Translate

Senin, 28 Maret 2016

Penjelasan Tentang Hak Asuh Anak (Hadhonah)

Keluarga adalah kesatuan masyarakat yang terdiri dari suami, istri, dan anak yang berdiaman dalam satu tempat tinggal. Sebelum terbentuknya satu anggota keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan anak maka terlebih dahulu terjadi sebuah ikatan  baik itu ikatan lahir maupun ikatan batin antara seorang pria dan seorang wanita. Ikatan lahir batin antar seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri disebut dengan perkawinan. Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat.  Eksistensi ini adalah melegalkan hubungan hukum anatara seorang laki-laki dengan seorang wanita.
Perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia baik lahir maupun batin. Bahagia artinya ada kerukunan dalam hubungan antara suami, istri, dan anak-anak dalam rumah tangga. Suatu keluaraga dapat dikatakan bahagia apabila terpenuhi dua kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah. Yang termasuk kebutuhan  jasmaniah seperti papan, sandang, pangan, kesehatan, dan pendidikan, sedangkan kebutuhan rohaniah contohnya adanya seorang anak yang berasal dari darah daging mereka sendiri.
Dalam mewujudkan tujuan dari pernikahan tersebut, yaitu membentuk suatu keluarga yang bahagia baik di dunia maupun di akhirat, tentunya tidaklah mudah, namun dibutuhkan pengorbanan ataupun upaya-upaya yang dapat menghantarkan kepada tujuan itu. Upaya-upaya tersebut diantaranya yaitu: hadhanah, dan memberi nafkah.

Seseorang anak dari permulaan hidupnya sampai pada umur tertentu memerlukan orang lain untuk membantunya dalam kehidupanya, baik seperti makan minum dll. Oleh karena itu orang yang menjaganya perlu rasa kasih sayang, kesabaran, serta mempunyai keinginan agar anak itu baik di kemudian hari.‎
Karena anak ialah kader penerus dari ibu dan bapaknya dan termasuk unsur mutlak dalam melestarikan bangsa dan negara. Jika hendak mengadakan suatu masyarakat yang kuat dan jaya, maka harus dimulai dari waktu yang sangat dini, yaitu semenjak bayimasih didalam perut ibunya, syukur di negara RI sudah ada badan yang khusus mengurus kesehatan anak dan ibu yang dinamakan Badan Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA), Rumah Sakit Anak-Anak, dan lain-lain. Pada penjelasan diatas jadi pendorong agar bayi dan anak diperhatikan dengan sebaik-baiknya.

Perkawinan merupakan salah satu bagian dari sunnah Rasulullah saw. Dan hal ini juga sebagai sebuah kenikmatan hidup untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. ‎elanjutnya, hasil dari perkawinan tersebut dianugerahkan oleh Allah swt anak yang menjadi idaman manusia. Anak merupakan amanah yang dititipkan oleh-Nya kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya pula, amanah yang diberikan Allah hendaknya dijaga, dirawat dan dididik sesuai dengan kemampuan yang terbaik. Keberuntungan dengan memperoleh seorang anak kiranya disyukuri dengan memenuhi kebutuhannya secara ma’ruf. Kebutuhan yang dimaksud merupakan nafkah yang dibebankan kepada seorang laki-laki (ayah).
Perkawinan yang kurang harmonis biasanya menimbulkan konflik berkepanjangan, akibat dari konflik ini berujung kepada perpisahan dari ikatan “mitsaqan ghalidhan” sebuah perkawinan yang suci atau sakral serta sebuah ibadah.
Problem yang terjadi setelah berakirnya suatu pernikahan adalah penentuan hak asuh atau Hadhanah terhadap anak. Terkadang orang tua yang tidak mengerti tentang hukum keluarga islam dengan semena-mena memonopoli hak yang telah digariskan yang pada dasarnya hak tersebut bukan diberikan kepadanya. Kesalahan ini bisa terjadi pada seorang ayah dan bahkan kepada seorang ibu sekalipun, padahal hak itu diberikan kepadanya (ibu). Sesungguhnya hak yang digariskan dalam dalil nash merupakan diberikan kepada orang-orang yang memang mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi untuk menjaga merawat dan menyayangi seorang anak. Oleh karena itu, rasa kasih dan sayang yang lebih itu umumnya dimiliki oleh seorang ibu, sehingga hak itu diberikan kepadanya.
Pengertian hadhanah

Kata hadhanah adalah bentuk mashdar dari katahadhnu ash-shabiy, atau mengasuh atau memelihara anak. Mengasuh (hadhn) dalam pengertian ini tidak dimaksudkan dengan menggendongnya dibagian samping dan dada atau lengan.

Secara terminologis, hadhanah adalah menjaga anak yang belum bisa mengatur dan merawat dirinya sendiri, serta belum mampu menjaga dirinya dari hal-hal yang dapat membahayakan dirinya. Hukum hadhanah inihanya dilaksanakan ketika pasangan suami istri bercerai dan memiliki anak yang belum cukup umur untuk berpisah dari ibunya. Hal ini diseabkan karena sianak masih perlu penjagaan, pengasuhan, pendidikan, perawatan dan melakukan berbagai hal demi kemaslahatannya. Inilah yang dimaksud dengan perwalian (wilayah). Menurut definisi syar’iy maksudnya adalah :

حفظ من لا يستقل بأمره، وتربيته عما يهلكه، أو يضره.

“Penjagaan/pemeliharaan anak yang belum mampu mandiri untuk mengurusi dirinya sendiri, pendidikannya, serta (pemeliharaan) dari segala sesuatu yang dapat membinasakannya atau membahayakannya”.

Dasar Hukum Hadhanah
Dalam alqur’an terdapat ayat yang menyinggung mengenai hadhanah namun tidak dijelaskan secara gamblang ketentuan-ketentuannya, dari sini hadis yang berfungsi sebagai penjelas al-qur’an memainkan perannya. Dan nash-nash al-qur’an maupun hadis yang berbicara mengenai hadhanah antara lain:

Surat Al-Baqarah Ayat 233

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلادَكُمْ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (233)

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kalian ingin anak kalian disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagi kalian apabila kalian memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kalian kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan. (Al-Baqoroh 233)
Hadits Nabi  Sholallohu 'Alaihi Wasallam

عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ اِمْرَأَةً قَالَتْ: ( يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنَّ اِبْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً, وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً, وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً, وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي, وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ, مَا لَمْ تَنْكِحِي ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِيم‏

Dari Abdullah Ibnu Amar bahwa ada seorang perempuan berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini perutkulah yang mengandungnya, susuku yang memberinya minum, dan pangkuanku yang melindunginya. Namun ayahnya yang menceraikanku ingin merebutnya dariku. Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepadanya: "Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum nikah." Riwayat Ahmad dan Abu Dawud. Hadits shahih menurut Hakim.

Apabila seorang suami menceraikan istri sedangkan ia memiliki seorang anak darinya, maka sang istri lebih berhak untuk memelihara anak tersebut sampai ia baligh dan selama ia tidak menikah dengan laki-laki lain.

Apabila sudah berusia tujuh tahun, maka ia disuruh memilih antara ikut ayahnya atau ibunya. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW:

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ اِمْرَأَةً قَالَتْ: ( يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنَّ زَوْجِي يُرِيدُ أَنْ يَذْهَبَ بِابْنِي, وَقَدْ نَفَعَنِي, وَسَقَانِي مِنْ بِئْرِ أَبِي عِنَبَةَ فَجَاءَ زَوْجُهَا, فَقَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَا غُلَامُ! هَذَا أَبُوكَ وَهَذِهِ أُمُّكَ, فَخُذْ بِيَدِ أَيُّهُمَا شِئْتَ فَأَخَذَ بِيَدِ أُمِّهِ, فَانْطَلَقَتْ بِهِ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَالْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُ‎

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa seorang perempuan berkata: Wahai Rasulullah, suamiku ingin pergi membawa anakku, padahal ia berguna untukku dan mengambilkan air dari sumur Abu 'Inabah untukku. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Wahai anak laki, ini ayahmu dan ini ibumu, peganglah tangan siapa dari yang engkau kehendaki." Lalu ia memegang tangan ibunya dan ia membawanya pergi. Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi.

Dalam hadits lain juga dikatakan:

وَعَنْ رَافِعِ بْنِ سِنَانٍ; ( أَنَّهُ أَسْلَمَ, وَأَبَتِ اِمْرَأَتُهُ أَنْ تُسْلِمَ فَأَقْعَدَ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم اَلْأُمَّ نَاحِيَةً, وَالْأَبَ نَاحِيَةً, وَأَقْعَدَ اَلصَّبِيَّ بَيْنَهُمَا فَمَالَ إِلَى أُمِّهِ, فَقَالَ: اَللَّهُمَّ اِهْدِهِ فَمَالَ إِلَى أَبِيهِ, فَأَخَذَهُ ) أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَالْحَاكِمُ 
Dari Rafi' Ibnu Sinan Radliyallaahu 'anhu bahwa ia masuk Islam namun istrinya menolak untuk masuk Islam. Maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mendudukkan sang ibu di sebuah sudut, sang ayah di sudut lain, dan sang anak beliau dudukkan di antara keduanya. Lalu anak itu cenderung mengikuti ibunya. Maka beliau berdoa: "Ya Allah, berilah ia hidayah." Kemudian ia cenderung mengikuti ayahnya, lalu ia mengambilnya. Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Hakim.
Atsar dari Ibnu Uyainah
خيّرنى على رضي الله عنه بين امي و عمى ثم قال لآخ اصغر منى وهذا ايضا لو قد بلغ مبلغ هذا الخيرته

Khalifah ali pernah menyuruhku memilih antara ikut dengan ibuku atau pamanku. Ia pun mengatakan hal yang sama  pada saudaraku yang lebih kecil dari pada aku. Hal yang sama pula dikatakan pula pada anak yang telah mencapai usia untuk dapat memilih"
Implementasi Terhadap Hukum Islam (Fiqh)
Dari beberapa nash Alqur’an dan Hadis di atas, timbullah hukum tetap atas hadhanah, yang akan dijelaskan dalam sub bab-sub bab sebagai berikut:
Hukum Hadhanah
Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib. Sebab mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan. Mengasuh anak juga berarti mengusahakan pendidikannya hingga ia sanggup berdiri sendiri dalam menghadapi kehidupan sebagai seorang muslim.
Berusaha untuk mendidik anak termasuk sesuatu yang sangat dianjurkan oleh agam dan diutamakan, karena anak merupakan sambungan hidup dari orang tuanya. Cita-cita atau usaha-usaha yang tidak sanggup orang tuanya melaksanakan, diharapkan agar anaknya nanti akan melanjutkannya. Anak yang shaleh merupakan amal orang tuanya. Hanya do’a anak yang shalehlah yang dapat meringankan orang tua yang telah meninggal dunia dari siksaan Allah, sebagaimana yang dinyatakan Rasulullah SAW. Dalam hadits beliau:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631) ‎

Berkaitan dengan hal itu, Allah berfirman dalam surah al-Tahrîm ayat 6 yang bunyinya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (٦)
   ‎
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (At-Tahrim 6)
Para ulama menetapkan bahwa hadhanah hukumnya wajib, dimana kewajibannya tidak hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya perceraian.
Syarat-Syarat Bagi Yang Melakukan Hadhanah

Untuk kepentingan anak dan pemeliharaannya diperlukan pelaku hadhanah harus memilki kecakapan dan memenuhi syarat-syarat hadhanah, jika syarat-syarat tertentu tidak dapat terpenuhi satu saja, maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanahnya.

Adapun syarat-syarat melakukan hadhanah antara lain:

Baligh berakal, tidak terganggu ingatannya. Oleh sebab itu, seorang ibu atau ayah  yang mengalami gangguan jiwa atau ingatan tidak layak melakukan tugas hadhanah. Ahmad bin hambal menambahkan agar yang melakukan hadhanah tidak mengidap penyakit menular.
Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik anak, dan tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang bisa mengakibatkan tugas hadhanah menjadi terlantar.
Dapat memegang amanah, sehingga dapat lebih menjamin pemeliharaan anak. Orang yang rusak akhlaknya tidak dapat memberikan contoh yang baik kepada anak yang diasuh, oleh karena itu tidak layak mendapatkan tugas ini.
Beragama islam, sorang non muslim tidak boleh ditunjuk sebagai pengasuh atas anak yangmuslim.namun menurut golongan hanafi, ibnu qasim dan bakan maliki serta abu tsaur berpendapat bahwa hadhanah tetap dapatdilakukan oleh pengasuh yang kafir, selama bukan kafir murtad.
Ibunya belum menikah lagi, hal ini dikarenakan kekhawatiran suami kedua tidak merelakan istrinya disibukkan mengurus anaknya dari suami pertama. Namun terdapat pengecualian jika suami  keduanya merupakan kerabat si anak, maka pelaksanaan hadhanah masih diperbolehkan atas ibu.‎

Hadhanah sangat terkait dengan tiga hak:
– Hak wanita yang mengasuh.
– Hak anak yang diasuh.
– hak ayah atau orang yang menempati posisinya.

Jika masing-masing hak ini dapat disatukan, maka itulah jalan yang terbaik dan harus ditempuh. Jika masing-masing hak saling bertentangan, maka hak anak harus didahulukan daripada yang lainnya. Terkait dengan hal ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

pertama, pihak ibu terpaksa harus mengasuh anak jika kondisinya memang memaksa demikian karena tidak ada orang lain selain dirinya yang dipandang pantas untuk menasuh anak.

kedua, si ibu tidak boleh dipaksa mengasuh anak jika kondisinya memang tidak mengharuskan demikian. sebab mengasuh anak itu adalah haknya dan tidak ada mudharat yang dimungkinkan akan menimpa sianak karena adanya mahram lain selain ibunya.

ketiga, seorang ayah tidak berhak merampas anak dari orang yang lebih berhak mengasuhnya (baca: ibu) lalu memberikannya kepada wanita lain kecuali ada alsan syar’i yang memperbolehkannya.

keempat, jika ada wanita yang bersedia menyusui selain ibu si anak, maka ia harus menyusui bersama (tinggal serumah) dengan si ibu hingga tidak kehilangan haknya mengasuh anak.

Urutan Orang yang Berhak Mengasuh Anak.

Mengingat bahwa wanita lebih memahami dan lebih mampu mendidik, disamping lebih sabar, lebih lembut, lebih leluasa dan lebih sering berada bersama anak, maka ia lebih berhak mendidik dan mengasuh anak dibandingkan laki-laki. Hal ini berlangsung hanya pada usia-usia tertentu, namun pada fase-fase berikutnya laki-laki yang lebih mampu mendidik dan mengasuh anak dibandingkan wanita.

Ibu adalah wanita yang paling berhak mengasuh anak

Jika wanita lebih berhak mendidik dan mengasuh anak daripada laki-laki, maka –sesuai ijma ulama– ibu kandung sianak tentu lebih berhak mengasuh anaknya setelah terjadi perpisahan (antara suami dan istrinya), baik karena talak, meninggalnya suami atau suami menikah dengan wanita lain, karena ibu jauh memiliki kelembutan dan kasih sayang, kecuali jika ada penghalang yang menghapuskan hak si ibu untuk mengasuh anak.

عن ابن شعيب عن ابيه عن جده عبد الله بن عمر عَبْدُ١للّٰهِ بْنِ عَمْرٍ رَضِى اللّٰهُ تَعَالَى عَنْهُمَا ، أَنَّ امْرَأَةً قَا لَتْ ؛ يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ إِنَّ ابْنِى هَذَا كان بَطْنِى لَهُ وِعَاءً ٠ وَثَدْيِى لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِى لَهُ حِوَاءً ٬ وَاِنَّ أبَاهُ طَلَّقَنِى وَاَرَادَأَنْ يَنْزِعَهُ مِنِّى ٬ فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَالَمْ تَنْكِحِى٠
“Dari ibnu syuaib dari ayahnya dari kakeknya yakni Abdullah bin Umar r.a. , bahwa ada seorang wanita yang bertanya kepada Rasulullah, “ Hai Rasulullah, anakku ini adalah perutku yang menjadi kantongnya (mengandungnya), air susuku minumannya, dan pangkuan saya tempat berlindungnya selama ini. Kini, suamiku telah menalakku dan ia ingin mengambil anakku ini dari padaku, bagaimana itu? “ Jawab Rasulullah S.A.W. kamu lebih berhak atas anakmu itu, selama kamu belum nikah lagi”. (hasan HR Abu Daud, Ahmad dan Al-Baihaqi)

Urutan orang yang berhak mengasuh anak setelah ibu kandung

Ulama berbeda pendapat siapa yang paling berhak mengasuh anak setelah ibu kandung atau urutan hak asuh anak jika ternyata ada penyebab yang menghalangi ibu kandung untuk mendapatkan hak asuhnya. Perbedaan pendapat ini disebabkan tidak adanya dalil qath’i yang secara tegas membahas masalah ini. Hanya saja ke-empat imam madzhab lebih mendahulukan kalangan kerabat dari pihak ibu dibandingkan dari kalangan kerabat dari pihak ayah dalam tingkat kerabatan yang sama (misalnya mendahulukan nenek dari pihak ibu dari pada nenek pihak ayah).

Kalangan Madzhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang palin berhak mengasuh anak adalah
– Ibu kandungnya sendiri
– Nenek dari pihak ibu
– nenek dari pihak ayah
– saudara perempuan (kakak perempuan)
– bibi dari pihak ibu
– anak perempuan saudara perempuan
– anak perempuan saudara laki-laki
– bibi dari pihak ayah
Kalangan Madzhab Maliki berpendapat bahwa urutan hak anak asuh dimulai dari
– Ibu kandung
– nenek dari pihak ibu
– bibi dari pihak ibu
– nenek dari pihak ayah
– saudara perempuan
– bibi dari pihak ayah
– anak perempuan dari saudara laki-laki
– penerima wasiat
– dan kerabat lain (ashabah) yang lebih utama

Kalangan Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa hak anak asuh dimulai dari
– Ibu kandung
– nenek dari pihak ibu
– nenek dari pihak ayah
– saudara perempuan
– bibi dari pihak ibu
– anak perempuan dari saudara laki-laki
– anak perempuan dari saudara perempuan
– bibi dari pihak ayah
– dan kerabat yang masih menjadi mahram bagi sianak yang mendapatkan bagian warisan ashabah sesuai dengan urutan pembagian harta warisan. 
Pendapat Madzhab Syafi’i sama dengan pendapat madzhab Hanafi.
Kalangan Madzhab Hanbali
– ibu kandung
– nenek dari pihak ibu
– kakek dan ibu kakek
– bibi dari kedua orang tua
– saudara perempuan se ibu
– saudara perempuan seayah
– bibi dari ibu kedua orangtua
– bibinya ibu
– bibinya ayah
– bibinya ibu dari jalur ibu
– bibinya ayah dari jalur ibu
– bibinya ayah dari pihak ayah
– anak perempuan dari saudara laki-laki
– anak perempuan dari paman ayah dari pihak ayah
– kemudian kalangan kerabat dari urutan yang paling dekat.
Status bibi dalam hak pemeliharaan anak

Kalau kasus yang terjadi adalah ibu atau kedua orang tuanya meninggal, maka orang yang berhak mengasuh anak yang ditinggalkan adalah bibi (dari pihak ibu) sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam hal pemutusan hak asuh terhadap putri Hamzah:

وَعَنْ اَلْبَرَاءِ بْنِ عَازِبِ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَضَى فِي اِبْنَةِ حَمْزَةَ لِخَالَتِهَا, وَقَالَ: اَلْخَالَةُ بِمَنْزِلَةِ اَلْأُمِّ ) أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ ‎‎

Dari al-Barra' Ibnu 'Azb bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam telah memutuskan puteri Hamzah agar dipelihara saudara perempuan ibunya. Beliau bersabda: "Saudara perempuan ibu (bibi) kedudukannya sama dengan ibu." Riwayat Bukhari.
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW juga bersabda:

وَأَخْرَجَهُ أَحْمَدُ: مِنْ حَدِيثِ عَلَيٍّ فَقَالَ: ( وَالْجَارِيَةُ عِنْدَ خَالَتِهَا, فَإِنَّ اَلْخَالَةَ وَالِدَةٌ )‎


Ahmad juga meriwayatkan dari hadits Ali r.a, beliau bersabda: "Anak perempuan itu dipelihara oleh saudara perempuan ibunya karena sesungguhnya ia adalah ibunya."

Jadi jelaslah bahwa hak asuh terhadap anak (belum baligh) yang ibunya atau kedua orang tuanya meninggal, maka orang yang paling dekat yang berhak untuk mengasuhnya adalah bibinya yang berasal dari pihak ibunya. Hal ini berdasarkan pada hadits diatas yang menyatakan bahwa kedudukan bibi (saudara perempuan ibu) itu adalah sama kedudukannya dengan ibu.
Batasan Waktu Hadhanah

Dalam pelaksaaannya, hadhanah terbagi menjadi 2 periode, sebelum mumayyiz dan mumayyiz. Pembagian periode berhubungan dengan pihak-pihak yang berhak mendapatkan hak hadhanah.

Periode sebelum mumayyiz
Periode ini adalah dari waktu lahir sampi menjelang umur tujuh atau delapan tahun. Pada masa itu, seorang anak belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan berbahaya baginya. Pada periode ini, setelah melengkapi syarat-syarat hadhanah, ulama menyimpulkan bahwa pihak ibu lebih berhak atas hak asuh anaknya, Seperti hadis nabi yang telah dijelaskan sebelumnya.

Terpilihnya ibu sebagai pihak yang lebih berhak mendapatkan hak asuh atas anaknya dengan pertimbangan bahwa ibulah yang lebih mengerti dengan kebutuhan anaknya dalam masa tersebut dan lebih bisa memperlihatkan kasih sayangnya. Namun, hak ini akan hilang jika ibu menikah dengan lelaki lain  yang sama sekali tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan si anak dan hak tersebut akan dilimpahkan pada ayah si anak.
Periode mumayyiz
Masa mumayyiz adalah dari umur tujuh tahun sampai menjelang baligh berakal. Pada masa ini seorang anak secara sederhana elah mampu membedakan antara yang berbahaya dan yang bermanfaat baginya. Oleh sebab itu, ia sudah dianggap dapat menjatuhkan pilihannya sendiri untuk ikut ayah atau ibunya.Namun kementrian kehakiman berpendapat bahwa kemaslahatanlah yang harus dijadikan pertimbangan bagi hakim untuk menetapkan kepentingan anak sampai usia 11 tahun.

Takhtimah

Ash-Shan’aaniy rahimahullah berkata :
ودلّ الحديث على أن الأم إذا نكحت، سقط حقها من الحضانة؛ وإليه ذهب الجماهير؛ قال ابن المنذر : أجمع على هذا كل من أحفظ عنه من أهل العلم. وذهب الحسن وابن حزم إلى عدم سقوط الحضانة بالنكاح، واستدل بأن أنس بن مالك كان عند والدته وهي مزوّجة، وكذا أم سلمة تزوجت بالنبي صلى الله عليه وآله وسلم وبقى ولدها في كفالتها، وكذا ابنة حمزة قضى بها النبي صلى الله عليه وسلم الخالتها وهي مزوجة.
قال : وحدث ابن عمرو المذكور فيه مقال؛ فإنه صحيفة؛ يريد : لأنه قد قيل : إن حديث عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده صحيفة.
وأجيب عنه بأن حديث عمرو بن شعيب قبله الأئمة وعلموا به؛ البخاري وأحمد وابن المديني والحميدي وإسحاق بن راهويه وأمثالهم؛ فلا يلتفت إلى القدح فيه.
وأما ما احتج به، فإنه لا يتم دليلا إلا مع طلب من تنتقل إليه الحضانة ومنازعته.
وأما مع عدم طلبه، فلا نزاع في أن للأم المزوجة أن تقوم بولدها، ولم يذكر في القصص المذكورة أنه حصل نزاع في ذلك؛ فلا دليل فيما ذكره على ما ادعاه.
“Hadits ini (riwayat Abu Dawud di atas) menunjukkan bahwa ibu apabila ia telah menikah, maka gugurlah haknya dari asuhan dan pemeliharaan anaknya. Demikianlah menurut pendapat mayoritas ulama. Ibnul-Mundzir berkata : ‘Telah disepakati pendapat seperti ini dari setiap ulama yang menghapal hadits tersebut. Al-Hasan dan Ibnu Hazm berpendapat : Tidak gugur hak pemeliharaan oleh ibunya dikarenakan pernikahannya. Mereka berdalil bahwasannya Anas bin Maalik tetap berada dalam pemeliharaan ibunya yang telah menikah lagi. Demikian pula Ummu Salamah yang kemudian menikah dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, sedangkan anaknya tetap dalam pemeliharaannya. Demikian pula anak perempuan Hamzah telah diputuskan Nabi ‎shallallaahu ‘alaihi wa aalihi sallam untuk dipelihara bibinya padahal ia telah menikah lagi’.
Ia berkata : Dan hadits Ibnu ‘Amru di atas terdapat pembicaraan, karena periwayatan itu berasal dari shahiifah. Maksudnya : Sesungguhnya hadits ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya berasal dari shahiifah.
Dijawab : Bahwasannya hadits ‘Amru bin Syu’aib diterima para imam dan mereka beramal dengannya, diantaranya :  Al-Bukhaariy, Ahmad, Ibnul-Madiiniy, Al-Humaidiy, Ishaaq bin Raahawaih, dan yang lainnya. Maka, tidak selayaknya memperhatikan celaan/kritik pada hadits tersebut.
Adapun hadits yang mereka jadikan dalil (untuk menetapkan hak pengasuhan ibu tidak gugur dengan adanya pernikahan), maka ia tidak sempurna menjadi dalil, kecuali bersama permintaan orang/laki-laki terhadap pemindahan pengasuhan dan pemisahan anaknya itu (dari ibunya).
Apabila tidak disertai permintaan, maka sepakat, bahwa ibunya yang telah menikah lagi masih berhak mengasuh anaknya itu. Tidak disebutkan dalam cerita/kisah tersebut bahwa pernah terjadi perselisihan/gugatan (tentang hak pengasuhan anak). Oleh karena itu, tidak ada bukti tentang sesuatu yang ia sebutkan untuk menguatkan pendapatnya itu” [Subulus-Salaam, 3/618-619].
Shiddiq Hasan Khaan menambahkan jawaban yang diberikan Ash-Shan’aaniy rahimahumallah di atas :
ويجاب عن ذلك؛ بأن موجود البقاء مع عدم المنازع لا يحتج به؛ لاحتمال أنه لم يبق له قريب غيرها.
“Jawaban atas hal itu : Tinggalnya seorang anak bersama ibu tanpa gugatan (dari pihak lain) tidak bisa dijadikan hujjah, karena ada kemungkinan anak itu tidak mempunyai keluarga dekat selain ibunya” [At-Ta’liiqaatur-Radliyyah ‘alar-Raudlatin-Nadliyyah]

Namun jika anak tersebut telah menginjak usia tamyiiz, maka ia (si anak) berhak memilih kepada siapa ia akan tinggal/ikut antara ayahnya atau ibunya.

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْحُلْوَانِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ وَأَبُو عَاصِمٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي زِيَادٌ عَنْ هِلَالِ بْنِ أُسَامَةَ أَنَّ أَبَا مَيْمُونَةَ سَلْمَى مَوْلًى مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ رَجُلَ صِدْقٍ قَالَ بَيْنَمَا أَنَا جَالِسٌ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ جَاءَتْهُ امْرَأَةٌ فَارِسِيَّةٌ مَعَهَا ابْنٌ لَهَا فَادَّعَيَاهُ وَقَدْ طَلَّقَهَا زَوْجُهَا فَقَالَتْ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ وَرَطَنَتْ لَهُ بِالْفَارِسِيَّةِ زَوْجِي يُرِيدُ أَنْ يَذْهَبَ بِابْنِي فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ اسْتَهِمَا عَلَيْهِ وَرَطَنَ لَهَا بِذَلِكَ فَجَاءَ زَوْجُهَا فَقَالَ مَنْ يُحَاقُّنِي فِي وَلَدِي فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ اللَّهُمَّ إِنِّي لَا أَقُولُ هَذَا إِلَّا أَنِّي سَمِعْتُ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا قَاعِدٌ عِنْدَهُ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ زَوْجِي يُرِيدُ أَنْ يَذْهَبَ بِابْنِي وَقَدْ سَقَانِي مِنْ بِئْرِ أَبِي عِنَبَةَ وَقَدْ نَفَعَنِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَهِمَا عَلَيْهِ فَقَالَ زَوْجُهَا مَنْ يُحَاقُّنِي فِي وَلَدِي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا أَبُوكَ وَهَذِهِ أُمُّكَ فَخُذْ بِيَدِ أَيِّهِمَا شِئْتَ فَأَخَذَ بِيَدِ أُمِّهِ فَانْطَلَقَتْ بِهِ

Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin ‘Aliy Al-Hulwaaniy: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq ‎dan Abu ‘Aashim‎, dari Ibnu Juraij‎ : Telah mengkhabarkan kepadaku Ziyaad‎, dari Hilaal bin Usaamah‎: Bahwasannya Abu Maimuunah Salmaa mantan budak penduduk Madinah ‎yang termasuk orang jujur, berkata : Ketika aku sedang duduk bersama Abu Hurairah, datang kepadanya seorang wanita Persia yang membawa anaknya - keduanya mengklaim lebih berhak terhadap anak tersebut -, dan suaminya telah menceraikannya. Wanita tersebut berkata menggunakan bahasa Persia : “Wahai Abu Hurairah, suamiku ingin pergi membawa anakku”. Kemudian Abu Hurairah berkata kepadanya menggunakan bahasa asing : “Undilah anak tersebut”. Kemudian suaminya datang dan berkata : “Siapakah yang menyelisihiku mengenai anakku ?”. Kemudian Abu Hurairah berkata : “Ya Allah, aku tidak mengatakan hal ini kecuali karena aku telah mendengar seorang wanita datang kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam sementara aku duduk di sisinya, kemudian ia berkata : ‘Wahai Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, sesungguhnya suamiku hendak pergi membawa anakku, sementara ia telah membantuku mengambil air dari sumur Abu 'Inaabah, dan ia telah memberiku manfaat’. Kemudian Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : ‘Undilah anak tersebut !’. Kemudian suaminya berkata : ‘Siapakah yang akan menyelisihiku mengenai anakku ?’. Kemudian Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallamberkata : ‘Ini adalah ayahmu dan ini adalah ibumu, gandenglah tangan salah seorang diantara mereka yang engkau kehendaki!’. Kemudian anak itu menggandeng tangan ibunya, lalu wanita tersebut pergi membawanya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2277; shahih].
Al-Khaththaabiy rahimahullah berkata :

هذا في الغلام الذي قد عقل واستغنى عن الحضانة، وإذا كان كذلك خير بين والديه.

“Ini berlaku pada anak yang telah berakal (tamyiiz) dan tidak membutuhkan pengasuhan lagi. Jika keadaan seperti itu, maka ia disuruh memilih antara ayah atau ibunya (yang hendak ia ikuti)” [‘Aunul-Ma’buud, 6/373, tahqiq : ‘Abdurrahman Muhammad ‘Utsmaan].
Ibnul-Qayyim Al-Jauziyah  rahimahullah berkata :

قد ثبت التخييرُ عن النبيِّ صلى الله عليه وسلم في الغلام، من حديث أبي هريرة:وثبت عن الخلفاء الراشدين، وأبي هريرة، ولا يُعرف لهم مخالفٌ في الصحابة ألبتة، ولا أنكره منك. قالوا: وهذا غايةٌ في العدل الممكن، فإن الأمَّ إنما قُدِّمتْ في حال الصغر لحاجة الولد إلى التربية والحمل والرضاع والمداراة التي لا تتهيأ لِغير النساء، وإلا فالأمُّ أحد الأبوين، فكيف تُقدَّم عليه؟ فإذا بلغ الغلام حداً يُعْرِبُ فيه عن نفسه، ويستغني عن الحمل والوضع وما تُعانيه النساء، تساوى الأبوانِ، وزال السببُ الموجبُ لتقديم الأم، والأبوانِ متساويانِ فيه، فلا يُقَدَّمُ أحدُهما إلا بمرجِّح، والمرجِّحُ إما من خارج، وهو القرعةُ، وإما من جهة الولد، وهو اختيارُه، وقد جاءت السنةُ بهذا وهذا، وقد جمعهما حديثُ أبي هريرة، فاعتبرناهما جميعاَ، ولم ندفع أحدهما بالآخر.
وقدمنا ما قدمه النبيّ صلى الله عليه وسلم، وأخّرنا ما أخره، فقدم التخييرُ، لأن القُرعة إنما يُصار إليها إذا تساوت الحقوقُ مِن كل وجه، ولم يبق مرجِّحٌ سواها، وهكذا فعلنا هاهنا قدمنا أحدَهما بالاختيار، فإن لم يختر، أو اختارهما جميعاً، عدلنا إلى القُرعة، فهذا لو لم يكن فيه موافقة السنة، لكان مِن أحسن الأحكام، وأعدلها، وأقطعها للنزاع بتراضي المتنازعين. وفيه وجه آخر في مذهب أحمد والشافعي: أنه إذا لم يختر واحداً منهما كان عند الأم بلا قُرعة، لأن الحضانة كانت لها، وإنما ننقلُه عنها باختياره، فإذا لم يختر، بقي عندها على ما كان.
فإن قيل: فقد قدمتُمُ التخييرَ على القُرعة، والحديث فيه تقديمُ القُرعة أولاً، ثم التخيير، وهذا أولى، لأن القرعة طريق شرعي للتقديم عند تساوي المستحقين، وقد تساوى الأبوانِ، فالقياسُ تقديمُ أحدهما بالقُرعة، فإن أبيا القُرعة، لم يبق إلا اختيارُ الصبي، فيُرجح به، فما بالُ أصحابِ أحمد والشافعي قدَّموا التخييرَ على القرعة.

“Telah shahih adanya hak pilih yang diriwayatan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang anak dalam hadits Abu Hurairah. Telah shahih pula ketetapan itu dari Khulafaaur-Raasyidiin dan Abu Hurairah dimana tidak diketahui adanya penyelisihan sedikitpun terhadap (pendapat) mereka dari kalangan shahabat; dan tidak pula ada pengingkaran. Bahkan mereka berkata : ‘Ini adalah keputusan yang paling adil’. Karena seorang ibu  harus diutamakan/didahulukan untuk mengasuh anak kecil dalam hal mendidiknya, menggendongnya, menyusuinya, dan bersikap lemah-lembut kepadanya. Semuanya itu tidak mungkin akan didapati kecuali dari diri seorang wanita. Ia adalah salah satu di antara dua orang tua si anak; lantas bagaimana ia tidak diutamakan terhadap anak itu ?
Apabila anak itu telah mencapai usia tertentu dan mampu menyampaikan isi hatinya, tidak perlu digendong dan dibawa-bawa lagi oleh seorang wanita, maka dalam hal tersebut kedua orang tua mempunyai kedudukan yang sama. Hak pendahuluan/pengutamaan terhadap ibu menjadi hilang karena keduanya mempunyai hak yang sama. Tidak boleh diutamakan salah satu di antara keduanya kecuali ada faktor khusus yang menyebabkan pengutamaan itu dilakukan. Faktor itu bisa bersifat eksternal, yaitu dengan pengundian; atau bersifat internal, yaitu berdasarkan pilihan dari anak itu sendiri. Terdapat hadits yang menjadi dasar atas kedua hal tersebut yang terkumpul pada hadits Abu Hurairah (sebagaimana telah disebutkan di atas). Hendaklah keduanya (suami istri) memakai dua cara ini, dan tidak menolak salah satu di antara keduanya. Kita mendahulukan apa-apa yang telah didahulukan oleh Nabi ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan mengakhirkan apa-apa yang beliau telah akhirkan. Yang pertama dilakukan adalah menyuruh si anak untuk memilih, karena undian hanya dilakukan bila terdapat hak yang sama kuat dalam pengasuhan anak dari segala sisi dimana tidak ada cara lain yang ditempuh selain dengan cara tersebut. Inilah yang kita lakukan dengan mendahulukan salah satu di antara keduanya (orang tua) dengan cara meberikan pilihan kepada si anak. Jika ia tidak memilih, atau ia memilih keduanya secara bersama-sama, baru beralih kepada cara pengundian. Seandainya saja tidak ada sunnah (dalil) yang mendasari pengundian ini, maka ini adalah pendapat yang paling baik dan adil (yang bisa diijtihadkan); yang bisa menghindari perselisihan sehingga kedua belah pihak dapat ridla menerima keputusan tersebut. Ada pendapat lain dari madzhab Ahmad dan Asy-Syaafi’iy : ‘Apabila anak tersebut tidak memilih salah satu di antara kedua orang tuanya, maka hak itu otomatis jatuh ke ibu tanpa harus melalui undian. Karena ‎al-hadhaanah (pengasuhan) merupakan hak si ibu secara asal. Pemindahan hak asuh dari ibu tersebut hanya dapat dilakukan dengan pilihan si anak. Apabila ia tidak memilih, maka hak itu kembali ke asalnya (yaitu ibu)” [Zaadul-Ma’aad, 5/468-469; Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 3/140].

فمن قدمناه بتخيير أو قرُعة أو بنفسه، فإنما نُقدِّمه إذا حصلت به مصلحة الولد، ولو كانت الأم أصون مِن الأب وأغيرَ منه قدمت عليه، ولا التفات إلى قرعة ولا اختيار الصبي في هذه الحالة، فإنه ضعيفُ العقل يؤثِرُ البطالة واللعب، فإذا اختار من يُساعِدُهُ على ذلك، لم يُلتفت إلى اختياره، وكان عند من هو أنفعُ له وأخيرُ، ولا تحتمِلُ الشريعة غيرَ هذا،

“Setiap anak yang kita berikan pilihan, baik dengan mengundi atau pilihan dirinya sendiri, yang semua itu dipertimbangkan untuk menghasilkan kemaslahatan bagi si anak. Seandainya ada seorang ibu yang lebih shaalih dan lebih bisa menjaga dibandingkan dengan ayahnya, maka ibunya lebih didahulukan daripada ayahnya. Tidak boleh hal ini dipalingkan pada cara undian atau pilihan si anak dalam keadaan seperti ini. Karena anak itu akalnya masih lemah, masih terpengaruh perkara sia-sia dan suka bermain-main. Jika ia memilih, maka tidak boleh pilihannya itu dipengaruhi oleh orang lain. Ia harus bersama dengan orang yang paling bermanfaat dan paling baik bagi dirinya. Syari’at tidak menetapkan hadhaanah selain dari cara ini” [Zaadul-Ma'aad, 5/474].‎

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar