Translate

Minggu, 10 April 2016

Penjelasan Tentang Siwak Dan Kesunahannya

Anda pernah melihat orang yang menyikat gigi tidak dengan sikat gigi, tetapi dengan menggunakan “kayu” dari ranting pohon. Mungkin bagi anda yang muslim pernah melihat saudara anda sesama muslim yang lain menyikat gigi dengan “kayu” dari ranting pohon tersebut.

Kayu dari ranting pohon tersebut biasa disebut siwak atau miswak. Siwak atau miswak dikenal dengan nama ilmiah (Salvadora Persica). Kayu ini biasa digunakan untuk menggantikan fungsi sikat gigi dan pasta gigi. Jika melongok ke dunia barat siwak atau miswak adalah suatu yang asing, tidak biasa dan mungkin saja “aneh”. Namun sebaliknya jika anda berkunjung ke negara-negara muslim.

Mayoritas orang-orang di negara-negara muslim menggunakannya utuk menyikat gigi sehari-hari. Walaupun mungkin kedengarannya kuno menggunakan kayu dari ranting dari pohon untuk membersihkan gigi anda, studi yang dilakukan pada siwak atau miswak membuktikan sebaliknya. Pasta gigi siwak atau miswak lebih baik digunakan untuk mencegah penyakit gusi.

Awal penggunaan siwak
Hal yang menjadi pertanyaan kini adalah, mengapa orang berpikir menggunakan ranting pohon untuk membersihkan gigi mereka? Kenyataannya manusia dahulu tidak memiliki fasilitas untuk menyikat gigi. Itu jawaban yang kemudian mengantar orang-orang di zaman dahulu untuk mencari alternatif bahan pembersih gigi mereka. Anda mungkin bertanya-tanya pula darimana miswak didapatkan. Ya, miswak diperoleh dari ranting  pohon Arak (pohon Peelu) meskipun beberapa pohon lainnya juga dapat digunakan seperti walnut dan zaitun.

Penggunaan Miswak tersebar di penduduk muslim di dunia, dan merupakan entitas umum di negara-negara Muslim. Alasan umum penggunaan Miswak oleh umat Islam dikaitkan dengan agama. Dimana budaya dan tradisi penggunaan siwak atau miswak telah lama terjadi di negara-negara muslim. Terdapat 70 keunggulan Miswak yang dijelaskan dalm Islam dan banyak literatur telah membuktikannya secara ilmiah.

Memakai siwak termasuk syari'at umat-umat terdahulu. Hal ini terbukti dengan adanya sabda Nabi : 


نِعْمَ السِّوَاكُ الزَّيْتُوْنُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ يُطَيِّبُ الْفَمَ وَيُذْهِبُ بِالْحَفَرِ هُوَ سِوَاكِيْ وَسِوَاكُ اْلأَنْبِيَاءِ قَبْلِيْ .(رواه الطبراني)

"Sebaik-baik alat siwak ialah kayu Zaitun. Berasal dari pohon yang diberkahi, dapat menyegarkan bau mulut, dan menghilangkan warna kuning pada gigi. Ini ialah alat siwakku dan para Nabi sebelumku." (H.R. Ath-Thabrâny)‎
Makna siwak‎

Bahwa kalimat “siwak” secara bahasa, pada asalnya diperuntukkan untuk aktifitas menggosok gigi, tanpa memperhatikan jenis alat yang digunakan untuk menggosok gigi. Lalu disebutlah alat yang dipakai untuk gosok gigi dengan sebutan “siwak” sedangkan secara adat kata “siwak” lebih banyak digunakan untuk menyebut “ranting pohon al-arok (yang dikenal dengan kayu siwak, pent.)”.

Berikut ini beberapa keterangan ulama tentang makna siwak

Berkata Az-Zubaidi:

ساكَ الشَّيءَ يَسُوكُه سَوْكًا : دَلَكَه ، ومِنْهُ أُخِذَ المِسواكُ

“Saaka asy-syai`a yasuukuhu saukan maknanya yaitu mengosok sesuatu. Darinya diambil kata “miswak” (alat untuk gosok gigi)” (Taajul Aruus: 27/215).

Ibnu Daqiq Al-‘Id menyatakan bahwa,siwak adalah suatu istilah yang disebutkan untuk menunjukkan makna perbuatan, bentuk katanya (dalam bahasa Arab) adalah isim mashdar. Di antara dalilnya adalah hadits:

السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ ، مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ

“Siwak itu membersihkan mulut dan menyebabkan (didapatkannya) keridhoan Ar-Rabb (Allah)”.

Para ulama ahli fikih pun mengatakan bahwa siwak hukumnya sunnah dan tidak wajib, serta pernyataan-pernyataan selain itu yang tidak mungkin disifati dengannya kecuali sebuah perbuatan. Di samping itu kata “siwak” (juga bisa) dimaksudkan untuk makna alat yang digunakan untuk menggosok gigi (Syarhul Ilmam:1/10).

Berkata Ibnul Atsir:

“والْمِسْوَاكُ: مَا تُدْلَكُ بِهِ الأسْناَن مِنَ العِيدانِ ، يُقَالُ سَاكَ فَاه يَسُوكُهُ : إِذَا دَلَكه بالسِّواك”

Al-Miswak adalah alat yang digunakan untuk menggosok gigi berupa ranting (misalnya, pent.). Seseorang itu dikatakan saaka faahu yasuukuhu jika ia menggosok giginya dengan siwak (An-Nihayah fi gharibil Hadits wal Atsar: 2/425).

Berkata Imam An-Nawawi:

السِّوَاك: هُوَ اسْتِعْمَال عود، أَو نَحوه، فِي الْأَسْنَان لإِزَالَة الْوَسخ، وَهُوَ من ساك، إِذا دلك، وَقيل من التساوك، وَهُوَ التمايل

Siwak adalah penggunaan sebuah ranting pohon atau semisalnya pada gigi untuk menghilangkan kotoran. Kata ini berasal dari kata“ saaka” jika dia menggosok (gigi). Ada pula yang mengatakan “Diambil dari kata “At-Tasaawuk” yaitu At-Tamaayul.” (Tahriru Alfaazhit Tanbih, hal. 33).

Maka (kesimpulannya):

Siwak (gosok gigi) itu bukan terbatas pada (menggunakan) ranting pohonarok (kayu siwak) sebagaimana dipahami oleh sebagian orang, bahkan (sebenarnya) siwak adalah sebuah istilah bagi  aktifitas gosok gigi dan membersihkannya dengan alat apapun  juga, mencakup ranting apapun juga yang bisa digunakan untuk membersihkan gigi. Ahli bahasapun tidak membatasi siwak dengan ranting pohon arok (kayu siwak).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya menggunakan ranting pohon Al-Arok(kayu siwak) saja

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatasi diri  dalam menggosok gigi dengan menggunakan ranting pohon Al–Arok (kayu siwak) saja. Selain menggunakan ranting pohon Al–Arok beliau juga menggunakan ranting pohon yang lainnya. Di antara dalil yang menyebutkan bahwa beliau menggosok gigi dengan ranting pohon Al–Arok(kayu siwak) adalah riwayat dari Abdullah bin Mas’ud, beliau berkata:

كُنْتُ أَجْتَنِي لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِوَاكًا مِنَ الْأَرَاكِ…

“Saya dulu pernah mengambilkan kayu siwak dari pohon Al-Arok  untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam…” (HR. Ahmad (3991), Abu Ya’la Al-Mushili dalam musnadnya (9/209) dan ini adalah lafadz beliau.).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun juga menggosok gigi dengan ranting dari pohon kurma (Adapun dalilnya adalah riwayat) dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, berkata

” تُوُفِّيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِي ، وَفِي يَوْمِي ، وَبَيْنَ سَحْرِي وَنَحْرِي، وَكَانَتْ إِحْدَانَا تُعَوِّذُهُ بِدُعَاءٍ إِذَا مَرِضَ ، فَذَهَبْتُ أُعَوِّذُهُ ، فَرَفَعَ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ ، وَقَالَ: (فِي الرَّفِيقِ الأَعْلَى ، فِي الرَّفِيقِ الأَعْلَى). وَمَرَّ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ وَفِي يَدِهِ جَرِيدَةٌ رَطْبَةٌ ، فَنَظَرَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَظَنَنْتُ أَنَّ لَهُ بِهَا حَاجَةً ، فَأَخَذْتُهَا، فَمَضَغْتُ رَأْسَهَا، وَنَفَضْتُهَا، فَدَفَعْتُهَا إِلَيْهِ، فَاسْتَنَّ بِهَا كَأَحْسَنِ مَا كَانَ مُسْتَنًّا ، ثُمَّ نَاوَلَنِيهَا، فَسَقَطَتْ يَدُهُ، أَوْ: سَقَطَتْ مِنْ يَدِهِ ، فَجَمَعَ اللَّهُ بَيْنَ رِيقِي وَرِيقِهِ فِي آخِرِ يَوْمٍ مِنَ الدُّنْيَا، وَأَوَّلِ يَوْمٍ مِنَ الآخِرَةِ “

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat di rumahku, pada hari giliran yang menjadi jatahku dan (kepala beliau bersandar) di antara dada dan leherku.”

Salah seorang dari kami dahulu terbiasa membacakan do’a kepada beliau ketika beliau sakit. Lalu aku pun mendoakannya. Kemudian beliau mengangkat kepala (pandangan)nya ke atas dan mengucapkan,

فِي الرَّفِيقِ الأَعْلَى ، فِي الرَّفِيقِ الأَعْلَى

“Ya Allah, jadikanlah aku bersama dengan golongan teman-teman yang terbaik di Surga yang tertinggi, Ya Allah, jadikanlah aku bersama dengan golongan teman-teman yang terbaik di Surga yang tertinggi“.

Lalu Abdurrahman bin Abu Bakr masuk sedangkan di tangannya ada ranting kayu siwak dari pohon kurma yang masih basah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menatapnya, saya menyangka beliau membutuhkan siwak tersebut.

Maka aku mengambilnya, mengunyah ujungnya dan mengibas-ngibaskannya, kemudian akupun menyerahkannya kepada beliau. Kemudian beliau menggosok gigi menggunakan ranting tersebut, dengan sebaik-baik cara bersiwak yang pernah beliau lakukan.

Setelah itu beliau memberikannya kepadaku, namun tangannya terjatuh atau ranting kayu siwak dari pohon kurma tersebut jatuh dari tangannya.

Maka Allah mengumpulkan antara air liurku dengan air liur beliau pada hari-hari terakhir beliau di Dunia dan pada hari-hari pertama di Akhirat kelak” (HR. Al-Bukhari no. 4451).

“Jaridah adalah ranting pohon kurma“. (Thalabuth Thalabah, hal. 161).

Berkata Al-Fayumi: “Jarid adalah ranting pohon kurma. Kata tunggalnya adalah jaridah. Dinamakan dengan jaridah (artinya: sesuatu yang dihilangkan, pent.) jika dihilangkan darinya daun yang melekat padanya (Al-Mishbah Al-Munir: 1/96).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah membatasi bersiwak dengan ranting kayu tertentu kepada para Sahabatradhiyallahu ‘anhum

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memerintahkan siwak (gosok gigi), tidaklah pernah membatasi dengan ranting kayu tertentu kepada para Sahabat radhiyallahu ‘anhum untuk diambil (sebagai sikat gigi) darinya. Dahulu bangsa Arab menggosok gigi dengan berbagai macam ranting (untuk sikat gigi).

Disebutkan dalam Al-Bayan wat Tabayyun karya Syaikh Al-Jahizh (3/77) :

قضبان المساويك : البشام، والضّرو، والعُتم والأراك، والعرجون، والجريد، والإسحل (وكلها أسماء أشجار معروفة عند العرب).

“Ranting-ranting kayu untuk gosok gigi (contohnya) Al-Basyam, Adh-dhorwu, Al-Utumu, Al-Arok, Al-‘Urjun, Al-Jarid, dan Al-Ishal” (Semuanya adalah nama-nama pohon yang dikenal oleh bangsa Arab) (Lihat pula: Musykilat Muwaththa` Malik bin Anas karya Al-Bathliyusi, hal. 72).

Ibnu Abdil Barr menyatakan:

وَكَانَ سِوَاكُ الْقَوْمِ: الْأَرَاكَ ، وَالْبَشَامَ ، وَكُلَّ مَا يَجْلُو الْأَسْنَانَ وَلَا يُؤْذِيهَا وَيُطَيِّبُ نَكْهَةَ الفم: فجائز الاستنان به

Dahulu ranting kayu untuk gosok gigi bagi kaum (bangsa Arab) adalah  Al-Arok,  Al-Basyam dan segala sesuatu yang bisa membersihkan gigi, tidak menyakitinya, bahkan mengharumkan bau mulut, maka semua itu boleh dipakai untuk menggosok gigi. (Al-Istidzkar: 1/365).

Para Ahli Fikih tidak pernah membatasi bersiwak dengan ranting kayu tertentu dalam membahas fikih tentang siwak di kitab-kitab mereka

Para Ahli Fikih tidak pernah membatasi hukum bersiwak dengan ranting kayu al-arok, bahkan mereka menyebutkan bahwa bersiwak bisa terwujud dengan segala sesuatu yang bisa digunakan untuk membersihkan mulut (gigi), baik berupa ranting yang kaku (bukan lembek) dan yang semisalnya. Ibnu Abdil Barr menuturkan:

وَالسِّوَاكُ الْمَنْدُوبُ إِلَيْهِ : هُوَ الْمَعْرُوفُ عِنْدَ الْعَرَبِ ، وَفِي عَصْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَكَذَلِكَ الْأَرَاكُ وَالْبَشَامُ ، وَكُلُّ مَا يَجْلُو الْأَسْنَانَ.

(Ranting kayu) siwak yang disunnahkan adalah (ranting kayu) yang dikenal di kalangan bangsa Arab dan dikenal di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula (ranting kayu) Al-Arok, Al-Basyam dan segala sesuatu yang bisa membersihkan gigi (At-Tamhid (7/201)).

Beliau juga berkata:

وَكُلُّ مَا جَلَا الْأَسْنَانَ ، وَلَمْ يُؤْذِهَا ، وَلَا كَانَ مِنْ زِينَةِ النِّسَاءِ : فَجَائِزٌ الِاسْتِنَانُ بِهِ

Segala sesuatu yang bisa membersihkan gigi dan tidak menyakitinya, maka boleh dipakai untuk menggosok gigi (At-Tamhid 11:213).

An-Nawawi mengatakan:

” وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَسْتَاكَ بِعُودٍ من أراك، وبأي شئ اسْتَاكَ، مِمَّا يُزِيلُ التَّغَيُّرَ: حَصَلَ السِّوَاكُ ، كَالْخِرْقَةِ الْخَشِنَةِ، وَالسَّعْدِ، وَالْأُشْنَانِ “

Disunnahkan bersiwak dengan ranting dari pohon Al-Arok dan dengan segala sesuatu yang bisa digunakan untuk bersiwak berupa sesuatu yang bisa menghilangkan perubahan (bau mulut), maka (hakekatnya dengan itu) sudah diperoleh sunnah bersiwak. (Alat yang bisa digunakan bersiwak tersebut) misalnya secarik kain yang kasar, ranting tumbuhan As-Sa’du dan Al-Asynan (Syarhu Shahih Muslim(3/143)).

Al-‘Iraqi menyatakan:

وَأَصْلُ السُّنَّةِ تَتَأَدَّى بِكُلِّ خَشِنٍ يَصْلُحُ لِإِزَالَةِ الْقَلَحِ [أي صفرة الأسنان].

Pada asalnya Sunnah (dalam masalah bersiwak) adalah bisa terlaksana dengan segala benda kaku yang cocok untuk membersihkan kotoran gigi (yaitu kotoran gigi yang biasanya berwarna kuning) (Tharhu At-Tatsrib (2/67)).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bertutur:

” وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَكُونَ السِّوَاكُ عُودًا لَيِّنًا يُطَيِّبُ الْفَمَ وَلَا يَضُرُّهُ ، وَلَا يَتَفَتَّتُ فِيهِ ، كَالْأَرَاكِ وَالزَّيْتُونِ وَالْعُرْجُونِ “

Disunnahkan alat untuk bersiwak (gosok gigi) berupa ranting lembut yang mengharumkan bau mulut (membersihkannya) dan tidak membahayakannya serta tidak mudah terlepas (serabutnya), seperti kayu Al-Arok, Az-Zaitun dan Al-‘Urjun (Syarhu Umdatul Fiqhi: 1/221).

Kayu siwak memiliki keistimewaan tersendiri!

(Meskipun) telah disebutkan bahwa menggosok gigi dengan menggunakan sikat gigi itu sudah termasuk melakukan Sunnah siwak dan mendapatkan pahala  jika diiringi dengan niat ibadah, hanya saja, bersiwak dengan menggunakan ranting pohon Al-Arak (kayu siwak) tetap memiliki keistimewaan (tersendiri), berupa mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

(Keistimewaan tersebut yaitu) bahwa kayu siwak dahulu paling banyak digunakan oleh mereka, ditambah lagi mudah dibawa dan dipindah-pindah di segala tempat dan kondisi. Dan hal itu telah menjadi kebiasaan tanpa ada yang mengingkarinya serta tidaklah hal itu terhitung ‘nyeleneh’.

Lain halnya dengan sikat gigi yang sulit jika digunakan pada setiap saat, karena sikat gigi tersebut membutuhkan tempat tersendiri.

Disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah (4/140):

” اتَّفَقَ فُقَهَاءُ الْمَذَاهِبِ الأْرْبَعَةِ عَلَى أَنَّ أَفْضَلَهُ جَمِيعًا : الأْرَاكُ ، لِمَا فِيهِ مِنْ طِيبٍ ، وَرِيحٍ ، وَتَشْعِيرٍ يُخْرِجُ وَيُنَقِّي مَا بَيْنَ الأْسْنَانِ ”

Ulama Ahli Fikih dari keempat madzhab sepakat bahwa alat siwak yang paling utama dari seluruh alat siwak yang ada yaitu: ranting pohon Al-Arok, karena didalamnya terdapat kebaikan, keharuman bau dan berserabut yang bisa mengeluarkan dan membersihkan kotoran yang terdapat di sela-sela gigi.  

Ibnu Allan menyatakan:

” وأولاه : الأراك ؛ للاتباع ، مع ما فيه من طيب طعم وريح ، وشعيرة لطيفة تنقي ما بين الأسنان ، ثم بعده النخل ؛ لأنه آخر سواك استاك به صلى الله عليه وسلم”

Yang paling baik adalah ranting pohon Al-Arok (kayu siwak) karena mengikuti (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), diiringi dengan kesegaran rasa dan keharuman bau serta serabut yang lembut membersihkan kotoran yang terdapat di sela-sela gigi, kemudian (urutan yang berikutnya adalah) ranting pohon kurma, sebab ranting pohon kurma tersebut adalah ranting siwak yang terakhir kali dipakai bersiwak oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.[Dalilul Falihin (6/658)].

Berkata Syaikh Athiyyah Muhammad Salim:

” إذا نظرنا إلى الغرض من استعمال السواك ، وهو كما في الحديث : ( مطهرة للفم مرضاة للرب ) فأي شيء طهَّر الفم فإنه يؤدي المهمة ، ولكن ما كان عليه السلف فهو أولى وأصح طبياً ”

“Jika kita perhatikan tujuan penggunaan kayu siwak, yaitu sebagaimana disebutkan dalam hadits :

السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ ، مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ

“Siwak adalah membersihkan mulut dan menyebabkan (didapatkannya) keridhoan Ar-Rabb (Allah)” , maka dengan alat (mubah) apapun yang bisa membersihkan mulut, itu berarti telah memenuhi tujuan tersebut, namun perkara yang menjadi Sunnah Salafush Sholeh itu lebih utama dan lebih bagus secara medis”.
Termasuk sunnah yang paling sering dan yang paling senang dilakukan oleh Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bersiwak. Siwak merupakan pekerjaan yang ringan namun memiliki faedah yang banyak baik bersifat keduniaan yaitu berupa kebersihan mulut, sehat dan putihnya gigi, menghilangkan bau mulut, dan lain-lain, maupun faedah-faedah yang bersifat akhirat, yaitu ittiba’ kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan mendapatkan keridhoan dari Allah. Sebagaimana sabda Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
السِّوَاكَ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِّ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ (رواه أحمد)

“Siwak merupakan kebersihan bagi mulut dan keridhoan bagi Rob”. (Hadits shohih riwayat Ahmad)‎ 

Oleh karena itu Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam begitu bersemangat melakukannya dan sangat ingin agar umatnya pun melakukan sebagaimana yang dia lakukan, hingga beliau bersabda :‎

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلىَ أُمَّتِي َلأَمَرْتُهُمْ باِلسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوْءٍ

“Kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan wudlu. (Hadits riwayat Bukhori dan Muslim)
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلىَ أُمَّتِي َلأَمَرْتُهُمْ باِلسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَّلاَةٍ

“Kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan sholat”. (Hadits riwayat Bukhori Muslim)‎

Ibnu Daqiqil ‘Ied menjelaskan sebab sangat dianjurkannya bersiwak ketika akan sholat, beliau berkata: “Rahasianya yaitu bahwasanya kita diperintahkan agar dalam setiap keadaan ketika bertaqorrub kepada Allah, kita senantiasa dalam keadaan yang sempurna dan dalam keadaan bersih untuk menampakkan mulianya ibadah”. Dikatakan bahwa perkara ini (bersiwak ketika akan sholat) berhubungan dengan malaikat karena mereka terganggu dengan bau yang tidak enak. Berkata Imam As-Shon’ani : “Dan tidaklah jauh (jika dikatakan) bahwasanya rahasianya adalah digabungkannya dua perkara yang telah disebutkan (di atas) sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Jabir radhiyallahu 'anhu:

مَنْ أَكَلَ الثَّوْمَ أَوِ الْبَصَالَ أَوِ الْكَرَّاثَ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا لإَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى بِهِ بَنُوْ آدَمَ
“Barang siapa yang makan bawang putih atau bawang merah atau bawang bakung maka janganlah dia mendekati masjid kami. Sesungguhnya malaikat terganggu dengan apa-apa yang bani Adam tergaanggu dengannya” (HR Muslim)
Hukum Bersiwak
Bersiwak hukumnya sunnah (dianjurkan) pada setiap saat, sebagaimana hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ
“Bersiwak itu akan membuat mulut bersih dan diridhoi oleh Allah.” (Shohih, HR. An Nasa’i, Ahmad, dll)
Waktu Utama untuk Bersiwak
Pertama: Ketika berwudhu
Dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah ‎shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوءٍ
“Seandainya tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan memerintahkan mereka bersiwak  setiap kali berwudhu.”(HR. Bukhari)
Kedua: Ketika hendak shalat
Dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ عَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلَاةٍ
“Seandainya tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan memerintahkan mereka bersiwak  setiap hendak menunaikan shalat.” (HR. Bukhari)
Dalam riwayat lain hadits terdapat tambahan kisah yang menarik sekali tentang praktik sahabat perawi hadits terhadap sunnah ini.

قَالَ أَبُو سَلَمَةَ :فَكَانَ زَيْدُ بْنُ خَالِدٍ يَشْهَدُ الصَّلَوَاتِ فِي الْمَسْجِدِ وَسِوَاكُهُ عَلَى أُذُنِهِ مَوْضِعَ الْقَلَمِ مِنْ أُذُنِ الْكَاتِبِ لاَ يَقُومُ إِلَى الصَّلاَةِ إِلاَّ اسْتَنَّ ثُمَّ رَدَّهُ إِلَى مَوْضِعِهِ.

Berkata Abu Salamah, “Adalah Sahabat Zaid bin Khalid al-Juhani Radhiallahu ‘Anhu menunaikan shalat lima waktu di masjid dan siwaknya berada di telinganya seperti pena yang diletakkan oleh penulis/pelajar, beliau tidak bangkit shalat kecuali bersiwak lalu mengembalikan siwaknya pada tempatnya semula (telinga).”

Hikmah ditekannya ketika shalat karena shalat adalah hubungan antara hamba dengan Rabbnya, maka sudah seyogianya seorang dalam kondisi yang bersih dan suci sebagai bentuk pemuliaannya kepada Allah.Oleh karenanya, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang ke masjid orang yang makan bawang merah atau bawang putih karena akan mengganggu malaikat dan manusia (HR Bukhari: 853 dan Muslim: 561). Bayangkan, jika demikian sikap Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap bawang merah dan bawang putih, lantas bagaimana kiranya dengan rokok yang lebih parah baunya dan bahayanya?!!!
Ketiga: Ketika membaca Al Qur’an
Lisan dan mulut adalah sarana untuk membaca al-Qur‘an. Maka hendaknya bagi yang ingin membaca al-Qur‘an untuk membersihkan mulutnya terlebih dahulu.
Dari Sahabat Ali Radhiallahu ‘Anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا تَسَوَّكَ ، ثُمَّ قَامَ يُصَلِّي قَامَ الْمَلَكُ خَلْفَهُ ، فَتَسَمَّعَ لِقِرَاءَتِهِ فَيَدْنُو مِنْهُ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا حَتَّى يَضَعَ فَاهُ عَلَى فِيهِ فَمَا يَخْرُجُ مِنْ فِيهِ شَيْءٌ مِنَ الْقُرْآنِ ، إِلاَّ صَارَ فِي جَوْفِ الْمَلَكِ ، فَطَهِّرُوا أَفْوَاهَكُمْ لِلْقُرْآنِ

“Sungguh jika seorang hamba bersiwak, kemudian berdiri shalat, maka ada seorang malaikat yang berdiri di belakangnya untuk mendengarkan bacaannya. Malaikat itu akan mendekat kepadanya hingga meletakkan mulutnya pada mulut orang tersebut. Dan tidaklah keluar dari mulut orang tersebut berupa bacaan al-Qur‘an kecuali akan masuk ke dalam perut malaikat, maka bersihkanlah mulut kalian bila hendak membaca al-Qur‘an.” (HR. Baihaqi, ‎shohih lighoirihi)
Keempat: Ketika memasuki rumah
Dari Al Miqdam bin Syuraih dari ayahnya, dia berkata,
سَأَلْتُ عَائِشَةَ قُلْتُ بِأَىِّ شَىْءٍ كَانَ يَبْدَأُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ قَالَتْ بِالسِّوَاكِ.
Aku bertanya pada Aisyah, “Apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan ketika mulai memasuki rumah beliau?” Aisyah menjawab, “Bersiwak.” (HR. Muslim)
Hikmahnya adalah karena seorang akan bergaul dengan keluarganya; istri dan anaknya serta mendekat dengan mereka, mungkin saja mereka akan terganggu dengan bau mulut yang tidak sedap.
Kelima: Ketika bangun untuk shalat malam
Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ يَشُوصُ فَاهُ بِالسِّوَاكِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa apabila hendak shalat malam (tahajjud), beliau membersihkan mulutnya dengan siwak.” (Muttafaqun ‘alaihi, HR. Bukhari dan Muslim)

Hal itu karena orang yang bangun tidur akan bau mulutnya karena sebab sisa-sisa makanan yang mengendap di giginya dan juga karena luapan udara dari alat pencernaan. Dari sinilah, Ibnu Daqiq al-Id menyimpulkan satu makna bahwa siwak itu dianjurkan ketika bau mulut tidak sedap baik karena diam lama, sehabis makan yang bau, dan sebagainya.

Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sangat bersemangat ketika bersiwak, sehingga sampai keluar bunyi dari mulut beliau seakan-akan beliau muntah

عَنْ أَبِي مُوْسَى اَلْأَشْعَرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : أَتَيْتُ النَّبِيَّ وَهُوَ يَسْتَاكُ بِسِوَاكٍ رَطْبٍ قَالَ وَطَرْفُ السِّوَاكِ عَلَى لِسَانِهِ وَهُوَ يَقُوْلُ أُعْ أُعْ وَالسِّوَاكُ فِيْ فِيْهِ كَأَنَّهُ يَتَهَوَّعُ  

Dari Abu Musa Al-Asy’ari y berkata : "Aku mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan dia sedang bersiwak dengan siwak yang basah. Dan ujung siwak pada lidahnya dan dia sambil berkata “Uh- uh”. Dan siwak berada pada mulutnya seakan-akan beliau muntah". (Hadits riwayat Bukhori dan Muslim)
Dan yang lebih menunjukan akan besarnya perhatian beliau dengan siwak yaitu bahwasanya diakhir hayat beliau, beliau masih menyempatkan diri untuk bersiwak sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : دَخَلَ عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِيْقِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَلَى النَّبِيِّ وَ أَنَا مُسْنِدَتُهُ إلَى صَدْرِي - وَمَعَ عَبْدِ الرَّحْمنِ سِوَاكٌ رَطْبٌ يَسْتَنُّ بِهِ – فَأَبَدَّهُ رَسُوْلُ اللهِ بَصَرَهُ، فَأَخَذْتُ السِّوَاكَ فَقَضِمْتُهُ وَطَيَّبْتُهُ، ثُمَّ دَفَعْتُهُ إِلَى النَّبِيِّ فَاسْتَنَّ بِهِ، فَمَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ اسْتَنَّ اسْتِنَانًا أَحْسَنَ مِنْهُ. فَمَا عَدَا أَنْ فَرَغَ رَسُوْلُ اللهِ رَفَعَ يَدَهُ أَوْ إِصْبَعَهُ ثُمَّ قَالَ : (فِي الرَّفِيْقِ الأَعْلَى) ثَلاَتًا، ثُمَّ قُضِيَ عَلَيْهِ

وَ فِي لَفْظٍ: فَرَأَيْتُهُ يَنْظُرُ إِلَيْهِ، وَ عَرَفْتُ أَنَّهُ يُحِبُّ السِّوَاكَ فَقُلْتُ آخُذُهُ لَكَ ؟ فَأَشَرَ بِرَأْسِهِ : أنْ نَعَمْ

Dari ‘Aisyah berkata : Abdurrohman bin Abu Bakar As-Sidik menemui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersandar di dadaku. Abdurrohman membawa siwak yang basah yang dia gunakan untuk bersiwak. Dan Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memandang siwak tersebut (dengan pandangan yang lama). Maka aku pun lalu mengambil siwak itu dan menggigitnya (untuk dibersihkan-pent) lalu aku membaguskannya kemudian aku berikan siwak tersebut kepada Rosulullah, maka beliaupun bersiwak dengannya. Dan tidaklah pernah aku melihat Rosulullah bersiwak yang lebih baik dari itu. Dan setelah Rosulullah selesai dari bersiwak dia pun mengangkat tangannya atau jarinya lalu berkata :

فِي الرَّفِيْقِ الأَعْلَى

Beliau mengatakannya tiga kali. Kemudian beliau wafat.

Dalam riwayat lain ‘Aisyah berkata :”Aku melihat Rosulullah memandang siwak tersebut, maka akupun tahu bahwa beliau menyukainya, lalu aku berkata : ‘Aku ambilkan siwak tersebut untuk engkau?” Maka Rosulullah mengisyaratkan dengan kepalanya (mengangguk-pent) yaitu tanda setuju. (Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim)

Oleh karena itu berkata sebagian ulama : “Telah sepakat para ulama bahwasanya bersiwak adalah sunnah muakkadah karena anjuran Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan kesenantiasaan beliau melakukannya dan kecintaan beliau serta ajakan beliau kepada siwak tersebut.” ‎

Ketika bersiwak maka sunnah hukumnya membaca doa saat memakai siwak seperti dibawah ini:

اَللَّهُمَّ بَيِّضْ بِهِ أَسْنَانِيْ وَشُدَّ بِهِ لِثَّتِيْ وَثَبِّتْ بِهِ لَهَاتِي وَأَفْصِحْ بِهِ لِسَانِيْ وَبَارِكْ لِيْ فِيْهِ وَأَثِبْنِيْ عَلَيْهِ يَآ أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

ALLAHUMMA BAYYIDL BIHI ASNAANII WA;SYUDDA BIHI LITSTSATII WA;TSABBIT BIHI LAHAATII WA;AFSHIH BIHI LISAANII WABAARIK LII FIIHI WA;ATSBITNII ‘ALAIHI YAA ARHAMARROOHIMIIN

“Ya Allah putihkan gigiku dan kuatkan gusiku, serta kuatkan lahatku (daging yang tumbuh di atas langit-langit mulut) dan fasihkan lidahku dengan siwak itu serta berkatilah siwak tersebut dan berilah pahala aku karenanya, wahai Dzat paling mengasihi diantara para pengasih”.

Hukum bersiwak dapat menjadi makruh, sebagaimana ketika bersiwak dilakukan saat matahari sudah condong kebarat bagi orang yang puasa, baik puasa fardlu atau sunah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi  :

لَخَلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ .(رواه البخاري)

"Bau mulutnya orang yang berpuasa lebih harum dibandingkan harumnya minyak misik."(H.R. Al-Bukhâry)

Para ulama berselisih mengenai hukum bersiwak saat puasa. Secara umum mereka terbelah ke dalam dua pendapat.

Pendapat pertama; Hukum bersiwak saat berpuasa tidak makruh secara mutlak.

Yang berpendapat seperti ini adalah Umar bin Khathab, Ibnu Abbas, Aisyah, Urwah bin Zubair, Ibnu Sirin, an-Nakh'i, Abu Hanifah, Malik, Abu Syamah, Ibnu Abdissalam, Nawawi (pendapat yang beliau rajihkan dari segi dalil), al-Muzanni, dan Ibnu Hajar.

Pendapat kedua; Hukum bersiwak saat berpuasa, khususnya ketika matahari telah condong dari tengah-tengah siang, adalah makruh.

Yang berpendapat seperti ini adalah Atha', Mujahid, Syafi'i, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur.

Argumen Masing-Masing Pendapat

Agumen pendapat pertama

1. Hadits-hadits tentang siwak yang secara umum memerintahkan bersiwak tanpa batasan waktu.

Di antaranya sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

السواك مطهرة للفم مرضاة للرب.

"Bersiwak itu menjadikan mulut bersih dan diridhai Tuhan." (HR. Ahmad; hadits shahih)

Beliau juga bersabda,

لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة.

"Seandainya aku tidak takut memberatkan atas umatku, niscaya aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap (akan) shalat." (Muttafaq Alaih)‎

Ini adalah dalil-dalil umum yang ditakhshis oleh dalil-dalil khusus tentang makruhnya bersiwak saat berpuasa.

Bantahan atas tanggapan:

Jika memang dalil-dalil khusus tersebut shahih, kami akan menerimanya, tetapi jika dalil-dalil khusus tersebut tidak shahih, maka kami tidak menerimanya.

2. Atsar dari Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu Anhu.

Abdurrahman bin Ghanam berkata, "Aku bertanya kepada Mu'adz bin Jabal, 'Apakah aku bersiwak saat berpuasa?' Mu'adz menjawab, 'Ya.' Aku bertanya, 'Pada saat apakah ketika siang?' Mu'adz menjawab, 'Pagi atau sore.' Aku berkata, 'Sesungguhnya orang-orang memakruhkannya pada waktu sore dan mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, 'Sesungguhnya bau mulut yang tidak enak dari orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada bau minyak misik.' Mu'adz berkata, 'Subhanallah! Sesungguhnya beliau telah memerintahkan mereka dengan bersiwak. Adapun perintah mereka untuk mengeringkan mulut mereka secara sengaja tidak mengandung kebaikan apa-apa, bahkan mengandung keburukan." (HR. Thabrani dengan sanad jayyid sebagaimana yang dikatakan al-Hafizh dalam at-Talkhis [3/50])

Argumen pendapat yang mengatakan makruh

1. Hadits Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

والذي نفس محمد بيده لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك.



"Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut tidak enak orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada bau minyak misik." (Muslim, Ahmad, Nasa'i, dan lainnya; hadits shahih)Kemuliaan bau mulut yang tidak enak dari orang berpuasa patut dijaga karena ia lebih mulia daripada minyak misik.Tanggapan:

Istidlal dengan hadits ini tidak tepat, karena hadits ini tidak mengandung larangan untuk bersiwak saat berpuasa, sementara hukum makruh atau haram itu harus didasarkan dengan adanya larangan dari syara'. Hadits ini hanya menjelaskan keutamaan orang yang berpuasa yang biasanya bau mulutnya menjadi tidak sedap dan tidak memerintahkan agar sengaja untuk berbau mulut tidak sedap. Di sampaing itu, Ibnul Arabi (at-Talkhis, 3/50) dan Imam ash-Shan'ani (Subul as-Salam, 1/105) telah menjelaskan bahwa bau tidak enak mulut itu berasal dari dalam perut yang tidak dapat dihilangkan dengan bersiwak.

2. Diriwayatkan dari Ali bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

إذا صمتم فاستكاوا بالغداة ولا تستاكوا بالعشي؛ فإنه ليس من صائم تيبس شفتاه بالعشي إلا كان نوراً بين عينيه يوم القيامة.

"Jika kalian berpuasa, maka bersiwaklah pada waktu pagi dan jangan bersiwak pada waktu sore, karena sesunguhnya tidak ada (balasan bagi) orang yang berpuasa yang kedua bibirnya kering pada waktu sore kecuali akan menjadi cahaya di depan kedua matanya pada hari kiamat." (HR. Baihaqi, Thabrani, Bazzar, dan Daruquthni)‎

Hadits ini dhaif karena di dalam sanadnya ada perawi Kaisan Abu Umar al-Qashar. Imam Ahmad, Ibnu Main, as-Saji dan Daruqtni mendhaifkannya. Lihat Tahdzib at-Tahdzib (3/396). Ibnu Hajar juga mendhaifkannya dalam at-Talkhis (1/62)

Oleh karena itu, tidak dapat dijadikan hujjah. Di samping itu, hadits tersebut menjelaskan keringnya dua bibir orang yang berpuasa. Sementara siwak itu untuk mulut, bukan untuk bibir.

3. Abu Hurairah Radhiyallahu Anha berkata,

لك السواك إلى العصر، فإذا صليت العصر فألقه ،فإني سمعت رسول الله - صلى الله عليه وسلم - يقول : " خلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك".

"Kamu boleh bersiwak hingga waktu ashar. Jika kamu telah shalat ashar, maka letakkanlah (tinggalkanlah) siwak, karena sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, 'Bau mulut yang tidak sedap dari orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada bau minyak misik.'" (HR. Daruquthni dan Baihaqi)‎
Di dalam sanad hadits ini terdapat perawi yang bernama Amr bin Qais. Ibnu Hibban telah mendhaifkannya dalam kitab al-Majruhin (2/85), karena dia suka sendau gurau, memutarbalik sanad dan meriwayatkan yang bukan-bukan dari para perawi tsiqah. Imam Dzahabi dalam komentarnya atas Sunan Baihaqi (4/1650-1651)mengatakan bahwa Amr bin Qais adalah perawi yang amat lemah.‎
Setelah melakukan telaah dan perbandingan atas hujjah-hujjah yang dijadikan sandaran oleh masing-masing pendapat di atas, maka kami dapat menyimpulkan bahwa pendapat yang mengatakan bersiwak itu sunnah setiap saat, termasuk ketika sedang berpuasa adalah pendapat yang rajih. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa bersiwak itu makruh bagi orang yang berpuasa, khususnya ketika setelah zawal (sebagian pendapat mengatakan setelah ashar) adalah pendapat yang lemah. 

Hukum bersiwak terkadang menjadi haram, seperti bersiwak dengan menggunakan siwak milik orang lain tanpa mendapat izin dan tidak mempunyai dugaan akan mendapat izinnya. Jika hal itu atas izinnya atau ada dugaan akan mendapat izinnya, maka hukum bersiwak tidak haram lagi, melainkan hanya khilâf al-aulâ apabila tidak dilakukan untuk mendapatkan barokahnya. Apabila untuk mendapat barokah, seperti siwak tersebut milik seorang wali atau kyai, maka tidak lagi khilâf al-aulâ.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar