Translate

Sabtu, 05 Maret 2016

Jangan Pernah Melupakan ALLOH

Manusia Adalah Makhluk Yang Pelupa
Al-insân adalah salah satu kata yang dipakai oleh Allah swt. untuk menyebut makhluk yang bernama manusia. kata insân menurut sebagain ahli bahasa Arab, memiliki keterkaitan makna dengan kata nisyân yang secara harfiyah berarti lupa. Oleh karena itu, manusia tidaklah disebut dengan insân keculai bahwa dia adalah makhluk yang sangat pelupa;
(لا يسمي الإنسان بالإنسان إلا لنسيانه), 

Begitulah yang dikatakan oleh ahli bahasa.
Adalah sudah menjadi tabi’at manusia, bahwa dia dengan cepat dan mudah melupakan sesuatu, dan baru dia teringat serta menyadari apa yang dilupkan itu ketika berada dalam kondisi dan situasi sulit, genting, susah, atau membahayakan. 

Dalil Al-Qur’an
Allah ta’ala berfirman :
الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَهُمْ لَهْوًا وَلَعِبًا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا فَالْيَوْمَ نَنْسَاهُمْ كَمَا نَسُوا لِقَاءَ يَوْمِهِمْ هَذَا وَمَا كَانُوا بِآيَاتِنَا يَجْحَدُونَ
“(yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka". Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakanmereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami” [QS. Al-A’raaf : 51].
الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang mungkar dan melarang berbuat yang makruf dan mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik” [QS. At-Taubah : 67].
فَذُوقُوا بِمَا نَسِيتُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا إِنَّانَسِينَاكُمْ وَذُوقُوا عَذَابَ الْخُلْدِ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Maka rasailah olehmu (siksa ini) disebabkan kamu melupakan akan pertemuan dengan harimu ini (Hari Kiamat); sesungguhnya Kami telah melupakan kamu (pula) dan rasakanlah siksa yang kekal, disebabkan apa yang selalu kamu kerjakan" [QS. As-Sajdah : 14].
وَقِيلَ الْيَوْمَ نَنْسَاكُمْ كَمَا نَسِيتُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا وَمَأْوَاكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ نَاصِرِينَ
“Dan dikatakan (kepada mereka): "Pada hari ini Kami melupakan kamu sebagaimana kamu telah melupakan pertemuan (dengan) harimu ini dan tempat kembalimu ialah neraka dan kamu sekali-kali tidak memperoleh penolong”[QS. Al-Jaatsiyyah : 34].
Dalil As-Sunnah
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ الزُّهْرِيُّ الْبَصْرِيُّ، حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ سُعَيْرٍ أَبُو مُحَمَّدٍ التَّمِيمِيُّ الْكُوفِيُّ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَا: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " يُؤْتَى بِالْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَيَقُولُ اللَّهُ لَهُ: أَلَمْ أَجْعَلْ لَكَ سَمْعًا وَبَصَرًا وَمَالًا وَوَلَدًا وَسَخَّرْتُ لَكَ الْأَنْعَامَ وَالْحَرْثَ وَتَرَكْتُكَ تَرْأَسُ وَتَرْبَعُ، فَكُنْتَ تَظُنُّ أَنَّكَ مُلَاقِي يَوْمَكَ هَذَا؟ قَالَ: فَيَقُولُ: لَا، فَيَقُولُ لَهُ: الْيَوْمَأَنْسَاكَ كَمَا نَسِيتَنِي "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad Az-Zuhriy Al-Bashriy : Telah menceritakan kepada kami Maalik bin Su’air Abu Muhammad At-Tamiimiy Al-Bashriy : Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah dan Abu Sa’iid, mereka berdua berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Akan didatangkan seorang hamba pada hari kiamat, lalu Allah berkata kepadanya : ‘Tidakkah Aku telah memberikan bagimu pendengaran, penglihatan, harta, dan anak. Dan Aku telah menundukkan bagimu hewan ternak dan tanaman, serta Aku tinggalkan bagimu menjadi pemimpin dan mendapatkan seperempat (bagian harta rampasan). Dan (apakah) dulu engkau mengira bahwa engkau akan menemui-Ku pada hari ini ?’. Ia menjawab : ‘Tidak’. Allah berkata kepadanya : ‘Pada hari ini Aku telah melupakanmusebagaimana engkau telah melupakan-Ku” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy 4/224 no. 2428, dan ia berkata : ‘shahih ghariib’].
Makna An-Nis-yaan
At-Tirmidziy rahimahullah setelah membawakan hadits di atas berkata :
وَقَدْ فَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ هَذِهِ الْآيَةَ فَالْيَوْمَ نَنْسَاهُمْ، قَالُوا: إِنَّمَا مَعْنَاهُ الْيَوْمَ نَتْرُكُهُمْ فِي الْعَذَابِ
“Sebagian ulama telah menafsirkan ayat ini : ‘Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka’ (QS. Al-A’raaf : 51), mereka berkata : ‘Maknanya adalah : Pada hari Kamitinggalkan/biarkan mereka dalam siksaan” [Sunan At-Tirmidziy, 4/225].
Al-Imaam Ahmad rahimahullah berkata :
أما قوله : (فَالْيَوْمَ نَنْسَاكُمْ كَمَا نَسَيْتُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا)؛ يقول : نترككم في النار؛ (كَمَا نَسَيْتُمِ)؛ كما تركتم العمل للقاء يومكم هذا
“Adapun firman-Nya : ‘Pada hari ini Kami melupakan kamu sebagaimana kamu telah melupakan pertemuan (dengan) harimu ini’(QS. Al-Jaatsiyyah : 34); yaitu : Kamitinggalkan/biarkan mereka dalam neraka. Firman-Nya : ‘Sebagaimana kamu telah melupakan’; yaitu sebagaimana kalianmeninggalkan ‘amal (shalih) untuk perjumpaan (dengan Allah) pada hari ini” [Ar-Radd ‘alaz-Zanaadiqah wal-Jahmiyyah, hal. 21].
Ibnu Faaris rahimahullah berkata :
النسيان : الترك، قال الله جل وعز : (نَسُوا اللهَ فَنَسِيَهُمْ).
“An-Nis-yaan maknanya adalah at-tark(meninggalkan/membiarkan), sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla : ‘Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka’ (QS. At-Taubah : 67)” [Mujmalul-Lughah, hal. 866].
Ath-Thabariy rahimahullah saat menafsirkan ‘Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka’ (QS. At-Taubah : 67), berkata :
معناه : تركوا اللهَ أن يطيعوه ويتبعوا أمره، فتركهم اللهُ من توفيقه وهدايته ورحمته، وقد دللنا فيما مضى على أن معنى النسيان : الترك....
“Maknanya adalah : mereka meninggalkan Allah untuk taat kepada-Nya dan mengikuti perintah-Nya. Maka Allah pun meninggalkan mereka dari taufiq, hidayah, dan rahmat-Nya. Dan telah kami tunjukkan pada bahasan yang lalu bahwa makna an-nis-yaan adalah at-tark (meninggalkan)…” [Tafsiir Ath-Thabariy, 14/339].

Menurut informasi al-Qur’an, setidaknya ada dua hal yang seringkali dengan mudah dilupakan manusia, dan barulah dia teringat dan menyadari apa yang telah dilupakan itu, ketika berada dalam kondisi sulit, susah dan membahayakan. 
Pertama, manusia dengan mudah dan gampang melupakan Allah swt. dan baru ingat kembali kepada-Nya, ketika manusia menghadapi kondisi sulit, susah dan membahayakan. Begitulah yang disebutkan Allah dalam surat Yunus [10]: 12


وَإِذَا مَسَّ الْإِنْسَانَ الضُّرُّ دَعَانَا لِجَنْبِهِ أَوْ قَاعِدًا أَوْ قَائِمًا فَلَمَّا كَشَفْنَا عَنْهُ ضُرَّهُ مَرَّ كَأَنْ لَمْ يَدْعُنَا إِلَى ضُرٍّ مَسَّهُ كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْمُسْرِفِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdo`a kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdo`a kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.”
Begitu juga dalam surat Fushshilat [41]: 50‎

وَلَئِنْ أَذَقْنَاهُ رَحْمَةً مِنَّا مِنْ بَعْدِ ضَرَّاءَ مَسَّتْهُ لَيَقُولَنَّ هَذَا لِي وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً….

“Dan jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami sesudah dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata: "Ini adalah hakku, dan aku tidak yakin bahwa hari kiamat itu akan datang…”
Begitulah sifat manusia yang cenderung dengan mudah melupakan Allah dalam kehidupannya. Manusia baru ingat kembali kepada Allah, ketika berada dalam kodisi susah dan berbahaya. Di saat manusia dihadapkan kepada kondisi sulit atau berbahaya, maka yang ada dalam ingatannya hanyalah Allah. Begitu juga ucapan yang keluar dari bibirnya adalah nama Allah, sambil mengharap pertolongan-Nya dalam setiap waktu dan keadaan, berbaring, duduk, atau berdiri. Namun, ketika Allah telah menghilangkan kesulitannya atau telah melepaskannya dari bahaya yang menghadangnya, maka manusia akan berlalu dan melupakan Allah dengan mudahnya, seolah dia tidak pernah mengingat-Nya, menyebut nama-Nya atau mengharap pertolongan-Nya. Bahkan, yang lebih ironis lagi, manusia yang tadinya bersimpuh dan bersujud mengharap pertolongan Allah, begitu lepas dari kesulitan berani menyombongkan diri dengan mengatakan bahwa apa yang dia peroleh dari keselamatan adalah berkat kemampuan dan usahanya. Dia melupakan pertolongan Allah kepadanya, dan tidak cukup sampai di situ, manusia kemudian mendustakan adanya kiamat dan pembalasan Allah.
Sikap manusia seperti ini, tentu dengan sangat mudah bisa kita amati dan temui. Mislanya, jika sekelompok manusia menaiki sebuah pesawat, dipastikan semuanya akan berdo’a kepada Allah mengharap keselamatan. Dari bibir setiap penumpang akan keluarlah nama Allah dan ungkapan do’a terhadap kepada-Nya. Karena memang pada saat itu, manusia berada dalam kondisi berbahaya. Namun, setelah pesawatnya nanti mendarat, dan manusia kembali menginjakan kakinya di bumi, serta mereka tidak lagi berada dalam kondosi berbahaya, maka Allah akan sangat mudah dilupakan oleh manusia tersebut. ‎

Ketika terjadi bencana semisal gempa bumi, maka serta merta nama Allah akan keluar dari mulut setiap manusia, seraya meminta pertolongan-Nya. Namun, ketika bencana telah usai dan meraka telah diselamatkan dari bahaya, manusia kembali dengan cepat melupakan Allah. Tentu masih segar dalam ingatan kita, ketika isu tsunami merebak akan melanda sebagian besar wilayah di Indosesia, maka mendadak ketaatan manusia meningkat tajam. Di mana-mana diadakan dzikir bersama, istighastah, do’a tolak bala dan sebagainya. Masjid dan mushalla mendadak ramai oleh manusia untuk ikut melaksanakan shalat berjama’ah. Bahkan, bukan hanya berjama’ah dalam shalat wajib, shalat Dhuha pun yang tidak ada aturan berjam’ah, juga dikerjakan manusia secara berjam’ah. Nama Allah dikumandangkan dengan secara bersama di setiap tempat. Hal itu terjadi, karena manusia sedang dihantui bahaya dan bencana. Maka, secara mendadak manusia ingat kepada Allah. Akan tetapi, ketika bencana telah lewat atau tidak jadi didatangkan Allah, maka serta merta manusia kembali melupakan Allah. Tempat-tempat ibadah kembali sepi, dan maksiat kembali meraja lela.
Kedua, manusia dengan mudah dan gampang melupakan amal kebaikan, dan barulah manusia menyadari kelalaiannya atau teringat apa yang dilupakannya, ketika telah berada dalam kondisi sulit, genting dan berbahaya. Dan di dalam al-Qur’an disebutkan minimal ada tiga kondisi genting dan sulit yang dihadapi manusia, di mana saat itulah dia baru menyadari akan kelalaiannya, atau teringat apa yang telah dilupakannya dari amal kebaikan.‎

Keadaan genting pertama adalah ketika kematian datang menjemputnya. Di saat itulah manusia teringat akan kebaikan yang dilupakannya, dan meminta waktu penagguhan kepada Allah dari kematiannya. Namun, hal itu tidak ada lagi gunanya, sebab Allah tidak akan pernah menerima permohonan mereka untuk mengundur kematian. Seperrti yang disebutkan dalam surat al-Munafiqun [63]: 10‎

وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ

“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?".”
Kondisi genting kedua yang disaat itu barulah manusia teringat akan kelaiannya dan sadar apa yang telah dilupakannya dari amal shalaih, adalah ketika sudah berada di alam barzakh. Di alam barzakh, manusia sudah terkungkung dalam suatu wadah, di mana ke belakang dia bisa melihat dunia dan ke depan dia bisa melihat akhirat. Di alam barzakh tersebut, dihadapkan kepada manusia tempat yang akan ditempatinya sesuai dengan amalnya masing-masing. Jika dia calon penduduk sorga, maka sorga dan segala kenikmatannya diperlihatkan kepadanya. Namun, jika dia calon penghuni neraka, maka neraka dan segala bentuk siksanya pun dihadapkan kepadanya. Manusia yang dulu lengah dan melupakan kebaikan, ketika melihat siksa neraka yang akan diterimya, sadarlah dia akan apa yang telah dilupakan dulu. Maka, diapun meminta kepada Allah untuk dikembalikan lagi ke dunia. Akan tetapi, Allah tidak akan pernah mengabulkan permohomoan itu. Itulah yang disebutkan dalam surat al-Mukminun [23]: 99-100‎

حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ(99)لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ(100)

“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia) (99). Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan (100).”

Kondisi sulit dan genting ketiga yang dihadapi manusia dan barulah ketika itu manusia ingat apa yang telah dilupakannya dari berbuat kebajikan adalah ketika manusia sudah berada di pinggir jurang nereka. Di saat manusia telah melihat azab neraka di depan mata mereka, dan malaikat telah siap melemparkan mereka ke dalamnya, manusia serentak berteriak kepada Allah agar dikeluarkan dari siska yanag akan menimpa mereka dan dikembalikan kepada kehidupan dunia. Jika Allah mengelurkan mereka dari sana, mereka berjanji akan mengerjakan amal shalih yang dulu ketika di dunia mereka lupakan. Namun, permintaan mereka di tolak oleh Allah swt, seperti yang disebutkan dalam surat Fathir [35]: 37‎

وَهُمْ يَصْطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَا أَخْرِجْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ فَذُوقُوا فَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ

“Dan mereka berteriak di dalam neraka itu: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan". Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun.”
Kenapa Allah selalu menolak permohonan manusia, mulai dari penangguhan kematian, dikembalikan ke dunia dari alam berzakh, dan dikeluarkan dari siksa neraka serta dikembalikan kepada kehidupan dunia? Di antara jawabannya adalah, bahwa Allah swt. persis tahu tabi’at manusia yang dengan mudah akan melupakan janji dan ucapam mereka. Sekalipun mereka diberi waktu untuk memperbaiki diri, atau bahkan dikembalikan lagi kepada kehidupan dunia, nisacya mereka akan tetap melupakan Allah dan melakukan larangan-Nya. 

Begitulah yang ditegaskan Allah dalam surat al-An’am [6]: 27-28‎

وَلَوْ تَرَى إِذْ وُقِفُوا عَلَى النَّارِ فَقَالُوا يَالَيْتَنَا نُرَدُّ وَلَا نُكَذِّبَ بِآيَاتِ رَبِّنَا وَنَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ(27)بَلْ بَدَا لَهُمْ مَا كَانُوا يُخْفُونَ مِنْ قَبْلُ وَلَوْ رُدُّوا لَعَادُوا لِمَا نُهُوا عَنْهُ وَإِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ(28)

“Dan jika kamu (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, lalu mereka berkata: "Kiranya kami dikembalikan (ke dunia) dan tidak mendustakan ayat-ayat Tuhan kami, serta menjadi orang-orang yang beriman", (tentulah kamu melihat suatu peristiwa yang mengharukan) (27). Tetapi (sebenarnya) telah nyata bagi mereka kejahatan yang mereka dahulu selalu menyembunyikannya. Sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang mereka telah dilarang mengerjakannya. Dan sesungguhnya mereka itu adalah pendusta-pendusta belaka (28).”
Lalu bagaimana cara manusia agar tidak melupakan Allah dan melupakan amal kebajikan? Supaya manusia tidak mudah melupakan Allah dan melupakan kebajikan, dia harus menjsdi manusia yang paling cerdas dan pintar, atau dalam bahasa al-Qur’an disebut Ulul al-Bâb. Sebab, kelompok manusia Ulul al-Bâb memiliki beberapa ciri yang menjadikan mereka makhluk yang selalu ingat Allah dan tidak lupa berbuat kebajikan. Adapun ciri Ulul al-Bâb ini adalah: 
1. Orang yang mampu menghargai kehidupan, mengerti dan memahami akan makna dan tujuan hidup yang diberikan Allah swt. Seperti yang terdapat dalam surat al-Baqarah [2]: 179‎

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”
Qishash adalah salah satu bentuk penghargaan manusia akan kehidupan. Dengan qishash manusia memahami betapa berharganya suatu kehidupan. Kehidupan bukanlah suatu kebetulan, karena Allah menjadikan hidup adalah dengan tujuan agar Dia mengetahui siapa yang paling baik kualitas amalnya. ‎

Kenapa seseorang melupakan Allah dan melupakan kebajikan? Sebab, dia tidak mengerti dan memahami hakikat dan tujuan kehidupan ini. Bagi yang melupakan Allah dan kebajikan, seringkali berpandangan bahwa hidup di dunia adalah tujuan akhirnya. Oleh karena itu, dalam kehidupan di dunia dia berbuat semaunya tanpa ada rambu dan aturan yang mesti dipatuhi. Namun, bagi yang mengerti akan makna, hakikat dan tujuan kehidupan, dia akan sadar bahwa hidup di dunia adalah sarana menuju kehidupan yang lebih sempurna dan abadi. Sehingga, manusia yang sadar akan hal ini dipastikan tidak akan pernah melupkan Allah dan beramal untuk menghadapi kehidupan yang sempurna dan abadi tersebut.
2. Orang yang selalu memadukan antara zikir, fakir dan do’a. Seperti
yang disebutkan dalam surat Ali ‘Imran [3] 190-191


إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ(190)الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ(191)

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (190). (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka (191).”
Jika seseorang selalu berzikir kepada Allah swt, selalu berfikir tentang ciptaan-Nya untuk menemukan kebesaran Allah, serta selalu berdo’a kepada-Nya untuk dilepaskan dari siksa api neraka, sudah pasti bukanlah manusia yang melupakan Allah serta melupakan amal kebajikan. Barulah manusia disebut melupakan Allah dan kebajikan, jika ketiga hal tersebut sudah ditinggalkannya. ‎

3. Orang yang mampu membedakan antara  kebaikan dan keburukan. Seperti yang disebutkan dalam surat al-Maidah [5]: 100


قُلْ لَا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ فَاتَّقُوا اللَّهَ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan."”
Kenapa seorang melupakan Allah dan lupa beramal kebajikan? Sebab, dia sendiri tidak tahu mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang disuruh dan mana yang dilarang, mana yang harus dikerjakan dan mana yang harus ditinggalkan. Ketidaktahuan akan hal inilah yang membuat manusia menjadi sangat mudah melupakan Allah dan amal kebajikan. 
4. Orang yang belajar dan mengambil pelajaran dari peristiwa masa lalu. Seperti yang disebutkan dalam surat Yusuf [12]: 111
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ …

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal…”
Jika saja masusia mampu mengambil pelajaran dari apa yang menimpa umat-umat yang durhaka pada masa lalu, tentulah manusia akan bersegera mengingat Allah dan berbuat kebajikan. Jika saja manusia mampu mengambil pelajaran dari apa yang menimpa raja Namrudz, Fir’aun, Qarun dan tokoh-tokoh pembangkang masa lalu, tentulah manusia tidak akan melupakan Allah dan amal kebajikan. Gampangnya manusia melupakan Allah dan lalai dari kebajikan, disebabkan manusia tidak mampu mengambil pelajaran dari cerita dan peristiwa masa lalu. 
5. Orang yang mau menerima kebenaran dan nasehat. Seperti yang disebutkan dalam surat ar-Ra’d [13]: 19
أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.”
Jika seseorang tidak buta mata hatinya dari kebenaran dan nasehat orang lain, tentulah dia tidak akan lupa kepada Allah dan kebajikan. Namrudz, Fir’aun, Qarun, Abu Jahal, Abu Lahab dan sebagainya, mereka melupakan Allah dan kebajikan karena hatinya telah buta untuk menerima kebenaran dan nasehat. Sekalipun mereka sadar bahwa yang datang kepada mereka adalah kebenaran, namun mereka menutup hati mereka agar tidak menerimanya. Hal inilah yang membuat mereka lupa akan Allah dan lupa akan kebajikan. 
6. Orang yang mau mempelajari al-Qur’an dan mengambil pelajaran dari padanya. Seperti yang disebutkan dalam surat Ibrahim [14]: 52
هَذَا بَلَاغٌ لِلنَّاسِ وَلِيُنْذَرُوا بِهِ وَلِيَعْلَمُوا أَنَّمَا هُوَ إِلَهٌ وَاحِدٌ وَلِيَذَّكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

“(Al Qur'an) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengannya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.”

Jika saja seseorang mau mendekatkan diri dengan Al-Qur’an dengan cara membaca, memahami dan mengamalkannya, tentulah dia tidak akan lupa kepada Allah dan kebajikan. Bagaimana mungkin dia akan melupakan Allah, ketika dia selalu dekat dengan kalam-Nya? Begitu juga, bagaimana mungkin seseorang dikatakan lupa beramal, sementara membaca dan mempelajari al-Qur’an adalah suatu amal kebajikan yang sangat besar nilainya? Begitulah manusia paling cerdas yang tidak akan pernah lupa kepada Allah dan berbuat kebajikan.

Muhasabah Diri Adalah Salah Satu Bentuk Ketaqwaan
Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ,  وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

 “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Qs. al-Hasyr: 18-19 )
 Ayat di atas menjadi rujukan utama dalam pembahasan muhasabah (intropeksi). Yang menarik dari ayat  tersebut bahwa Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk bertaqwa sebanyak dua kali, hal ini menunjukkan betapa pentingnya kandungan ayat di atas.

Berkata Imam al-Qurthubi di dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (17/29): “Dikatakan bahwa Taqwa yang pertama, maksudnya adalah taubat dari dosa-dosa yang telah lalu. Adapun Taqwa yang kedua adalah menghindari dari maksiat di masa mendatang.“

Setelah Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk bertaqwa, kemudian Allah memerintahkan setiap jiwa dari mereka untuk melihat apa saja bekal yang yang sudah disiapkan untuk menyambut hari esok, inilah makna muhasabah dan intropeksi.

Artinya bahwa salah satu bentuk ketaqwaan kepada Allah adalah selalu bermuhasabah diri terhadap apa yang sudah dikerjakan selama ini.

Persiapan Untuk Hari Esok

Mempersiapkan diri untuk menghadapi hari esok adalah sesuatu yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Hari esok ada dua; hari esok yang dekat, dan hari esok yang jauh.

Adapun hari esok yang dekat adalah hari-hari mendatang di dalam kehidupan dunia ini bisa satu hari lagi, satu minggu lagi, satu bulan lagi, satu tahun lagi, sepuluh tahun lagi dan seterusnya. Yang jelas, setiap diri kita harus mempersiapkan diri untuk masa depan.

Ayat ini memerintahkan kita umat Islam untuk selalu mempunyai rencana dan rancangan yang matang dalam setiap aktivitas, tidak asal kerja, tidak asal beramal. Sehingga hasil kegiatan yang terencana dan terprogram dengan rapi akan menghasilkan sesuatu yang baik dan bermanfaat, baik di dunia ini maupun di akherat.

 Adapun hari esok yang jauh maksudnya adalah hari akherat, maka setiap diri kita hendaknya mempersiapkan bekal amal untuk dibawa ke akherat.

Berkata Imam al-Qurtubi : “Hari esok adalah hari kiamat. Orang Arab menyebut sesuatu yang akan datang dengan esok hari.“

 Ayat di atas sesuai dengan hadist Abu Ya’la Syadad bin Aus radhiyallahu 'anhudari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

 الكَيْسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنِ اتَّبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا، وَتَمَنَّي عَلَي الله

“Orang yang cerdik adalah oraang yang selalu menahan hawa nafsunya dan beramal untuk sesudah mati, sedangkan orang yang lemah adalah orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah“ (HR Tirmidzi, dan beliau berkata: hadist ini Hasan Shahih)

 Macam-Macam Muhasabah Diri  

Muhasabah diri bisa dibagi menjadi beberapa macam:

Pertama: Muhasabah Sebelum Beramal.

Sebelum beramal hendaknya kita bermuhasabah, apakah amal yang akan kita kerjakan sudah benar-benar diniatkan karena Allah semata, atau ada niat lain?  seandainya sudah ikhlas, maka apakah sudah sesuai dengan tuntunan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam?

Berkata Imam Hasan al-Bashri :

رَحِمَ الله عَبْداً وَقَفَ عِنْدَ هَمِّهِ، فّإِنْ كَانَ لِلهِ مَضَى، وَإِنْ كَانَ لِغَيْرِهِ تَأَخَّرَ.

 “Mudah-mudahan Allah selalu memberikan rahmat kepada seorang hamba yang selalu merenungi sebelum melakukan aktifitas, jika diniatkan karena Allah, maka ia lakukan aktivitas tersebut, tetapi jika bukan karena Allah, dia urungkan aktivitas tersebut. “

Kedua: Muhasabah Pada Saat Beramal.
Ketika sedang beramal, hendaknya  kita terus berusaha agar amal kita tetap berada pada jalur yang telah digariskan Allah, jangan sampai lengah dan keluar dari jalur, maka kita akan celaka.  

Jika kita sedang sholat umpamanya, hendaknya tetap berusaha agar sholat kita tetap khusu’ dan diniatkan hanya karena Allah hingga akhir sholat. Jangan sampai di tengah-tengah sholat muncul hal-hal yang mengganggu kekhusu’an dan keikhlasan kita. 

 Ketiga: Muhasabah Setelah Beramal

Setelah melakukan suatu amal, hendaknya seseorang melakukan muhasabah kembali, apakah amalnya sudah bermanfaat bagi orang lain atau belum, jika sudah bermanfaat, sejauh mana manfaat tersebut, sedikit atau banyak, jika masih sedikit hendaknya ditingkatkan kembali.    
Melihat amal perbuatan yang dikerjakannya belum sempurna, maka hendaknya disempurnakan kembali di masa mendatang. Amal perbuatannya yang belum ikhlas, hendaknya diusahakan untuk benar-benar ikhlas karena Allah di masa-masa mendatang, dan seterusnya.  

Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu berkata:

حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَزِنُوْهَا قَبْلَ أَنْ تُوَزِّنُوا، فَإِنّ أَهْوَنَ عَلَيْكُمْ فِي الحِسَابِ غَداً أَنْ تُحَاسَبُوا أَنْفُسَكُمُ الْيَوْم، وتُزَيِّنُوا للْعَرْضِ الأكْبِر، يَوْمَئِذ تُعْرَضُوْنَ لَا تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَة

 “ Bermuhasabalah atas diri kalian sendiri sebelum kalian dihisab pada hari kiamat, dan timbanglah amal kalian di dunia ini sebelum nanti ditimbang pada hari kiamat. Sesungguhnya kalian akan merasa ringan dengan bermuhasabah pada hari ini untuk menghadapi hisab kelak. Dan berhiaslah kalian (dengan amal sholeh) untuk menghadapi hari pameran agung. Pada hari itu perbuatan kalian akan ditampilkan tidak ada yang tersembunyi sedikitpun. “   

Berkata Imam Hasan al-Bashri :

إنّ العَبْدَ لَا يَزَالُ بِخَيْرٍ مَا كَانَ لَهَ وَاعِظُ مِنْ نَفْسِهِ، وِكِانَتْ المُحَاسِبِةُ هِمَّتَهُ.

“Sesungguhnya seorang hamba akan selalu dalam keadaan baik selama dia mempunyai penasehat dari dirinya sendiri, dan selalu bermuhasabah diri.“ 

Berkata Maimun Mahran:

لَا يَكُوْنُ العَبْدُ تَقِياً حَتَّى يَكُوْنَ لِنَفْسِهِ أَشَدّ مُحاسَبة مِنَ الشَّرِيْكِ لشريكه

“ Seseorang tidak akan mendapatkan predikat ketaqwaan sampai dia melakukan muhasabah kepada dirinya lebih ketat dibanding seorang teman yang bermuhasabh terhadap temannya . “

Diriwayatkan dari Imam Ahmad dari Wahab, telah tertulis di dalam Hikmah Keluarga Nabi Daud  ‘alaihi as-salam bahwa :

” Orang yang berakal hendaknya membagi waktunya menjadi 4 bagian ; waktu untuk bermunajat kepada Allah subhanahu wata’ala, waktu untuk intropeksi terhadap diri sendiri, waktu untuk bergaul dengan teman-temannya yang bisa memberitahu kekurangannya, dan waktu untuk bertafakkur tentang dirinya dan kenikmatan yang didapatkan. Sesungguhnya waktu-waktu tersebut bisa membantu untuk memperbaiki hati. “ 

Orang Fasik Adalah Orang Yang Lupa Kepada Allah.

Allah berfirman : 

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“ Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Qs. al-Hasyr : 18-19 )

 Salah satu bentuk muhasabah dan intropeksi diri adalah tidak lupa kepada Allah, sebaliknya dia selalu berdizikir dan mengingat Allah, serta mempersiapkan diri dan mencari bekal untuk hari dimana dia akan bertemu dengan Allah.

Maka Allah melarang kita untuk menyerupai orang –orang yang melupakan Allah, karena lupa kepada Allah akan menyebabkan seseorang melupakan dirinya sendiri. Bagaimana hal itu terjadi ?

Kalau seseorang lupa bahwa Allah adalah Rabb dan Penciptanya, maka dia akan lupa terhadap dirinya, lupa terhadap asal-usulnya yang dulu tidak ada, kemudian menjadi ada. Dulu, dia hanya berupa air mani yang hina, kemudian Allah menjadikannya menjadi orang yang dewasa dan kuat, yang kemudian akan kembali lemah dan akhirnya akan mati dan kembali lagi kepada Allah.

Maka kalau seseorang lupa kepada Allah, dia akan lupa kepada hal-hal tersebut, selanjutnya dia akan berbuat semena-mena dan semau-maunya di muka bumi ini, tanpa ada aturan yang mengikatnya, orang-orang seperti ini akan menjadi orang  yang merugi di dunia, karena akan dijauhi masyarakat, akan dikucilkan bahkan akan ditahan karena daya rusaknya yang begitu hebat di masyarakat.

Maka Allah selalu mengingatkan manusia akan asal usulnya dan mengingat juga bahwa dia akan kembali kepada asalnya dan pemiliknya yaitu Allah. Lihat umpamanya di dalam Qs al-Mukminun, Qs. al-Haj, Qs. ar-Rum, Qs. al Insan, Qs. as-Sajdah dan banyak lagi ayat-ayat yang serupa. 

Ibnu Katsir di dalam “ Tafsir al-Qur’an al-Adhim ‘ (  4/432 ) berkata :

“ Maksudnya janganlah kalian melupakan untuk mengingat Allah, maka Allah akan membuat kalian lupa beramal sholeh yang akan membawa manfaat bagi kalian di akherat. Sesungguhnya ganjaran itu sesuai dengan amal perbuatan. “

Berkata Syekh Abdurrahman as-Sa’di di dalam :

بل أنساهم الله مصالح أنفسهم، وأغفلهم عن منافعها وفوائدها، فصار أمرهم فرطا، فرجعوا بخسارة الدارين، وغبنوا غبنا، لا يمكنهم تداركه،

“ Bahkan Allah menjadikan mereka lupa terhadap maslahat mereka sendiri, Allah memalingkan mereka sehingga lupa terhadap hal-hal yang bermanfaat untuk diri mereka sendiri, sehingga urusan mereka menjadi kacau, dan akhirnya mereka rugi dunia dan akherat, kerugian yang tidak mungkin bisa diganti lagi. “

Kesibukan mengumpulkan harta dan memikirkan masa depan anak-anak mereka membuat mereka lupa kepada Allah sehingga mereka menjadi orang yang merugi.  Ini sesuai dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ .

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Qs. al-Munafiqun : 9). 

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar