Translate

Kamis, 28 April 2016

Penjelasan Tentang Hukum Pohon Di Pemakaman

Sudah menjadi pemandangan umum di tengah-tengah masyarakat kita, ketika mengubur jenazah, atau nyekar/ziarah ke makam disertai dengan penaburan bunga di atas kuburan tersebut, bahkan tidak jarang di atasnya ditanami tanaman bunga atau yang lain. 

Dan pemakaman di tanah Jawa kebanyakan tumbuh pohon pohon besar seperti pohon beringin dan lainnya yang menambah kesejukan area pemakaman.

Ketika berziarah, rasanya tidak lengkap jika seorang peziarah yang berziarah tidak membawa air bunga ke tempat pemakaman, yang mana air tersebut akan diletakkan pada pusara. Hal ini adalah kebiasaan yang sudah merata di seluruh masyarakat. Bagaimanakah hukumnya? Apakah manfaat dari perbuatan tersebut?

Para ulama mengatakan bahwa hukum menyiram air bunga atau harum-haruman di atas kuburan adalah sunnah. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi al-Bantani dalam Nihayah al-Zain, hal. 145

وَيُنْدَبُ رَشُّ الْقَبْرِ بِمَاءٍ باَرِدٍ تَفاَؤُلاً بِبُرُوْدَةِ الْمَضْجِعِ وَلاَ بَأْسَ بِقَلِيْلٍ مِنْ مَّاءِ الْوَرْدِ ِلأَنَّ الْمَلاَ ئِكَةَ تُحِبُّ الرَّائِحَةَ الطِّيْبِ (نهاية الزين 154)

Disunnahkan untuk menyirami kuburan dengan air yang dingin. Perbuatan ini dilakukan sebagai pengharapan dengan dinginnya tempat kembali (kuburan) dan juga tidak apa-apa menyiram kuburan dengan air mawar meskipun sedikit, karena malaikat senang pada aroma yang harum. (Nihayah al-Zain, hal. 154)

Pendapat ini berdasarkan hadits Nabi;

حَدثَناَ يَحْيَ : حَدَثَناَ أَبُوْ مُعَاوِيَةَ عَنِ الأعمش عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ طاووس عن ابن عباس رضي الله عنهما عَنِ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ مَرَّ بِقَبْرَيْنِ يُعَذِّباَنِ فَقاَلَ: إِنَّهُمَا لَـيُعَذِّباَنِ وَماَ يُعَذِّباَنِ فِيْ كَبِيْرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنَ البَوْلِِ وَأَمَّا اْلآخَرُ فَكَانَ يَمْشِيْ باِلنَّمِيْمَةِ . ثُمَّ أَخُذِ جَرِيْدَةً رَطْبَةً فَشْقِهَا بِنَصْفَيْنِ، ثُمَّ غُرِزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةٍ، فَقَالُوْا: ياَ رَسُوْلَ اللهِ لِمَ صَنَعْتَ هٰذَا ؟ فقاَلَ: ( لَعَلَّهُ أَنْ يُخَفَّفَ عَنْهُمَا مَالَمْ يَيْـبِسَا) (صحيح البخارى رقم 1361)

Dari Ibnu Umar ia berkata; Suatu ketika Nabi melewati sebuah kebun di Makkah dan Madinah lalu Nabi mendengar suara dua orang yang sedang disiksa di dalam kuburnya. Nabi bersabda kepada para sahabat “Kedua orang (yang ada dalam kubur ini) sedang disiksa. Yang satu disiksa karena tidak memakai penutup ketika kencing sedang yang lainnya lagi karena sering mengadu domba”. Kemudian Rasulullah menyuruh sahabat untuk mengambil pelepah kurma, kemudian membelahnya menjadi dua bagian dan meletakkannya pada masing-masing kuburan tersebut. Para sahabat lalu bertanya, kenapa engkau melakukan hal ini ya Rasul?. Rasulullah menjawab: Semoga Allah meringankan siksa kedua orang tersebut selama dua pelepah kurma ini belum kering. (Sahih al-Bukhari, [1361])

Para Ulama menngqiyaskan/ menganalogkan/ menyamakan pelepah kurma dalam hadits di atas dengan segala macam tumbuh-tumbuhan yang masih basah sebagaimana yang di jelaskan oleh Syaikh Al-Khathib Asy-Syarbini dalam kitab Mughni Al-Muhtaj I/ 364

ويسن أيضا وضع الجريد الأخضر على القبر وكذا الريحان ونحوه من الشيء الرطب ولا يجوز للغير أخذه من على القبر قبل يبسه لأن صاحبه لم يعرض عنه إلا عند يبسه لزوال نفعه الذي كان فيه وقت رطوبته وهو الاستغفار ( و ) أن يوضع ( عند رأسه حجر أو خشبة ) أو نحو ذلك لأنه صلى الله عليه وسلم وضع عند رأس عثمان بن مظعون صخرة وقال أتعلم بها قبر أخي لأدفن إليه من مات من أهلي رواه أبو داود وعن الماوردي استحباب ذلك عند رجليه أيضا

“Disunnahkan menaruh pelepah kurma hijau (basah) di atas kuburan, begitu juga tumbuh-tumbuhan yang berbau harum dan semacamnya yang masih basah dan tidak boleh bagi orang lain mengambilnya dari atas kuburan sebelum masa keringnyakarena pemiliknya tidak akan berpaling darinya kecuali setelah kering sebab telah hilangnya fungsi penaruhan benda-benda tersebut dimana selagi benda tersebut masih basah maka akan terus memohonkan ampunan padanya

Dan hendaknya ditaruh batu, atau sepotong kayu atau yang semacamnya dekat kepala kuburan mayat karena Nabi Muhammad SAW meletakkan sebuah batu besar didekat kepala ‘Utsman Bin madz’un seraya berkata : “Aku tandai dengan batu kuburan saudaraku agar aku kuburkan siapa saja yang meninggal dari keluargaku” (HR. Abu Daud).  

Menurut Imam mawardy kesunahan meletakkan tanda tersebut juga berlaku di dekat kedua kaki mayat”

Lebih ditegaskan lagi dalam I’anah al-Thalibin;

يُسَنُّ وَضْعُ جَرِيْدَةٍ خَضْرَاءَ عَلَى الْقَبْرِ لِلْإ تِّباَعِ وَلِأَنَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُ بِبَرَكَةِ تَسْبِيْحِهَا وَقيِْسَ بِهَا مَا اعْتِيْدَ مِنْ طَرْحِ نَحْوِ الرَّيْحَانِ الرَّطْبِ (اعانة الطالبين ج. 2، ص119 )

Disunnahkan meletakkan pelepah kurma yang masih hijau di atas kuburan, karena hal ini adalah sunnah Nabi Muhammad Saw. dan dapat meringankan beban si mayat karena barokahnya bacaan tasbihnya bunga yang ditaburkan dan hal ini disamakan dengan sebagaimana adat kebiasaan, yaitu menaburi bunga yang harum dan basah atau yang masih segar. (I’anah al-Thalibin, juz II, hal. 119)

Dan ditegaskan juga dalam Nihayah al-Zain, hal. 163

وَيُنْدَبُ وَضْعُ الشَّيْءِ الرَّطْبِ كَالْجَرِيْدِ الْأَحْضَرِ وَالرَّيْحَانِ، لِأَنَّهُ يَسْتَغْفِرُ لِلْمَيِّتِ مَا دَامَ رَطْباً وَلَا يَجُوْزُ لِلْغَيْرِ أَخْذُهُ قَبْلَ يَبِسِهِ. (نهاية الزين 163)

Berdasarkan penjelasan di atas, maka memberi harum-haruman di pusara kuburan itu dibenarkan termasuk pula menyiram air bunga di atas pusara, karena hal tersebut termasuk ajaran Nabi (sunnah) yang memberikan manfaat bagi si mayit.

Berkiblat dari hadits shahih dan penjelasan inilah umat Islam melakukan ajaran Nabi SAW, untuk menziarahi kuburan sanak famili dan orang-orang yang dikenalnya untuk mendoakan penduduk kuburan. Dari hadits ini pula umat Islam belajar pengamalan nyekar bunga di atas kuburan.

Tentunya kondisi alam di Makkah dan Madinah saat Nabi SAW masih hidup, sangat berbeda dengan situasi di Indonesia. Maksudnya, Nabi SAW saat itu melakukan nyekar dengan menggunakan pelepah korma, karena pohon korma sangat mudah didapati di sana, dan sebaliknya sangat sulit menemui jenis pepohonan yang berbunga. Sedangkan masyarakat Indonesia berdalil bahwa yang terpenting dalam melakukan nyekar saat berziarah kubur, bukanlah faktor pelepah kormanya, yang kebetulan sangat sulit pula ditemui di Indonesia , namun segala macam jenis pohon, termasuk juga jenis bunga dan dedaunan, selagi masih segar, maka dapat memberi dampak positif bagi mayyit yang berada di dalam kubur, yaitu dapat memperingan siksa kubur sesuai sabda Nabi SAW.

Karena Indonesia adalah negeri yang sangat subur, dan sangat mudah bagi masyarakat untuk menanam pepohonan di mana saja berada, ibarat tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Maka masyarakat Indonesia-pun menjadi kreatif, yaitu disamping mereka melakukan nyekar dengan menggunakan berbagai jenis bunga dan dedaunan yang beraroma harum, karena memang banyak pilihan dan mudah ditemukan di Indonesia, maka masyarakat juga  rajin menanam berbagai jenis pepohonan di tanah kuburan, tujuan mereka hanya satu yaitu mengamalkan hadits Nabi SAW, dan mengharapkan kelanggengan peringanan siksa bagi sanak keluarga dan handai taulan yang telah terdahulu menghuni tanah pekuburan. Karena dengan menanam pohon ini, maka kualitas kesegarannya pepohonan bisa bertahan relatif sangat lama.

Memang Nabi SAW tidak mencontohkan secara langsung penanaman pohon di tanah kuburan. Seperti halnya Nabi SAW juga tidak pernah mencontohkan berdakwah lewat media cetak, elektronik, bahkan lewat dunia maya, karena situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan Nabi SAW melakukannya. Namun para ulama kontemporer dari segala macam aliran pemahaman, saat ini marak menggunakan media cetak, elektronik, dan internet sebagai fasilitas penyampaian ajaran Islam kepada masyarakat luas, tujuannya hanya satu yaitu mengikuti langkah dakwah Nabi SAW, namun dengan asumsi agar dakwah islamiyah yang mereka lakukan lebih menyentuh masyarakat luas, sehingga pundi-pundi pahala bagi para ulama dan da’i akan lebih banyak pula dikumpulkan. Yang demikian ini memang sangat memungkinkan dilakukan pada jaman modern ini.

Jadi, sama saja dengan kasus nyekar yang dilakukan masyarakat muslim di Indonesia, mereka bertujuan hanya satu, yaitu mengikuti jejak nyekarnya Nabi SAW, namun mereka menginginkan agar keringanan siksa bagi penghuni kuburan itu bisa lebih langgeng, maka masyarakat-pun menanam pepohonaan di tanah pekuburan, hal ini dikarenakan sangat memungkinkan dilakukan di negeri yang bertanah subur ini, bumi Indonesia dengan penduduk muslim asli Sunny Syafii.

Ternyata dari satu amalan Nabi dalam menziarahi dua kuburan dari orang yang tidak dikenal, dan memberikan solusi amalan nyekar dengan penancapan pelepah korma di atas kuburan mayyit, dengan tujuan demi peringanan siksa kubur yang tengah mereka hadapi, menunjukkan bahwa keberadaan Nabi SAW adalah benar-benar rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam, termasuk juga alam kehidupan dunia kasat mata, maupun alam kubur, bahkan bagi alam akhirat di kelak kemudian hari.

Diriwayatkan sesungguhnya Bilal -radliyallahu anhu- ketika berziarah ke makam Rasulullah -shallallahu alayhi wa sallam- menangis dan mengosok-gosokkan kedua pipinya di atas makam Rasulullah -shallallahu alayhi wa sallam- yang mulia. Diriwayatkan pula bahwa Abdullah bin Umar -radhiyallahu anhuma- meletakkan tangan kanannya di atas makam Rasulullah -shallallahu alayhi wa sallam-. Keterangan ini dijelaskan oleh Al-Khathib Ibnu Jumlah (lihat kitab Wafa’ul wafa’, karya As-Samhudi, Juz 4 hlm. 1405 dan 1409).

Imam Ahmad dengan sanad yang baik (hasan) menceritakan dari Al-Mutthalib bin Abdillah bin Hanthab, dia berkata : “Marwan bin al-Hakam sedang menghadap ke arah makam Rasulullah -shallallahu alayhi wa sallam-, tiba-tiba ia melihat seseorang sedang merangkul makam Rasulullah. Kemudian ia memegang kepala orang itu dan berkata: ‘Apakah kau tahu apa yang kau lakukan?’. Orang tersebut menghadapkan wajahnya kepada Marwan dan berkata: ‘Ya saya tahu! Saya tidak datang ke sini untuk batu dan bata ini. Tetapi saya datang untuk sowan kepada Rasulullah -shallallahu alayhi wa sallam-’. Orang itu ternyata Abu Ayyub Al-Anshari -radliyallahu anhu-. (Diriwayatkan Imam Ahmad, 5;422 dan Al-Hakim, 4;560)

Diceritakan dari Imam Ahmad bin Hanbal -rahimahullah- bahwa beliau ditanya mengenai hukum mencium makam Rasulullah -shallallahu alayhi wa sallam- dan mimbarnya. Beliau menjawab: “Tidak apa-apa”. Keterangan disampaikan As-Samhudi dalam kitab Khulashah al-Wafa.

وأما غرس الشجر على القبر وسقيها فإن أدى وصول النداوة أو عروق الشجر إلى الميت حرم ، وإلا كره كراهة شديدة ، وقد يقال يحرم

Sedangkan menanam pohon di atas kuburan dan menyiraminya adalah apabila akar atau dahan pohon tersebut dapat mencapai pada mayat hukumnya haram sedang bila tidak sampai pada mayat hukumnya makruh sekali, bahkan ada yang menghukuminya juga haram. (Bughyah Almustarsyidiin I/202)

حكم الشجر النابت في أرض موقوفة لسكنى المسلمين أو المقبرة المسبلة أو الموقوفة الإباحة تبعاً لها

HUKMUSYSYAJARI ANNAABITI FII ARDHIN MAUQUUFATIN LISUKNAL MUSLIMIIN AU AL MAQBARAH AL MUSABBALAH AU AL MAUQUUFAH AL IBAAHAH TABA'AN LAHAA

hukum pohon yang tumbuh di tanah yang diwakafkan untuk didiami umat islam atau di kuburan musabbal (diperbolehkan untuk umum) atau kuburan wakaf adalah IBAAHAH (diperbolehkan) mengikuti dengan tanah atau kuburan tsb

Bila yang memotongnya atas nama perorangan tidak diperbolehkan, bila penguasa setempat, pengelola tanah wakaf maka boleh saat terjadi darurat.

( وسئل ) العلامة الطنبداوي في شجرة نبتت بمقبرة مسبلة ولم يكن لها ثمر ينتفع به إلا أن بها أخشابا كثيرة تصلح للبناء ولم يكن لها ناظر خاص فهل للناظر العام أي القاضي بيعها وقطعها وصرف قيمتها إلى مصالح المسلمين ( فأجاب ) نعم للقاضي في المقبرة العامة المسبلة بيعها وصرف ثمنها في مصالح المسلمين كثمر الشجرة التي لها ثمر فإن صرفها في مصالح المقبرة أولى هذا عند سقوطها بنحو ريح وأما قطعها مع سلامتها فيظهر إبقاوها للرفق بالزائر والمشيع

Al-‘Allamah at-Thonbaawy ditanyai mengenai pepohonan dimakam umum yang tidak dapat diambil manfaat buahnya selain memiliki dahan-dahan kayu yang dapat membuat kesejuakan, ia tidak dimiliki oleh pengelola wakaf khusus, maka bolehkah bagi pihak pengelola umum (penguasa) menjual, memotong dan mentasarufkan uang hasil penjualannya kemashlahat-maslahat umat islam ?

Beliau menjawab “Ya, bagi penguasa boleh menjual dan menggunakan uangnya demi kemashlahatan umat islam sebagaimana buahnya namun bila dipergunakan demi kepentingan tanah makam lebih utama, yang demikian saat pohon tersebut tumbang sendiri oleh semacam angin sedang memotongnya sementara ia masih kuat dan selamat maka yang dhahir ia dipertahankan demi memberi kesejukan peziarah. (Fath al-Mu’iin I/184)

قال بَعْضُهُمْ وَأَمَّا قَطْعُهَا مع قُوَّتهَا وَسَلَامَتِهَا فَيَظْهَرُ إبْقَاؤُهَا لِلرِّفْقِ بِالزَّائِرِ وَالْمُشَيِّع ا هـ
وَاَلَّذِي يَظْهَرُ أَنَّهُ يُرْجَعُ فيها لِنَظَرِ الْقَاضِي الْمَذْكُورِ فَإِنْ اُضْطُرَّ لِقَطْعِهَا لِاحْتِيَاجِ مَصَالِحِ الْمَقْبَرَةِ إلَى مَصْرِفٍ وَتَعَيَّنَ فيها قَطْعُهَا وَإِلَّا فَلَا وَاَللَّهُأَعْلَمُ

Sebagian Ulama berkata “sedang memotongnya sementara ia masih kuat dan selamat maka yang dhahir ia dipertahankan demi memberi kesejukan peziarah”
Yang jelas dalam hal ini permasalahannya dikembalikan pada penguasa, bila situasi mendorong untuk memotongnya demi kemashlahatan makam dan hanya ini solusinya maka potonglah, bila tidak maka jangan dipotong. (Al-Fataawa al-Kubra III/256)

Disunnahkan memancang dahan/ranting kayu yang basah di kuburan muslim sebagaimana fatwa para ulama Syafi’iyah, karena itu dapat meringankan azab berdasarkan hadits shahih. Namun kebiasaan di sebagian daerah , dimana pada waktu-waktu tertentu ada kebiasaan keluarga mayat untuk membersihkan rumput-rumput atau pohon kayu lainnya supaya kuburan nampak bersih dan tidak bersemak.
Berikut ini mari kita simak pendapat-pendapat ulama yang berkenaan dengan masalah ini, yakni antara lain:
1. Qalyubi mengatakan dalam kitabnya sebagai berikut :
وَلَا يَجُوزُ لِغَيْرِ مَالِكِهِ أَخْذُهُ مَا دَامَ رَطْبًا لِتَعَلُّقِ حَقِّ الْمَيِّتِ بِهِ، وَإِذَا جَفَّ جَازَ لِكُلِّ أَحَدٍ أَخْذُهُ، وَلَوْ كَانَ مَنْ وَقَفَ عَلَيْهِ لِجَرَيَانِ الْعَادَةِ بِهِ
“Tidak boleh atas bukan pemilik dahan kurma itu mengambilnya selama ia masih basah karena masih tersangkut hak mayat padanya dan apabila sudah kering, maka dibolehkan mengambilnya bagi siapa saja, meskipun diwaqafkan kayu tersebut atas mayat tersebut, karena berlaku adat dengan demikian.
2. Dalam kitab Fathul Mu’in disebutkan :‎
ويحرم أخذ شئ منهما ما لم يبيسا لما في أخذ الأولى من تفويت حق الميت.....
“Haram mengambil sesuatu dari keduanya selama keduanya itu kering, karena dalam hal mengambil yang pertama (mengambil dahan kurma) ada menghilangkan hak mayat.
Dalam mengomentari perkataan pengarang Fathul Mu’in di atas, pengarang I’anah al-Thalibin menjelaskan sebagai berikut :
(قوله: ويحرم أخذ شئ منهما) أي من الجريدة الخضراء، ومن نحو الريحان الرطب.وظاهره أنه يحرم ذلك مطلقا، أي على مالكه وغيره. وفي النهاية: ويمتنع على غير مالكه أخذه من على القبر قبل يبسه، فقيد ذلك بغير مالكه. وفصل ابن قاسم بين أن يكون قليلا كخوصة أو خوصتين، فلا يجوز لمالكه أخذه، لتعلق حق الميت به، وأن يكون كثيرا فيجوز له أخذه.

“(Perkataan pengarang : Haram mengambil sesuatu‎ dari keduanya), yakni pelepah kurma yang masih basah dan tumbuh-tumbuhan harum yang masih basah. Dhahirnya haram demikian itu secara mutlaq, yakni atas pemiliknya dan lainnya. Namun dalam kitab al-Nihayah disebutkan, terlarang atas bukan pemiliknya mengambilnya dari atas kuburan sebelum kering, dengan dikaitkan yang demikian itu dengan bukan pemiliknya. Ibnu Qasim membedakan antara yang sedikit seperti sehelai atau dua helai daun, maka tidak boleh sipemilik mengambilnya dan antara yang banyak, maka boleh mengambilnya.”
3. Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan :

وَيَحْرُمُ أَخْذُ ذَلِكَ كَمَا بَحَثَ لِمَا فِيهِ مِنْ تَفْوِيتِ حَقِّ الْمَيِّتِ وَظَاهِرُهُ أَنَّهُ لَا حُرْمَةَ فِي أَخْذِ يَابِسٍ أَعْرَضَ عَنْهُ لِفَوَاتِ حَقِّ الْمَيِّتِ بِيُبْسِهِ

“Haram mengambil itu (dahan kurma) sebagaimana pembahasannya , karena menghilangkan hak mayat . Dhahirnya tidak diharamkan mengambil yang sudah kering yang sudah dibiarkannya karena telah hilang hak mayat dengan sebab keringnya.”
Syarwani dalam mengomentari perkataan al-Haitamy di atas, menjelaskan sebagai berikut :

وَ (قَوْلُهُ وَيَحْرُمُ أَخْذُ ذَلِكَ) أَيْ عَلَى غَيْرِ مَالِكِهِ نِهَايَةٌ وَمُغْنِي قَالَ ع ش قَوْلُهُ م ر مِنْ الْأَشْيَاءِ الرَّطْبَةُ يَدْخُلُ فِي ذَلِكَ الْبِرْسِيمِ وَنَحْوِهِ مِنْ جَمِيعِ النَّبَاتَاتِ الرَّطْبَةِ وَقَوْلُهُ م ر عَلَى غَيْرِ مَالِكِهِ أَيْ أَمَّا مَالِكُهُ فَإِنْ كَانَ الْمَوْضُوعُ مِمَّا يُعْرَضُ عَنْهُ عَادَةً حَرُمَ عَلَيْهِ أَخْذُهُ لِأَنَّهُ صَارَ حَقًّا لِلْمَيِّتِ وَإِنْ كَانَ كَثِيرًا لَا يُعْرَضُ عَنْ مِثْلِهِ عَادَةً لَمْ يَحْرُمْ سم عَلَى الْمَنْهَجِ
“(Dan perkataan pengarang : Haram mengambil itu) yakni atas bukan pemiliknya, demikian kitab Nihayah dan Mughni. Ali Syibran al-Malusi mengatakan, perkataan al-Ramli : “dari sesuatu yang basah” termasuk rumput-rumput dan yang seumpama dengannya berupa semua tumbuh-tumbuhan yang basah dan perkataan al-Ramli : “atas bukan pemiliknya” yakni adapun pemiliknya jika yang diletak itu sesuatu yang dibiarkan (tidak dipeduli orang) pada kebiasaan, maka haram atasnya mengambilnya, karena itu menjadi hak mayat dan jika banyak yang tidak dibiarkan yang sebanding dengannya pada kebiasaan, maka tidak haram mengambilnya, demikian Ibnu Qasim ‘ala Minhaj.”

4. Khatib Syarbaini mengatakan :‎

وَلَا يَجُوزُ لِلْغَيْرِ أَخْذُهُ مِنْ عَلَى الْقَبْرِ قَبْلَ يُبْسِهِ لِأَنَّ صَاحِبَهُ لَمْ يُعْرِضْ عَنْهُ إلَّا عِنْدَ يُبْسِهِ لِزَوَالِ نَفْعِهِ الَّذِي كَانَ فِيهِ وَقْتَ رُطُوبَتِهِ وَهُوَ الِاسْتِغْفَارُ
“Tidak boleh atas selain pemilik dahan kurma itu mengambilnya dari atas kubur sebelum keringnya, karena pemiliknya belum membiarkannya kecuali sesudah kering dengan sebab hilang manfaatnya yang ada sewaktu basah, yakni istighfar.”
5. Al-Bujarumi mengatakan :

وَحَاصِلُهُ أَنَّهُ إنْ كَانَ الشَّيْءُ الْأَخْضَرُ قَلِيلًا كَخُوصَةٍ أَوْ خُوصَتَيْنِ مَثَلًا لَا يَجُوزُ لَهُ أَخْذُهُ وَهُوَ أَخْضَرُ لِأَنَّهُ صَارَ حَقًّا لِلْمَيِّتِ فَحُرِّمَ أَخْذُهُ، أَمَّا إذَا كَانَ كَثِيرًا فَإِنَّهُ يَجُوزُ الْأَخْذُ مِنْهُ؛ فَيَجُوزُ لِمَنْ وَضَعَ خُوصًا كَثِيرًا مَثَلًا عَلَى قَبْرٍ الْأَخْذُ مِنْهُ لِيَضَعَهُ عَلَى قَبْرٍ آخَرَ وَهَكَذَا، وَهَذَا كُلُّهُ فِيمَا إذَا كَانَ الْخُوصُ مَثَلًا أَخْضَرَ لَمْ يَيْبَسْ وَكَانَ الْآخِذُ لَهُ مَالِكَهُ.
“Kesimpulannya, apabila sesuatu yang basah itu sedikit seperti sehelai daun atau dua helai, maka tidak boleh atas pemiliknya mengambilnya, sedangkan sesuatu itu masih basah, karena masih menjadi hak mayat, karena itu haram mengambilnya. Adapun apabila banyak, maka dibolehkan. Karena itu, dibolehkan bagi orang-orang yang meletakkan semisal helai yang banyak atas kubur mengambilnya untuk meletaknya atas kuburan yang lain dan seterusnya. Ini semua dalam hal semisal helai daun itu masih basah dan tidak kering serta yang mengambilnya adalah pemiliknya.”

Takhtimah‎

1. Bagi yang bukan pemilik dahan kayu yang ditancap atas kuburan itu haram mengambilnya selama dahan kayu itu masih basah. Adapun apabila sudah kering, maka dibolehkan mengambilnya oleh siapapun.
2. Bagi pemiliknya yang menancapkan kayu tersebut dengan tujuan bermanfaat bagi mayat dibolehkan mengambilnya, meskipun masih basah apabila kayu yang ditancap itu banyak. Adapun apabila sedikit, maka tetap haram.
3. Adapun mengenai rumput-rumput atau kayu basah lainnya yang tumbuh sendiri di atas kuburan seperti beringin dan pohon lainnya, maka menurut hemat kami, apabila sipemilik tanah kuburan atau yang menguasainya seandainya dalam membiarkan kayu tersebut karena bertujuan bermanfaat bagi mayat, maka hukumnya berlaku sebagaimana halnya hukum pemilik kayu yang menancapkan dengan sengaja kayu tersebut di atas kuburan dengan segala rinciannya. Adapun apabila sipemilik tanah atau yang menguasainya tidak meniatkan apa-apa dalam hal membiarkan rumput dan kayu lainnya yang tumbuh di atas kuburan, maka tidak mengapa menghilangkannya secara mutlaq. Hal ini karena tidak ada alasan hukum (‘illah) yang terdapat dalam kasus kayu yang ditancap secara sengaja di atas kuburan. Namun demikian, sebaiknya rumput-rumput dan kayu basah lainnya yang tumbuh sendiri tetap dibiarkannya di atas kuburan karena itu dapat bermanfaat bagi mayat dan menambah kesejukan pemakaman, tetapi apabila memang rumput-rumput dan kayu tersebut dapat menghalang orang-orang berziarah ke kuburan atau membuat orang-orang enggan ke kuburan, maka sebaiknya dapat dihilangkan rumput dan kayu tersebut sesuai dengan kemaslahatannya. 

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar