Translate

Selasa, 26 April 2016

Penjelasan Tentang Menghormati Guru

Manusia yang paling berjasa terhadap seseorang adalah kedua orang tua. Melalui keduanya Allah mentakdirkan keberadaannya. Ibunya yang telah mengandungnya selama sembilan bulan dengan penuh susah payah. Ibunya yang telah menyusuinya selama masa yang telah dikehendaki oleh Allah. Ibunya yang mengasuhnya, merawatnya dan menyayanginya semasa kecilnya. Demikian juga ayahnya yang membanting tulang untuk memenuhi segenap kebutuhannya, dan mendidiknya hingga dewasa. Ayahnya yang melindunginya dari berbagai marabahaya.
Guru merupakan orang yang bejasa terhadap sang murid atau dengan kata lain guru merupakan orang yang mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan kepada murid diluar bimbingan orang tua dirumah, sehingga akhlakul karimah terhadap guru perlu di terapkan sebagaimana akhlak kita terhadap kedua orang tua.
Berikut hadis tentang keutamaan guru:           
عن ابي درداء قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: فضل العا لم على العابد كفضل القمر على الكو كب، وانما االعلماء ورثة الآ نبياء, وان الآ نبياء لم يورثوا دينارا ولادرهما، انما ورثوالعلم، فمن اخده اخد بحظ وكفر (رواه ابو (داود (والتر مذى
Artinya:“Dari Abi Darda ia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW beliau bersabda: keutamaan orang alim dibanding ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan dibanding bintang-bintang, sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi, dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham, sesungguhnya mereka mewariskan ilmu, maka barang siapa mengambil warisan itu berarti ia mengambil bagian yang sempurna”. (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi).
Didalam ajaran tasawuf, adab kepada guru adalah sesuatu yang utama dan pokok, karena hampir seluruh pengajaran tasawuf itu berisi tantang pembinaan akhlak manusia menjadi akhlak yang baik, menjadi akhlak yang mulia sebagaimana akhlak Rasulullah SAW. Seorang murid harus selalu bisa memposisikan (merendahkan) diri di depan Guru, harus bisa melayani Guru nya dengan sebaik-baiknya.
Merendahkan diri dihadapan guru bukanlah tindakan bodoh, akan tetapi merupakan tindakan mulia. Dalam diri guru tersimpanNur yang pada hakikatnya terbit dari zat dan fi’il Allah SWT yang merupakan zat yang Maha Positif. Karena Maha Positif maka mendekatinya harus dengan negatif. Kalau kita dekati yang Maha Positif dengan sikap positif maka rohani kita akan ditendang, keluar dari Alam Rabbani. Disaat kita merendahkan diri di hadapan guru, disaat itu pula Nur Allah mengalir kedalam diri kita lewat guru, saat itulah kita sangat dekat dengan Allah.

Kedua orang tua dan guru masing-masing mempunyai kedudukan yang terhormat, sehingga Rasulullah saw bersabda :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ أَنْبَأَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ عَنْ الْقَعْقَاعِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ مِثْلُ الْوَالِدِ لِوَلَدِهِ أُعَلِّمُكُمْ إِذَا أَتَيْتُمْ الْغَائِطَ فَلَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلَا تَسْتَدْبِرُوهَا وَأَمَرَ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ وَنَهَى عَنْ الرَّوْثِ وَالرِّمَّةِ وَنَهَى أَنْ يَسْتَطِيبَ الرَّجُلُ بِيَمِينِهِ.(رواه ابن ماجه : 309 - سنن ابن ماجه – المكتبة الشاملة -بَاب الِاسْتِنْجَاءِ بِالْحِجَارَةِ وَالنَّهْيِ عَنْ الرَّوْثِ وَالرِّمَّةِ – الجزء : 1 - صفحة : 374)
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah saw bersabda : KEDUDUKANKU BAGI KALIAN SEPERTI SEORANG AYAH BAGI ANAKNYA, AKU AKAN MENGAJARI KALIAN, jika kalian ingin buang hajat, maka janganlah menghadap kiblat atau membelakanginya. Beliau memerintahkan agar beristinja’ dengan tiga buah batu dan melarang menggunakan kotoran hewan dan tulang. Dan beliau juga melarang seseorang cebok dengan tangan kanannya. (HR.Ibnu Majah : 309, sunan Ibnu Majah, Al-Maktabah Asy=Syamilah, bab istinja bilhajar wannahyu ‘anir rauts warrammati juz : 1, hal. 374)

Dalam memahami hadits di atas, Imam Al-Ghzali memberikan komentar dalam kitab Al-Ihya Ulumuddin sebagai berikut :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " إنما أنا لكم مثل الوالد لولده " بأن يقصد إنقاذهم من نار الآخرة وهو أهم من إنقاذ الوالدين ولدهما من نار الدنيا: ولذلك صار حق المعلم أعظم من حق الوالدين فإن الوالد سبب الوجود الحاضر والحياة الفانية والمعلم سبب الحياة الباقية.(الإحياء علوم الدين)

Rasulullah saw bersabda : “KEDUDUKANKU BAGI KALIAN SEPERTI SEORANG AYAH BAGI ANAKNYA”. Maksudnya : Beliau sawsebagai guru adalah menyelamatkan manusia dari penderitaan jangka panjang yang abadi nanti di akhirat. Dan ia lebih penting dari pada tugas kedua orang tua yang menyelamatkan anaknya dari penderitaan di dunia belaka. Oleh karena itu, hak seorang guru lebih besar daripada hak kedua orang tua, karena orang tua sebagai sebab hadirnya seorang anak dalam kehidupan yang fana di dunia ini, sementara guru menjadi sebab untuk meraih kebahagian dalam kehidupan jangka panjang yang abadi di akhirat nanti. (Al-Ihya Ulumuddin(

Memahami komentar imam Al-Ghazali di atas, pantaslah bila kita menghormati guru, dan salah satu cara menghormatinya adalah “MENGAMALKAN ILMUNYA”.

Namun demikian, suatu ketika orang tua dapat berperan ganda, yaitu sebagai orang tua dan juga sekaligus sebagai guru. Begitu seorang anak lahir, orang tua yang pertama kali mengumandangkan kalimat tauhid dan takbir di telinga kanan dan kiri sang anak. Begitu mau makan/minum orang tua pula yang pertama kali mengajari berdoa, sehingga pantaslah apabila sangat banyak dalil Al-Qur’an maupun hadits yang memerintahkan untuk berbakti serta taat kepada kedua orang tua, antara lain sebagai berikut :

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا (23)
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan HENDAKLAH KAMU BERBUAT BAIK PADA IBU BAPAKMU DENGAN SEBAIK-BAIKNYA. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia[850]. (QS.Al-Isra’ : 23)

[850] Mengucapkan kata Ah kepada orang tua tidak dlbolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.

Dalam ayat tersebut, bagitu pentingnya berbakti kepada kedua orang tua, maka perintah berbakti kepadanya, langsung diabadikan dalam urutan sesudah perintah beribadah kepada Allah.

Begitu tingginya kedudukan orang tua, maka Rasulullah saw menegaskan, bahwa anak akan dapat rido Allah bila dapat rido dari kedua orang tuanya, dan akan dapat murka Allah, bila ia dapat murka dari kedua orang tuanya.

أخبرنا أبو عبد الله الحافظ ، نا أبو بكر بن بالويه ، نا بشر بن موسى الأسدي ، نا القاسم بن سليم الصواف ، قال : شهدت الواسطيين أبا بسطام شعبة بن الحجاج ، وأبا معاوية هشيم بن بشير يحدثان ، عن يعلى بن عطاء ، عن أبيه عن عبد الله بن عمرو قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : رضا الله من رضا الوالدين ، وسخط الله من سخط الوالدين. (رواه البيهقي : 7583 – شعب الإيمان للبيهقي –المكتبة الشاملة - باب الخامس والخمسون من شعب الإيمان – الجزء : 16 – صفحة : 337)

Dari Abdullah bin Amr, ia berkata : Rasulullah saw bersabda : RIDO ALLAH TERGANTUNG DARI RIDO KEDUA ORANG TUA, DAN MURKA ALLAH TERGANTUNG DARI MURKA KEDUA ORANG TUA. (HR. Baihaqi : 7583, Syu’abul iman Lil-Baihaqi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Al-Khamis wal-Khaksun min Syu’abnil iman, juz : 16, hal.337)

Anak wajib berbakti kepada kedua orang tua, sewaktu orang tua masih hidup ataupun sudah wafat. Sewaktu orang tua masih hidup, berbakti kepadanya, antara lain dengan sikap dan tutur kata yang menyejukkan, santun dan terhormat. Ketika mereka telah wafat, cara berbakti kepadanya, antara lain sebagai berikut :

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سُلَيْمَانَ عَنْ أَسِيدِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ عُبَيْدٍ مَوْلَى بَنِي سَاعِدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي أُسَيْدٍ مَالِكِ بْنِ رَبِيعَةَ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي سَلَمَةَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَبَقِيَ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِمَا قَالَ نَعَمْ الصَّلَاةُ عَلَيْهِمَا وَالِاسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِيفَاءٌ بِعُهُودِهِمَا مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا تُوصَلُ إِلَّا بِهِمَا. (رواه ابن ماجه :3654 – سنن ابن ماجه – المكتبة الشاملة - بَاب صِلْ مَنْ كَانَ أَبُوكَ يَصِلُ – الجزء : 11- صفحة : 56 )

Dari Abi Usaid Malik bin Rabi’ah, ia berkata : Ketika kami berada di samping Rasulullah saw, tiba-tiba seorang laki-laki dari Bani Salamah datang kepada beliau dan bertanya : Wahai Rasulullah, apakah masih tersisa sesuatu untuk berbakti kepada kedua orang tuaku setelah keduanya meninggal? Beliaqu menjawab : Ya, masih ada, yaitu : (1) berdoa untuk keduanya, (2) memintya ampun untuk keduanya, (3) melaksanakan janji-janji keduanya setelah keduanya meninggal, (4) memuliakan teman-teman keduanya (5) dan menyambung shilaturrahim yang tidak tersambung sebelumnya kecuali karena keduanya. –(HR.Ibnu Majah : 3654, Sunan Ibnu Majah, Al-Maktabah AsySyamilah, bab shil man kaana abuuka yashilu, juz : 11, hal. 56)

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (24)
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".(QS.Al-Isra’ : 24)

Semoga kita menjadi anak yang shalih/shalihah, berbakti dan taat kepada kedua orang tua serta menghormati guru. 

Islam menganjurkan umatnya agar sentiasa berusaha mencari ilmu pengetahuan di samping berusaha untuk mempertingkatkan kemahiran dan penguasaan diri dalam pelbagai bidang. Selain itu, ilmu pengetahuan juga merupakan kunci kepada kebahagiaan hidup manusia di dunia, kerana sekiranya kita hidup tanpa ilmu, kemungkinan kita pada hari ini masih lagi berada dalam kemunduran dan kemiskinan. Oleh itu, jelaslah kepada kita bahawa ketinggian ilmu pengetahuan merupakan ukuran yang sangat penting dalam membezakan antara kemajuan dan kemunduran bagi sesuatu bangsa dan negara. 

Apabila kita berbicara tentang ilmu dan pendidikan bererti sekaligus kita meletakkan para guru dan pendidik sebagai golongan yang amat penting sebagai agen pembangunan dan perubahan minda ummah.

Tugas seorang pendidik bukanlah satu tugas yang mudah dan bukan boleh dilakukan oleh semua orang. Justeru itu, kerjaya sebagai seorang pendidik dianggap sebagai satu tugas yang sangat mulia dan istemewa. Lebih-lebih lagi dalam era yang penuh mencabar ini, menuntut pengorbanan dan komitmen  yang padu dalam mendidik anak bangsa menjadi insan yang cemerlang, berwibawa dan sentiasa mendapat petunjuk serta keredhaan dari Allah.

Kerana itu, kita seharusnya bersyukur di atas pengorbanan dan jasa guru yang telah mendidik serta membimbing kita menjadi manusia yang baik pada hari ini. Baik guru yang terlibat secara langsung mendidik kita di sekolah mahupun diperingkat universiti dan tidak kurang penting juga kepada guru yang mengajar kita mengenal membaca ayat-ayat al-Quran, ilmu fardhu ain dan sebagainya. Tanpa bimbingan dan tunjuk ajar dari mereka kita tidak mempunyai asas yang kuat untuk mengamalkan kefardhuan asas dalam Islam. Kita sedar bahawa ilmu yang ada pada diri kita ini sebenarnya hanyalah sedikit. Ini jelas sebagaimana firman Allah dalam surah al-Kahfi ayat 109;

قُل لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا

“Katakanlah wahai Muhammad, kalaulah seluruh lautan menjadi tinta untuk menulis kalimah-kalimah Tuhanku, sudah tentu akan habis kering lautan itu sebelum habis kalimah-kalimah Tuhanku, walaupun kami  tambahi lagi dengan lautan yang sebanding dengannya sebagai bantuan.”

Sikap saling menghormati sesama manusia merupakan suatu kewajipan seorang Muslim kepada saudaranya. Para ulama wajib diperlakukan dengan baik sesuai dengan haknya. Akhlak serta beradab yang baik merupakan kewajiban yang tidak boleh dilupakan bagi seorang murid kepada gurunya.

Memandangkan kedudukan guru itu sangat mulia, maka sawajarnya mereka dihormati dan dikenang jasanya sepanjang hayat. Para sahabat dan salaf al-soleh merupakan suri tauladan umat manusia yang telah memberikan banyak contoh dalam menghormati seorang guru. Rasulullah sallallahualaihi wasallam bersabda;

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيرَنَا، وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا، وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا

“Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak memuliakan yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti (hak) orang yang berilmu (agar diutamakan pandangannya).” (Riwayat Ahmad)

Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata;

مَا وَاللَّهِ اجْتَرَأْتُ أَنْ أَشْرَبَ الْمَاءَ وَالشَّافِعِيُّ يَنْظُرُ إِلَيَّ هَيْبَةً لَهُ

“Demi Allah, aku tidak berani meminum air dalam keadaan al-Syafi’e melihatku kerana segan kepadanya.”

Diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi rahimahullah, Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu mengatakan;

تَوَاضَعُوا لِمَنْ تَعَلَّمُونَ مِنْهُ

“Tawadhu’lah kalian terhadap orang yang mengajari kalian.”

Manakala Imam al-Syafi’e rahimahullah berkata;

كنت أصفح الورقة بين يدي مالك صفحًا رفيقًا هيبة له لئلا يسمع وقعها

“Dulu aku membolak-balikkan kertas di depan gurunya (Imam Malik) dengan sangat lembut kerana segan kepadanya dan supaya dia tidak mendengarnya.”

Sungguh mulia akhlak mereka para suri tauladan kaum muslimin, tidaklah hairan mengapa mereka menjadi ulama besar, ia merupakan hasil dari keberkatan ilmu mereka serta hasil dari akhlak mulia terhadap para gurunya.

Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah (dalam kitabnya Hilyah Tolib al-Ilm) mengatakan (mafhumnya), “Beradab lah dengan yang terbaik pada saat kamu duduk bersama syaikhmu, gunakanlah cara yang terbaik ketika bertanya dan mendengarkannya.”

Manakala Ibnu al-Jamaah mengatakan (mafhumnya), “Seorang penuntut ilmu harus duduk dengan sopan di hadapan gurunya, tenang, tawadhu’, mata tertuju kepada guru, tidak menyelunjurkan kaki, tidak bersandar, tidak tertawa dengan keras, tidak duduk di tempat yang lebih tinggi dari gurunya  juga tidak membelakangi gurunya.”

Para Sahabat Rasulullah sallallahualaihi wasallam, tidak pernah kita dapati mereka beradab buruk kepada Nabi, mereka tidak pernah memotong ucapannya atau mengeraskan suara di hadapannya. Bahkan Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu yang terkenal keras wataknya tidak pernah meninggikan suaranya di depan Rasulullah sallallahualaihi wasallam. Hadits yang dikeluarkan daripada Abi Said al-Khudry radhiallahu ‘anhu juga menjelaskan:

كُنَّا جُلُوسًا فِي الْمَسْجِدِ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَلَسَ إلَيْنَا وَلَكَأَنَّ عَلَى رُءُوسِنَا الطَّيْرَ، لَا يَتَكَلَّمُ أَحَدٌ مِنَّا

“Saat kami sedang duduk-duduk di masjid, maka keluarlah Rasulullah sallallahualaihi wasallam, kemudian beliau duduk di hadapan kami. Maka seakan-akan di atas kepala kami terdapat burung. Tidak ada satu pun daripada kami yang berbicara.”

Allah berfirman dalam surah al-Nahl ayat 43;

فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”

Bertanyalah kepada para ulama, begitulah pesan Allah di ayat dengan bertanya maka akan hilang kebodohan, hilang  keraguan, serta mendapat keilmuan.Tidak diragukan bahawa bertanya juga mempunyai adab di dalam Islam. Para ulama telah menjelaskan tentang adab bertanya ini. Mereka mengajarkan bahawa pertanyaan harus disampaikan dengan tenang, penuh kelembutan, jelas, singkat dan padat, juga  tidak menanyakan pertanyaan yang sudah diketahui jawabannya.

Di dalam al-Qur’an terdapat kisah adab yang baik seorang murid terhadap gurunya, kisah Nabi Musa dan Khidir. Pada saat Nabi Musa ‘alaihissalam meminta Khidir untuk mengajarkannya ilmu. Allah berfirman dalam surah al-Kahfi ayat 67;

إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْراً

“Khidir menjawab, sungguh engkau (Musa) tidak akan sanggup sabar bersamaku.”

Nabi Musa dengan segenap ketinggiannya di hadapan Allah, tidak diizinkan untuk mengambil ilmu dari Khidir. Allah berfirman dalam al-Qur’an surah al-Kahfi ayat 70;

فَلا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْراً

“Khidir berkata, jika engkau mengikuti maka janganlah engkau menanyakanku tentang sesuatu apapun, sampai aku menerangkannya.”

Jangan bertanya sampai diizinkan, itulah syarat Khidir kepada Musa. Maka jika seorang guru tidak mengizinkan untuk bertanya maka janganlah bertanya, tunggulah sampai guru mengizinkan bertanya.

Mendoakan guru dalam kebaikan 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَمَنْ أَتَى إِليْكُم مَعْروفاً فَكَافِئُوه فَإِنْ لَمْ تَجِدوا فَادْعُوا لَهُ، حَتَّى يَعلَمَ أن قَد كَافَئْتُمُوه

“Apabila ada yang berbuat baik kepadamu maka balaslah dengan balasan yang setimpal. Apabila kamu tidak bisa membalasnya, maka doakanlah dia hingga engkau memandang telah mencukupi untuk membalas dengan balasan yang setimpal.” (HR. Bukhori dalam al-Adab al-Mufrod no. 216, lihat as-Shohihah254)

Ibnu Jama’ah rahimahullah berkata: “Hendaklah seorang penuntut ilmu mendoakan gurunya sepanjang masa. Memperhatikan anak-anaknya, kerabatnya dan menunaikan haknya apabila telah wafat” (Tadzkirah Sami’hal. 91).‎

Banyak dari kalangan salaf berkata,

ما صليت إلا ودعيت لوالدي ولمشايخي جميعاً

“Tidaklah aku mengerjakan sholat kecuali aku pasti mendoakan kedua orang tuaku dan guru guruku semuanya.”

Jangan berlebihan kepada guru

Guru adalah manusia biasa. Tidak harus semua perkataannya diterima mentah-mentah tanpa menimbangnya menurut kaidah syar’iah. Orang yang selalu manut terhadap perkataan guru, bahkan sampai membela mati-matian ucapannya adalah termasuk sikap ghuluw (berlebih-lebihan). Apabila telah jelas kekeliruan guru maka nasehatilah, jangan diikuti kesalahannya. Jangan seorang guru dijadikan tandingan bagi Alloh dalam syariat ini. Alloh berfirman;

اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهاً وَاحِداً لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rohib-rohib mereka se-bagai Robb-Robb selain Allah, dan(juga mereka menjadikan Robb) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Alloh dari apa yang me­reka persekutukan. (QS. at-Taubah [9]: 31)

Imam Mawardi rahimahullah mengatakan, “Sebagian para pengikut orang alim berbuat ghuluw kepada gurunya. Hingga menja­dikan perkataannya sebagai dalil sekalipun sebenarnya tidak bisa dijadikan dalil. Meyakini ucap­annya sebagai hujjah sekalipun bukan hujjah.” (Adab Dunya hal. 49, Adab at-Tatalmudz hal. 38)

Memperhatikan adab-adab dalam menyikapi kesalahan guru

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

كل ابن آدم خطاء و خير الخطائين التوابون

“Setiap anak Adam pasti berbuat kesalahan, dan yang terbaik dari mereka adalah yang suka bertaubat” (HR. Ahmad)

Para guru bukan malaikat, mereka tetap berbuat kesalahan. Jangan juga mencari cari kesalahannya, ingatlah firman Allah.

وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ

“Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya” (QS. Al Hujurot:12).

Allah melarang mencari kesalahan orang lain dan menggibahnya, larangan ini umum tidak boleh mencari kesalahan siapapun. Bayangkan bagaimana sikap seseorang jika ia mendengar aib saudara atau kawannya?  Bukankah akan menyebabkan dampak yang buruk akan hubungan mereka? Prasangka buruk akan mencuat, jarak akan tambah memanjang, keinginan akrab pun tak terbenak lagi di pikiran.

Lantas, bagaimanakah jika aib para ulama, dan para pengajar kebaikan yang tersebar? Sungguh manusia pun akan menjauhi mereka, ilmu yang ada pada mereka seakan tak terlihat, padahal tidaklah lebih di butuhkan oleh manusia melainkan para pengajar kebaikan yang menuntut hidupnya ke jalan yang benar. Belum lagi aib-aib dusta yang tersebar tentang mereka.

Sungguh baik para Salaf dalam doanya,

اللهم استر عيب شيخي عني ولا تذهب بركة علمه مني

“Ya Allah tutupilah aib guruku dariku, dan janganlah kau hilangkan keberkahan ilmuya dari ku.”

Para salaf berkata,

لحوم العلماء مسمومة

“Daging para ulama itu mengandung racun.”

Penjelasan  tentang makna perkataan ini, “Siapa yang suka berbicara tentang aib para ulama, maka dia layaknya memakan daging para ulama yang mengandung racun, akan sakit hatinya, bahkan dapat mematikan hatinya.”

Namun, ini bukan berarti menjadi penghalang untuk berbicara kepada sang guru atas kesalahannya yang tampak, justru seorang tolabul ‘Ilm harus berbicara kepada gurunya jika ia melihat kesalahan gurunya. Adab dalam menegur merekapun perlu diperhatikan mulai dari cara yang sopan dan lembut saat menegur dan tidak menegurnya di depan orang banyak.

Meneladani penerapan ilmu dan akhlaknya

Merupakan suatu keharusan seorang penuntut ilmu mengambil ilmu serta akhlak yang baik dari gurunya. Kamipun mendapati di tempat kami menimba ilmu saat ini, atau pun di tanah air, para guru, ulama,  serta ustad begitu tinggi akhlak mereka, tak lepas wajahnya menebarkan senyum kepada para murid, sabarnya mereka dalam memahamkan pelajaran, sabar menjawab pertanyaan para tolibul ilm yang tak ada habisnya, jika berpapasan di jalan malah mereka yang memulai untuk bersalaman, sungguh akhlak yang sangat terpuji dari para penerbar sunnah.

Sabar dalam membersamainya

Tidak ada satupun manusia di dunia ini kecuali pernah berbuat dosa, sebaik apapun agamanya, sebaik apapun amalnya nya, sebanyak apapun ilmunya, selembut apapun perangainya, tetap ada kekurangannya. Tetap bersabarlah bersama mereka dan jangan berpaling darinya.

Allah berfirman :

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”(QS.Al Kahfi:28).

Karena tidak ada yang lebih baik kecuali bersama orang orang yang berilmu dan yang selalu menyeru Allah Azza wa Jalla.

Al Imam As Syafi Rahimahullah mengatakan,

اصبر على مر من الجفا معلم

فإن رسوب العلم في نفراته

“Bersabarlah terhadap kerasnya sikap seorang guru
Sesungguhnya gagalnya mempelajari ilmu karena memusuhinya”

Besar jasa mereka para guru yang telah memberikan ilmunya kepada manusia, yang kerap menahan amarahnya, yang selalu merasakan perihnya menahan kesabaran, sungguh tak pantas seorang murid ini melupakan kebaikan gurunya, dan  jangan pernah lupa menyisipkan nama mereka di lantunan doamu. Semoga Allah memberikan rahmat dan kebaikan kepada guru guru kaum Muslimin. Semoga kita dapat menjalankan adab adab yang mulia ini.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar