Translate

Senin, 04 Februari 2019

Ingat Imlek Ingat Gus Dur

Tanggal 1 (satu) bulan 1 (satu) penanggalan Imlek atau sering disebut dalam istilah mandarin “Zhen Yue Chu Yi ” merupakan hari pertama dalam satu Tahun dan dirayakan sebagai Tahun Baru Imlek atau juga dikenal sebagai istilah “Chun Jie” dalam bahasa Mandarin. Istilah “Chun Jie” atau “Hari Raya Musim Semi” dipakai karena pada hari itu juga merupakan awal mulainya musim Semi dalam satu Tahun.  Musim Semi merupakan salah satu musim dari 4 musim di Negara-negara yang terletak di bagian Utara Bumi ini.

Bagi etnis Tionghoa atau orang-orang yang berketurunan Cina, tahun baru imlek merupakan bagian penting dari perayaan tradisi mereka. Pada penanggalan atau kalender Tionghoa, tahun baru imlek ini dirayakan setiap tanggal 1 di tahun yang baru. Sedangkan akhir dari perayaan imlek tersebut ada di pertengahan bulan pada saat bulan purnama yaitu tanggal 15 yang sering disebut dengan perayaan Cap Go Meh.

Tahun baru Cina ini dirayakan oleh setiap orang Cina atau orang-orang yang berketurunan Cina yang tinggal di mana pun mereka berada. Misalnya saja di Indonesia, ada banyak sekali penduduk Indonesia yang masih keturunan Tionghoa maka mereka pun ikut merayakan tahun baru Cina tersebut walaupun menjadi penduduk dan warga negara Indonesia.

Perayaan tahun baru Cina ini dirayakan oleh hampir setiap negara di Asia yang sebagian penduduknya beretnis Cina termasuk Indonesia misalnya saja Thailand, Singapura, Filipin, Malaysia, Taiwan dan lain-lain. Tahun baru Cina imlek tentunya sudah menjadi bagian dari budaya yang wajib dilaksanakan pada negara-negara tersebut. Bangsa yang bertetangga dengan Cina seperti Mongolia, Vietnam, Bhutan, dan Jepang pun ikut merayakan tahun baru imlek.

Sejarah Dan Asal Muasal Tahun Baru Cina

Sebelum Dinasti Qin, tanggal perayaan permulaan sesuatu tahun masih belum jelas. Ada kemungkinan bahwa awal tahun bermula pada bulan 1 semasa Dinasti Xia, bulan 12 semasa Dinasti Shang, dan bulan 11 semasa Dinasti Zhou di China. Bulan kabisat yang dipakai untuk memastikan kalender Tionghoa sejalan dengan edaran mengelilingi matahari, selalu ditambah setelah bulan 12 sejak Dinasti Shang (menurut catatan tulang ramalan) dan Zhou (menurut Sima Qian). Kaisar pertama China Qin Shi Huang menukar dan menetapkan bahwa tahun tionghoa berawal di bulan 10 pada 221 SM. Pada 104 SM, Kaisar Wu yang memerintah sewaktu Dinasti Han menetapkan bulan 1 sebagai awal tahun sampai sekarang. Tujuannya agar perayaan tahun baru bisa sesuai dengan masyarakat Tiongkok yang pada umumnya adalah masyarakat agraris. Pada masa dinasti Zhou, perayaan tahun baru dilaksanakan pada saat winter solistice ataudongzhi.

Pada masa dinasti Qing, Kang Youwei ( 1858-1927 ) , seorang reformis Ruism menyarankan agar menggunakan Kongzi era yang dihitung dari tahun kelahiran Kongzi. Sedangkan Liu Shipei (1884-1919 ) menolak hal itu dan mengusulkan agar tahun kalender Tionghoa dihitung dari tahun kelahiran Huangdi.

Yang menjadi suatu masalah adalah kapan Huangdi dilahirkan untuk dijadikan patokan perhitungan Huangdi Era.

Liu Shipei memperkirakan tahun 2711 BCE adalah tahun kelahiran Huangdi, jadi tahun 2008 CE adalah tahun 4719 H.E. Song Jiaoren ( 1882-1913 ) memperkirakan tahun 2697 BCE adalah tahun kelahiran Huangdi, dan akhirnya banyak orang yang sepakat untuk menerima tahun 2697BCE sebagai awal Huangdi Era. Dari angka inilah sekarang tahun baru Imlek ini bisa disebut tahun baru Imlek 4708 H.E. Selain masyarakat luas, umat Taoisme juga menyebutkan bahwa Huangdi Era adalah tahun yang digunakan oleh umat Taoisme dan mereka menyebutnya Daoli atau kalender Tao.

Sebagian besar masyarakat Tionghoa di luar negeri dan umat Taoisme lebih suka menggunakan Huangdi Era karena Huangdi atau kaisar kuning ini dalam sejarah Tiongkok dianggap sebagai bapak bangsa etnis Han atau orang Tionghoa secara umumnya. Dan para Taois menggunakan Huangdi Era, karena dalam kepercayaan Taoisme kaisar Kuning ini adalah pembuka ajaran agama Tao. Alasan inilah yang membuat timbulnya Huangdi Era dan Dao Era, di mana Huangdi Era dan Dao Era sama saja hanya penyebutan Dao Era atau Daoli digunakan oleh para Taois.

Penciptaan Kalender Imlek oleh Pemuda yang bernama “Wan Nian”

Zaman dulu di daratan China ada seorang pemuda yang bernama “Wan Nian [万年] ” melihat kekacauan perhitungan musim pada saat itu, muncullah niat untuk memperbaiki cara perhitungan musim agar lebih akurat. Suatu hari, Pemuda tersebut lelah bekerja dan duduk di bawah pohon untuk istirahat. Dia kemudian terinspirasi oleh Bayangan Pohon yang bergerak sehingga menciptakan suatu alat untuk memantau pergerakan bayangan matahari agar dapat mengetahui dan mengukur waktu dalam satu hari.

Kemudian, tetesan air dari tebing juga menginspirasikan dia untuk menciptakan alat bertingkat lima  yang bernama “Wu Ceng Lou Hu [五层漏壶]” untuk mengukur waktu.

Dengan Alat-alat yang diciptakannya, dia menemukan bahwa masing-masing Musim akan berulang kembali setiap 360-an hari.

Raja pada saat itu bernama “Zu Yi [祖乙]”  juga sering dipusingkan dengan masalah situasi perubahan musim yang tidak dapat diprediksi. Pemuda “Wan Nian” kemudian membawa alat-alat ciptaannya untuk menemui sang Raja. Raja Zu Yi sangat gembira mendengarkan penjelasan-penjelasan tentang perhitungan perubahan musim yang ditemukan oleh Wan Nian dan meminta Wan Nian untuk tinggal di Istana. Sang Raja membangun sebuah bangunan yang bernama “Ri Yue Ge” atau “Pavilion Matahari Bulan” untuk mengetahui hukum alam tentang hari dan bulan. Dapat mengetahui lebih akurat waktu Fajar dan Senja setiap harinya, menciptakan Kalender untuk kepentingan dan kesejahteraan Rakyatnya.

Suatu hari, Sang Raja pergi ke Pavilion Matahari Bulan (Ri Yue Ge) untuk mengetahui lebih jelas mengenai perkembangan pembuatan Kalender, beliau melihat sebuah puisi yang terukir di sisi pavilion Matahari Bulan :

Terjemahan ke bahasa Indonesia kira-kira seperti ini :

Matahari terbit dan Tenggelam selama tiga ratus enam puluh, dan terus menerus berulang
Rumput dan Pohon layu mekar terbagi menjadi empat musim, terdapat 12 kali bulan purnama

Mengetahui Wan Nian sudah berhasil, Sang Raja langsung pergi menemui Wan Nian yang berada di Pavilion tersebut. Wan Nian menunjukkan perbintangan dan berkata kepada Raja Zu Yi, “sekarang 12 bulan sudah penuh, satu tahun sudah selesai, Musim Semi yang kembali lagi. Wan Nian kemudian meminta Raja Zu Yi untuk menentukan Hari Raya yang dimaksud tersebut. Raja Zu Yi kemudian berkata : “Sekarang adalah Musim Semi yang juga merupakan Musim pertama dalam satu Tahun, maka kita sebut saja Hari Raya Musim Semi”. Itulah asal usul pertama munculnya Hari Raya Musim Semi atau Tahun Baru Imlek yang kita kenal sampai saat ini.

Mitologi Tahun Baru Imlek

Bagi mitologi orang Cina, tahun baru imlek ini dirayakan ketika mereka berhasil melawan seekor hewan mitos yang dinamakan Nian yang artinya tahun dalam bahasa Cina. Hewan bernama Nian ini selalu muncul di awal tahun baru Cina dan memangsa hewan-hewan ternak milik penduduk bahkan penduduknya sendiri dan juga anak-anak.

Para penduduk Cina pun mempunyai ide, mereka menaruh sejumlah makanan yang disajikan dan ditaruh di depan pintu rumah setiap tanggal 1 di awal tahun. Menurut orang-orang Cina tersebut, cara itu akan ampuh menyelamatkan mereka dari mangsa hewan Nian karena Nian hanya akan memakan makanan yang disediakan warga dan tidak akan memangsa warga atau penduduk Cina tersebut.

Pada suatu hari ada seorang penduduk yang tidak sengaja melihat hewan Nian ini berlari ketakutan saat bertemu dengan seorang anak yang memakai kostum berwarna merah. Sejak itulah warga tahu kekurangan hewan nian tersebut yakni takut dengan segala hal atau benda yang berwarna merah. Warga pun akhirnya memasang lentera berwarna merah di depan rumah setiap awal tahun baru tiba.

Bukan hanya lentera berwarna merah yang mereka pasang tetapi juga tirai berwarna merah yang mereka pasang di pintu atau jendela. Untuk menakut-nakuti Nian penduduk pun menyalakan mercon berwarna merah, suaranya yang berisik dan menggelegar dipercaya akan membuat Nian takut. Akhirnya Nian pun benar-benar takut dan tidak pernah menyerang atau muncul kembali, kemudian Nian ditangkap oleh seorang pendeta Tao bernama Hongjun Lao Tse. Hal ini lah yang mendasari mengapa perayaan imlek identik dengan warna merah.

Adat-adat pengusiran Nian ini pun akhirnya berkembang menjadi suatu perayaan tahun baru Cina atau imlek. Terlepas dari benar atau tidaknya cerita tentang hewan Nian serta pengusirannya, perayaan imlek tetap menjadi tradisi yang penting bagi orang-orang Cina khususnya bagi para petani Cina yang merayakan berakhirnya musim dingin yang berganti dengan musim semi di awal tahun.

Makna Tahun Baru Cina Atau Imlek

Perayaan imlek ini dimulai sejak tanggal 30 bulan ke 12 pada penanggalan Cina, lalu diakhiri dengan perayaan Cap Go Meh di tanggal 15. Perayaan imlek ini meliputi sembahyang imlek, sembahyang kepada Thian dan yang terakhir yaitu perayaan Cap Go Meh. Tujuan dilakukannya sembahyang tersebut yaitu sebagai rasa terima kasih dan wujud syukur warga/penduduk Cina akan doa dan harapan yang baik di tahun yang baru.

Doa dan harapan yang mereka yakini pada perayaan imlek adanya mengalirnya rezeki yang berlimpah dalam hidup mereka, untuk menjamu pada leluhur, dan adanya silaturahmi yang terjalin dengan baik antar tetangga atau keluarga. Hari raya imlek ini dimanfaatkan para warga Cina untuk menjadi momen kumpul keluarga besar sekali dalam 1 tahun.

Selama perayaan imlek berlangsung, setiap para anggota keluarga akan bersilaturahmi dan saling membagikan kisah hidup mereka yang terjadi selama 1 tahun terakhir. Maka makna perayaan imlek ini akan semakin terasa saat setiap anggota keluarga saling menjalin kasih dan saling mengayomi.

Ingat Imlek, Ingat Gus Dur

Selama Orde Baru berkuasa etnis Cina tak diakui sebagai suku bangsa dan dikategorikan sebagai nonpribumi. Seturut politik kebangsaan Orde Baru, etnis Cina diharuskan mengasimilasikan diri dengan suku-suku mayoritas di tempat mukim mereka. Misalnya, jika seorang Cina tinggal di Bandung, mereka harus jadi orang Sunda.

Menurut begawan antropologi James Dananjaya, kebijakan itu berdampak lebih jauh daripada sekadar pergantian nama atau agama. Perlahan orang Tionghoa benar-benar melupakan jatidirinya.

“Akibat indoktrinasi yang dilakukan dengan sistematis tersebut, kebanyakan orang Tionghoa yang patuh pada politik pemerintahan Orde Baru, dengan sadar atau dengan tidak sadar, telah berusaha melupakan jati diri etnisnya sendiri, sehingga terjadilah autohypnotic amnesia,” tulis James dalam “Imlek 200: Psikoterapi untuk Amnesia Etnis Tionghoa” yang terbit di majalah Tempo edisi 14 Februari 2000.

Masa-masa suram itu akhirnya berakhir kala Reformasi bergulir pada 1998. Dalam masa baktinya yang singkat, Presiden Habibie menerbitkan Inpres No. 26/1998 yang membatalkan aturan-aturan diskriminatif terhadap komunitas Tionghoa. Di isi inpres ini adalah penghentian penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Abdurrahman Wahid lah yang kemudian bertindak lebih jauh lagi. Ia muncul membela hak komunitas Cina dengan konsep kebangsaan baru yang diperkenalkannya.

Dalam konsep kebangsaan Gus Dur tak ada yang namanya pribumi dan nonpribumi. Dikotomi semacam itu adalah kesalahan dan gara-gara itu komunitas Cina dinafikan dari nasionalisme Indonesia. Bagi Gus Dur tak ada yang namanya “keturunan masyarakat asli” di Indonesia, karena bangsa Indonesia dibentuk oleh perpaduan tiga ras, yakni Melayu, Astro-melanesia, dan Cina. Ia sendiri mengatakan dirinya adalah keturunan blasteran Cina dan Arab.

Untuk melepaskan diri dari belenggu rasis semacam itu, Gus Dur lantas memperkenalkan konsep kebangsaan yang nonrasial. Leo Suryadinata dalam Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia (2010, hlm. 230) mencatat, “Gus Dur menyebut kelompok-kelompok etnis di Indonesia sebagai ‘orang’ bukan ‘suku’. Ia berbicara tentang orang Jawa (etnis Jawa), orang Maluku (etnis Maluku) dan orang Tionghoa yang kesemuanya adalah orang Indonesia. [...] Pada akhirnya ia mendesak ‘penduduk pribumi’ Indonesia untuk menyatu dengan etnis Tionghoa.”

Tak hanya berteori, Gus Dur pun merealisasikan gagasannya itu ketika naik jadi presiden pada 1999. Cucu pendiri NU Kiai Hasyim Asy’ari yang sejak lama dikenal sebagai pluralis itu menganulir Inpres No. 14/1967 dengan menerbitkan Inpres No. 6/2000. Sejak itulah, komunitas Tionghoa bebas kembali menjalankan kepercayaan dan budayanya.

Inpres yang terbit pada 17 Januari tersebut membawa suka cita yang telah lama surut. Tahun baru Imlek tahun itu, yang jatuh pada 5 Januari, dirayakan dengan cukup megah di kompleks Museum Fatahillah Jakarta. Setahun kemudian, dengan Keppres No. 19/2001 Gus Dur meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif.

Dengan kebijakan-kebijakan inklusif itu tak lewah jika kemudian pada 10 Maret 2004—bertepatan dengan perayaan Cap Go Meh di Klenteng Tay Kek Sie—masyarakat Tionghoa di Semarang menyematkan julukan “Bapak Tionghoa” kepada Gus Dur.

“Maka setiap kali menjelang perayaan Imlek, saya selalu ingat Gus Dur. Sejak menjabat sebagai Ketua Nahdlatul Ulama, tiada henti Gus Dur membela penganut aliran kepercayaan dan pemeluk Konghucu untuk memperoleh haknya sebagai warga negara,” tulis F.X. Triyas Hadi Prihantoro dalam surat pembacanya yang ditayangkan Kompas (5/2/2008).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar