Translate

Senin, 28 Maret 2016

Penjelasan Hukum Ila' (Sumpah Suami Pada Istri)

‎Dalam berkehidupan masyarakat, terkadang ada kasus yang menimpa saudara muslim dengan isterinya. Salah satu kasus yag terjadi adalah ucapan sumpah dari lisan suami untuk tidak menyetubuhi isterinya dalam jangka waktu tertentu. Hal ini dapat terjadi karena suami marah terhadap isterinya, dan ia tidak bisa menjaga emosinya sehingga lisannya terlalu mudah mengucapkan ila’ namun terkadang ila’ yang dilakukan suami untu mendidik isteri juga sebagai salah satu alternatif bentuk hukuman di saat melihat kesalahan isteri.

Dengan dijatuhkan ilaa’ isteri akan merasakan beban psikis karena kebutuhan biologisnya tidak terpenuhi, sehingga diharapkan isteri akan menyadari kesalahannya kepada suami dan meminta maaf. Sedangkan si suamipun terhindar dari pemberian hukuman yang dzalim, seperti memukul keras yang menimbulkan bekas atau menampar wajah.

Meskipun demikian, efektif tidaknya ila’ sebagai bentuk didikan, harus disertai dengan pemahaman yang baik suami terhadap kondisi rumah tangganya dan sifat-sifat isterinya. Hal ini karena sifat wanita satu terkadang berbeda dengan sifat wanita yang lain. Konsekuensinya, jenis hukuman pun hendaknya disesuaikan dengan sifat-sifat wanita, sebagaimana yang dapat kita ketahui dalam buku-buku fiqih. Akan tetapi yang akan dikaji dalam makalah ini adalah tentang ila’.

Pengertian Ila’

Secara etimologi ila’ berasal dari masdar ‘ala-ya’li-laan yang artinya berarti melarang diri dengan menggunakan kata sumpah. Sedangkan secara istilah ila’ adalah bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya lagi dalam waktu empat bulan atau dengan tidak menyebutkan jangka waktunya.

Atha’ mengatakan ilaa’ berarti bersumpah dengan nama Allah untuk tidak mencampuri isterinya selama empat bulan atau lebih. Jika tidak di iringi dengan sumpah maka tidak dikatakan dengan ila’’. Menurut An-Nakhai jika suami memurkai, mencelakai dan mengharamkan isterinya atau tidak lagi hidup bersama maka yang demikian itu telah termasuk ila’’

Ila’ menurut bahasa artinya ‎bersumpah takkan melakukan sesuatu, sedangkan menurut syara’ ‎yang dimaksud ila’ ialah bersumpah takkan menyetubuhi istri.

Menurut Hakim dalam bukunya hukum perkawinan islam ( 2000 : 180 ) ila adalah sumpah suami untuk tidak melakukan hubungan seksual dengan istrinya. Perbuatan ini adalah kebiasaan jaman jahiliyah untuk menyusahkan istrinya selama satu tahun atau dua tahun. Perbuatan ini tentu akan menyiksa istrinya dan menjadikan statusnya menjadi tidak jelas, yaitu hidup tanpa suami, namun juga tidak dicerai.

Menurut Rasjid dalam bukunya fiqih islam ( 1996 : 410 ) ilaartinya sumpah suami tidak akan mencampuri istrinya dalam masa lebih dari empat bulan atau tidak menyebutkan jangka waktunya.

Apabila seorang suami bersumpah sebagaimana sumpah tersebut, hendaklah ditunggu selama empat bulan. Kalau dia kembali baik kepada istrinya, sebelum sampai empat bulan, dia diwajibkan membayar denda sumpah ( kaparat ) saja. Tetapi sampai empat bulan dia tidak kembali baik dengan istrinya, hakim berhak menyuruhnya memilih dua perkara, yaitu membayar kaparat sumpah serta berbuat baik pada istrinya, atau menalak istrinya. Kalau suami itu tidak mau menjalani salah satu dari kedua perkara tersebut, hakim berhak menceraikan mereka secara terpaksa.

Sebagian ulama berpendapat, apabila sampai empat bulan suami tidak kembali ( tidak campur ), maka dengan sendirinya kepada istri itujatuh talak bain, tidak perlu dikemukakan kepada hakim.

Firman allah SWT dalam Q.S Al-baqarah ayat 226-227

.لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَآءُو فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمُُ
وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاَقَ فَإِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ

“ Kepada orang-orang yang mengila’ istrinya diberi tangguh empat bulan ( lamanya ) kemudian jika mereka kembali ( kepada istrinya ), maka sesungguhnya Allah SWT maha pengampun lagi maha penyayang. Dan jika mereka berazam ( bertetap hari untuk ) talak, maka sesungguhnya Allah SWT maha mendengar lagi maha mengetahui.

Allah SWT bwrmaksud menghapuskan hukum yang berlaku pada kebiasaan orang-orang jahiliyah, dimana seorang suami bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya selama satu atau dua tahun, bahkan lebih Kemudian Allah SWT menjadikannya empat bulan saja. Waktu empat bulan telah ditetapkan Allah SWT dijadikan sebagai masa penangguhan bagi suami untuk merenungkan diri dan memikirkan, mungkin ia akan membatalkan sumpahnya dan kembali kepada istrinya atau menthalaqnya.

Ayat yang kemudian mempunyai keterkaitan dengan pembahasan ila’, dalam hal ini yang berkaitan yaitu mengenai esensi dari sumpah yang dilakukan, yakni terdapat dalam surat al-Baqaarah 224-225 :

وَلاَ تَجْعَلُواْ اللّهَ عُرْضَةً لِّأَيْمَانِكُمْ أَن تَبَرُّواْ وَتَتَّقُواْ وَتُصْلِحُواْ بَيْنَ النَّاسِ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ لاَّ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِيَ أَيْمَانِكُمْ وَلَكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ  

“Jangahlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan ishlah di antara manusia . Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha MengetahuiAllah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun” (QS. al-Baqarah : 224-225)

Selain itu terdapat pula dalam surat al-Maidah ayat 89 tentang kafarat atas sumpah yang dilanggar tersebut :

لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَـكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُواْ أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (QS. al-Maidah : 89)

Sedangkan hadits yang berkaitan masih keterkaitan terhadap sumpah itu sendiri secara umum, yaitu :


مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang bersumpah, maka hendaklah dia bersumpah dengan (nama) Allah atau hendaklah dia diam” (HR. Mutafaqqun ‘alaih)

أَلاَ إنَّ الله يَنْهَا كُمْ أَنْ تَحْلِفُوْا بِاَبَائِكُمْ , فَمَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللهِ أوْلِيَصْمُتْ

“Ketahuilah, sesungguhnya Allah melarang kalian untuk bersumpah dengan nama bapak-bapak kalian. Barangsiapa bersumpah, maka hendaklah ia bersumpah dengan nama Allah atau hendaknya diam”

Disebutkan hadits shahih pula bahwa orang yang bersumpah dengan selain Allah, berarti ia tidak bersumpah sesuai perintah Allah SWT, sehingga ia tidak bisa disebut orang yang bersumpah, sesuai sabda Nabi SAW :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dalam perkara (perintah) kami, maka ia tertolak”

مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِيْنٍ , فَرَأَى غَيْرَها خَيْرًا مِنْهَا فَتَرْكُهَا كَفَّارَتُهَا

“Barangsiapa yang bersumpah terhadap suatu hal, kemudian ia melihat sesuatu yang lebih baik daripada sumpahnya, maka lakukan apa yang lebih baik itu kemudian bayarlah kafarat sumpahnya” (HR. Muslim, an-Nasa’i dan Ibnu Majah)

Menurut Ibnu Abbas,Ila' berarti bersumpah untuk tidak mencampuri istri selamanya. sedangkan Atha' mengatakan Ila' berarti bersumpah dengan nama Allah untuk tidak mencampuri istri selama empat bulan atau lebih. Jika tidak diiringi dengan bersumpah, maka bukan di sebut dengan Ila'.

Menurut Ibrahim An-Nakha'i "Jika seorang suami bersumpah untuk memurkai, mencelakai, mengharamkan istrinya atau tidak lagi hidup bersama, maka yang demikian itu telah termasuk Ila'." Al-Sya'abi mengatakan: "Segala macam sumpah yang memisahkan antara suami dengan istrinya, maka itu termasuk Ila'.
         
Abu Sya'sya' mengatakan: Jika seorang suami berkata kepada istrinya "Kamu haram bagiku, atau Kamu seperti ibuku sendiri atau Telah aku Thalak jika aku mendekatimu. Maka kesemuanya itu trmasuk Ila'.Jika seseorang bersumpah untuk Thalak, memerdekakan budak, menunaikan haji atau umrah atau puasa, maka kesemuanya itu telah di sebut dengan Ila'. Sedang apabila bersumpah nazar mengerjakan sholat atau Tawaf selama satu minggu atau bertasbih sebanyak seratus kali, maka yang demikian itu bukan termasuk Ila'."
       
Atha' pernah di tanya mengenai seseorang yang bersumpah untuk tidak mendekati istrinya selama satu bulan dan ternyata ia tidak mendekatinya selama lima bulan, maka ia pun menjawab yang demikian itu sudah termasuk Ila'. dan jika lebih dari empat bulan sebagaimana yang di firmankan Allah maka berarti ia bermaksud menthalaknya. 
       
Menurut Qathadah  seorang suami yang bersumpah tidak akan mendekati istrinya selama sepuluh hari, lalu ia meninggalkannya selama empat bulan, maka yang demikian itu termasuk Ila'. Adapun Hasan Basri mengatakan Jika seorang suami berkata " Demi Allah, aku tidak akan mendekati istriku selama satu malam, kemudian ia meninggalkannya selama empat bulan dan itu dimaksudkan sebagai sumpahnya, maka hal itu termasuk sebagai Ila'."
       
Imam Malik dan Imam Syafi'i, Abu Tsaur, Imam Ahmad dan sahabat-sahabat mereka berpendapat Sumpah yang menyatakan tidak akan mendekati istri selama empat bulan atau kurang dari itu bukan di sebut sebagai Ila' karena Ila' itu berlaku sebagai sumpah yang menyatakan tidaka akan mendekati istri selama lebih dari empat bulan.

Syarat Ila’

Menurut madzhab Hambali dan madzhab-madzhab yang lain menyebutkan empat syarat bagi ila’ yakni:
a)      Si suami bersumpah dengan nama Allah SWT atau dengan salah satu sifatnya, seperti yang maha kasih, dan tuhan sekalian alam, bahwa dia tidak menyetubuhi isterinya lebih dari empat bulan.
b)      Si suami bersumpah untuk tidak melakukan persetubuhan selama lebih dari empat bulan karena Allah SWT menjadikan orang yang mengucapkan sumpah menunggu selama empat bulan.
c)      Si suami bersumpah untuk tidak melakukan persetubuhan di bagian vagina.
d)     Yang dijadikan sebagai obyek sumpah adalah isteri, karena orang yang selain isteri tidak memiliki hak untuk disetubuhi oleh si suami, maka si suami tidak dapat melakukan ilaa’ kepada perempuan yang selain isteri.

SUAMI YANG BERILA' BOLEH KEMBALI ATAU MENCERAIKAN ISTRINYA

Ali Bin Abi Thalib mengatakan jika seorang suami mengila' istrinya tepat selama empat bulan, maka ia harus berhenti dari ila'nya dan selanjutnya ia harus memilih untuk kembali kepada istrinya atau menceraikannya. dalam hal ini ia harus di paksa. Sedangkan menurut Ibnu Umar seorang suami yang mengila' istrinya lalu diberhentikan setelah empat bulan maka selanjutnya ia boleh kembali kepada istrinya atau menceraikannya. Sulaiman Bin Yasar mengatakan "aku pernah mendengar beberapa laki-laki dari sahabat Rasulullah mengatakan bahwa Ila' itu dapat diberhentikan. Demikian ini juga menjadi pendapat Said Bin Musayyab, Thawus, Mujahid, Qasim Bin Muhammad Bin Abi Bakar, dimana mereka semua menyatakan bahwa Ila' seseorang itu diberhentikan dan selanjutnya diberi pilihan mau kembali atau menthalak istrinya.

Dari Umar Bin Abdul Aziz, Urwah Bin  Zubair, Abu Mujalas, dan Muhammad Bin ka'ab mereka mengatakan: "Ila' seseorang itu dapat diberhentikan." Sulaiman Bin Yasar mengatakan Aku pernah melihat sekumpulan orang menhentikan orang yang mengila' istrinya setelah lebih dari empat bulan. Selanjutnya ia boleh kembali kepadanya atau menceraikannya. Ini juga merupakan pendapat Imam Malik, Imam Syafi'i Abu Tsaur, Abu Ubaid,Ahmad, Ishak, Abu Sulaiman dan sahabat-sahabat mereka. Namun demikian Imam Malik dan Syafi'i dalam salah satu pernyataannya mengatakan  Jika suami tersebut menolaknya, maka Hakim yang akan menceraikannya.
        
Keduanya memang berbeda pendapat, dimana Imam Syafi'i mengatakan Suami tersebut boleh kembali kepada istrinya selama masih dalam masa iddahnya. Jika ia mencampurinya , maka yang demikian itu telah menggugurkan Ila'nya. Sedang apabila ia tidak mencampurinya maka Ila'nya harus dihentikan dan selanjutnya ia boleh memilih kembali kepadanya atau diceraikan oleh hakim, kemudian ia boleh rujuk lagi kepadanya, jika ia mencampurinya maka ila'nya tersebut gugur dan jika tidak mencampurinya maka ila'nya itu harus dihentikan setelah empat bulan, dan selanjutnya diceraikan oleh hakim. Setelah itu diharamkan bagi suaminya kembali kepada istrinya tersebut kecuali setelah istrinya menikah dengan laki-laki lain.

Apabila suami bersumpah tidak akan menyetubuhi istri dalam jangka waktu di bawah empat bulan, yang lebih baik bagi suami adalah (1) membatalkan sumpahnya, (2) membayar kaffarah (denda) sumpah, kemudian (3) kembali menyetubuhi istrinya. Saran ini datang dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam sendiri,

من حلف على يمين فرأى غيرها خيرا منها فليأت الذي هو خير وليكفر عن يمينه

Barangsiapa bersumpah atas suatu hal, lalu ia melihat yang selain sumpah tersebut lebih baik, datangilah yang dia lebih baik tersebut, dan hendaknya ia batalkan sumpahnya. (H.R Muslim)

Apabila suami tidak membatalkan sumpahnya, hendaknya istri bersabar hingga batas waktu ila’ yang dulu diucapkan suami berakhir.

empat bulan ke atas.

Adapun jika suami bersumpah tidak akan menyetubuhi istrinya selama-lamanya, atau dengan mengucapkan waktu tertentu yang lebih dari empat bulan, sang suami bisa membatalkan sumpahnya, memnayar kaffarah, setelah itu boleh kembali menyetubuhi istrinya. Namun, jika ia tidak membatalkan sumpahnya, istri menunggu sampai waktu ila’ habis hingga empat bulan. Setelah itu, istri meminta atau memberikan dua pilihan kepada suami untuk (1) menyetubuhinya atau (2) menceraikan dirinya saja.

Jika suami memilihi opsi (1), tentu saja berarti rumah tangga pasangan suami istri tersebut berlanjut kembali.

Jika suami memilih opsi (2), jatuhlah talak/cerai dari pihak suami.

Namun, bagaimana jika suami tidak memilih opsi (1) maupun (2). Artinya, ia tidak mau menyetubuhinya, tetapi tidak juga menceraikan istrinya tersebut? 

Jawabannya adalah JATUH TALAK secara OTOMATIS, meskipun suami tidak mengucapkan lafal talak

Perhatikan dalil di bawah ini:

Allah ta’ala berfirman dalam surat Al-Baqarah 226-227:


لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (226) وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (227)

“Para Laki-laki yang meng-ila istrinya, harus menunggu selama empat bulan. Kemudian, jika mereka kembali (kepada istrinya), sungguh Allah itu Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Dan jika mereka berketetapan hati untuk menjatuhkan cerai, sungguh Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”
.
Dalam kitab Al-Muwatha’ (1021), Imam Malik menyebutkan riwayat dari Nafi’ dari Ibnu Umar:


أَيُّمَا رَجُلٍ آلَى مِنْ امْرَأَتِهِ فَإِنَّهُ إِذَا مَضَتْ الْأَرْبَعَةُ الْأَشْهُرِ وُقِفَ حَتَّى يُطَلِّقَ أَوْ يَفِيءَ وَلَا يَقَعُ عَلَيْهِ طَلَاقٌ إِذَا مَضَتْ الْأَرْبَعَةُ الْأَشْهُرِ حَتَّى يُوقَفَ

Siapa saja laki-laki yang meng-ila’ istrinya, sesungguhnya jika sudah sampai genap empat bulan, ia diminta ketegasan dari perkataannya, sampai ia menjatuhkan talak atau tidak.
Tidaklah terjadi talak ketika sudah genap 4 bulan tersebut, sampai ia mempertegas perkataannya.

 Bagaimana Membayar Kafarah (Denda) Ila’?

Setelah membaca keterangan di atas, barangkali akan muncul pertanyaan,
“Lalu bagaimana cara membayar kaffarah ila’ agar suami dapat menyetubuhinya lagi?”

Pada hakikatnya, ila’ adalah sumpah. Oleh karena itu, kaffarah ila’ adalah sebagaimana kaffarah sumpah yang disebutkan Allah ta’ala dalam surat Al-Maidah, ayat 59:

لا يؤاخذكم الله باللغو في أيمانكم ولكن يؤاخذكم بما عقدتم الأيمان فكفارته إطعام عشرة مساكين من أوسط ما تطعمون أهليكم أو كسوتهم أو تحرير رقبة فمن لم يجد فصيام ثلاثة أيام ذلك كفارة أيمانكم إذا حلفتم واحفظوا أيمانكم كذلك يبين الله لكم آياته لعلكم تشكرون

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja. Maka, kaffarahnya (denda pelanggaran sumpah) adalah memberikan makanan kepada sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi mereka pakaian, atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak mampu melakukannya, berpuasalah tiga hari. Itulah kafarah sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukum-Nya kepadamu agar kemu bersyukur (kepada-Nya).

Dari ayat di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kaffarah yang harus dibayar untuk menebus ila’ adalah:
1- Memberikan makan kepada sepuluh orang miskin, atau
2- Memberikan pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau
3- Memerdekakan seorang budak,
4- Kemudian, apabila tidak mampu melaksanakan salah satu dari ketiga alternatif di atas, kaffarahnya adalah berpuasa selama tiga hari. 

Catatan Penting: Orang yang ingin menebus kaffarah ila’ atau sumpah, TIDAK BOLEH langsung memilih alternatif keempat ini, apabila ia secara finansial atau fisik MASIH MAMPU melakukan salah satu dari tiga alternatif kaffarah di atas.

THALAK YANG JATUH KARENA ILA'
          
Menurut Abu Hanifah thalak yang terjadi karena Ila' merupakan thalak Ba'in. Karena jika Thalak itu Raj'i maka dimungkinkan bagi suami untuk untuk memaksanya ruju', sebab hal itu merupakan haknya. Dan demikian itu menghilangkan kepentingan istri dan dimana sang istri tidak dapat menghindarkan dari dari bahaya. Imam Malik, Imam Syafi'i , Said Bin Musayyab dan abu Bakar Bin Abdirrahman mengatakan bahwa ila'itu merupakan thalak Raj'i karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa ila' itu thalak Ba'in.


Ayat al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 226-227 yang sebagai dasar dari perkara ila’ bermunasabah dengan ayat yang sebelumnya yakni ayat 225

لاَّ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِيَ أَيْمَانِكُمْ وَلَكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun” (QS. al-Baqarah : 225)

Yang mana hadits sebelumnya ini, masih membahas mengenai sumpah yang hanya dilakukan dalam hati. Dan hal ini masih merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya mengenai penggunaan nama Allah dalam sumpah.

Sedangkan mengenai ayat setelahnya, al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 228 pun masih memiliki keterkaitan dengan ayat sebelumnya, ayat 227 yang merupakan penyelesaian perkaraila’ setelah empat bulan dengan memilih jalan talaq, sehingga kemudian dilanjutkan dengan pembahasan perihal talaq, mulai dari ayat 228 sampai ayat 232.

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ وَلاَ يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُواْ إِصْلاَحاً وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكُيمٌ

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ . Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya . Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. al-Baqarah : 228)

الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُواْ مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلاَّ أَن يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَعْتَدُوهَا وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللّهِ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya . Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.”(QS. al-Baqarah : 229)

Takhtimah

Firman Allah SWT surat al-Baqarah ayat 226-227 ini bermaksud untuk menghapuskan hukum yang berlaku pada kebiasaan orang – orang jahiliyah, dimana seorang suami bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya selama satu atau dua tahun, bahkan lebih. Kemudian Allah Swt menjadikan empat bulan saja untuk waktu maksimalnya, dalam waktu tersebut adalah waktu dijadikanya sebagai masa penangguhan bagi suami untuk merenungkan diri dan memikirkan, mungkin ia akan membatalkan sumpahnya dan kembali kepada istrinya atau mentalaknya.

Adanya ila’ sesungguhnya mempersulit seorang wanita, dengan membiarkan ia terkatung katung dalam kehidupan rumah tangganya yang posisinya adalah menjadi istri atau sebagai ibu rumah tangga, dalam kondisi ila’ akan mencekam pula kedudukan istri tersebut dimana wanita tersebut adalah sebagai istri namun juga tidak seperti wanita yang diceraikan dan bebas untuk menikah kembali dengan orang lain.

Dari penjelasan diatas kiranya dapat diambil sebuah kesimpulan mendasar, bahwa hukum asal ila’ itu dilarang atau haram dalam kategori pada masa jahiliyah dulu, karena ila’nya adalah sampai bertahun – tahun yang hal tersebut adalah membuat diri seorang isteri tersiksa dan terkatung nasibnya.

Kemudian setelah adanya islam datang, hal ini diperbolehkan asal sebelum empat bulan berlalu, sang suami berhak mersetubuh kembali atau istilah mengatakan adalah rujuk kepada sang istri, dan ketika suami bersih keras untuk meneruskan ila’nya, maka sang istripun juga harus bersabar demi kemaslakhatan bersama. Namun jika empat bulan telah berlalu, maka hendaknya sang suami membuat keputusan yaitu tetap atau kembali ruju’ pada sang istri atau menceraikanya.

Adapun kesimpulan dari penjelasan diatas, adalah sebagai berikut :

‎ila’ adalah bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya lagi dalam waktu empat bulan atau dengan tidak menyebutkan jangka waktunya.

Ila’ ini disyaratkan untuk menyebut nama Allah, tidak mencampuri isterinya selama empat bulan, bersumpah tidak melakukan hubungan badan dan yang menjadi objek sumpah itu adalah si isteri. Dan juga mempunyai rukun yakni almauli, yang dijadikan sumpah adalah nama Allah, almaf’ul ‘alaih dan masa.

Pada masa ila’ isteri tidak boleh meminta untuk berjima’ dan mesti bersabar sampai waktu yang dietntukan. Dan apabila waktu ila’ itu telah tiba dalam artian ila’ masa ila’ sudah habis maka isteri boleh untuk meminta kembali kepada suaminya dan apabila suami menolak hal demikian maka si isteri boleh mengajukan kepada qadhi dan qadhi berhak untuk menjatuhkan talak.

Kemudian jika suami menyetubuhi isterinya maka ia diwajibkan membayar kifarat sebagai penembus sumpahnya.yakni memberikan makan 10 orang miskin, memberikan  pakaian bagi mereka dan memardekakan budak akan tetapi biaya tidak mencukupi ma ia diwajibkan berpuasa.

Ila ini belaku kepada suami yang mukallaf meskipun ada pendapat ulama yang mengatakan bahwa berlaku ila kepada suami non muslim karena mereka dianggap mampu untuk melakukan persetubuhan. Ila tidak berlaku kepada orang yang sakit, mempunyai penyakit berbahaya, pati jompo.

Ila’ adalah sumpah yang dialakukan seorang suami untuk tidak mencampuri istrinya, yang oleh pendapat jumhur ulama, sumpah itu adalah sumpah untuk tidak menyetubuhinya selama-lamanya, sehingga berdasarkan ayat ini maka seorang isteri berhak menyanyakan keputusan suaminya setelah menunggu selama empat bulan untuk merujuknya kembali atau memilih untuk men-talaqisterinya tersebut.

Masa selama 4 bulan ini disebut dengan masa menunggunya seorang isteri terhadap suaminya.

Keputusan seorang suami untuk kembali kepada isterinya oleh pendapat jumhur dilakukan dengan cara menyetubuhi kembali isterinya.

Seorang suami oleh pendapat jumhur juga, apabila memutuskan untuk untuk kembali kepada isterinya, dan membatalkan sumpah yang telah diucapkannya maka wajib membayar denda kafarat atas sumpah yang diucapkannya.

Ayat yang berkaitan dengan ini yaitu surat al-Maidah ayat 89 tentang kafarat sumpah, dan hadits yang membahas mengenai batasan-batasan dalam bersumpah.

Surat al-Baqarah ayat 226-227 ini bermunasabah dengan ayat 225, yang membahas mengenai sumpah, maupun ayat setelahnya, ayat 228-232, yang berkaitan dengan pembahasan talaq

Hukum yang terkandung yaitu wajib hukumnya seorang suami  yang bersumaph untuk tidak lagu menyetubuhi isterinya untuk menentukan pilihannya untuk meneruskan perkawinan mereka dengan jalan kembali kepada isterinya kembali atau menceraikannya

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

8 komentar: