Sesungguhnya amanah adalah sesuatu yang besar dan memiliki kedudukan yang agung. Wajib bagi hamba Allah untuk memperhatikan dan menjaga hak-haknya, mengetahui kedudukannya, dan berupaya untuk mewujudkan dan merealisasikannya. Banyak dalil, baik dari Alquran maupun sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan tentang kedudukan amanah dan balasan yang akan didapatkan di dunia dan akhirat bagi orang yang menjaganya dan adzab bagi mereka yang menghianatinya.
Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ
“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya.” (QS. Al-Baqarah: 283)
Dalam ayat lain :
إِنَّ اللّٰـهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا۟ الْأَمٰنٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُوا۟ بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللّٰـهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓ ۗ إِنَّ اللّٰـهَ كَانَ سَمِيعًۢا بَصِيرًا ﴿النساء:٥٨﴾
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” ﴾ An Nisaa:58 ﴿
Di antara orang yang ahli itu adalah yang mampu menerapkan hukum secara adil, dan hukum yang diterapkan itu adalah hukum Allah . Dan hukum Allah itu sendiri bisa kah kita tegakkan secara adil, dan inilah salah satu kreteria orang yang ahli mengemban amanah adalah mampu menerapkan hukum Allah itu dengan baik dan maksimal sehingga hasilnya terwujud keadilan.
Amanah dalam bahasa arab berasal dari kata al Amaanah yang berarti segala yang diperintah Allah SWT kepada hamba-hambanya. Secara khusus amanah adalah sikap bertanggung jawab orang yang dititipi barang, harta atau lainnya dengan mengembalikannya kepada orang yang mempunyai barang atau harta tersebut.
Sedangkan secara umum amanah sangat luas sekali. Sehingga menyimpan rahasia, tulus dalam memberikan masukan kepada orang yang meminta pendapat dan menyampaikan pesan kepada pihak yang benar atau sesuai dengan permintaan orang yang berpesan juga termasuk amanah. Maka sifat amanah baik secara umum maupun yang khusus sangat berhubungan erat dengan sifat-sifat mulia lainnya seperti jujur, sabar, berani, menjaga kemuliaan diri, memenuhi janji dan adil.
Sahabat nabi Khudzaifah r.a. menerangkan dalam hadis yang berbunyi:
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ حَدِيْثَيْنِ رَأَيْتُ اَحَدَهُمَا وَأَنَا أَنْتَظِرُ اْلاَخَرَ.حَدَّثَنَا أَنَّ اْلأَ مَانَةَ نَزَلَتْ فِيْ جَذْرِ قُلُوْبِ الرِّجَالِ ثُمَّ عَلِمُوْامِنَ الْقُرْآنِ ثُمَّ عَلِمُوْامِنَ السُّنَّةِ وَ حَدَّثَنَا عَنْ رَفْعِهَا قَالَ يَنَامُ الرَّجُلُ النَّوْمَةَ فَتُقْبَضُ اْلأَمَانَةُ مِنْ قَلْبِهِ فَيَظَلُّ أَثَرُهَا مِثْلَ اَثَرِالْوَكْتِ ثُمَّ يَنَامُ النَّوْمَةَ فَتُقْبَضُ فَيَبْقَى اَثَرُهَا مِثْلَ اْلمَجْلِ كَجَمْرِ دَحْرَجْتَهُ عَلىَ رِجْلِكَ فَنَفِطَ فَتَرَاهُ مُنْتَبِرًاوَلَيْسَ فِيْهِ سَيْءٌ فَيُصْبِحُ النَّاسُ يَتَبَا يَعُوْنَ فَلاَيَكَادُ أَحَدٌ يُؤَدِّي اْلأَماَنَةَ فَيُقَالُ إِنَّ فِيْ بَنِيْ فُلاَنٍ رَجُلاً أَمِيْنًا وَيُقَّالُ لِلرَّجُلِ ماَأَعْقَلَهُ وَماَ اَظْرَفَهُ وَمَا اَجْلَدَهُ وَمَا فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةِ خَرْدَلٍ مِنْ اِيْمَانِ وَلَقَدْ أَتَى عَلَيَّ زَمَانٌ وَمَا أُبَا لِيْ أَيَّكُمْ بَايَعْتُ لَئِنْ كَانَ مُسْلِمًا رَدَّهُ عَلَيَّ اْلإِسْلاَمُ وَإِنْ كَانَ نَصْرَانِيًّا رَدَّهُ عَلَيَّ سَاعِيْهِ فَأَمَّا الْيَوْمَ فَمَا كُنْتُ أُبَا يِعُ إِلاَّ فُلاَنًا وَفُلاَنًا.(اَخْرَجَهُ الْبُخَا رِيُّ فِيْ كِتَابِ الرِقَاقْ)
Dari Khudzaifah berkata, Rasulullah SAW menyampaikan kepadaku dua hadis, yang satu telah saya ketahui dan yang satunya lagi masih saya tunggu. Beliau bersabda kepada kami bahwa amanah itu diletakkan di lubuk hati manusia, lalu mereka mengetahuinya dari Al Qur’an kemudian mereka ketahui dari al hadis (sunnah). Dan beliau juga menyampaikan kepada kami tentang akan hilangnya amanah. Beliau bersabda: seseorang tidur lantas amanah dicabut dari hatinya hingga tinggal bekasnya seperti bekas titik-titik. Kemudian ia tidur lagi, lalu amanah dicabut hingga tinggal bekasnya seperti bekas yang terdapat di telapak tangan yang digunakan untuk bekerja, bagaikan bara yang di letakkan di kakimu, lantas melepuh tetapi tidak berisi apa-apa. Kemudian mereka melakukan jual beli/transaksi-transaksi tetapi hampir tidak ada orang yang menunaikan amanah maka orang-orang pun berkata : sesungguhnya dikalangan Bani Fulan terdapat orang yang bisa dipercayai dan adapula yang mengatakan kepada seseorang alangkah pandainya, alangkah cerdasnya, alangkah tabahnya padahal pada hatinya tidak ada iman sedikitpun walaupun hanya sebiji sawi. Sungguh akan datang padaku suatu zaman dan aku tidak memperdulikan lagi siapa diantara kamu yang aku baiat, jika ia seorang muslim hendaklah dikembalikan kepada Islam yang sebenarnya dan juga ia seorang nasrani maka dia akan dikembalikan kepadaku oleh orang-orang yang mengusahakannya. Adapun pada hari ini aku tidak membaiat kecuali Fulan bin Fulan.(HR. Imam Bukhari).
Hadis diatas menuturkan tentang diturunkannya dan diangkatnya amanah, salah satu dari keduanya melihat bahwa sesungguhnya amanah itu kebalikan dari sifat khianat atau dengan kata lain adalah suatu beban tanggung jawab. Amanah diturunkan dalam lubuk hati orang-orang, setelah itu orang-orang mengetahui dari Al Qur’an kemudian dari Sunnah (Hadis) .
Bahwasanya amanah itu diberikan kepada orang-orang menurut fitrahnya, setelah itu dengan melalui usaha dari syariat. Adapun secara lahir yang dimaksud dengan amanah adalah suatu tanggung jawab yang telah Allah SWT bebankan kepada terhadap hamba-hambanya dan juga janji yang telah Allah SWT berikan kepada hambanya, Pengarang kitab Tahrir mengatakan bahwa yang dikehendaki amanah di bab ini adalah seperti yang terkandung dalam firman Allah SWT yang berbunyi:
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh. (QS. Al Ahzab/33: 72)
Bahwa tingkah laku atau kondisi manusia yang menyerupai ayat tadi yaitu suatu beban atau tanggung jawab yang berupa ketaatan dengan tingkah laku yang ditawarkan. Apabila amanah itu ditawarkan atau ditimpakan kepada langit, bumi dan gunung-gunung niscaya mereka enggan untuk menanggungnya karena sangat agung dan beratnya sebuah amanah untuk menanggungnya. Akan tetapi manusia dengan sifat lemah dan sedikit kemampuannya mau menanggung amanah tersebut. Sesungguhnya manusia itu termasuk orang-orang yang mendzolimi dirinya dan amat bodoh tingkahnya sekira dia mau mengemban beban suatu amanah.
Allah SWT menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunungnya maka Allah SWT berkata kepada mereka, Apakah kalian mampu menanggung amanah dengan apa yang ada didalamnya? Allah menjawab: Apabila kamu bisa mengemban dan menjaga baik amanah maka kalian akan memperoleh balasan yang banyak. Dan ketika kalian mendurhakai suatu amanah maka kalian akan mendapat siksa yang setimpal, lalu mereka menjawab: tidak ya Allah, tidak, kami tidak mengharapkan apapun dari balasan ganjaran maupun siksa karena memuliakan dan takut kepada Agama Allah SWT.
Sejatinya kesanggupan untuk memikul tanggung jawab berat ini diatas pundak adalah tindakan membahayakan diri sendiri. Karenanya manusia adalah makhluk yang mendzolimi dirinya sendiri dan jahil, tidak tahu kemampuannya sendiri. Ini jika dibandingkan dengan besarnya penolakan nafsunya untuk memikulnya. Namun demikian, jika dia bangkit dengan memikul tanggung jawab itu, saat dia sampai kepada makrifah yang menyampaikannya kepada penciptaannya, ketika dia mengambil petunjuk secara langsung dari syariat-Nya dan kala dia sangat patuh kepada kehendak Rabbnya, petunjuk dan ketaatan yang dengan mudah dicapai oleh langit, bumi, dan gunung, makhluk-makhluk yang bermakrifah dan taat kepada penciptaannya tanpa ada penghalang dari dirinya. Ketika manusia telah sampai kepada derajat ini dan dia sadar, mengerti, beriradah, maka sungguh dia telah sampai di kedudukan yang mulia, kedudukan istimewa diantara sekian makhluk Allah SWT.
عَنْ أَبِي هُرَ يْرَ ةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: إِذَاضُيِّعَتِ اْلأَمَانَةُ فَانْتَظِرِالسَّاعَةَ,كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَارَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا أُسْنِدَاْلأَمْرُ إِلىَ غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِالسَّا عَةَ. (اَخْرَجَهُ الْبُخَا رِيُّ فِيْ كِتَابِ الرِقَاقْ)
Dari Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah SAW bersabda: Apabila amanah disia-siakan maka tunggulah saat kehancurannya. Salah seorang sahabat bertanya:”Bagaimanakah menyia-nyiakannya, hai Rasulullah?” Rasulullah SAW menjawab: “Apabila perkara itu diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya (HR. Imam Bukhari).
Nabi Muhammad SAW menyebutkan tentang salah satu pertanda akan datangnya hari kiamat adalah bilamana amanah atau kepercayaan diserahkan bukan pada ahlinya. Manusia memiliki keahlian yang berbeda-beda. Idealnya seorang manusia harus mengerjakan sesuatu sesuai dengan kemampuannya. Kalau dia melakukan suatu pekerjaan yang tidak sesuai dengan maka pekerjaan tersebut akan berantakan. Kalau dia ahli pertanian janganlah disuruh memperbaiki mobil, untuk sekedar bergaya montir dan membongkar mesin mungkin bisa, tetapi memperbaiki mesinnya tidak akan bisa. Untuk itulah nabi melarang memberikan perkara kepada orang yang bukan ahlinya.
Sifat amanah memang lahir dari kekuatan iman. Semakin menipis keimanan seseorang semakin pudar pula sifat amanah pada dirinya. Berpadunya kekuatan dan amanah pada diri seorang manusia sangat jarang terdapat. Maka bila ternyata ada dua orang laki-laki satu diantaranya lebih besar amanah padanya dan yang satunya lebih besar kekuatan haruslah diutamakan mana yang lebih bermanfaat bagi bidang jabatannya itu yang lebih sedikit resikonya.
Oleh karena itu didahulukanlah dalam jabatan pimpinan peperangan, orang yang kuat fisiknya lagi berani sekalipun dia fasik daripada orang yang lemah dan tidak bersemangat sedangkan sekalipun dia seorang yang kepercayaan sebagaimana pernah ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal tentang dua orang laki-laki yang akan memimpin peperangan satu diantaranya kuat tetapi fasik, yang lain saleh tetapi lemah, dibawah komando siapa dia akan berperang? Maka beliau menjawab: Adapun orang fasik tetapi kuat, maka kekuatannya itu berguna bagi kaum Muslimin, sedang kefasikannya adalah atas tanggungan dirinya sendiri dan orang saleh tetapi lemah maka kesalehannya berguna bagi diri sendiri sedangkan kelemahannya menimbulkan hal yang tidak baik bagi kaum muslimin.
Apabila satu amanah diabaikan maka akan berakibat kehancuran, kerusakan.
Profesi adalah sebuah amanah, yang menjadi amanah kita adalah apa yang menjadi akad pekerjaan kita itu. Amanah ini terkait dengan kesanggupan kita mengembannya/memikulnya, kalau sebuah profesi kita terima saja dan kita tidak mampu melaksanaknnya, berarti kita menghadapkan diri kita kepada kehancuran. Oleh karena itu seorang mukmin harus amanah kepada ilmunya, amanah kepada pengalamannya, amanah kepada dirinya, sehingga ketika ada pilihan dia harus memilih mana yang bisa dia kerjakan, mana yang mampu dia kerjakan, mana yang di luar batas kemampuannya. Tetapi hal ini tidak menutup kita untuk berkembang atau berarti hanya memaksa kita untuk berkerja pada kemampuan kita sekarang. Karena manusai itu berkembang, bisa jadi yang sekarang tidak paham besok kita bisa paham.
Oleh karena itu untuk bisa mengimplementasikan amanah ini dalam kehidupan kita ada beberapa syarat yang harus kita miliki. Pertama manah ini adalah merupakan komitmen, bukan hanya kita dengan manusia, tetapi komitmen kita kepada Allah Ta’ala. Sehingga membuat diri kita jujur, dan yang menjadi akad/transaksi kita itu amanah yang pada hakikatnya disaksikan oleh Allah Ta’ala. Bukan hanya berarti antara kita dengan patner kita, tetapi lebih menjadi komitmen kita kepada Allah karena menjadi setiap komitmen kita harus didasari ibadah kepada Allah Ta’ala. Bahkan dahulu para shahabat ketika mereka berbaiat kepada Rasulullah shalAllah u ‘alaihi wa sallam, mereka pada hakikatnya berbaiat kepada Allah Ta’ala.
Inilah yang harus kita sadari ketika seorang mukmin ketika mengambil suatu amanah, pekerjaan, profesi yang yakin dia bisa, ingatlah bahwa dia sedang diawasi oleh Allah Ta’ala dan dia tidak boleh mengabaikan amanah, baik karena dia menyembunyikan sesuatu yang dia tidak paham, atau dia paham tetapi tidak mau melaksanakannya. Oleh karena itu komitmen kepada Allah ini harus menjadi sebuah keharusan, sebagaimana firman Allah :
يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَوْفُوا۟ بِالْعُقُودِ ۚ أُحِلَّتْ لَكُم بَهِيمَةُ الْأَنْعٰمِ إِلَّا مَا يُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّى الصَّيْدِ وَأَنتُمْ حُرُمٌ ۗ إِنَّ اللّٰـهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ ﴿المائدة:١﴾
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” ﴾ Al Maidah:1 ﴿
Hendaknya seorang mukmin melaksanakan janji-janji yang telah dia ambil. Karena melanggar janji itu adalah salah satu ciri dari kemunafikan, seperti yang Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam katakana :
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاثٌ : إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ
“Dari Abu Hurairah RA, Nabi SAW bersabda “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga, bila berkata ia dusta, bila berjanji mengingkari, dan bila dipercaya ia khianat.” (H.R Mutafaqqun Alaih)
Dan yang kedua setelah kita merasakan komitmen kita kepada Allah , agar amanah itu bisa dilaksanakan maka kita harus berlilmu. Dan tidak mungkin sesuatu itu kita lakukan tanpa ilmu, karena sekedar kemauan, keinginan saja itu tidak cukup. Dan berlaku untuk semua hal, baik dalam beribadah maupun dalam pekerjaan semuanya butuh ilmu.
Banyak kita lihat dalam masalah ibadah umat kita yang tidak paham ilmunya seperti shalat, dan di antara ilmu tentang shalat itu adalah laki-laki harus berjama’ah di masjid, tidak boleh shalat di ruang kantor. Selama kita bisa ke masjid, kita harus ke masjid, dan ilmu lain tengan shalat adalah datang ke masjid sebelum adzan bukan di rakaat aterakhir atau bahkan shalat jama’ah sudah selesai baru datang, Karena ahdholnya shalat itu tepat pada waktunya. Karena kalau kedisiplinan shalat itu diabaikan maka akan mempengaruhi kedisiplinan hidup kita secara keseluruhan.
Sehingga akan menyebabkan kurangnya produktivitas kita dalam kehidupan ini, kalau produktivitas kita itu terkait dengan uang, harta maka itu masih perkara kecil, tetapi kalau terkait dengan keimanan, ibadah maka hal ini adalah masalah besar. Sihingga kita beribadah hanya sekedar melaksanakannya saja, hal ini terjadi karena tidak ada ilmu.
Dan ilmu tentang agama ini, wajib dan penting harus kita pelajari dari pada ilmu-ilmu teknologi dunia. dan kalau kita tidak ada perhatian sama sekali kepada ilmu agama, ilmu bagaimana kita beribadah kepada Allah , maka kita telah menyia-nyiakan amanah, menyia-nyiakan kita sebagai seorang muslim. Dan Allah sudah pilih kita manusia itu adalah amanah karena manusia adalah makhluk Allah yang mulia
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِىٓ ءَادَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُم مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا ﴿الإسراء:٧۰﴾
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.“ ﴾ Al Israa':70 ﴿
Menjadi seorang muslim adalah amanah yang Allah berikan kepada kita, dalam hal ini berarti Allah telah merancang kita sukses dunia akhirat. Dan yang terpenting adalah kita jaga keimanan kita, keIslaman kita dan untuk menjaganya kita butuh ilmu. Karena tidak mungkin kita masuk surga tanpa ilmu, semuanya dengan ilmu.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ , عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , قَالَ : ” مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ….
Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata : “Barang siapa yang melangkahkan kaki dalam rangka mencari ilmu maka Allah akan mudahkan langkahnya ke surga.” (HR. Tirmidzi)
Berarti kalau kita ingin masuk surga harus dengan ilmu. Kita diciptakan Allah dalam keadaan muslim, bertempat tinggal di lingkungan mayoritas muslim, ini semua adalah amanah yang harus kita syukuri dan kita jalankan sesuai denganyang dikehendaki Allah .
Kita harus mengetahui hakikat aqidah yang benar, hakikat keimanan yang benar, harus tahu konskwensi dari keimanan, harus tahu pembatal-pembatal keimanan. Karena iman itu lah ayang akan menentukan amalan kita diterima atau tidak disisi Allah .
Setelah ada ilmu maka harus ada kejujuran, karena meskipun ada ilmu tapi tidak ada kejujuran maka tidak amanah itu terlaksanakan. Dan berbagai macam ibadah dalam Islam itu mendidik kepada kejujuran, oleh karena itu Allah ajarkan kita beibadah itu dengan niat, dan niat itu adanya di hati tidak ada yang mengetahuinya kecuali hanya Allah dan diri kita sendiri, dan kalau kita beribadah ikhlas karena Allah maka Allah terima, tetapi kalau tidak ikhlas maka Allah tolak.
Termasuk juga shalat malam ini adalah melatih kejujuran kita, sehingga jangan sampai kita shalat ketika ada orang saja, tetapi bagaimana meski tidak ada orang pun kita bisa shalat, termasuk juga puasa dan ibadah yang lainnya semuanya mengajarkan kita untuk jujur. Dan orang yang merasa aman di dunia ini adalah orang yang jujur kepada Allah Ta’ala. Rasulullah menyebutkan kejujuran adalah induk dari segala kebaikan, sedangkan dusta adalah induk dari kejahatan :
إن الصدق يهدي إلى البر ، وإن البر يهدي إلى الجنة ، وإن الرجل ليصدق حتى يكتب عند الله صديقا ، وإن الكذب يهدي إلى الفجور ، وإن الفجور يهدي إلى النار ، وإن الرجل ليكذب حتى يكتب عند الله كذابا . ( متفق عليه )
”Hendaklah kanu bersikap jujur,sebab sesungguhnya kejujuran itu menunjukan kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan itu menunjukkan kepada surga,tidak henti-hebtinya seseorang berlaku jujur dan memilih kejujuran sampai dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur.Hindarilah dusta karena dusta itu sungguh menunjukkan kepada perbuatan dosa dan perbuatan dosa menunjukkan ke neraka.Dan seseorang tidak henti-hentinya berdusta dan memilih dusta sehingga dicatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR Mutafaqun ‘Alaih)
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar