjadi jujugan para santri. Makam yang terletak di belakang komplek Pesantren Al Fadlu Wal Fadhilah asuhan KH Dimyati Rois itu, adalah makam Masyayikh pesantren Salaf APIK Kaliwungu. Disana dimakamkan KH Irfan, KH Humaidullah, KH Asror, KH Imron Humaidullah dan kiai-kiai lainya.

Bila berkunjung ke Kaliwungu, makam-makam itu layak menjadi tujuan destinasi wisata religi, utamanya saat tradisi Syawalan.

Sekilas tentang Wali Musyafa' dan Mbah Ru'yat

Mbah Musyaffa’ lahir pada bulan Muharram tahun 1324 H. atau 1904 M. di Kampung Losari, Krajan Kulon, Kaliwungu, Kendal. Ibunya bernama Hj. Lammah, sedangkan ayahnya bernama H. Bahram. Walaupun beliau berasal dari keturunan orang biasa, namun Allah swt. mentakdirkannya menjadi seorang Waliyullah. Diantara ulama besar yang mengakui kewalian beliau adalah Syaikh Kholil Bangkalan, KH. Abdul Karim atau biasa dipanggil dengan nama Mbah Manab (Pendiri Ponpes Lirboyo, Kediri) dan KH. Ma’ruf, Kedunglo, Kediri. Beliau wafat pada hari Rabu tanggal 23 Dzulhijjah 1388 H. atau 12 Maret 1969 M. dan dimakamkan di bukit Jabal Nur.

Selama hidup (antara tahun 1920 – 1969), Mbah Syafa’ dikenal sebagai sosok yang zuhud. Ia sangat sederhana, baik dalam berpakaian maupun dalam bertutur kata. Kesederhanaannya dalam berpakaian, membuat sebagian orang menganggap Mbah Syafa’ sebagai Kiai yang sangat miskin.

“Bahkan ada orang yang menganggap Mbah Syafa’ adalah orang gila, karena ia memang kerap berperilaku Khawariqul Adah, yaitu berperilaku diluar kebiasaan manusia pada umumnya. Persangkaan orang bahwa Mbah Syafa’ adalah orang gila sudah terdengar sebelum masyarakat mengetahui karomah dan kewaliannya,”ujar Tomo, pengurus makam wali di kota Kaliwungu.

Rahasia Mbah Syafa sebagai wali akhirnya terbongkar. Ceritanya pada suatu hari tetangga disekitar rumah Mbah Syafa’ dibuat gempar. Saat itu setelah musim haji, ada seorang haji yang datang ke desa Mbah Syafa. Dia mengaku dititipi anggur oleh seseorang di Mekah untuk diserahkan kepada Mbah Syafa’, yang baru saja menunaikan ibadah haji di Mekah. Padahal tetangga Mbah Syafa’ mengetahui sendiri, selama musim haji itu Mbah Syafa’ berada di rumahnya.

“Tetangga –tetangga menganggap tak mungkin mbah Syafa akan menunaikan ibadah haji. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja masih kekurangan,”ungkapnya.

Sejak peristiwa menakjubkan itu pandangan orang pada dirinya berubah, apalagi setelah karomah-karomahnya disaksikan orang-orang disekitarnya.

Kisah Unik

Banyak cerita menarik seputar kewalian Kiai Musyafa'. Konon di Kendal dahulu pernah ada seorang waliyullah Abdul Hadi namanya. Ketika beliau akan wafat, beliau menyampekan pesan pada Habib Umar, penjaganya kala sakit, yang tak jelas maknanya. Beliau mengatakan, "Nyonya dengklek kidul mesjid Kaliwungu nyambut gawe kulak jaritan" (Artinya :Nyonya Dengklek sebelah selatan masjid Kaliwungu Bekerja sebagai tengkulak kain).

Pada saat waliyullah Abdul Hadi itu meninggal dunia, maka terlihat cahaya (nur) yang bersinar ke arah Kiai Musyafa'. itulah barangkali tanda awal kewalian Kyai Musyafa'.

Selain itu, ada beberapa cerita orang tua yang merupakan saksi ahli tentang keanehan-keanehan yang diangap merupakan ciri karomah atau kewalian Mbah Kyai Musyafa'. Suatu saat Mbah Syafa’ menjamu tamu yang datang. Masing-masing tamu menuang sendiri air minum dari ceret yang sudah disediakan. Anehnya air minum yang berasal dari satu ceret itu di rasakan berbeda-beda oleh tamu yang minum.

Kisah unik lain ketika Mbah Wali Syafa' memotong pohon kelapa.Ceritanya berawal dari seorang tetangga yang resah dan khawatir karena pohon kelapanya condong di atas rumahnya. Mendengar keresahan itu, maka Mbah Syafa' bertandang. Beliau langsung yang naik pohon kelapa untuk memotong pohon yang condong di atas atap rumah tetangganya itu.

Setelah selesai di potong, ternyata pohon kelapa itu jatuhnya justru berlawanan dengan rumah warga itu. Logikanya pohon itu seharusnya jatuh persis di atas rumah tetangganya itu. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Di sinilah orang makin yakin akan kelebihan karomah Mbah Syafa.

Sekitar tahun 1960-an, Mbah Syafa’ kedatangan seorang tentara. Tentara itu bermaksud memohon restu, karena sebagai pembela negara dia mendapat tugas ikut dalam rombongan pasukan Trikora yang akan membebaskan Irian Jaya dari pendudukan Belanda. Saat dia sampai di tempat tinggal Mbah Syafa’ dan mengemukakan maksudnya, Mbah Syafa’ tidak menjawab sepatah kata pun. Beliau hanya mengambil sebuah wajan yang telah di bakar hingga merah membara.

Oleh Mbah Syafa’ wajan itu di dekatkan ke kepala orang tersebut sambil dipukul beberapa kali. Sesaat kemudian beliau masuk kedalam rumah dan keluar dengan membawa tiga buah biji randu (Klentheng), lantas menyerahkannya pada orang itu.

“Orang tersebut tidak mengerti apa maksud Mbah Syafa’, namun ia tetap menyimpan biji randu pemberian Mbah Syafa’. Di belakang hari, isyarat tersebut bisa diketahui setelah kapal yang ditumpangi tentara Indonesia hancur di tengah laut. Namun atas izin Allah orang tersebut selamat,”jelas Tomo.

Dalam kisah yang lain diceritakan pada 1940-an, suatu hari Mbah Syafa’ menggali tanah hingga dalam. Orang-orang disekitarnya merasa heran dengan apa yang dikerjakannya itu. Sebagian mengira tempat itu akan digunakan untuk memelihara ikan, sebagian yang lain menyangka akan dibuat sumur.

Setelah beberapa saat, orang baru sadar bahwa Mbah Syafa’ mengetahui peristiwa yang bakal terjadi belakangan. Karena tidak lama berselang, tentara Jepang menyerbu daerah Kaliwungu, dan lubang itu dipergunakan sebagai tempat persembunyian orang-orang yang ada di sekitarnya.

Ketika terjadi serangan tentara Jepang, masyarakat sudah panik dan lari kesana kemari mencari perlindungan. Namun Mbah Wali Syafa' justru tenang-tenang aja di teras rumahnya membaca surat Yasin. Beberapa kali Mbah Wali membacanya, akhirnya tba-tiba berhentilah serangan montir tentara Jepang tadi.

“Ini Barokahnya bacaan surat Yasin yang dibaca Kiai Musyafa',”paparnya.

Berbagai peristiwa aneh terjadi termasuk setelah ia meninggal dunia pada 13 Maret 1969 (seperti yang tertulis pada nisannya). Suatu ketika Rasyid saat sedang membersihkan Balai Desa Krajan Kulon, Kaliwungu. Rasyid, tukang sapu kantor tersebut, ditemui  Mbah Syafa’ tanpa berbincang apapun. Mbah Syafa’ memberinya uang seribu rupiah. Dia tidak mengetahui pada saat itu Mbah Syafa ia telah meninggal dunia.

Anehnya, ketika sudah dibelanjakan, uang itu tetap utuh dan tetap ada di saku Rasyid begitu ia sampai di rumah. Hal itu berulang hingga tiga kali, membuat gundah Rasyid. Hatinya baru tenang setelah uang itu ia kembalikan ke kuburan Kiai Syafa’.

“Maka sekarang makam Kiai Musyafa dikenal untuk memperlancar rejeki ,”jelasnya.

Meski telah terbukti karomhanya, masih terdapat pula orang yang tidak mempercayai bahwa Mbah Syafa adalah wali. Maka suatu saat Kiai Muchid dari Jagalan, Kutoharjo, Kaliwungu berguman, serasa meragukan berita kewalian Mbah Wali Syafa'. Akhirnya dia mempunyai rencana untuk menguji kewalian Mbah Syafa. "Apa benar Mbah Kyai Musyafa'itu seorang waliyullah? Coba aku aku memncoba karomahnya akan pura-pura meminjam uangnya Kiai",niat Kyai Muchid pada dirinya sendiri.

Kyai Muchid kemudian sampai di halaman rumah Kiai Musyafa', tiba-tiba Kiai Musyafa' berkata dengan nada perintah,"Muchid, ke pasar saja memakai bathok kelapa kalau akan mengemis". Padahal saat itu Kiai Muchid belum mengatakakan apapun. Begitu mendengar ucapan Kiai Musyafa, maka Kiai Muchid terdiam, tak berani berkata sepatah kata pun. Dia tidak jadi mengutarakan niatnya akan meminjam uang.

Sampai kini, makam Kiai Musyafa ramai dikunjungi peziarah. Apalagi ketika acara syawalan peziarah akan membludak. Biasanya peziarah mengunjungi makam Kiai Musyafak usai ziarah ke makam Kiai Asy’ari. Seperti diketahui awalnya kegiatan ziarah syawalan mengirim doa di makam Kyai Asy'ari ini hanya dilakukan oleh keluarga dan keturunannya Kyai Asy'ari, tetapi lama kelamaan diikuti oleh masyarakat muslim Kaliwungu dan sekitarnya.

Akhirny, kegiatan itu semakin membudaya terjadi setiap tahun, bahkan objek lokasi ziarah melebar bukan hanya kepada makam Kyai Asy'ari (Kyai Guru), akan tetapi juga ke makam Sunan Katong, Pangeran Mandurarejo, seorang Panglima Perang Mataram, dan Pangeran Pakuwaja. Belakangan para peziarah merambah juga berziarah ke makam Kyai Rukyat, Kyai Mustofa dan Kyai Musyafa'.

Mbah Ru’yat lahir pada sekitar tahun 1305 H. atau 1885 M. di Kampung Pungkuran, Kutoharjo, Kaliwungu, Kendal. Ibunya bernama Nyai Sujatmi, sedangkan ayahnya bernama Kyai Abdullah bin Kyai Musa. Beliau adalah sosok ulama yang waktunya banyak dihabiskan untuk mengajar dan beribadah. Lebih-lebih ketika bulan Ramadhan, dari mulai ba’da Subuh sampai pukul 12 malam, beliau habiskan untuk mengajar santri-santrinya. Sehingga tidaklah mengherankan jika santri-santrinya banyak yang menjadi ulama besar, seperti ; KH. Abuya Dimyati (Banten), KH. Dimyati (Pemalang), Abah Anom (Tasikmalaya), KH. Asror Ridwan (Kaliwungu), KH. Dimyati Rois (Kaliwungu) dan masih banyak lagi. Beliau wafat pada hari Jum’at tanggal 9 Rabi’ul Akhir 1388 H. atau 4 Juli 1968 M. dan dimakamkan di bukit Jabal Nur.

1 komentar:

  1. Ati ati Jabal sekarang berubah fungsi sejak ada wisata religi. Tongkrongan ngopi sampai pagi dan ada karokean juga 😭😭😭

    BalasHapus