Translate

Sabtu, 12 September 2015

Sejarah Peperangan Mataram Menguasai Brang Wetan (Madiun)

Pada tahun ke 18 pemerintahan Pangeran Timoer (Panembahan Ronggo Jumeno) di Purabaya (Madiun). Raden Sutawijaya Panembahan Senopati yang berkuasa di Mataram  yang dikenal dengan nama lain Raden Ngabei Lor ing Pasar naik tahta dengan gelar Panembahan senapati ing Alaga tahun 1601.Gelar ini sangat sesuai karena selama berkuasa sebagai Sultan ke 1 di Mataram, sampai mangkatnya sering melakukan peperangan untuk mewujudkan cita-citanya menguasai seluruh pulau Jawa. 

Lahirnya Kesultanan Mataram yang diperintah oleh pemimpin yang bukan keturunan Raja raja Demak menjadikan perselisihan antara Pangeran Timoer dengan Panembahan Senapati. Pangeran Timoer tidak mau mengakuinya dan sebaliknya ia menyatakan diri sebagai ahli waris sah keturunan Demak. Dan untuk menghadapi segala kemungkinan terburuk atas serangan Mataram ke Purabaya, untuk itu Pangeran Timoer segera membentuk persekutuan para Bupati Mancanegara guna persiapan menghadapi pasukan Mataram yang dipimpin oleh Panembahan senapati.‎

Beliau berpendapat, Kalau Sultan  Hadiwijaya tidak punya penerus, kekuasaan mesti kembali ke Trah Sultan Trenggana. Bukan ke Sutawijaya yang sekedar anak angkat Hadiwijaya, bukan pula ke Aria Pangiri, keponakannya, anak Raja Demak Pamungkas Sunan Prawata kakandanya sendiri. Ia adalah keturunan langsung Sultan Trenggana yang masih ada.‎ Ia adalah derajat keturunan yang tertua dan tertinggi diantara yang ada..

Maka Rangga Jumena, menolak mengakui kedaulatan Mataram‎. Ia menyatukan kekuatan dengan para Adipati di Bang Wetan yang menentang Mataram, menggalang sahabat dan simpatisannya, para Maha Guru Perguruan dan Pimpinan Padepokan, yang karena persahabatan maupun kepentingan, membantunya menegakkan kembali Kesultanan Demak melalui Trah Sultan Trenggana.

‎Maka setelah Mataram selesai mengatasi persolannya meredam ambisi Aria Pangiri di Pajang, dan telah berhasil memindahkan Pusaka2 Pajang ke Pusat Pemerintahan baru di Mataram, kini mesti menghadapi perlawanan Bang Wetan dari para Adipati kawasan Timur yang ingin membebaskan diri dari kekuasaanya.

Gerakan mereka mulai dengan upaya mempersiapkan serangan bersama ke Mataram dengan menyusun serta menetapkan daerah2 yang dapat menjadi simpul dan pijakan untuk menempatkan dan menyiapkan gudang2 logistik bagi jalur pasukan gabungan yang akan menyerbu Mataram, maupun gerakan menjual jasa, membunuh Sutawijaya, yang kini bergelar Panembahan Senapati.

Salah satu perguruan yang terlibat adalah Perguruan Nagaraga. Mereka mengirim Guru dan Murid pilihannya sebagai regu pembunuh gelap ke Istana Mataram. Sasarannya adalah bilik peraduan Raja, tujuannya membunuh Panembahan Senapati yang sedang tidur dengan senjata racun. Tapi ‎usaha regu pendahulunya yang mengidentifikasi lokasi bangunan2 penting Istana, terendus oleh gugus Sandhi Yudha Mataram, yang kemudian menjebak dan menangkapnya. Sebagian mereka terbunuh. Dari mereka yang tertangkap maupun terbunuh, terungkaplah ciri perguruan Nagaraga: seekor Naga bermahkota dengan wajah murka. Dari mereka pula berhasil dikorek keterangan dimana lokasi perguruan mereka berada.

Maka, Panembahan Senapati ‎mengirim Pasukan untuk menangkap pimpinan dan membubarkan Perguruan Nagaraga. Untuk membatasi persoalan dan mengurangi keonaran, Pasukan Mataram harus bergerak secara rahasia, dan bertahap. Pasukan dipimpin oleh Panglima adinda Panembahan Senapati: Pangeran Singasari. Pasukan ini beranggotakan perwira2 Sandhi Pilihan dan prajurit2 tangguh, serta para Sakti, diantaranya Putra Panembahan sendiri: Raden Rangga, remaja yang kesaktiannya sangat luar biasa. Raden Rangga adalah putra Panembahan Senapati dari perkawinannya dengan Putri Ratu Kalinyamat‎, yang ternyata adalah titisan Kanjeng Ratu Kidul. Cara tindak dan kesaktian yang luarbiasa diperolehnya secara gaib dari Panglima2 Balatentara Laut Selatan.

‎Perguruan Nagaraga. Terletak di lereng utara Gunung Lawu, mempunyai ciri gerak yang mendasarkan pada sifat dan gerak ular dan naga, dilengkapi dengan olah senjata dan ilmu ramuan obat berbisa dan beracun.‎ Di belakang kawasan perguruan, adalah sebuah gua, didalamnya bermukim ular besar dikeramatkan dan didewakan warga Perguruan: Sang Nagaraga. Upacara ritual pengorbanan diselenggarakan rutin, melemparkan kambing hidup kedalam gua sebagai santapan Dewa Nagaraga. Kesaktian para Mahaguru, Guru, dan Murid2 Perguruan didasarkan tuah Sang Nagaraga, yang didewakan disana.

Panglima Mataram Pangeran Singasari, pada akhirnya disambut oleh Pimpinan sekaligus Maha Guru Perguruan Nagaraga: Empu Nagaraga, didepan Gerbang Perguruan yang pecah digempur Mataram. Pangeran Singasari meminta Empu Nagaraga dan seluruh Perguruannya menyerah untuk dibawa ke Mataram, dengan tuduhan percobaan pembunuhan atas Raja Mataram Panembahan Senapati.

Empu Nagaraga menolak. Ia berpendapat Panembahan Senapati tidak tahu diri dengan memaklumkan diri sebagai Penerus Kekuasaan Pajang di Mataram, sementara‎ masih ada Panembahan Madiun: Adipati di Madiun yang juga bergelar Rangga Jumena, Putra Bungsu Sultan Trenggana. Yang secara garis keturunan adalah yang paling tua dan paling berhak. Ia meminta Panembahan Senapati menghormati adat dan kasepuhan, menyerahkan mandat dan kekuasaannya kepada Adipati Madiun.

Hasilnya, pertempuran pun pecah, habis2an. Atas tuah Dewanaga sang Nagaraga, kesaktian para Murid Perguruan berhasil mengimbangi bahkan mengatasi Pasukan Mataram yang kalah dalam jumlah, dan seakan kehilangan kesaktiannya. Keadaan yang dapat berakibat tak satupun prajurit Mataram pulang dalam keadaan hidup.

Tetapi Raden Rangga, remaja sakti tiada tara Putra Panembahan Senapati dari Ibu titisan Kanjeng Ratu Kidul, berhasil menyusup ke Gua Keramat, membunuh sang Dewa Ular Nagaraga. Kesaktian dan daya perlawanan seluruh ‎Mahaguru, Guru, dan Murid2 Perguruan Nagaraga menjadi seakan sirna. Pasukan Mataram bangkit semangatnya, kesaktiannya pulih kembali. Empu Nagaraga pun terbunuh.

Perguruan Nagaraga dibubarkan, dikuasai Mataram.

Raden Rangga sendiri‎ terluka parah melawan Sang Dewa Ular. Ia minta segera dibawa menghadap ayahandanya ke Mataram. Didepan Panembahan Senapati, ia melaporkan hasil tugasnya. Ibundanya Kanjeng Ratu Kidul, ikut hadir menghadap Panembahan Senapati untuk menjemput puteranya, mengasuhnya di alamnya. Raden Rangga meminta ijin pada ayahandanya dan pada semua yang hadir. Ia mangkat pada usia yang sangat muda. Kesaktiannya yang tiada tara di masa remajanya, menjadi catatan dalam babad dan sejarah.

Serangan Mataram terhadap Perguruan Nagaraga di Lereng Utara Gunung Lawu, terpantau Petinggi Pasukan Madiun, Tumenggung yang berwilayah disisi barat Bengawan. Ia harus menentukan sikap paska ditaklukkannya, dan dikuasainya, Perguruan Nagaraga oleh Mataram. Perguruan yang telah dibinanya sebagai panjatan penyerangan sekaligus tangkis pertahanan dalam menyikapi Mataram.

Kebijakan Panembahan Madiun, sang Adipati, adalah tidak melakukan konflik Pasukan secara terbuka dengan Mataram. Sambil memperkuat aliansi dan mempersiapkan diri, Panembahan Madiun tetap mengedepankan perundingan dengan dukungan para Sesepuh, para Wali. Ia juga percaya, Sutawijaya yang kini Penembahan Senapati Penguasa Mataram, masih akan menghargainya sebagai Paman yang memanjakannya dan dipatuhinya, seperti saat pemuda itu masih dalam asuhan Hadiwijaya.

Tapi banyak perwiranya, para Tumenggung, umumnya berasal dari tlatah Timur, bersifat tidak sabar. Mereka ingin segera membebaskan diri dari bayang2 kebesaran Pajang masa Hadiwijaya, dan apalagi sekarang penerusnya: Mataram yang baru bangkit dibawah Sutawijaya. Salah satunya adalah Tumenggung yang bertugas di sisi barat Bengawan itu. Selain mempersiapkan pertahanan sekaligus panjatan penyerangan, adalah juga tugasnya untuk menebar pengaruh, membuat daerah2 depan Mataram berpihak kepada gerakan pembebasan dari Timur, mempersempit pengaruh Kekuasaan Mataram dibawah Panembahan Senapati.

Maka, ketika sang Tumenggung menerima laporan adanya rombongan kecil dari pasukan penyerang tergesa-gesa membawa orang terluka dalam tandu kembali ke Mataram, ia simpulkan orang bertandu itu tentulah Petinggi yang sangat berpengaruh. Ia segera bertindak diluar pertimbangan dan kendali Adipatinya. Ia perintahkan pasukan berkuda dalam kendalinya, membentuk gugus dalam jumlah yang cukup, mengejar dan menghadang rombongan itu dalam operasi rahasia. Tujuannya menahan orang bertandu sebagai barter pembebasan Perguruan Nagaraga berikut orang2nya dari pendudukan Mataram.

Rombongan pembawa tandu Raden Rangga, meskipun kecil adalah perwira pilihan yang bertanggung jawab penuh atas keselamatan putra Panembahan Senapati junjungannya, yang sedang terluka parah. Disamping itu ada juga para Sakti, sahabat dan tokoh kepercayaan Panembahan dan Raden Rangga sendiri, dalam rombongan. Maka pasukan penghadang yang mengaku kerabat Perguruan Nagaraga yang baru saja ditumpas, bukan lawan yang sepadan.
Dalam pertempuran singkat, para penghadang berhasil diporak porandakan, pimpinannya ditangkap hidup2, dibawa ke Mataram sebagai tawanan.

Setelah pemakaman Raden Rangga diselenggarakan dengan upacara penghormatan penuh kepada Senapati Perang‎ sekaligus Putra Raja Kesultanan, Panembahan Senapati segera bersidang bersama Patih Mandaraka dan Petinggi2 Mataram. Membahas, dan untuk selanjutnya mengorek keterangan, Pimpinan dan Perwira Prajurit2 Madiun yang tertangkap ..

Tentang para penghadang yang ditangkap, laporan perwira pemimpin evakuasi Raden Rangga adalah sbb: Mereka dihadang oleh puluhan orang berkuda, mengaku kerabat Perguruan Nagaraga, menanyakan siapa yang ditandu, dan meminta agar diserahkan. ‎ Atas pertanyaan perguruan atau padepokan mana punya pasukan berkuda, mereka tidak menjawab. Maka pertempuran pun pecah. Pertempuran juga memakan beberapa korban luka dipihak mereka. Rombongan penghadang berhasil diporak porandakan, sebagian besar tewas. Pemimpinnya berhasil dilumpuhkan, ditangkap bersama yang luka2. Ada satu dua yang melarikan diri.

Hasil permintaan keterangan‎ dari mereka yang tertangkap sbb: Mereka adalah Prajurit Madiun bertugas di wilayah barat Bengawan. Mereka bergerak atas perintah dan rencana yang dibuat Panglima mereka. Mereka diminta untuk menyamarkan diri. ‎Mereka tidak tahu apakah penyergapan itu diketahui atau atas perintah Panembahan Madiun sang Adipati.

Kesimpulan Panembahan Senapati sbb: Ketegangan hubungan Mataram Madiun semakin tinggi. Ada Petinggi Madiun terlibat dalam usaha pembunuhan terhadap Raja. memerintahkan menyerang pasukan Mataram yang bertugas resmi. Upaya mempengaruhi daerah2 depan Mataram sekaligus menggalang perlawanan telah dilakukan, termasuk menyiapkan jalur penyerangan dari Madiun ke Mataram. “Semua itu masih harus diyakini apakah Pamanda Panembahan Madiun‎ mengetahuinya atau memerintahkannya secara pribadi”. Panembahan Senapati akan menemui Adipati Madiun, selaku keponakan mengunjungi pamandanya.

‎Sesungguhnyalah gerakan menyiapkan perlawanan dengan kekuatan terhadap Mataram, dipicu ketegangan hubungannya dengan Madiun, semakin luas. Dilakukan oleh berbagai piihak yang mempunyai kepentingan sendiri, baik pribadi, maupun trah, bahkan golongan perguruan, baik dari kalangan dalam maupun luar istana Kadipaten.

Gerakan2 yang bermotive sama, muncul pula dari unsur2 di Mataram. Perwira dan Senapati yang ingin membuat nama dan prestasi didepan Panembahan Senapati, bercampur dengan mereka yang ingin memuluskan ambisi Madiun di Mataram. ‎Issu asal usul Sutawijaya yang cuma anak angkat Hadiwijaya, yang tidak jelas “trah”nya dihembuskan kembali.

Gerakan2 itu mengeskalasi ketegangan dengan ketidak jelasan apakah suatu gerakan telah mendapat restu atau telah sesuai dengan kebijakan Istana, ataukah sekedar keinginan sendiri dengan mengatasnamakan Istana. Seorang Guru Kanuragan meminta muridnya yang Perwira di Mataram, membawa pasukan ke belakang garis perbatasan Madiun, menyerang lawan perguruan atas dendam pribadi‎, sementara perintah yang diterima sang Perwira adalah penangkapan gembong perampok di suatu pedukuhan. ‎Tindakan ini berhasil digagalkan Senapati Perbatasan yang mencurigai gerakan Prajurit ke arah Madiun, mengatasnamakan perintah rahasia Panembahan Senapati, diluar pengetahuannya. “Panembahan Senapati harus secepatnya bertemu pamandanya, Adipati Madiun”.

‎Sejauh ini peredam ketegangan adalah Pangeran Benawa, Adipati Pajang. Ia menjalankan fungsi mediasi internal keluarga, sebagaimana ia lakukan waktu memediasi ketegangan Mataram dan Istana Pajang.‎ Wilayah Kadipatennya pun berada di depan Mataram, menjadi benteng pertama terhadap garis serangan dari Timur. Tapi ketika eskalasi ketegangan dan aktivitas gerakan semakin tinggi, Benawa dalam keadaan sakit. Meskipun ia demikian saktinya, dan dikelilingi oleh Tabib2 Istana yang handal, sebagaimana Hadiwijaya ayahnya, ia tak bisa melawan takdir. Benawa mangkat, hampir satu tahun setelah ia di nobatkan menjadi Adipati, setelah membantu menyelesaikan Sengketa Pusaka Pajang.

Dalam acara pemakamannya, yang dihadiri para kerabat dan handai taulan, Danang Sutawijaya yang kini Panembahan Senapati, berjumpa pamandanya, Pangeran Timur yang kini Panembahan Madiun, Adipati Yang Berkuasa bergelar Rangga Jumena.

Panembahan Senapati dengan santun menyampaikan permohonan maaf kepada Pamanda Pangeran Timur, ya Panembahan Madiun, bahwa semenjak ia mengikuti ayahanda Gede Pemanahan sampai ia dikukuhkan sebagai penerus Kesultanan Pajang di Mataram, belum sempat sowan ke Madiun, menyampaikan bakti sebagai keponakan kepada pamanda, sekaligus memohon restu dan palilahnya untuk meneruskan cita2 ayahanda Hadiwijaya, sebagaimana diamanahkan kepadanya. Panembahan Madiun memaklumi kesibukan ‎putra keponakannya, seraya menyampaikan gerbang Istana Madiun senantiasa terbuka untuk menerimanya kapan saja. Dalam suasana perkabungan agak kurang pada tempatnya untuk membicarakan urusan praja.

Betapapun, hati Panembahan Madiun tiada dapat mengekang perasaannya. Mengapa ananda Panembahan Senapati mengirim Pangeran Singasari memimpin penyergapan di tlatah Madiun tanpa uluk salam kepada dirinya sebagai Adipati yang Berkuasa..? Apakah angger sudah tidak lagi melihat atau mengabaikan keberadaanku, pamanmu, sekaligus yang diberi kuasa Kesultanan atas wilayah itu..?

Panembahan Senapati dengam taklim memohon ampunan pamanda Panembahan. Ia menjelaskan tindakan itu merupakan tindakan rahasia atas kelompok yang berupaya membunuh dirinya dengan menyusup ke bilik peraduan Raja. Ia juga khawatir ada kelompok dalam Istana Kadipaten, dibelakang pamanda Panembahan, yang ikut menggerakkan Nagaraga. “Bukankan pasukan berkuda yang menghadang rombongan cucunda Rangga yang terluka, digerakkan oleh Tumenggung kawasan Barat yang mungkin diluar perintah pamanda Panembahan..? Ananda yakin, yakin sekali, bahwa bagaimanapun sikap Pamanda terhadap alih kekuasaan atas Kesultanan Pajang, kasih sayang pamanda yang kurasakan selama ini, yang senantiasa memanjakanku, tidak akan sampai pada tindakan seperti yang dilakukan Nagaraga atasku.. Atau Tumenggung Barat atas Rangga…..”

Panembahan Madiun, Adipati Yang Berkuasa gelar Rangga Jumena, menghela nafas sedalam-dalamnya. Banyak hal berkembang diluar kuasanya, mengatasnamakan upaya mengembalikan Tahta Kesultanan kepada Trah Keturunan Demak Bintara. “Angger Panembahan, cepat-cepatlah kau tengok pamanmu ini di Kadipaten.. Bibinda Ratu sangatlah rindu kepadamu…”. Beberapa pendamping Adipati Madiun yang mengikutinya dalam perhelatan dukacita itu ikut mendengar. Diantaranya berpendapat, dengan alasan apapun pertemuan paman-keponakan itu tidak boleh terjadi.

Betapapun gerakan2 yang berakibat kepada semakin meruncingya ketegangan Madiun-Mataram, kian meluas. Para pimpinan Bang Wetan yang ingin merdeka sudah jelas ingin menumpangi sengketa Trah yang dihembuskan Panembahan Madiun. Mereka semua membenarkan pendirian dan tuntutan hak Adipati Madiun, sebagai sesepuh dan sebagai satu2nya putra keturunan Raja Demak Sultan Trenggana yang ada, atas penerusan Tahta Kesultanan Pajang.

‎Tidak hanya kalangan penguasa di Bang Wetan, dari kalangan Padepokan dan Perguruan sejenis Nagaraga pun mulai melakukan upaya, sebagai pengembangan kegagalan tindakan yang berakhir dengan didudukinya Nagaraga oleh Mataram. Mereka menyusun Persatuan Padepokan dan Perguruan, dimana Ketua Persatuan memegang Kendali atas semua tindakan anggotanya. Para penggagasnya melaporkan ini kepada Panembahan Madiun sebagai upaya sukarela membantunya mewujudkan pemikiran dan pengembalian kekuasaan kesultanan kepada Trah Demak. “Jangan bertindak sendiri-sendiri”, kata Panembahan. Itulah gunanya kami mendirikan Persatuan, kata mereka. Namun, Persatuan akan mempunyai pertimbangan sendiri untuk mewujudkan pemikiran Panembahan Madiun, karena Persatuan adalah relawan yang tidak terikat dalam komando atau dukungan apapun dari Kadipaten. Kami bahkan menyumbangkan segala daya upaya demi suksesnya Kanjeng Adipati menduduki Tahta yang kini dipegang oleh Sutawijaya.

Sesungguhnyalah, para penggagas Persatuan Padepokan dan Perguruan itu ditulang punggungi Perguruan yang merasa paling kuat diantara yang ada. Mereka menghubungi, mengajak bergabung, dan bagi yang tidak bersedia dilakukan upaya paksa, dan pendudukan oleh Persatuan. Gabungan kekuatan yang disusun Persatuan, memudahkan mereka memaksakan kehendak atau sekaligus menduduki dan mengambil alih kepengurusan dan kepemilikan Padepokan dan Perguruan. Upaya mereka tidak hanya berhenti di Tlatah Kadipaten Madiun, tetapi juga ke semua tlatah baik di Bang Wetan, Pesisir Lor, maupun Tlatah Kulon, dan Segara Kidul. Meraka merasa tidak harus dibatasi oleh batas kewilayahan praja..

Di Mataram sendiri, gejolak semakin menggelora. Issu “trah” sengaja dihembuskan semakin tajam, yang dilawan dengan issu “kewahyon”, bahwa wahyu kedaton telah berpindah ke Mataram, sebagai jembatan atas Persatuan Nusantara. Petunjuk seorang Wali kepada Hadiwijaya yang didukung Pangeran Benawa sang Putra Mahkota, tidak salah.

Panembahan Senapati pun tidak tinggal diam. Ia menyadari mungkin ada beberapa petingginya yang bagaimanapun juga masih kait terkait dengan Trah Demak, Trah Trenggana, Trah Prawata, bahkan Trah Arya Penangsang, yang akan mempengaruhi sikapnya atas permasalahan dengan Madiun.. Ia mulai berfikir untuk menyusun kekuatan yang terbebas dari segala macam Trah tersebut. Suatu Gugus Pasukan Khusus yang baru akan dibuat dibawah Panglima dan Senapati yang baru juga. Pengawal2 Kademangan dan Tanah Perdikan, termasuk Pemuda2 perkasa harus menjadi unsur dari Pasukan Khusus tersebut.

Penasehat Utamanya, Ki Juru Martani ya Patih Mandaraka, dengan pemikirannya yang jernih menimbang segala langkah maupun pemilihan Personil yang akan menjadi kepercayaannya menghadai kemelut yang ditiupkan Madiun. “Angger Panembahan, angger mesti menyempatkan diri untuk sowan ke Pamanda Adipati Madiun.. Bukankan angger sudah berjanji…? Terlebih kita harus segera mengisi kekosongan Pajang sepeninggal Benawa. Pendapat pamanda Adipati yang bisa kita pertimbangkan, akan ikut membantu mengurangi beban permasalahan menghadapi Madiun, dan Bang Wetan secara umum…”

Tetapi Panembahan Senapati tak kunjung punya waktu. Ada saja hal yang membuatnya menunda-nunda. Beberapa Tumenggung memintanya meninjau persiapan pasukan khususnya: “Panembahan perlu melihat, apakah laporan yang didengar dari Perwira yang diberi tugas, memang sudah seperti itu..‎”. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya, dari daerah ke daerah, menyusun kekuatan perang menghadapi perlawanan Madiun dan sekutu2nya di Bang Wetan.

Patih Mandaraka yang berulang kali mencari waktu apakah Panembahan Madiun bisa menerima kunjungan Sutawijaya anandanya, juga terbentur situasi sulit. Adipati Madiun rupanya lebih banyak menerima kunjungan sekutu2nya di Bang Wetan, atau mengikuti agenda Persatuan Perguruan. Pajang yang tidak bisa dibiarkan kosong terlalu lama ditengah kemelut kekuasaan Kesultanan, pada akhirnya diisi tanpa berkonsultasi lagi dengan sesepuh keluarga yang kini Adipati di Madiun. Pangeran Gagak Baning, adinda Panembahan Senapati ditunjuk sebagai Adipati Pajang.

Panembahan Madiun pun menjadi murka atas peristiwa ini. Perasaannya sebagai seorang sesepuh keluarga yang diabaikan, mendominasi dirinya. Dibakar lagi oleh lingkaran dalam istana yang memang menghendaki benturan fisik antara paman dengan keponakan ini. “Semakin cepat benturan terjadi, semakin cepat kita bisa menari diatas reruntuhan mereka”, Ketua Persatuan Perguruan berkata didepan anggotanya. “Habis itu, kita berurusan dengan siapa yang paling kuat di Bang Wetan”.

Pertemuan antara paman dan keponakan telah menjadi semakin sulit untuk direalisasikan. Panembahan Madiun atas pertimbangan penasehatnya mempersyaratkan Pajang harus diisi oleh Adipati yang netral, yang bisa diterima oleh pihak Madiun. Pusaka2 Pajang yang diboyong ke Mataram mesti juga dikembalikan ke Pajang. Panembahan Senapati berpendapat hal2 tersebut bisa saja dibicarakan sebagai materi pertemuan, tetapi tidak sebagai persyaratan. Pertemuan mestinya sebagai pertemuan keluarga yang tidak dibebani oleh persyaratan apapun‎.

Dikaitkan dengan ketegangan keduanya, Pajang yang berada di garis hubung merupakan wilayah strategis bagi Madiun dan Mataram. ‎Figur seperti Benawa yang bisa diterima keduanya memang ideal. Tapi siapa..? Jelasnya bukan Gagak Baning adinda Sutawijaya sendiri..! Tapi bagi Mataram, cita2 Persatuan Nusantara yang diamanahkan Hadiwijaya mesti dicapai melalui mereka yang loyal kepada Panembahan Senapati..! Bukan kepada garis2 Trah yang manapun juga.

Sandi Yudha Mataram mendeteksi Gabungan Kekuatan Bang Wetan yang mendukung Madiun menunjukkan jumlah pasukan yang sangat luar biasa, diluar pasukan Madiun itu sendiri. Pasukan itu sudah disiagakan dan siap diberangkatkan ke medan dimanapun juga, termasuk jika harus menyerang ke Mataram. Mereka juga mendeteksi Persatuan Perguruan juga menyusun pasukan sendiri‎, yang tunduk pada komando Ketua Persatuan. Unit2 pasukan dibentuk di Perguruan2 Anggota, dengan kedudukan, jalur, dan jaringan komando sebagaimana digariskan Ketua Persatuan. “Semua ini merupakan sumbangsih kami kepada cita2 luhur Kanjeng Panembahan”, kata Ketua Persatuan kepada Panembahan Madiun, dan kepada siapa saja yang mempertanyakan.

Panembahan Senapati yang menerima laporan sandi yudha itu, semakin menyadari bahwa Persatuan Nusantara yang diamanahkan kepadanya bukan persoalan sederhana. Tapi ia tidak boleh menyerah. Ia pun tidak bisa meratapi apa yang sudah pinesti, seperti Benawa yang mendahuluinya..dan ayahandanya ‎sendiri Gede Pemanahan. Wilayah yang jelas2 mendukungnya disamping Pajang, adalah Pati, Demak, Bagelen, Gunung Sewu.. Pasukan yang bisa dihimpunnya tentu jauh dari apa yang bisa dihimpun di Bang Wetan.. Tetapi kalau ayahanda Hadiwijaya mampu mengendalikan Kesultanan, tentu ia yang telah mendapat kepercayaan, harus mampu mengendalikan dengan lebih baik lagi, bahkan memperluasnya demi cita2 Persatuan Nusantara. Mataram harus menjadi pancer untuk mempersatukan dan melindungi Nusantara..!!‎ Lagi-lagi ia teringat betapa Benawa mengembara dari Kadipaten ke Kadipaten di Bang Wetan membantunya memperkuat tali kewibawaan Kesultanan di wilayah2 itu.. Tapi adindanya itu telah mendahuluinya..

‎”Angger Panembahan, semua itu ada caranya untuk mengatasinya… Bersyukurlah sandi yudha kita telah memberikan laporannya, sehingga kita bisa mempersiapkan diri untuk menghadapinya.. ” Ki Juru Martani Patih Mandaraka‎ setia mendampingi Sutawijaya. Ia dianggap berada dibelakang keberhasilan Panembahan Senapati, bahkan sejak keberhasilan Sutawijaya menewaskan Aria Penangsang dan mengalahkan Pasukan Jipang dipimpin Patih Mantahun yang sakti ditepi Bengawan Sore.

“Paman Mandaraka, harus ada cara.. Pamanda di Madiun masih kerabat sendiri.. Kita harus bisa mengajak Pamanda Panembahan Madiun menjaga kewibawaan kekuasaan Hadiwijaya di Kesultanan Pajang yang kini telah beralih ke Mataram.. Madiun harus mendukung kita, Paman….”

Ki Juru Martani, sang Patih Mandaraka, memang berperan besar dibalik kesuksesan Panembahan Senapati membawa kebesaran Mataram‎. Maka ia pun menjadi sasaran pembunuhan setelah kegagalan Nagaraga menghabisi sang Panembahan. “Kalau Mandaraka berhasil kita tewaskan, Sutawijaya akan kehilangan akal. Ia akan bisa kita kalahkan dengan mudah, dan Mataram akan kita hancurkan pada akhirnya”, Ketua Persatuan Perguruan menjelaskan. Membunuh Mandaraka jauh lebih mudah daripada membunuh Panembahan Senapati.

Maka, diaturlah penyergapan terhadap Patih Mandaraka. Waktunya saat ia sedang melakukan pemeriksaan kesiapan Pasukan Mataram yang khusus dibentuk untuk medan Madiun.‎ Atas laporan mata2, sudah diketahui jadwal kunjungan sang Patih ke Kawasan Perdikan tempat salah satu gugus Pasukan Khusus diipersiapkan. Karena serangan ini juga kepada pasukan Mataram, maka disamping pasukan Persatuan Perguruan, diperlukan juga Pasukan Prajurit Madiun.

Adipati Madiun berkeberatan jika Prajurit Madiun melakukan serangan langsung terhadap Patih Mataram. Tetapi jika Persatuan‎ bermaksud melakukannya itu adalah tanggung jawabnya sendiri. Apabila diperlukan Prajurit Madiun akan diperbantukan tidak dalam tanda2 dan pakaian keprajuritan. Madiun masih mempertimbangkan banyak hal sebelum benar2 memaklumkan permusuhan sekaligus penyerangan terhadap Mataram.

Ketua Persatuan Perguruan dan Para Adipati Bang Wetan, menjadi kurang sabar: “Untuk apa Panembahan di Madiun mengundang pemusatan pasukan, apabila kita tidak berani melakukan perlawanan dan penyerangan terbuka terhadap Mataram…? “. Adipati Madiun menyampaikan silahkan kekuatan Perguruan melakukan tindakan pelemahan Mataram, namun Kadipaten Madiun, dan Gabungan Kadipaten Bang Wetan akan menunggu waktu yang tepat. Sementara ini kita berkumpul untuk memberitahu betapa besarnya kekuatan kita dalam jumlah, sekaligus memberitahu Sutawijaya, bahwa tumurunnya Tahta Kesultanan Pajang ke Trah Trenggana, ternyata mendapat dukungan yang sangat besar..!

Jadilah serangan dan upaya pembunuhan terhadap Patih Mandaraka dalam kunjungan kerja pemeriksaan Pasukan Khusus, dijalankan tanpa keterlibatan resmi prajurit Madiun. Meskipun demikian, Tumenggug Barat diperbantukan untuk menunjang kesuksesan penyerangan. Mereka bergerak secara rahasia, dalam kelompok2 kecil menuju ke sasaran, melingkar menghindari jalur poros, dan melibatkan jaringan kekuatan Trah Trenggana yang berada didalam tubuh kekuatan Mataram. ‎ Dalam keadaan yang memungkinkan, mereka mesti ikut menyerang, atau membawa Patih Mandaraka ke tempat jebakan yang telah disiapkan, dengan alasan membawanya ketempat perlindungan yang aman.

Menjelang saat yang ditentukan tiba, kawasan Perdikan tempat kunjungan Patih Mandaraka menjadi bertambah sibuk. Satuan pengamanan Kesultanan, Sandi Yudha, dan Pengamanan Tanah Perdikan, menengarai adanya tamu-tamu asing seakan-akan saudagar atau pelancong, tetapi berwajah tegas bersikap tegap. Di padukuhan2 sekitar Induk Tanah Perdikan, ada rombongan2 yang apabila dicurigai ternyata dikawal oleh anggota Pasukan Mataram, sebagai bagian dari kunjungan dan penyambutan terhadap Patih Mandaraka. Persiapan pengamanan ditingkatkan menyikapi itu semua. Pasukan Tanah Perdikan dan Gugus Pasukan Mataram disiapkan melindungi semua medan pengamanan yang perlu. Termasuk dalam gugus pengamanan adalah para sakti dari Perguruan2 sahabat Ki Juru Mertani dan Panembahan Senapati..

Pertempuran memang harus terjadi ketika Ketua Persatuan Perguruan dari Bang Wetan meminta Patih Mandaraka menyerahkan diri. Induk Tanah Perdikan telah terkepung. ‎Perguruan2 Bang Wetan menolak Kekuasaan Sutawijaya yang tidak syah, dan menyatakan dukungan terhadap Trah Trenggana yang kini Adipati di Madiun. Pasukan Perguruan dari pendekar2 terpilih diseluruh Bang Wetan siap memporak porandakan kekuatan Patih Mandaraka.

Dalam pertempuran yang dahsyat para penyerang berhasil dilumpuhkan. Ketua Persatuan Perguruan Bang Wetan, tokoh mahasakti diantara penyerang, tewas ditangan Patih Mandaraka, Ki Juru Mertani, yang sudah malang melintang di dunia kanuragan bersama Pemanahan, Penjawi, dan Hadiwijaya yang masih bernama Karebet, Perjaka Perkasa dari Tingkir.

Tertengarai beberapa Petinggi Mataram yang berkaitan dengan Trah Trenggana telah berlaku khianat terhadap Mataram. Mereka berdalih semua itu justru untuk pelemahan penyerang dan penyelamatan Ki Patih. Tindakan perdata keprajuritan dilakukan terhadap mereka melalui pejabat yang berwenang.

“Paman Patih Mandaraka, susun kekuatan Mataram yang bebas dari pengaruh trah. Kita segera berkunjung ke Pamanda Panembahan di Madiun… Bawa pasukan, segelar sepapan..!”

Apapun yang difikirkan Mataram untuk mencegah perang, pemusatan pasukan Bang Wetan di Madiun telah terjadi. Dalam jumlah yang tak mungkin tertandingi oleh Mataram. Dari Surabaya, Pasuruan, Kediri, Panaraga, Kedu, Brebek, Pakis, Kertasana, Ngrawa, Blitar, Trenggalek, Tulung, dan Caruban. Madiun ingin menunjukkan dukungan terhadap Trah Trenggana memang luar biasa. Serangan terhadap Patih Mataram, Mandaraka, oleh pihak yang mendukung Trah Trenggana pun ‎telah dilakukan secara terbuka.

Sejauh ini, Mataram telah berusaha mengirim utusan ke Pesisir Lor untuk memastikan posisinya seraya mengharap dukungan pasukan untuk menghadapi sikap Madiun yang didukung oleh hampir seluruh Kadipaten di Bang Wetan. Grobogan siap menegakkan kewibawaan Mataram.

Mengatasi jumlah yang banyak di pihak Madiun dan sekutunya, gugus2 pasukan yang disiapkan Mataram dan Kadipaten pendukungnya, dipilih dan ditatar untuk kemampuan lebih dari biasa. Seorang prajurit Mataram disiapkan setara dengan empat prajurit lawan. Mereka setiap saat berlatih tanding bersenjata satu melawan empat. ‎Para Senapatinya dipilih dari mereka yang teruji kesetiannya terhadap kebangkitan Mataram, semenjak babad Alas Mentaok dilakukan Gede Pemanahan.

Menandingi langkah Madiun, pasukan dari Grobogan diperintahkan bergerak menuju pemusatannya di Pajang. Kemudian akan bersama Pajang menahan laju Madiun dan sekutunya jika mereka menyerang ke Mataram. Sedangkan pasukan Pati, Demak, dan beberapa Perdikan serta Kademangan yang disiapkan, dipusatkan di Mataram. Mereka akan bergerak ke Pajang, dan pada saatnya begerak ke Timur, membawa umbul2, rontek, tunggul, dan panji2 pasukan, menunjukkan kepantasan Mataram mendapat mandat meneruskan kewibawaan Kesultanan Pajang, selanjutnya mewujudkan Persatuan Nusantara.

Pedati2 logistik yang bergerak lambat‎, telah diberangkatkan mendahului dari Pajang, secara bertahap dan rahasia melalui jalur2 belakang menuju posisi kantong2 perbekalan yang direncanakan. Tata Pasukan telah disampaikan di paseban Pajang yang dipimpin langsung Panembahan Senapati.

Di Induk Pasukan, Panembahan Senapati bersama Patih Mandaraka akan menjadi Pucuk Pimpinan. Keduanya akan didampingi oleh Adipati Pati Pragola, Putra Ki Penjawi sahabat Juru Martani dan Gede Pemanahan, sekaligus adinda ipar Panembahan. Pendamping lain adalah Adipati Pajang, Pangeran Gagak Baning, adinda Panembahan, muda belia, baru saja dilantik disana. Kedua sayap pasukan dipimpin juga oleh adinda Panembahan yang lain Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Antasari. ‎Panglima Pasukan Berkuda dipercayakan kepada Pangeran Teposono. Adinda Panembahan yang lain lagi sesuai keahliannya bertanggung jawab pada perbekalan, persenjataan, dan angkutan.

Tumenggung pasukan Madiun yang bertugas di Wilayah Barat melaporkan gerakan pasukan Mataram telah meninggalkan Pajang segelar sepapan. Jumlahnya cukup besar tapi tidak sebesar gabungan pasukan Bang Wetan yang berkumpul di Alun-Alun Madiun. Ki Tumenggung diperintah untuk menarik seluruh pasukannya menyeberang ke sebelah Timur sungai.

Sang Panembahan di Madiun ingin Sutawijaya melakukan inisiatif penyerangan, ia ingin menunjukkan bahwa keponakannya itu telah berlaku deksura kepada pamannya. ‎Bahwa ia, Pangeran Timur, Putra Trenggana, merasa berhak atas tahta Kesultanan Pajang, adalah hak azasinya. Bahwa banyak yang mendukungnya adalah hak mereka. Bahwa ada yang mau membunuh Sutawijaya dan Juru Martani, itu gagasan dan tanggung jawab mereka masing2, bukan atas perintahnya. Merasa unggul pasukan, ia perintahkan pasukan sekutunya bersiap di Alun-alun, mempersiapkan penyambutan Pasukan Mataram di belakang Gerbang Kota Raja dengan kekuatan senjata.

Disebelah barat Bengawan, Pasukan Mataram menggelar perkemahan, memanjang di tepi Barat. Mereka sengaja menggelar sepanjang-panjangnya agar memberi kesan jumlah pasukan yang besar. Umbul2, rontek, tunggul, dan panji2 pasukan dikibarkan sepanjang perkemahan pasukan. Panji2 Panembahan Senapati di Induk Pasukan sengaja dipasang besar, berkibar dibelai angin Bengawan. Bendera Mataram: Bulan Sabit disamping Keris Bersilang pada dasar Merah, berkibar disamping Panji2 Panembahan. Berkibar pula panji2 Patih Mandaraka bersama panji2 Adipati Pati dan Adipati Pajang. Di sayap Utara, berkibarlah Panji2 Pangeran Antasari, mengimbangi Panji2 Pangeran Mangkubumi di Selatan. Sementara Panji2 Pangeran Teposono, berkibar di barak Pasukan Berkuda..

‎Adipati Madiun sebagai Panglima Tertinggi Pasukan Gabungan mendapat laporan tentang Panglima2 Pasukan Mataram, menghela nafas. Ia harus berperang melawan anak2 Gede Pemanahan, Pendiri Mataram, cucu Ki Ageng Sela‎ yang berdarah Majapahit…

Mataram belum akan menyerang‎. Sandi Yudha mereka melaporkan jumlah pasukan Gabungan Bang Wetan pada posisi yang sekarang telah mencapai delapan kali pasukan Mataram yang ada. Dalam pertemuan para Pangeran, Panembahan Senapati berkata: “Pasukan kita siap berperang melawan empat musuh sekaligus… Menghadapi delapan lawan, kita akan dibantai. Prajurit2 kita akan terbunuh dengan luka arang kranjang….” Patih Mandaraka merenungkan situasi. Kita akan menunda serangan. Biarkan para Senapati dan Perwira Kelompok tetap membina moral prajuritnya. Situasi satu lawan delapan ini biarlah para Pangeran dan Adipati yang tahu…

‎Setelah Patih Mandaraka diterima secara pribadi di Barak Panglima oleh Panembahan Senapati, seorang Perwira Sandi Yudha melesat berkuda mengirim berita secara estafet dari titik temu ke titik temu berikutnya, berupa surat Panembahan Senapati kepada Pangeran adindanya yang menjaga kelangsungan Pemerintahan di Mataram. Mataram segera mempersiapkan sesuai petunjuk surat Panembahan Senapati, lalu sebuah kereta kuda tertutup dengan pengawalan khusus keluar dari Istana meninggalkan Kota Raja. Kereta itu membawa Pusaka2 Mataram yang diperlukan dalam medan perang menyesuaikan jumlah lawan yang harus dihadapi…

Pasukan yang telah bersiaga di barak2 di Barat Bengawan‎, akhirnya mengetahui bahwa mereka menunda penyerangan karena menunggu datangnya Pusaka2 Mataram yang perlu dibawa mengingat besarnya lawan yang harus dihadapi. Adipati Madiun dan Para Panglima pasukan Bang Wetan, yang tidak sabar menunggu serangan Mataram, tertawa mendengar Mataram menunda serangan karena menunggu datangnya Pusaka2 Khusus untuk melawan pasukan yang jumlahnya berlipat ganda. “Mungkin mereka menganggap bahwa Pusaka2 itu akan membuat pasukan kita menjadi lunglai dan mengantuk..? Hahahaha..!!”

Kereta berkuda dalam pengawalan itu bergerak tiada berhenti menuju medan perang Madiun, dengan beberapa kali berganti kuda di tempat yang dipersiapkan oleh Gugus Sandi Yudha. Lewat tengah malam, ketika barak2 telah menjadi senyap, kereta berkuda Mataram‎ tiba dalam kegelapan, langsung menuju Barak Panglima, diterima langsung oleh Panembahan Senapati dan Patih Mandaraka. Setelah semua perwira berkuda dan rombongan pembawa pusaka itu menyingkir ke barak khusus yang disiapkan tersendiri, Panembahan Senapati berkata:

“Bagaimana perjalananmu, Nyai..? Mudah2an tidak terlalu melelahkanmu… Beristirahatlah di bilikmu di Barak ini. Besok Paman Mandaraka akan memberi beberapa pesan padamu”‎. Nyai Adisara, menyembah, ia menjawab pertanyaan suaminya, menghormat dan menyampaikan bakti kepada Patih Mandaraka, bercerita mengenai perjalananya, lalu memohon ijin menuju ke biliknya..” Silahkan, Nyai… Emban2mu sudah akan berada disana…”

Sepeninggal Nyai Adisara, garwa ampil Panembahan Senapati, ‎Tumenggung yang memipin Sandi Yudha dipanggil menghadap. Besok segala sesuatu disiapkan seperti yang telah direncanakan..

Pagi itu, seluruh Panglima Mataram, para Pangeran adinda Panembahan Senapati berikut para Adipati, dikumpulkan di Barak Panglima, mendapatkan arahan dari Patih Mandaraka.

“Pagi ini, kita akan membuat persiapan menarik mundur pasukan… Pedati2 pembawa perbekalan yang sudah disiapkan oleh Sandi Yudha sudah akan meninggalkan perkemahan menuju Pajang, melalui jalan poros…. Segera setelah lepas tengah hari, kemah2 prajurit sudah harus dibongkar dan dimasukkan ke pedati2 pengangkutnya…‎ Semua prajurit menyiapkan diri untuk bergerak meninggalkan perkemahan… Pagi ini juga Kanjeng Panembahan akan menyampaikan surat melalui duta praja, kepada Adipati Madiun.. Duta praja itu, adalah Garwa Panembahan, Nyai Adisara, Itulah pusaka Mataram yang akan kita pergunakan untuk mengatasi jumlah pasukan kita yang satu perdelapan mereka….”.

Setelah tambahan penjelasan secukupnya, para Pangeran dan Adipati Panglima Pasukan Mataram itu menjadi paham. Mereka mengangguk-angguk. Panembahan menutup pertemuan “Hanya kalian, para Pangeran dan Adipati yang boleh mengetahuinya, dan tentunya Para Perwira Sandi Yudha..”. Tumenggung Prajurit dan Perwira2nya, biarlah melakukan persiapan seperti telah diperintahkan..

Tidak lama kemudian, berita itu telah sampai ke semua lapisan keprajuritan. Dan ketika beberapa pedati penuh muatan telah bergerak meninggalkan perkemahan‎, mereka semua menjadi paham bahwa penarikan pasukan memang sudah akan terjadi. Bahwa jumlah pedati di tiap-tiap gugus tidak berkurang dari semula, sempat menimbulkan keanehan. “Sandi Yudha rupanya telah mendapatkan beberapa pedati baru, dan itulah yang dipakai mengangkut…?” Tapi apa yang diangkut dari sini..? “Wajarlah kalau kita tidak tahu, namanya saja Sandi Yudha…” Betapapun mereka akan melakukan pembongkaran setelah matahari melewati puncaknya…

Aktivitas persiapan penarikan pasukan telah dilakukan disemua perkemahan. Gerakan pedati Mataram yang meninggalkan perkemahan dan kegiatan para prajurit yang mempersiapan pembongkaran, dengan cepat dilaporkan kepada Adipati Madiun oleh gugus Sandi Yudha mereka. Belum selesai mereka membahas, menjelang tengah hari pengamat perbatasan melaporkan ‎Duta Praja Panembahan Senapati dalam Kereta Kerajaan diiringi satu regu Pengawal Berkuda mohon memasuki Gerbang Kota ..”Mereka membawa Panji2 Panembahan sebagai tanda Duta Praja..” Duta Praja..? Ini pratanda pengakuan kedaulatan Mataram atas Madiun..?? Pertanda penghormatan Panembahan Senapati atas Panembahan Madiun, sebagai Adipati, Kepala Pemerintahan? Sekaligus sebagai ananda keponakan kepada pamanda..??

Baru kemarin mereka mendatangkan Pusaka dari Mataram untuk meningkatkan ‎daya serang, kini justru mengirim Duta Praja secara resmi dalam Kereta Kerajaan..? Siapa..? Patih Mandaraka Ki Juru Mertani..? Adipati Madiun menyilahkan Duta Praja Mataram memasuki Kota Raja, langsung ke Pendapa Kadipaten. Dan ketika kereta dibuka, N‎yai Adisara dengan kecantikan cemerlang bagaikan Nyi Rara Kidul, turun dari kereta laksana Ratu Laut Selatan.. Wangi bunga melati, semerbak di udara Kadipaten….. Adipati Madiun dan Sekutunya ternganga..!!

Tumenggung Panglima Sandi Yudha, pimpinan rombongan, mengangkat Panji2 Panembahan Senapati mengumumkan: “Duta Praja Mataram, Kanjeng Nyai Adisara, Garwa Panembahan Senapati di Mataram, mohon perkenan menyampaikan nawala Mataram kepada Paduka Kanjeng Adipati Panembahan Mas, Gusti Pangeran Timur yang memegang kedaulatan di Madiun..‎”.

Nyai Adisara, bersimpuh menyampaikan sembah kepada Adipati Madiun. “….bakti putranda Senapati di Mataram kepada Pamanda Panembahan….”. Harum melati yang menghiasi sanggul dan dada Nyai Adisara yang bersimpuh taklim seraya menghaturkan sembah, bagaikan bius pesona sangat tajam bagi para Panglima Bang Wetan Perkasa,.. Dan ketika nawala Mataram dibacakan : “…..mohon perkenan Pamanda Panembahan untuk dibasuh kakinya oleh Putri Menantu Pamanda dengan air bunga mawar yang bekasnya akan dibawa ke Mataram sebagai air jamas sebagai tanda pengakuan kami atas kepemimpinan Pamanda Adipati, Kanjeng Pangeran Timur bagi Tlatah Bang Wetan…”

Semerbak bunga melati yang kian menusuk, berbaur dengan gemericik air bunga mawar dan gemulai Nyai Adisara membasuh serta memijat kaki Panembahan Madiun, mengakhiri semuanya. ‎Panembahan segera memerintahkan bubarnya pisowanan, bahkan memberi ijin jika Pasukan Bang Wetan akan ditarik mengikuti Mataram yang telah bergerak sejak pagi.

Para Panglima Bang Wetan, juga segera mendapat laporan bahwa Mataram telah mulai membongkar perkemahannya. Membayangkan Nyai Adisara, berhiaskan ronce melati bagaikan Nyi Rara Kidul, membasuh dan memijat kaki Panembahan , mereka segera ingin pulang ke Kadipaten masing2. Maka tanpa menunda-nunda, hampir semua Panglima Kadipaten Bang Wetan, segera memerintahkan pasukannya meninggalkan barak2 mereka mengosongkan Madiun, apalagi yang kadipatennya tidak terlalu jauh dari Pusat Kadipaten Madiun..

Begitulah, ketika Duta Praja Mataram telah meninggalkan Istana Kadipaten dengan membawa air mawar pencuci kaki Panembahan Madiun, hampir separuh pasukan Bang Wetan telah meninggalkan Madiun sementara pengosongan masih ‎terus berlangsung..

Pada saat Kereta Kerajaan membawa Duta Praja keluar Gerbang Kadipaten Madiun, paseban Pangeran dan Adipati Mataram di Barak Panembahan Senapati, baru saja selesai.

Patih Mandaraka telah menguraikan tindakan yang harus dilakukan: “‎Kita akan meninggalkan tempat perkemahan menuju ke jalan poros. Malam ini kita masih akan memerlukan perbekalan.. Induk Pasukan dan Pasukan Berkuda mengambil tempat yang paling dekat dengan tempat ini, sementara sayap-sayap berada di tempat terjauh..” Gerakan selanjutnya menunggu perintah. Pasukan dapat diistirahatkan ditepi jalan, digerumbul-gerumbul, dibawah pohon..

Di pihak Madiun dan sekutunya, kebingungan melanda para Tumenggung dan Perwira yang tidak mengikuti Paseban di Kadipaten. Kabar yang mereka terima, Mataram telah mengakui Kedaulatan Madiun. Garwa Panembahan Senapati, utusan resmi Mataram, telah melakukan sembah dan mencuci kaki Adipati Madiun‎. Pasukan Bang Wetan sudah bisa dibubarkan. Duta Praja Mataram telah meninggalkan Kota Kadipaten, dalam Kereta Kerajaan dikawal Pasukan Berkuda, membawa Panji2 Panembahan Senapati dan bokor air cucian kaki kanjeng Adipati untuk jamas sang Panembahan.

Malam itu, Pasukan Mataram telah bersiap di jalan poros. Pedati2 juga sudah dipenuhi muatan. Sepengetahuan mereka, Madiun telah bisa menerima usulan Panembahan, dan Pasukan Bang Wetan telah pula meninggalkan lokasi. Sebagian mereka kagum atas diplomasi Panembahan. Sebagian lain mempunyai pendapat berbeda: ” Aku sudah berlatih keras.. Setidaknya aku harus bisa membinasakan banyak musuh.. Pulang hidup sebagai pahlawan, atau mati sebagai pahlawan..” Temannya menasehati: Kita akan mati, lawan kita delapan kali lebih banyak.”Tetapi kita sudah mengambil Pusaka untuk melawannya..!”. Sudahlah, masih banyak kesempatan perang bagimu, temannya menyabarkannya. Ia seperti belum puas juga: “Sekarang, apalagi yang kita tunggu..? Kenapa para Pangeran itu lambat sekali menjatuhkan perintah?”. Mereka duduk2 saja ditepi jalan, sebagian sandar2 dipohon, sebagian tidur2an atau tidur betul2.

Rasanya malam belum lagi tuntas dan fajar masih belum akan menyingsing, ketika tanpa sangkakala pasukan Mataram diminta bersiaga. Tidak berapa lama, pasukan diminta bergerak. Menuju Kota Madiun… “Kemana kita..? Apa tidak salah arah..?” Temannya berkata: Madiun, kita menuju Kota Madiun..! Kita akan perang..!‎!

Pasukan Mataram memang bergerak menuju Kota Madiun, langsung dari jalan poros. Dengan penuh keyakinan, ‎Pasukan Berkuda berada di barisan paling depan, maju dengan kecepatan Pasukan Berjalan. Panembahan Senapati, Patih Mandaraka, Adipati Pragola, dan Adipati Gagak Baning, memimpin didepan dengan Panji2 selengkapnya. Tunggul dan Rontek menambah kewibawaan Pasukan. Kereta Kerajaan berada dibelakang Pasukan Berkuda. Baru setelah itu, Induk Pasukan berderap dibelakangnya, diikuti sayap-sayap Mataram. Dijalan poros menuju Kota Madiun, dipenghujung malam, Pasukan Mataram dengan pasti merayap memasuki Pusat Kota. Perang, kita akan perang…! Begitu degup di dada mereka..

S‎andi Yudha Madiun tergagap menyikapi gerakan Mataram. Ini masih dinihari, apakah Kanjeng Adipati berkenan menerima laporan..? Apakah ini gerakan berkaitan dengan nawala Panembahan Senapati kepada Adipati Madiun..? Berkaitan dengan sembah dan basuh kaki Adipati oleh garwa Panembahan Senapati‎..?

Tapi Pasukan Mataram merayap dengan pasti menuju Gerbang Kota, dengan semangat tempur yang tinggi.

Perwira Jaga segera menutup dan menyelarak gerbang. Tumenggung Sandi Yudha Mataram sebagai cucuk lampah lantang berkata diatas kudanya: ” Panembahan Senapati, Yang Berkuasa di Mataram atas tanah Madiun dan seluruh Bang Wetan, bermaksud memasuki Kota…”. Betapapun, hanya rombongan terbatas yang lazimnya melakukan kunjungan. Sebagaimana rombongan Duta Praja siang tadi. Perwira jaga bertanya: Berapa prajurit yang akan mendampingi Kanjeng Panembahan. Mataram menjawab: “Seluruh Pasukan, termasuk Pedati Perbekalan, akan memasuki Kota…”. Perwira jaga: Apakah ini upaya pendudukan..? Mataram: “Tidak.. Ini berkaitan dengan nawala Panembahan Senapati. Sudah dibicarakan oleh Duta Praja dengan Kanjeng Adipati Madiun. Ini sama seperti pasukan2 Bang Wetan yang telah ada di dalam Kota”.

Perwira Jaga ragu2. Seluruh pasukan masuk kota, bisa berarti pendudukan..!.‎ Tapi Pasukan Bang Wetan toh juga ada di kota.? Tumenggung Mataram mendesak: “Panembahan Senapati tidak bisa menunggu lebih lama..!”. Sang Perwira Jaga teguh pada tugasnya: “Kami persilahkan Panembahan Senapati Yang Berkuasa di Mataram beserta rombongan dan Kereta Kerajaan memasuki kota, tetapi pasukan harap berada diluar gerbang‎…”

Tumenggung yang juga mengikuti Paseban para Pangeran, langsung menyetujui : “Baik, Buka Gerbang..! Kami masuk kota..!!”.

Dengan berdebar Perwira Jaga memerintahkan pasukannya: “Buka Gerbang.. Jika Pasukan Mataram dibelakang Kereta Kerajaan masuk, kita berlari sambil bunyikan kentongan dalam irama Titir,.. Dalam irama Titir, berlari.., berlari sekencang-kencangnya..! Ambil kentongan itu, dan bersembunyilah. Yang lain luncurkan panah sendaren, susul menyusul.. Siapkan dirimu. Buka Gerbang….!!”

Gerbang Madiun terbuka.‎ Pasukan Mataram memasuki kota. Tumenggung Sandi Yudha yang memasuki Gerbang lebih dulu, tidak melihat kentongan tergantung di gardu jaga. Ia segera memberi tanda, bahwa serangan dan pertempuran pasti akan terjadi. Panembahan Senapati, menghunus Tombak Pusaka Kyai Plered.

Ketika selepas Kereta Kerajaan memasuki Gerbang, Pasukan Mataram‎ berderap memasuki Kota, kentongan titir membahana menjauhi jalur gerak Pasukan, disambut suara sendaren meraung-raung susul menyusul.. Titir dari Gerbang Induk, segera disambut dengan Titir dari siapa saja yang sempat membunyikan kentongan di awal fajar..

Titir bertalu-talu. Pasukan Madiun yang baru saja terlelap, dengan terburu-buru bersiaga mempersiapkan pertahanan‎.. Titir..! Kentong Titir…!! Mataram menyerang Kota…!!

Mataram berderap menuju Istana Kadipaten tanpa perlawanan berarti. Pasukan Madiun tanpa komando yang jelas, tanpa gelar yang tersiapkan, menyerang secara acak pasukan yang telah siap bertarung satu lawan empat itu. Dengan mudah mereka dibuat terjungkal dengan dada terbelah, memuntahkan darah.. Pasukan Bang Wetan yang masih ada, termangu-mangu tidak tahu apa yang mesti diperbuat..

Kentong Titir yang bersahut-sahutan menjelang fajar terbit, telah menggemparkan Istana Kadipaten. Kanjeng Adipati terbangun dari peraduannya dan langsung mendapat laporan: Mataram menyerbu. Seluruh pasukannya memasuki Kota. Kini pasukan yang besar itu menuju Istana. Pasukan Bang Wetan sebagian besar sudah meninggalkan Madiun. Yang masih tinggal tidak melakukan gerakan apa-apa.

Panembahan Madiun berteriak: “Panggil Panglima Bang Wetan yang masih ada..!”

Tidak mungkin. Semua Jalan kearah Istana sudah dikuasai Mataram. Gerbang sudah ditutup semua. Kita juga dalam Kesulitan. Pasukan Pengawal Istana tidak dalam jumlah yang cukup untuk melawan Mataram. Hanya ada dua pilihan: Kanjeng Panembahan sumingkir melalui gerbang belakang, atau terperangkap dalam Istana dengan pasukan yang tidak seimbang. “Kanjeng Penambahan, Pasukan Mataram tidak lama akan menguasai gerbang. Mereka akan memasuki Istana dari semua jurusan..”. Panembahan Madiun terkenang harum melati Nyai Adisara yang membasuh kakinya..

“Sutawijaya memang Mawawisa..! ‎Licik..!! ”

Mataram sudah menyiapkan tata pendudukan Istana. Induk Pasukan langsung menuju Gerbang Utama, sementara kedua pasukan sayap menuju gerbang samping. Pangeran Singasari dan pasukannya ke Gerbang Kiri, Pangeran Mangkubumi ke Gerbang Kanan. ‎Sandi Yudha memimpin pasukan di Gerbang Belakang. Prajurit Madiun, tanpa rancangan yang mapan menghadang laju Mataram yang mendekati istana. Para Tumenggung membawa pasukannya yang tergopoh-gopoh disiapkan, ke posisi terdekatnya melindungi gerbang2 Istana.

Di Istana, keputusan sudah diambil. Semua pasukan pengawal akan menyertai dan melindungi Panembahan ‎yang sumingkir melalui gerbang belakang menunggang kuda. Istana diserahkan kepada putrinda Panembahan: Gusti Raden Ajeng Retna Dumilah dan para perempuan. Semua laki2 kerabat ikut sumingkir, termasuk Raden Lontang yang mesti mengapit Ayahanda Adipati, sementara Pasukan Pengawal menghadapi para penyerang yang menghadangnya, menghalau lemparan tombak dan serangan panah yang mungkin dihadapi.

“Retna Dumilah, aku percayakan Istana kepadamu. Sepeninggalku, engkaulah Adipati Madiun. Terimalah Keris Pusaka Kyai Gumarang sebagai tanda pengukuhanmu ‎. Aku berharap engkau bisa membunuh Sutawijaya dan musuh2 Kadipaten dengan pusaka ini…..”

‎Ketika matahari lewat sepengalah, dan gerakan Mataram melalui gerbang induk Istana tidak lagi dapat dibendung, Panembahan Madiun telah melesat bersama rombongan berkuda melalui gerbang belakang. Prajurit2 Madiun yang masih melindungi gerbang, terkejut ketika gerbang terbuka dari dalam dengan teriakan2: Buka jalan..buka jalan..!! Dengan senjata terhunus, rombongan ‎berkuda berderap lari menembus hadangan Prajurit Mataram, dan semakin memacunya ketika diluar gerbang.. Sandi Yudha Mataram siap menghadapi pertahanan Madiun, tapi tidak siap mengahadapi mereka yang menerabas dan melarikan diri. Kuda penghubung yang mereka punya tidak mampu berbuat apa-apa. Lemparan tombak dan serangan panah tak mampu menghambat mereka yang melarikan diri..

Matahari bertambah terik manakala Pasukan Induk Mataram berhasil menembus gerbang utama. Panembahan Senapati menjumpai Istana dalam keadaan kosong. ‎Ia sebetulnya berharap pamandanya tegak di halaman segelar sepapan dengan pusaka di tangan, sebagaimana ia menggenggam Tombak Pusaka Kyai Pleret. Sejenak ia termangu bersama Mandaraka, Gagak Baning dan Pragola, yang tetap berada diatas punggung2 kuda. Pasukan berkuda yang menyertainya ikut memasuki halaman. Pangeran Teposeno dan Tumenggung Sandi Yudha bergabung dibelakang mereka. Sementara itu Sandi Yudha dari gerbang belakang‎ telah menyambut Panembahan Senapati.

“Paman Mandaraka, kita sudah kuasai Madiun”. Panembahan Senapati turun dar‎I kuda, disertai semuanya. Ketika Tumenggung Sandi Yudha akan turun ia mencegahnya: “Ki Tumenggung jangan turun dari kudamu, Aku menghendaki Pamanda Kanjeng Panembahan di Madiun dibawa kembali ke Istananya…” Ketika setelah itu Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Antasari telah bergabung, maka Istana betul2 telah dikuasai.

Panembahan Senapati memimpin penguasaan Istana. “Periksa seluruh Istana, jangan usik para perempuan yang ditinggalkan…! Amankan Gudang Perbendaharaan dan Gedung Pusaka.!!”. Seperti selalu dalam setiap penyerbuan ia mendapati wajah2 pucat perempuan taklukan di bilik masing2, sementara lelakinya dalam tawanan, tewas, atau dalam pelarian. Harta perbendaharaan atau pusaka2 dijarah. Perang.. Perang..! Tiada habis2nya. Nusantara masih harus disatukan. Berapa lama ia masih harus berperang.? Berapa banyak nyawa harus meregang dan darah harus tumpah..? Pertama-tama penguasaan seluruh Jawa. Habis itu Sabrang Lor, Sabrang Kulon, Sabrang Wetan..! Akan mampukah ia menyamai Mahapatih Gadjah Mada..? Tan amukti Palapa sebelum Nusantara Bersatu..?Yang ia lakukan, tan sowan hing paseban Pajang sebelum Mataram berdiri, sekuku ireng dari yang dilakukan sang Mahapatih..

‎Seorang Perwira, tergopoh memintanya menuju Keputren. Disertai semua petingginya ia menuju kesana. Begitu melangkahi regol, Panembahan Senapati, Patih Mandaraka dan Pangeran2 yang menyertainya terpana: Puluhan gendewa pinentang menyambutnya dengan panah siap dilepas mengarah kedada mereka. Seorang diantaranya, tegak dengan Keris Kyai Gumarang di genggaman, kepala tengadah, menuding dengan kerisnya: “Yang mana diantara kalian menyebut diri Panembahan Senapati, Penguasa Mataram…”

Putri2 Kaputren dengan gendewa terpentang dan panah terhunus, memandang dengan tajam kepada orang2 Mataram. Mereka tinggal menunggu perintah. ‎Pemimpinnya, Gusti Raden Ajeng Retna Dumilah, mengacungkan Keris Kyai Gumarang pada para penyerang. Kecantikannya mempesona, berbinar tertimpa sinar matahari yang menyengat, di patirtan, sendang berair jernih di halaman ‎Kaputren.

Panembahan Senapati, ‎maju kedepan. Tombak Kyai Plered tergenggam: “Akulah Panembahan Senapati, Penguasa Mataram….”

“Keluar dari Istanaku, Panembahan.. Kau memasukinya tanpa ijin..”

“Aku sungguh2 bermaksud menghadap Pamanda Adipati Madiun, Pangeran Timur yang bergelar Rangga Jumena, kini Panembahan Madiun….”

“‎Akulah Adipati Madiun. Kau lihat Pusaka Kyai Gumarang ada padaku…. Kau bermaksud menemuiku, perintahkan pasukanmu ke luar gerbang kota, dan suruh pengawalmu berada di luar Istana…”

“Kaukah itu adi Ajeng Retna Dumilah, putri pamanda Pangeran Timur..?. Aku Sutawijaya…”

Panembahan Senapati teringat masa remajanya ketika ia, Ngabehi Loring Pasar, sering bermain ke Jepara. Ia mengenalnya saat putri itu berguru ke Ratu Kalinyamat, kakanda Pangeran Timur, penguasa Jepara setelah terbunuhnya Aria Penangsang. Putri yang masih sangat belia, baru lepas masa kanak2nya.

“Bawa pasukanmu keluar gerbang kota, Panembahan.. Lalu suruh pengawal2mu menunggu diluar Istana. Bukankah kau mengerti paugeran tata praja…?”

‎Panembahan Senapati terdiam.. Ia menoleh ke Patih Mandaraka.. Tetapi Pangeran Singasari telah menjadi marah: “Suruh dia menyerah kangmas Panembahan. Itu penghinaan kepada Mataram”

Putri Madiun dengan keris terhunus menantang: “Kau menghendaki perang, Pangeran..? Majulah..! Setapak kau melangkah anak panah akan menancap didadamu…”

“Tunggu…!” Panembahan Senapati ‎memotong. Sejenak kemudian: “Kecuali Paman Patih Mandaraka, aku minta para Pangeran dan Adipati menunggu di luar gerbang istana sesuai tanggung jawabnya. Lalu perintahkan Tumenggung pasukan masing2 menarik para Perwira dan prajurit2nya mundur keluar batas kota…”

Betapun mereka mencemaskan rajanya sekaligus kakandanya, ditengah ancaman anak panah dan keris pusaka yang terhunus. Tapi Panembahan meyakinkannya: “Percayakan padaku dan Paman Patih Mandaraka..”. Maka, dengan penuh keheranan, para Pangeran dan Adipati Mataram meninggalkan Kaputren, untuk selanjutnya mundur keluar gerbang Istana.

Raden Ajeng Retna Dumilah memerintah prajuritnya: “Empat orang, pergi ke setiap gerbang. Lihat apa perintah Panembahan Mataram ‎itu dipatuhi oleh pasukannya. Lalu tutup gerbang Istana. Kembali. Aku tunggu disini…”

Dengan panah terarah kepada Panembahan Senapati‎, empat orang putri kaputren bergerak keluar regol, selanjutnya masing2 menyebar mengamati gerak mundur para Pangeran keluar Istana, dan selanjutnya mereka amati gerak pasukan Mataram mundur keluar batas kota dari gerbang yang baru saja mereka kuasai.

Sesampai di pasukan masing2 yang menunggu di sekitar gerbang, para Pangeran meneruskan perintah Panembahan Senapati. Di gerbang induk, Adipati Pajang berkata: “Misi penguasaan Istana telah selesai. Para Tumenggung dan Perwira, bawalah semua prajurit mundur ke batas kota. Kami para pangeran menunggu Kanjeng Panembahan Senapati dan Patih Mandaraka disini, bersama Kereta Kerajaan.”

Di halaman Keputren, dibawah cahaya matahari yang bertambah terik, disamping sendang patirtan yang jenih airnya, Panembahan Senapati menggenggam Tombak Kyai Plered berdiri berhadapan dengan Retna Dumilah menghunus Kyai Gumarang. Ujungnya mengarah ke ‎Panembahan Senapati tanpa pernah tunduk. Putri2 lainnya tetap mementang gendewa beranak panah, terarah kepada Raja dan Patih Mataram yang berdiri disana. Angin yang berhembus membelai wajah2 cantik yang tegang bersenjata, menggerakkan helai2 rambut yang sebagian tergerai. Panembahan Senapati yang memandangi Retna Dumilah yang pandangnya tajam kearahnya, seakan tersengat desir yang aneh…

Ketika empat prajurit putri telah kembali, melaporkan bahwa Istana telah kosong dan pasukan Mataram telah ditarik mundur ke batas kota. Retna Dumilah berkata “Bicaralah Panembahan, apa maksudmu menemui Adipati Madiun..?”

“Adi Ajeng Retna Dumilah..”

“Aku Adipati Madiun, Panembahan.. Bicaralah secara patut… Katakan apa maksudmu..”

“Adi Ajeng Adipati…..” Panembahan Senapati menyatakan ini adalah kunjungan pada Kadipaten yang telah mempunyai hubungan tata praja dengan Pajang yang kini diteruskan oleh Mataram. Kunjungan ini untuk mengukuhkan kembali pola hubungan yang selama ini telah terjalin.

“Dengan membawa pasukan segelar sepapan? Melakukan serangan kepada Prajurit2 Madiun, bahkan mendobrak Gerbang Istana..? Kyai Gumarang telah terhunus, Panembahan. Tugasku yang pertama sebagai Adipati adalah membunuh Panembahan Senapati…”

Panembahan Senapati dan Patih Mandaraka terkisap. Mereka semakin meningkatkan kewaspadaan. Dan tentu saja lapis ilmu kadigdayan yang mereka punya. Putri Madiun ini murid Ratu Kalinyamat, yang kesaktiannya dan keberaniannya membawa Jepara memerangi Portugis. Lagipula, panah2 itu bisa melesat setiap saat…

“Aku tidak akan berlaku pengecut memerintahkan prajuritku melepas anak panah, Panembahan.. Aku tantang kau perang tanding. Satu lawan satu. Aku akan membunuhmu dengan Kyai Gumarang sebagaimana titah ayahanda Pangeran Timur, dan mendudukan ayahanda sebagai penerus Eyang Sultan Trenggana…”. Kalau aku gagal dan kau kalahkan, aku akan mengakui Mataram sebagai penerus Kesultanan Pajang. Nyawaku kuserahkan padamu sebagaimana kalau aku terbunuh dalam perang tanding ini.

Kepada prajuritnya ia berkata: “Kendurkan gendewa….!”. Gendewa2 pinentang, serempak mengendur.

“Baik Adi Ajeng Adipati… Aku terima tantanganmu..Kalau aku terbunuh, biarlah Pamanda Patih Mandaraka membawa pulang tubuhku…”

Maka di tepi sendang katirtan yang jernih airnya di Kaputren itu, Retna Dumilah bersenjatakan Keris Pusaka Kyai Gumarang, bertempur melawan Panembahan Senapati. Satu lawan satu. Retna Dumilah memang bermaksud mengemban perintah Ayahandanya. Ia mesti membunuh Sutawijaya. Kyai Gumarang ditangannya seakan mencari warangka di tubuh Panembahan Senapati. Gerakannya sangat cepat dan bertubi-tubi. Tata geraknya mencerminkan kesaktian perguruan Ratu Kalinyamat. Tetapi Kyai Plered ditangan Panembahan Senapati adalah pusaka pinilih Hadiwijaya yang mampu merobek perut Aria Penangsang. Maka Kyai Gumarang senantiasa membentur Kyai Plered dimanapun pusaka itu ingin menembus tubuh Panembahan. Betapapun sebagai perempuan kesempatan mesu kanuragan dan kasekten mempunyai batasan norma dibanding lawannya. Maka ketika tenaga Retna Dumilah semakin susut, pada sebuah benturan keras, Kyai Gumarang terlepas dari genggamannya. Retna Dumilah meloncat mundur. Panembahan Senapati tidak memburunya, melainkan ia pungut Kyai Gumarang.

“Kyai Gumarang kini ditanganku, Adi Ajeng.. Bukankah Kadipaten Madiun ada digenggamanku..? Dan dengan begitu juga nyawamu…?”. Panembahan Senapati dengan Kyai Gumarang terhunus ditangan kanannya, dan Kyai Plered di tangan kirinya, maju mendekati Retna Dumilah. Putri Madiun ini tegak dengan perkasa. Kepalanya tengadah menatap Raja Mataram yang menghampirinya dengan senjata terhunus.

“Kyai Gumarang telah jatuh ketanah dalam peperangan di tepi sendang ini..” Kemudian Panembahan Senapati mengangkatknya ke angkasa. “‎Ditanganku ia kuberi nama Kyai Tundung Madiun… Disaksikan pamanda Patih dan segenap prajurit Madiun di Kaputren ini, Kyai Tundung Madiun, pusaka pratanda kuasa Kabupaten Madiun, aku kembalikan ke pemiliknya yang syah.. Gusti Raden Ajeng Retna Dumilah, putrinda Pangeran Timur, cucunda Sultan Trenggana..”

Panem‎bahan Senapati, menaruh Kyai Tundung Madiun ke genggaman Retna Dumilah, dan menuntunnya untuk menyarungkan kembali ke warangkanya yang terselip di pinggang belakang sang putri.. Harum bau rambut Retna Dumilah yang terhembus angin siang hari..menggetarkan hati sang Panembahan..

“Semoga Kadipaten Madiun, kelak akan menyamai bahkan melebihi kebesaran, ketenaran, dan keberanian Jepara, dikala Adipati Ratu Kalinyamat membawa pasukan bertempur memerangi Portugis…‎”

Dan situasi Madiun pun berubah. Panembahan Senapati mengumumkan penobatan Adipati Madiun, sekaligus lamarannya kepada Adipati yang baru dinobatkan. ‎Atas ijin Adipati, pasukan Madiun dipersilahkan masuk kembali kedalam kota, ditempatkan di Alun-alun, membangun barak dan perkemahan, berkumpul dengan pasukan Bang Wetan yang masih sisa. Para pangeran dan Adipati dipersilahkan masuk ke Istana, termasuk Kereta Kerajaan yang berpenumpang Nyai Adisara, garwa ampil Panembahan, yang kemudian akan bertugas mengurus uba-rampe perkawinan Panembahan dengan Putri Madiun.

Adipati Madiun, tak percuma berguru kepada Ratu Kalinyamat, penguasa Jepara. Atas ijin Panembahan Senapati ia segera mengumpulkan para Tumenggungnya dan segenap Perwira yang ada. Untuk mengendurkan ketegangan paska perang, Madiun menyelenggarakan pesta penobatan, sekaligus perkawinan agung Panembahan Senapati dengan Gusti Raden Ajeng Retna Dumilah, Adipati di Madiun. Perlawanan Madiun atas Mataram, berakhir sudah.

PERJUANGAN SANG PANGLIMA PERANG WANITA YANG BIJAK

Raden Ayu Retno Djumilah adalah sosok wanita yang cerdas dan trengginas, bukan hanya trampil dalam ilmu perang tapi juga sebagai sosok wanita pemimpin yang disegani dan dicintai rakyatnya. Putri bupati Pangeran Timoer ini kemudian juga mengemban tugas sebagai seorang bupati setelah ayahandanya menyelesaikan tugasnya. Sejarah mencatat bahwa Raden Ayu Retno Djumilah harus berhadapan dengan kekuasaan dan kekuatan yang lebih besar, yaitu kasultanan Mataram akibat jatuhnya kesultanan Demak yang kemudian kekuasaan pindah ke Mataram, maka ada kebijakan dari Mataram yang menjadikan Wilayah Demak berada dalam kekuasaannya.

Kabupaten Madiun memang jadi sasaran utama untuk dikuasai mataram karna posisisnya yang strategis. Disamping pengaruh kuat dari bupati Madiun yang waktu itu menjadi pemimpin para bupati wilayah Timur. Kebijakan Mataram menjadikan Madiun berada dalam wilayahnya sejak awal ditolak oleh pangeran Timoer sehingga terjadilah serangan mataram ke Madiun. Serangan pertama tahun 1586 dan serangan kedua tahun 1587 dapat digagalkan pasukan Madiun. Baru kemudian serangan yang ketiga tahun 1590 serangan mataram berhasil melumpuhkan Purabaya.

Sebagai seorang pemimpin yang cerdas, pemberani dan bijak pada peristiwa pertempuran tahun 1590 itu Raden Ayu Retno Djumilah yang memimpin perlawanan rakyat Purabaya pada akhirnya mengambil inisiatif untuk berkompromi dengan situasi. Dia lebih memilih kepentingan masa depan Purabaya ketimbang mengorbankan rakyat Purabaya demi sebuah ambisi menang perang. Keputusan ini tentu saja menguntungkan kedua belah pihak.Bahkan akhirnya Raden Ayu Retno Djumilah diboyong ke Mataram bukan sebagai tawanan tapi sebagai tamu kehormatan untuk membicarakan Madiun pasca perang, Namun karena kecerdasan dan kemampuannya pada perjalanan waktu akhirnya Raden Ayu Retno Djumilah dipersunting oleh Panembahan Senopati sebagai permaisuri.

Perkawinan dengan pemimpin Mataram ini lebih dari sekedar hubungan pribadi tapi merupakan suatu momentum yang menempatkan Madiun secara terhormat dalam sejarah kerajaan di jawa. Sebagai seorang wanita raden ayu Retno Djumilah beliau sangat hebat. Bukan hanya sekedar anak bupati tapi sebagai tokoh pemimpin yang kharismatik dan menguasai banyak hal. Dan sebagai seorang panglima perang dia sangat disegani kawan maupun lawan bahkan seorang pemimpin besar Mataram pun mengakui hal tersebut. Dengan kearifan dan kepandaiannya dia juga berhasil menghentikan konflik besar yang sempat terjadi tanpa ada satu pihak yang merasa dirugikan.

Hal ini menunjukkan bahwa Raden ayu Retno Djumilah adalah seorang tokoh wanita yang mampu memberikan pemaknaan peran kepemimpinan perempuan yang luar biasa yang tak kalah dengan kaum pria. Suatu bentuk emansipasi di masa silam sebelum perjuangan RA Kartini, Dewi Sartika dan lain lain telah ditunjukkan oleh panglima perang dan bupati Madiun ke 2 ini. Tanpa meninggalkan kodrat sebagai wanita Raden Ayu Retno Djumilah berhasil membuktikan banyak hal yang bisa dipelajari oleh para wanita khususnya para wanita di daerah Madiun untuk bisa membaktikan dirinya dalam setiap karya nyata bagi kehidupan tanpa dibayangi oleh diskriminasi gender atau ketakutan yang tak beralasan sama sekali.‎

1 komentar:

  1. Pangeran loring pasar yg berhasil mbunuh arya penangsang pake keris setan kober miliknya sendiri itu ya ? Atau ?

    BalasHapus