Translate

Kamis, 24 September 2015

Kisah Shohabat Tholhah Bin Ubaidillah RA

Nama, Nasab, Penisbatan, dan Julukannya

Thalhah bin Ubaidillah bin Utsman bin Amru bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah, Al-Qurasyi At-Taimi Al-Makki dan Kemudian Al-Madani.

Julukannya Abu Muhammad, dengan ini ia dipanggil oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabat.

Nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pada Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay, dan dengan nasab Abu Bakar ‎Ash-Shiddiq pada Taim bin Murrah. Mereka berdua berasal dari Kabilah Taim.

Adapun garis keturunan inilah shahabat mulia, Thalhah berasal. Dan ia lahir di negeri Islam. Dan tempat yang terbaik di bumi. Ia pertama kali membuka matanya dan melihat dunia ini dalam naungan Baitul Atiq, Ka’bah. Disanalah pertama kali ia mendongakkan kepalanya melihat langit dan menerima cahaya dan kebaikannya, dan ia pun menyatakan berlepas diri dari segala hal yang berkaitan dengan penyembahan berhaka dan mensucikan dirinya dari hal tersebut. Ia hanya menerima kemurnian tauhid. Maka ia pun menunggu kabar langit dan membuka kedua tangannya untuk menerima kebenaran wahyu yang mulai turun dan membawa akidah yang berdasarkan kepada keikhlasan ibadah hanya untuk Alllah, dan mencampakkan semua sesembahan selainnya.

Hari-hari pun berganti, siang dan malam datang silih berganti, dan kemudian menjadi hitungan tahun. Thalhah mulai tumbuh di lingkungan kota Mekah, dan ia menerima berbagai kelebihan yang ada di sana, mulai dari keturuna yang baik, keluarga yang mulia, dan kaum kerabat yang terhormat.

Dari garis keturunan dan hubungan kerabat yang ia miliki, ia dikelilingi oleh sosok terbaik dan sangat terhormat di kalangan Quraisy, baik pada masa jahiliyah maupun Islam. Ayahnya berasal dari kabilah Taim Quraisy. Dan tampaknya ia telah wafat pada masa jahiliyah, karena tidak ada satupun riwayat yang menceritakan tentang sikapnya pada saat kedatangan Islam. Ibunya adalah Ash-Sha’bah binti Al-Hadhrami, saudari Al-Ala’ bin Al-Hadhrami, seorang shahabiyah mulia yang masuk Islam dan ikut berhijrah. Pamannya Amru bin Utsman juga masuk Islam, hijrah ke Madinah, dan ikut dalam perang Qadisiyah. Lalu neneknya dari garis ibunya adalah Atikah binti Wahab bin Abdu bin Qushay bin Kilab, dan Wahab bin Abdu adalah satu-satunya orang yang bertanggung jawab mengurus makanan jamaah haji. Thalhah merupakan ipar Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam melalui empat istrinya Thalhah menikahi Ummu Kultsum binti Abu Bakar yang merupakan saudari dari Aisyah Ummul Mukminin, dan Hamnah binti Jahsy yang merupakan saudari dari Ummul mukminin Zainab, lalu Rafa’ah binti Abu Sufyan yang merupakan saudari dari Ummul mukminin Habibah, dan Qaribah binti Abi Umayyah yang merupakan saudari dari Ummul mukminin Ummu Salamah. Dan ia juga menikahi Khaulah binti Qa’qa’ bin Mu’id, yang dijuluki aliran sungai Eufrat karena kedermawanannya!

Ia mempunyai keturunan yang banyak, di antara putra-putranya yang terkenal adalah Muhammad bin Thalhah yang bergelar As-Sajjad (yang banyak bersujud), Musa, dan Isa, mereka semua adalah tokoh-tokoh terhormat. Dan di antara putri-putrinya yang menonjol adalah Aisyah binti Thalhah, kakeknya adalah Abu Bakar, dan ayahnya adalah Thalhah, dan ia merupakan wanita paling berpengaruh di zamannya. Lalu ummu Ishaq yang dinikahi oleh Husain bin Ali, dan kemudian dinikahi oleh adiknya, Husain.

Ini Cuplikan tentang garis keturunan Thalhah yang mulia, dan kekerabatan yang terhormat melalui istri-istrinya, yang menunjukkan tentang tingginya kedudukannya, dan kemurnian lingkungan keluarnya, sejak kelahirannya hingga masa dewasa, dan kemudian membangun keluarganya sendiri.

Sifat dan kepribadiannya

Jikalau seseorang mempunyai keberuntungan tersendiri dengan namanya, maka Thalhah telah mendapatkan yang terbaik dan tertinggi dari keberuntungan tersebut.

Ath-Thalhu, merupakan bentuk jamak dari Thalhah dan nama ini diberikan untuk laki-laki. Dan ia merupakan sebuah pohon di wilayah Hijaz yang tumbuh di dalam lembah pada tanah yang keras, subur, dan sulit dijangkau. Pohon ini mempunyai batang yang besar, daun yang lebat, sangat hijau, dahannya keras, dan mempunyai daya perekat yang terbaik. Pohon ini tinggi sehingga serin digunakan sebagai tempat berteduh para musafir dan unta-unta mereka, batang pohonnya sangat besar sehingga tidak bisa dipeluk oleh satu orang laki-laki, mempunyai dahan-dahan yang besar dan panjang sehingga melambai kea rah langit. Ia juga mempunyai duri yang besar dan panjang, namun tidak membahayakan, sehingga duri-duri ini banyak dimakan oleh unta.

Bagi yang pernah membaca perjalanan hidup Thalhah, ia akan menemukan banyak sifat dan ciri-ciri yang sesuai dengan pohon tersebut, baik dalam hal kekuatannya, ketegarannya, kebaikannya, keutamaannya, dan juga manfaat yang dipetik orang lain darinya!

Ia dilahirkan di pusat wilayah Hijaz, tumbuh di padang pasirnya, dan berkembang dalam naungannya. Ia mempunyai tubuh yang kuat dan kokoh, tegar, memiliki hati yang tak tergoyahkan. Ia merupakan pribadi yang dermawan, tangannya senantiasa terulur memberikan bantuan, dan sangat baik hati. Ia tak ragu menempuh kesulitan dalam menghadapi musuh-musuh Allah. Tidak ada lawan yang ditakutinya, dan ia tak gentar menghadapi kebisingan dan kerasnya medan pertempuran. Ia menghabiskan hartanya demi kebaikan dan membela Islam serta menolong mereka yang membutuhkan. Ia juga melibatkan dirinya dalam banyak medan jihad dan melindungi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan membela dakwahnya serta menyebarkan risalahnya. Ia bagaikan pohon Ath-Thalhu dalam kekokohannya, kedermawanannya, dan banyaknya manfaat yang ia berikan sehingga tidak ada yang menandingi kedermawanannya. Sungguh ayahnya sangat tepat ketika memilihkan nama ini untuknya.

Ketampanan dan keindahan tubuhnya menjadi keistimewaan lain bagi kepribadiannya. Sehingga terkumpul dalam dirinya ketampanan dan kemuliaan pekerti. Putranya, Musa bin Thalhah menggambarkannya sebagai berikut, “Thalhah bin Ubaidillah mempunyai kulit putih kemerah-merahan, tingginya sedang dan cenderung agak pendek, dadanya bidang, kedua bahunya lebar, dan jika ia menoleh, ia akan menggerakkan semuanya. Kakinya besar, wajahnya tampan, batang hidungnya ramping, jika berjalan ia bergegas, dan ia tidak pernah mengubah warna rambutnya.”

Dan pada bagian akhir ia menggambarkan, “Rambutnya lebat, tidak terlalu keriting dan juga tidak lurus.”

Dapat dilihat bahwa pada sebagian ciri-ciri ini ia mirip dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Pertumbuhannya dan Keislamannya

Remaja ini tumbuh dan berkembang di Mekah dan lingkungan sekelilingnya, hingga ia menjadi kuat dan pola pikirnya mulai terbentuk sempurna. Ia tumbuh bersama-sama dengan teman-teman seusianya seperti Zubair bin Awwam dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Mereka bertiga sangat dekat, dan ketika cahaya wahyu mulai terbit dan turun kepada hati Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, Thalhah baru berusia lima belas tahun, yang berarti bahwa ia masih sangat remaja dan baru akan memasuki tahap kedewasaannya. Pikirannya tidak pernah terkontaminasi oleh keburukan jahiliyah, hatinya juga tidak pernah tertarik kan akidah mereka, dan ia juga tidak tertarik untuk mengikuti kebiasaan nenek moyangnya. Dalam hal ini ia tidak berbeda dengan banyak remaja yang belum memasuki kancah kehidupan yang dihiasi dengan berbagai macam akidah, ritual keagamaan, dan aneka bentuk ibadah yang ada. Ia masih menapaki langkah-langkah awal dari jalan kehidupan yang amat panjang.

Saat itu, Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dikenal sebagai orang yang menjauhi akidah Quraisy dan berbagai kebathilan mereka. Ia seolah mempresentasikan suatu gambaran yang bersih suci dalam lingkungannya, dan bukan sebagai gambaran dari lingkungan tersebut. Jalan yang di ambilnya telah menarik perhatian sejumlah orang. Kemuliaan akhlaknya juga telah dikenal luas, dan bahkan ia dijuluki Ash-Shadiq Al-Amin (yang jujur dan terpercaya). Thalhah pun telah mendengar tentang hal itu, namun ia tidak tahu banyak tentang Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam sebelum kenabiannya, karena jarak umur yang cukup jauh di antara mereka yaitu sekitar dua puluh lima tahun. Dan ini tentunya berpengaruh kepada pola fikir dan cara hidup mereka, juga pada hal-hal yang berkaitan dengan minat, kecenderungan, dan cita-cita serta tujuan hidup yang ingin dicapai.

Pada suatu ketika Thalhah bin Ubaidillah dan rombongan pergi ke Syam. Di Bushra, Thalhah bin Ubaidillah mengalami peristiwa menarik yang mengubah garis hidupnya. Tiba-tiba seorang pendeta berteriak-teriak, "Wahai para pedagang, apakah di antara tuan-tuan yang berasal dari kota Makkah?." "Ya, aku penduduk Makkah," sahut Thalhah. "Sudah munculkah orang di antara kalian orang bernama Ahmad?" tanyanya. "Ahmad yang mana?" "Ahmad bin Abdullah bin Abdul Muthalib. Bulan ini pasti muncul sebagai Nabi penutup para Nabi. Kelak ia akan hijrah dari negerimu ke negeri berbatu-batu hitam yang banyak pohon kurmanya. Ia akan pindah ke negeri yang subur makmur, memancarkan air dan garam. Sebaiknya engkau segera menemuinya wahai anak muda," kata pendeta itu.

Ucapan pendeta itu begitu membekas di hati Thalhah bin Ubaidillah, sampai tanpa menghiraukan kafilah dagang di pasar ia langsung pulang ke Makkah. Setibanya di Mekkah, ia langsung bertanya kepada keluarganya, "Ada peristiwa apa sepeninggalku?" "Ada Muhammad bin Abdullah mengatakan dirinya Nabi dan  Abu Bakar As Siddiq  telah mempercayai dan mengikuti apa yang dikatakannya," jawab mereka.

"Aku kenal Abu Bakar. Dia seorang yang lapang dada, penyayang dan lemah lembut. Dia pedagang yang berbudi tinggi dan teguh. Kami berteman baik, banyak orang menyukai majelisnya, karena dia ahli sejarah Quraisy," gumam Thalhah bin Ubaidillah lirih.

Setelah itu Thalhah bin Ubaidillah langsung menemui Abu Bakar As Siddiq dan bertanya: "Benarkah Muhammad bin Abdullah telah menjadi Nabi dan engkau mengikutinya?"  Abu Bakar menjawab:"Betul." Kemudian Abu Bakar As-Siddiq menceritakan kisah Muhammad sejak peristiwa di gua Hira' sampai turunnya ayat pertama. Abu Bakar As Siddiq mengajak Thalhah bin Ubaidillah untuk masuk Islam. 

Usai Abu Bakar As-Siddiq bercerita Thalhah bin Ubaidillah ganti bercerita tentang pertemuannya dengan pendeta Bushra. Abu Bakar As-Siddiq tercengang. Lalu Abu Bakar As-Siddiq mengajak Thalhah bin Ubaidillah untuk menemui Muhammad dan menceritakan peristiwa yang dialaminya dengan pendeta Bushra. Di hadapan Rasulullah, Thalhah bin Ubaidillah langsung mengucapkan dua kalimat syahadat.

Meskipun pengetahuan Thalhah tentang NabiShallallahu Alaihi wa Sallam, baik tentang pertumbuhannya, budi pekertinya, akhlaknya, dan kelebihan-kelebihannya sangat sedikit, dan tidak cukup untuk membuat nya yaking tentang perkara yang begitu agung, namun remaja yang cerdas ini tidak ingin menyimpang dari jalannya. Ia juga tidak meremehkan apa yang diucapkan oleh sang rahib, dan tidak menganggapnya remeh dan menunggu hingga perkara tersebut telah menyebar dan menjadi pembicaraan seleuruh kalangan. Ia juga tidak begitu saja beriman kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan membenarkan apa yang dibawanya tanpa melihat dahhulu tentang latar belakang kehidupannya.
Remaja ini telah dianugerahi oleh Allah sebuah akal yang cerdas, hati yang tajam, serta pemikiran yang tepat. Hal ini mulai terlihat ketika ia bertemu dengan rahib tersebut, dan terus menjadi bagian dari kepribadiannya sepanjang hidupnya. Ia memikirkan tentang perkara yang agung tersebut, menggunakan ketajaman pikirannya, dan berusaha melihatnya dari banyak sudut pandang. Maka kemudian ia berkesimpulan untuk menanyakan hal itu kepada orang yang paling dapat ia percaya, orang yang paling tepat untuk menerangkan tentang hal-hal yang membingungkan, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq. Salah satu kerabat terdekat nya dari Bani Taim, yang paling terkemuka dari kaumnya, dan merupakan orang yang paling mengenal Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan paling dekat dengannya. Ia juga orang yang paling mengenal sifat-sifat dan perjalanan hidupnya, dan tentunya orang yang paling jujur yang dapat memberitahukan tentang segala hal yang berkaitan dengannya.

Maka Begitu Thalhah sampai di Mekah dari Bushra, dan mendengar berita tentang kenabian Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan bahwa Abu Bakar telah membenarkan dan mengikutinya, ia segera mendatanginya. Ia melangkah kakinya menuju rumah Abu Bakar, dan masuk menemuinya, dan berkata, “Ya, Maka segeralah pergi menemuinya, dan ikutilah dia, sesungguhnya ia menyeru kepada kebenaran.”

Adapun Abu Bakar, maka sejak detik pertama dari keislamannya, ia telah membebankan di pundaknya kewajiban untuk menyampaikan apa yang diwahyukan Allah kepada RasulullahShallallahu Alaihi wa Sallam. Maka ia pun segera menyeru mereka yang ia percayai dan dapat memperkuat kelangsungan dakwah. Keinginan Ash-Shiddiq ini bertepatan dengan kedatangan Thalhah dari Syam dengan membawa sebuah berita menarik yang menyuruhnya untuk mengikuti Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan Abu Bakar lah yang menjadi perantara bagi Islamnya Thalhah.

Berita ini diperkuat, dan disempurnakan oleh riwayat dari Imam Muhammad bin Ishaq yang juga menerangkan dari sisi lain dari kisah di atas, ia berkata, “Ketika Abu Bakar masuk Islam, ia menunjukkan keislamannya. Dan menyeru kepada Allah dan Rasullnya Shallallahu Alaihi wa Sallam. Abu Bakar adalah seorang yang akrab di kalangan masyarakatnya, disukai karena ia serba mudah. Paling mengenak nasab Quraisy, memahami dengan baik seluk beluk kabilah itu, yang baik maupun yang jahat. Ia adalah seorarng pedagang, dan berakhlak mulia. Dia sering didatangi oleh orang-orang dari kaumnya untuk masalah yang berbeda-beda. Baik itu karena pengetahuannya, karena perdagangannya, ataupun juga karena kerahamahannya dalam bergaul. Maka ia pun mengajak mereka yang ia percaya dari kaumnya kepada Islam, terdiri dari mereka yang sering bergaul dengannya, sehingga masuk Islamlah karena seruannya orang-orang seperti Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Thalhah bin Ubaidillah Radhiyallahu Anhum. Saat mereka menerima ajakannya, ia membawa mereka kehadapan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Beliau menawarkan Islam kepada mereka, membacakan Al-Qur’an, menerangkan tentang kebenaran Islam, dan merekapun beriman. Merekalah delapan orang yang paling pertama masuk Islam. Mereka membenarkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan mengimani apa yang beliau bawa dari Allah.”

Dan sejak detik pertama, Thalhah melangkahkan kakinya pada jalan yang benar, dan bergabung dengan kelompok Islam yang pertama, yang merupakan cikal bakal dari masyarakat muslim, dan titik awal dakwah, serta titik tolak dari penyampaian risalah kepada seluruh alam.

Bagi keluarganya, masuk Islamnya Thalhah bin Ubaidillah bagaikan petir di siang bolong. Keluarganya dan orang-orang satu sukunya berusaha mengeluarkannya dari Islam. Mulanya dengan bujuk rayu, namun karena pendirian Thalhah bin Ubaidillah sangat kokoh, mereka akhirnya bertindak kasar. 

Siksaan demi siksaan mulai mendera tubuh anak muda yang santun itu. Sekelompok pemuda menggiringnya dengan tangan terbelenggu di lehernya, orang-orang berlari sambil mendorong, memacu dan memukuli kepalanya, dan ada seorang wanita tua yang terus berteriak mencaci maki Thalhah bin Ubaidillah, yaitu ibunya, Ash-Sha'bah. Tak hanya itu, pernah seorang lelaki Quraisy, Naufal bin Khuwailid yang menyeret Abu Bakar As-Siddiq dan Thalhah bin Ubaidillah mengikat keduanya menjadi satu dan mendorong ke algojo sampai darah mengalir dari tubuh sahabat yang mulia ini. 

Peristiwa ini mengakibatkan Abu Bakar As-Siddiq dan Thalhah bin Ubaidillah digelari Al-Qarinain atau sepasang sahabat yang mulia. Tidak hanya sampai disini saja cobaan dan ujian yang dihadapi Thalhah bin Ubaidillah, semua itu tidak membuatnya surut, melainkan makin besar bakti dan perjuangannya dalam menegakkan Islam, hingga banyak gelar dan sebutan yang didapatnya antara lain "Assyahidul Hayy", atau syahid yang hidup.

Julukan ini diperolehnya dalam perang Uhud. Saat itu barisan kaum muslimin terpecah belah dan kocar-kacir dari samping Rasulullah. Yang tersisa di dekat beliau hanya 11 orang Anshar dan Thalhah bin Ubaidillah dari Muhajirin. Rasulullah dan orang-orang yang mengontrol beliau naik ke bukit tadi dihadang oleh kaum musyrikin.

"Siapa berani melawan mereka, dia akan menjadi temanku kelak di surga," seru Rasulullah. "Aku Wahai Rasulullah," kata Thalhah bin Ubaidillah. "Tidak, jangan engkau, kau harus berada di tempatmu." "Aku ya Rasulullah," kata seorang prajurit Anshar. "Ya, majulah," kata Rasulullah.  Lalu prajurit Anshar itu maju melawan prajurit-prajurit kafir. Pertempuran yang tak seimbang mengantarkannya menemui kesyahidan.

Rasulullah kembali meminta para sahabat untuk melawan orang-orang kafir dan selalu saja Thalhah bin Ubaidillah mengajukan diri pertama kali. Tapi, senantiasa ditahan oleh Rasulullah dan diperintahkan untuk tetap ditempat sampai 11 prajurit Anshar gugur menemui syahid dan tinggal Thalhah bin Ubaidillah sendirian bersama Rasulullah.

Saat itu Rasulullah berkata kepada Thalhah bin Ubaidillah, "Sekarang engkau, wahai Thalhah."  Dan majulah Thalhah bin Ubaidillah dengan semangat jihad yang berkobar-kobar menerjang ke arah musuh dan mengusir agar jangan mendekati Rasulullah. Lalu Thalhah berusaha menaikkan Rasulullah sendiri ke bukit, kemudian kembali menyerang hingga tak sedikit orang kafir yang tewas.

Saat itu  Abu Bakar As-Siddiq  dan  Abu Ubaidah bin Jarrah  yang berada agak jauh dari Rasulullah telah sampai di dekat Rasulullah. "Tinggalkan aku, bantulah Thalhah, kawan kalian," seru Rasulullah. Keduanya bergegas mencari Thalhah bin Ubaidillah, ketika ditemukan, ini dalam kondisi pingsan, sedangkan badannya berlumuran darah segar. Tak kurang 79 luka bekas tebasan pedang, tusukan tombak dan lemparan panah memenuhi tubuhnya. Pergelangan tangannya putus sebelah.

Dikiranya Thalhah sudah gugur, ternyata masih hidup. Karena itulah gelar syahid yang hidup diberikan Rasulullah. " Siapa yang ingin melihat orang berjalan di muka bumi setelah mengalami kematiannya, maka lihatlah Thalhah," sabda Rasulullah.

Sejak saat itu bila orang membicarakan perang Uhud dihadapan Abu Bakar As-Siddiq, maka beliau selalu menyahut, " Perang hari itu adalah peperangan Thalhah seluruhnya sampai akhir hayatnya . "

Kemurahan dan kedermawanan Thalhah bin Ubaidillah patut kita contoh dan kita teladani. Dalam hidupnya ia memiliki tujuan utama yaitu bermurah dalam pengorbanan jiwa. Thalhah bin Ubaidillah  merupakan salah seorang dari sepuluh orang yang pertama masuk Islam, dimana pada saat itu satu orang bernilai seribu orang.

Sejak awal keislamannya sampai akhir hidupnya dia tidak pernah mengingkari janji. Janjinya selalu tepat. Ia juga dikenal sebagai orang jujur, tidak pernah menipu apalagi berkhianat. Thalhah bin Ubaidillah bagaikan sungai yang airnya mengalir terus menerus mengairi dataran dan lembah. Ia adalah seorang dari kaum muslimin yang kaya raya, tapi pemurah dan dermawan. Istrinya bernama Su'da binti Auf. 

Pada suatu hari istrinya melihat Thalhah bin Ubaidillah sedang murung dan duduk termenung sedih. Melihat kondisi suaminya, sang istri segera menanyakan penyebab kesedihannya dan Thalhah mejawab, " Uang yang ada di tanganku sekarang ini begitu banyak sehingga memusingkanku. Apa yang harus kulakukan? "Maka istrinya berkata, "Uang yang ada ditanganmu itu bagi-Bagikanlah kepada fakir-miskin." Maka dibagi-bagikannyalah seluruh uang yang ada ditangan Thalhah tanpa meninggalkan sepeserpun.

As-Saib bin Zaid berkata tentang Thalhah bin Ubaidillah, katanya, " Aku berkawan dengan Thalhah baik dalam perjalanan maupun sewaktu bermukim. Aku melihat tidak ada seorangpun yang lebih dermawan dari dia terhadap kaum muslimin. Ia mendermakan uang, sandang dan pangannya."

Jabir bin Abdullah berbicara, " Aku tidak pernah melihat orang yang lebih dermawan dari Thalhah walaupun tanpa diminta." Oleh karena itu patutlah jika dia dijuluki "Thalhah si dermawan", " Thalhah si konduktor harta "," Thalhah kebaikan dan kebajikan ".
Pengorbanan Thalhah kepada Rasulullah SAW

Bila diingatkan tentang perang Uhud, Abubakar Ra selalu teringat pada Thalhah ra. Ia berkata, "Perang Uhud adalah harinya Thalhah ra. Pada waktu itu akulah orang pertama yang menjumpai Rasulullah SAW. Ketika melihat aku dan Abu Ubaidah, baginda berkata kepada kami: "Lihatlah saudaramu ini." Pada waktu itu aku melihat tubuh Thalhah terkena lebih dari tujuh puluh tikaman atau panah dan jari tangannya putus." Diceritakan ketika tentara Muslim terdesak mundur dan Rasulullah SAW dalam bahaya akibat ketidakdisiplinan pemanah-pemanah dalam menjaga pos-pos di bukit, di saat itu pasukan musyrikin bagai kesetanan merangsek maju untuk melumat tentara muslim dan Rasulullah SAW, terbayang di pikiran mereka kekalahan yang amat memalukan di perang Badar. 

Mereka masing-masing mencari orang yang pernah membunuh keluarga mereka sewaktu perang Badar dan berniat akan membunuh dan memotong-motong dengan sadis. Semua musyrikin berusaha mencari Rasulullah SAW. Dengan pedang-pedangnya yang tajam dan mengkilat, mereka terus mencari Rasulullah SAW. Tetapi kaum muslimin dengan sekuat tenaga melindungi Rasulullah SAW, melindungi dengan tubuhnya dengan daya upaya, mereka rela terkena sabetan, tikaman pedang dan anak panah. Tombak dan panah menghunjam mereka, tetapi mereka tetap bertahan melawan kaum musyrikin Quraisy. Hati mereka berucap dengan teguh, "Aku korbankan ayah ibuku untuk engkau, ya Rasulullah saw.". Salah satu diantara mujahid yang melindungi Nabi SAW adalah Thalhah ra. Ia berperawakan tinggi kekar. Ia ayunkan pedangnya ke kanan dan ke kiri. Ia melompat ke arah Rasulullah saw. yang tubuhnya berdarah. Dipeluknya Beliau dengan tangan kiri dan dadanya. Sementara pedang yang ada ditangan kanannya ia ayunkan ke arah lawan yang mengelilinginya bagai laron yang tidak memperdulikan maut. Alhamdulillah, Rasulullah saw. selamat.

Thalhah memang merupakan salah satu pahlawan dalam barisan tentara perang Uhud. Ia siap berkorban demi membela Nabi SAW. Ia memang patut ditempatkan pada barisan depan karena ALLAH menganugrahkan kepada dirinya tubuh kuat dan kekar, keimanan yang teguh dan keikhlasan pada agama ALLAH. Akhirnya kaum musyrikin pergi meninggalkan medan perang. Mereka mengira Rasulullah SAW telah tewas. Alhamdulillah, Rasulullah saw. selamat walaupun dalam keadaan menderita luka-luka. Baginda dipapah oleh Thalhah menaiki bukit yang ada di ujung medan pertempuran. Tangan, tubuh dan kakinya diciumi oleh Thalhah, seraya berkata, "Aku tebus engkau Ya Rasulullah saw. dengan ayah ibuku." Nabi SAW tersenyum dan berkata, " Engkau adalah Thalhah kebajikan." Di hadapan para sahabat Nabi SAW bersabda, " Keharusan bagi Thalhah adalah memperoleh ...." Yang dimaksud nabi SAW adalah memperoleh surga. Sejak peristiwa Uhud itulah Thalhah mendapat julukan "Burung elang hari Uhud."

Thalhah Yang Dermawan

Pernahkah anda melihat sungai yang airnya mengalir terus menerus mengairi dataran dan lembah ? Begitulah Thalhah bin Ubaidillah. Ia adalah seorang dari kaum muslimin yang kaya raya, tapi pemurah dan dermawan. Istrinya bernama Su'da binti Auf. Pada suatu hari istrinya melihat Thalhah sedang murung dan duduk termenung sedih. Melihat keadaan suaminya, sang istri segera menanyakan penyebab kesedihannya dan Thalhah mejawab, " Uang yang ada di tanganku sekarang ini begitu banyak sehingga memusingkanku. Apa yang harus kulakukan ?" Maka istrinya berkata, "Uang yang ada ditanganmu itu bagi-bagikanlah kepada fakir-miskin." 

Maka dibagi-bagikannyalah seluruh uang yang ada ditangan Thalhah tanpa meninggalkan sepeserpun. Assaib bin Zaid berkata tentang Thalhah, katanya, "Aku berkawan dengan Thalhah baik dalam perjalanan maupun sewaktu bermukim. Aku melihat tidak ada seorangpun yang lebih dermawan dari dia terhadap kaum muslimin. Ia mendermakan uang, sandang dan pangannya." Jaabir bin Abdullah bertutur, " Aku tidak pernah melihat orang yang lebih dermawan dari Thalhah walaupun tanpa diminta." Oleh karena itu patutlah jika dia dijuluki "Thalhah si dermawan", "Thalhah si pengalir harta", "Thalhah kebaikan dan kebajikan".

Wafatnya Thalhah bin Ubaidillah

Sewaktu terjadi pertempuran "Aljamal", Thalhah (di pihak lain) bertemu dengan Ali Ra dan Ali Ra memperingatkan agar ia mundur ke barisan paling belakang. Sebuah panah mengenai betisnya maka dia segera dipindahkan ke Basra dan tak berapa lama kemudian karena lukanya yang cukup dalam ia wafat. Thalhah wafat pada usia enam puluh tahun dan dikubur di suatu tempat dekat padang rumput di Basra. Sesungguhnya Thalhah bin Ubaidillah berharap bisa gugur ketika berjuang bersama Rasulullah Saw. saat menghadapi musuh Islam. Namun, ketentuan Ilahi menghendaki dia tewas di tangan orang Islam sendiri. Rasulullah pernah berkata kepada para sahabat, "Orang ini termasuk yang gugur, dan barang siapa senang melihat seorang syahid berjalan diatas bumi maka lihatlah Thalhah bin Ubaidillah".
Hal itu juga dikatakan ALLAH dalam firmanNya : "Di antara orang-orang mukmin itu ada orang -orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada ALLAH, maka diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah janjinya." (Al-Ahzaab: 23)
Tempat pemakamannya dan Pemindahannya
 
Ketika Thalhah wafat, orang-orang menguburkannya di tepi Kalla’.
 
Khalla’ adalah tempat dimana kapal-kapal berlabuh, yaitu tepian sungai-sungai, dan yang dikenal dengan nama dermaga.
 
Sa’id bin Amir Adh-Dhuba’I meriwayatkan dari Al-Mutsanna bin Sa’id berkata, “Seseorang mendatangi Aisyah binti Thalhah dan berkata, “Aku bermimpi bertemu dengan Thalhah dan ia berkata, “Katakanlah kepada Aisyah agar ia memindahkanku dari tempat ini, sesungguhnya rembesan lumpurnya menggangguku.” Maka Aisyah segera berangkat dengan para pembantunya, mereka membuatkan tempat baru untuknya, dan kemudian mengeluarkannya. Ia berkata, “Tidak ada yang berubah darinya selain beberapa helai rambut dari salah satu sisi jenggotnya, atau ia mengatakan, “Kepalanya.” Dan itu terjadi setelah lebih dari tiga puluh tahun!”
 
Dalam riwayat lain, “Sebagian keluarganya melihatnya dalam mimpi dan ia berkata, “Bebaskanlah aku dari air ini, sungguh aku telah tenggelam.” Maka mereka mengali kuburannya yang hijau dengan tanaman, mereka mengeringkan airnya dan kemudian mengeluarkannya. Dan ternyata hanya bagian jenggot dan wajahnya yang menghadap tanah yang telah dimakan oleh tanah. Lalu mereka membeli sebagian tanah milik Abu Bakrah dan memakamkannya di sana.”
 
Harta Warisannya
 
Allah memberkahi Thalhah dalam hartanya sebagaimana Dia memberkahi untuknya. Allah melapangkan rezekinya, dan membukakan pintu-pintu rahmat untuknya. Harta-harta tercurah kepadanya sehingga mengalir di kedua tangannya, dan Allah memuliakannya dengan jiwa yang pemurah dan lapang, dan dengan tangan yang suka memberi. Ia sering memberi dalam jumlah yang banyak, dan menghibahkan dalam jumlah yang banyak pula. Ia menginfakkan ini dan itu, sehingga keberkahan semakin meliputi hartanya, dan Allah pun meninggalkan harta yang banyak setelahnya. Ia meninggalkan untuk keluarganya harta yang sangat banyak sehingga mereka bisa hidup dalam keadaan kaya dan terhormat. Malaikat telah mencatat di lembaran amalnya begitu banyak kebaikan dan pahala yang amat besar yang tidak diketahui kecuali oleh Allah Ta’ala semata.
 
Ibnu Sa’ad dan Ibnu Asakir meriwayatkan dari Musa bin Thalhah, “Bahwasanya Mu’awiyah bertanya kepadanya, “Berapakah harta yang ditinggalkan oleh Abu Muhammad?” Ia menjawab, “Dua juga dua ratus ribu dirham, dan dari emas sebanyak dua ratus ribu dinar.” Maka Mu’awiyah berkata, “Ia telah hidup dalam keadaan terpuji, dermawan, dan mulia, dan terbunuh sebagai orang yang dirindukan, semoga Allah merahmatinya.”
 
Dan mereka berdua juga meriwayatkan dari Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah berkata, “Nilai harta yang ditinggalkan Thalhah dari property dan hartanya yang berupa perhiasan sebanyak tiga puluh juta dirham, dan ia meninggalkan ua sebanyak dua juta dua ratus ribu dirham dan dua ratus ribu dinar, dan sisanya adalah ‘Urudh (bentuk jamak, dan mufradnya adalah ‘Ardh, yaitu menyelisihi harga dirham dan dinar).
 
Ibnu Sa’ad dan Al-Hakim meriwayatkan dari Su’da binti Auf Al-Murriyyah, istri Thalhah – ia berkata, “Thalhah bin Ubaidillah, semoga Allah merahmatinya, terbunuh dan saat itu di tangan bendaharanya terdapat dua juta dua ratus ribu dirham dan kemudian tanah serta propertinya ditaksir bernilai tiga puluh juta dirham.”
 ‎
Ibnu Sa’ad menuturkan sebuah riwayat yang mencengangkan dari Amru bin Al-Ash, ia berkata, “Aku diberitahu bahwasanya Thalhah bin Ubaidillah meninggalkan seratus buhar, setiap buhar berisi tiga kwintal emas, dan aku mendengar bahwa buhar adalah kantung dari kulit sapi jantan.”‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar