Translate

Senin, 17 September 2018

Filosofi Sedekah Laut Dan Bumi

Termaktub Dalam Kitab Hadist

 صحيح البخارى – (ج 14 / ص 40)

قَالَ اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَرْبَعَ عُمَرٍ كُلُّهُنَّ فِى ذِى الْقَعْدَةِ ، إِلاَّ الَّتِى كَانَتْ مَعَ حَجَّتِهِ (رواه البخاري)

 “Tidak dilakukan oleh Rasulullah” atau “Tidak ada contoh dari Rasulullah” bukan sebuah dalil untuk melarang suatu amalan yang telah menjadi ‘ijtihad’ oleh sebagian ulama.

Klaim semacam ini memang sering dijadikan alat oleh ulama Salafi-Wahabi untuk membidahkan amalan-amalan yang dilakukan oleh mayoritas uma Islam.

Ulama dan leluhur pada jaman dahulu satu sisi bermaksud untuk membangun bangsa, menggugah umat dan masyarakat, sebatas mana rasa handarbeni (memiliki) tanah airnya dengan tata cara sedemikian rupa.

Nyadran (sedekah) Laut dapat berupa upacara dengan melarung (menggiring) sesajen ke laut. Leluhur jaman dahulu tidak mengajarkan kita untuk mubadzir. Tradisi ini mendidik masyarakat agar jangan hanya memanen ikan yang ada di laut, namun juga merawat dan memberinya makan (lewat sesajen tadi, red.). Sesajen yang di-larung ke laut adalah makanan untuk seluruh pengisi laut, meskipun jumlahnya tidak akan sebanding dengan jumlah penghuni laut, namun ini upaya mendidik. Perkara kepala kerbau kan hanya simbol sejauh mana kita merasa memiliki, merasa mempunyai, dan merasa handarbeni. Inilah maksud pendidikannya.

Nyadran (sedekah) Bumi bermula dari masyarakat yang tidak hanya diajarkan cara mencangkul, menanam sawah, teknik membajak sawah, dan mengolah tanah, namun dididik pula merasa memiliki tanah (bumi) ini, sehingga mampu menghargai apa saja yang keluar dari perut bumi ini; dari mulai pisang yang bagus hingga yang busuk, dan sejauh mana kita handarbeni dan merawatnya. Tidak hanya membajaknya tiap hari, mengolahnya sampai dalam, menanaminya apa saja, namun tanpa merasa bersyukur pada Allah lewat tanah yang dihamparkan kepada mereka.

Lewat kedua nyadran tadi sebenarnya kita dididik mencintai tanah air ini dengan pengemasan yang baik. Namun banyak yang menganggapnya negatif karena tidak mengerti maksud dan tujuan nyadran itu sendiri. Jika dengan adanya nyadran masih banyak yang belum mencintai tanah airnya, maka jangan nyadran yang disalahkan. Ada nyadran saja masih banyak yang belum mencintai negaranya, apalagi tidak ada?

Para ulama masa lampau itu memakai metode-metode seperti ini ketika Indonesia masih dijajah Portugis, Belanda hingga Jepang. Ketika bendera penjajah itu berkibar di tanah air, para sesepuh tidak kehabisan akal untuk memupuk rasa cinta tanah air kepada masyarakat. Dari mulai mengadakan nyadran bumi, nyadran laut, hingga sampai mendirikan rumah saja disisipi pendidikan yang “samar”; Orang jaman dulu jika mendirikan rumah pasti mengundang kiai untuk didoakan, menyediakan janur, beberapa hasil bumi dan bendera merah-putih untuk dipasang terlebih dahulu di blandar (balok kayu yang berfungsi sebagai penyangga tiang utama, dan fungsinya sangat vital dalam pembentuk kontruksi rumah, red.). Setelah janur, hasil bumi, dan bendera putih ditancapkan di blandar, baru bangunan rumah lain dipasang, dan selama belum selesai kontruksi rumahnya maka belum diturunkan sesajen tadi. Di mata penjajah, dikiranya hal ini hanya sekadar ritual, atau syarat mendirikan rumah dalam tradisi Jawa. Tapi bagi penduduk pribumi, tradisi ini adalah upaya mendidik untuk mencintai tanah air.

Inilah upaya ulama dan para leluhur untuk memupuk rasa cinta pada tanah air kepada anak-cucu negeri ini.

Tsabit bin Dhohhak radhiallahu’anhu menuturkan: Dulu, ada seorang sahabat yang memiliki nadzar untuk menyembelih seekor unta di sebuah lokasi bernama “Buwanah”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lantas bertanya:

( هَلْ كَانَ فِيهَا وَثَنٌ مِنْ أَوْثَانِ الْجَاهِلِيَّةِ يُعْبَدُ ؟) قَالُوا: لَا، قَالَ: (هَلْ كَانَ فِيهَا عِيدٌ مِنْ أَعْيَادِهِمْ ؟)، قَالُوا: لَا، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ( أَوْفِ بِنَذْرِكَ ، فَإِنَّهُ لَا وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ ، وَلَا فِيمَا لَا يَمْلِكُ ابْنُ آدَمَ ).

“Apakah lokasi tersebut pernah menjadi salah satu tempat berhala di masa jahiliyyah?”, ia menjawab: “tidak”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kembali bertanya: “pernahkah lokasi tersebut, menjadi tempat perayaan orang-orang musyrik?” ia menjawab: “tidak”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “kalau begitu silahkan tunaikan nadzarmu di lokasi tersebut. Karena tidak ada penunaian nadzar pada perkara yang mengandung kemaksiatan pada Allah. Demikian pula pada hal-hal yang tidak sanggup diwujudkan oleh anak Adam.” [Abu Dawud: 3313, dishahihkan al-Albani]

Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kisah di atas akan menunaikan nadzar karena Allah, sama sekali tidak ada unsur syiriknya. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang penunaian nadzar tersebut jika dilakukan di lokasi yang pernah menjadi ajang kesyirikan nenek moyang. Ini, selain menunjukkan sikap tegas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menutup segenap celah yang mengarah pada kesyirikan, juga menunjukkan betapa benci dan antipatinya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dengan hal-hal yang terpapar bau busuk kesyirikan (apalagi dengan syirik itu sendiri).

Apabila penyembelihan kambing yang disebut Nyadran atau sedekah bumi ataupun sedekah itu diniati sebagai rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang dilimpahkan-Nya berupa tumbuhnya tanaman padi yang subur dan berupa keadaan bumi yang aman dari malapetaka karena Allah, dan tidak diniati sebagai sesaji kepada Dewi Sri, atau kepada para dewa atau para danyang, maka hukumnya diperbolehkan, tidak diharamkan.

Tetapi apabila diniati sebagai sesaji kepada Dewi Sri, kepara para dewa atau para danyang, atau diniati sebagai persembahan kepada jin penjaga keamanan desa, maka hukumnya haram karena mengandung nilai kemusyrikan.

Terlebih lagi, apabila kerbau, sapi atau kambing yang telah disembelih itu kemudian kepalanya ditanam di dalam bumi, maka hukumnya juga haram, karena membuang harta yang bermanfaat itu termasuk menyia-nyiakan harta benda (تضييع المال).Dengan demikian, dapat diketahui bahwa hukum haramnya nyadran itu bukan haram mutlak, tetapi haram bersyarat (muqoyyad). Dan penentuan hukum tradisi seperti nyadran dan sedekah bumi itu tergantung kepada tujuannya. Ada kaidah fiqhiyah yang berbunyi :

للوسائل حكم المقاصد

Perbuatan yang berupa sarana itu hukumnya sama dengan tujuannya.

Apabila ada yang mengatakan bahwa nyadran itu haram mutlak, karena berasal dari budaya Hindu, maka perkataan itu tidak benar. Tidak semua yang berasal dari non-Islam itu diharamkan. Hukum Qishos yang disyariatkan oleh Nabi SAW itu berasal dari kaum jahiliyah, tetapi kok malah diharuskan, tidak dilarang karena berdasarkan asal usulnya.
Sesaji bukanlah ajaran islam dan tujuannya sudah menyimpang dari Islam, yaitu hewan yang disembelih atau makanan yang tersedia itu diperuntukkan kepada para dewa, arwah-arwah tertentu atau para danyang, dan dilakukan hanya menurut kepercayaan orang tua, tanpa berdasarkan kepada dasar-dasar agama Islam.

Firman Alloh Subhanahu Wata'ala

قال الله تعالى : وَلاَتَدْعُ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ مَا لاَ يَنْفَعُكَ وَلاَ يَضُرُّكَ فَاِنْ فَعَلْتَ فَاِنَّكَ اِذًا مِنَ الظَّالِمِيْنَ ، يونس١٠٦

Allah berfirman : “Dan janganlah kamu memohon (beribadah) kepada selain ALLOH, akan apa yang tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi madharat, sebab jika kamu berbuat demikian, maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang dholim”.

عن أنس بن مالك رضي الله عنه انه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : اَلصَّدَقَةُ تَمْنَعُ سَبْعِيْنَ نَوْعًا مِنَ اَنْوَاعِ الْبَلاَءِ اَهْوَنُهَا الْجَدَامُ وَالْبَرص ، حديث مرفوع

Dari Anas bin Malik RA, bahwasanya dia berkata : Rasululloh SAW bersabda : “Shodaqoh itu dapat menolak tujuh puluh macam bala’ (bencana) yang paling ringan ialah penyakit kusta dan belang (sopak)”.

عن طارق بن شهاب، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: دخل الجنة رجل في ذباب، ودخل النار رجل في ذباب ، قالوا: وكيف ذلك يا رسول الله؟! قال: مر رجلان على قوم لهم صنم لا يجوزه أحد حتى يقرب له شيئاً، فقالوا لأحدهما قرب قال: ليس عندي شيء أقرب قالوا له: قرب ولو ذباباً، فقرب ذباباً، فخلوا سبيله، فدخل النار، وقالوا للآخر: قرب، فقال: ما كنت لأقرب لأحد شيئاً دون الله عز وجل، فضربوا عنقه فدخل الجنة ، رواه أحمد

Dari Thariq bin Syihab menuturkan bahwa Rasulullah bersabda : “Ada seseorang masuk surga karena seekor lalat, dan ada seseorang yang masuk neraka karena seekor lalat pula”. Para sahabat bertanya: Bagaimana hal itu, ya Rasulallah. Beliau menjawab: “Ada dua orang berjalan melewati suatu kaum yang mempunyai berhala, tidak seorangpun boleh melewati berhala itu sebelum mempersembahkan kurban kepadanya. Ketika itu, berkatalah mereka kepada salah seorang dari kedua orang tersebut: Persembahkanlah kurban kepadanya. Dia menjawab: Aku tidak mempunyai sesuatu yang dapat kupersembahkan sebagai kurban kepadanya. Merekapun berkata kepadanya lagi: Persembahkan, sekalipun hanya seekor lalat. Lalu orang tersebut mempersembahkan seekor lalat dan merekapun memperkenankan dia untuk meneruskan perjalanannya. Maka orang itu masuk neraka karena lalat. Kemudian berkatalah mereka kepada seorang yang satunya lagi: Persembahkanlah kurban kepadanya. Dia menjawab : Aku tidak akan mempersembahkan kurban kepada selain Allah Azza wa Jalla. Kemudian mereka memenggal lehernya. Karenanya, orang ini masuk surga”. (HR. Ahmad)

فائدة من ذبح تقربا لله تعالى لدفع شر الجن عنه لم يحرم أو بقصدهم حرم (قوله فائدة من ذبح) أي شيئا من الإبل أو البقر أو الغنم (وقوله تقربا لله تعالى) أي بقصد التقرب والعبادة لله تعالى وحده وقوله لدفع شر الجن عنه علة الذبح أي الذبح تقربا لأجل أن الله سبحانه وتعالى يكفي الذابح شر الجن عنه وقوله لم يحرم أي ذبحه وصارت ذبيحته مذكاة لأن ذبحه لله لا لغيره (قوله أو بقصدهم حرم) أي أو ذبح بقصد الجن لا تقربا إلى الله حرم ذبحه وصارت ذبيحته ميتة بل إن قصد التقرب والعبادة للجن كفر كما مر فيما يذبح عند لقاء السلطان أو زيارة نحو ولي اهـ

“Faedah, barangsiapa menyembelih karena mendekatkan diri pada Allah untuk menolak gangguan jin maka tidak haram, bila penyembelihan karena murni menolak gangguan jin maka haram.(Keterangan barangsiapa menyembelih) baik unta atau lainnya dengan tujuan mendekatkan diri pada Allah karena ingin menolak gangguan jin, karena Allah lah yang maha mencukupi dengan mendekatkan diri padanya lewat cara menyembelih binatang dia berharap gangguan jin dapat terhilangkan.(keterangan bila penyembelihan karena murni menolak gangguan jin) artinya penyembelihannya bertujuan menolak gangguan jin bukan mendekatkan diri pada Allah maka haram sembelihannya dan sembelihannya dihukumi bangkai bahkan bila tujuannya mendekatkan diri dan ibadah pada jin maka ia kufur seperti keterangan yang telah lewat dalam masalah menyembelih saat bertemu pemimpin atau atau ziarah semacam wali”.
I’aanah at-Thoolibiin II/349

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar