Translate

Sabtu, 01 September 2018

Hukum Bagi Orang Yang Menunda Upah Pekerja

Perlu dipahami dahulu bahwa hubungan sosial antar manusia dalam dunia pekerjaan termasuk perkara muamalah yang hukumnya mubah selama tidak melanggar ketentuan syariat yang ada. Segala bentuk kesepakatan antara pegawai dan pemilik usaha tetap wajib ditunaikan. Hak dan kewajiban masing-masing pihak tetap wajib dipenuhi.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

“Kaum Muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati kecuali syarat yang mengharamkan suatu yang halal atau menghalalkan suatu yang haram.” (HR. Al-Bukhari, 4/451. Ahmad, 2/366. Abu Dawud no. 3594)

Gaji adalah hak karyawan atau pekerja atas pekerjaan yang didiberikan oleh pemilik usaha kepadanya, dan memberi gaji atau upah adalah kewajiban pemilik usaha.

Pemilik usaha tidak boleh menunda gaji karyawan melebihi waktu yang semestinya harus diserahkan, yaitu setelah pekerjaannya selesai, atau di hari terakhir waktu pekerjaannya. Jika kesepakatannya dengan sistem bulanan, maka gaji karyawan harus diberikan di tiap akhir bulan dia bekerja. Mengakhirkan waktu penyerahan gaji tanpa alasan yang dibenarkan syariat termasuk tindakan zalim.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ

“Jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS. Ath-Thalaq: 6)

Hukum yang disarikan dari ayat di atas, secara jelas Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan untuk segera menyerahkan upah susuan sesegera mungkin setelah pekerjaannya selesai.

Hukum ini dipertegas kembali oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa hadits.

Al-Bukhari dan yang lainnya telah meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, Allah Ta’ala berfirman,

ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ , وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأكَلَ ثَمَنَهُ , وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ

“Tiga Jenis (manusia) yang Aku akan menjadi musuhnya kelak pada hari kiamat, yaitu: seseorang yang memberi dengan nama-Ku, kemudian berkhianat; seseorang yang menjual orang yang merdeka (bukan budak), kemudian memakan uangnya; dan seseorang yang mempekerjakan pekerja dan telah diselesaikan pekerjaannya, tetapi ia tidak memberikan upahnya.”

Ibnu Majah telah meriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma dan Thabrani meriwayatkan dari Jabi radhiallahu ‘anhu serta Abu Ya’la juga meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَعْطُوا الأَجِيْرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

“Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering.”

Maksud hadits di atas, menyegerakan penyerahan upah di penghujung waktu setelah pekerjaan selesai. Tentunya sesuai dengan kesepakatan di awal tentang mekanisme penyerahan upah.

Al-Munawi menjelaskan, Haram hukumnya menunda  gaji karyawan atau pegawai padahal tak ada kendala untuk segera menyerahkannya. Perintah untuk menyerahkan gaji sebelum keringat para pekerja mengering adalah sebuah kiasan atas wajibnya menyegerakan sebelum pekerjaan mereka selesai ketika para pekerja memintanya meskipun belum sampai berkeringat, atau berkeringat dan langsung kering.” (Faidhul Qadir, 1/718)

Para ulama telah menganggap bahwa menunda pembayaran gaji pekerja atau tidak memberikannya setelah pekerjaan diselesaikan, termasuk dosa besar berdasarkan ancaman yang sangat dahsyat ini. Karena, penundaan pembayaran dari orang yang kaya merupakan bentuk kezaliman, sebagaimana yang disebutkan dalam pembahasan ghashab. Di antara bentuk kezalimannya adalah tidak memberikan sama sekali hak-hak pekerja, sedang para pekerja tidak memiliki bukti. Bahkan, terkadang membebaninya dengan pekerjaan atau menambah waktu kerja (lembur), tapi hanya memberikan gaji pokok saja tanpa membayar pekerjaan tambahan atau waktu lembur dengan memanfaatkan momentum minimnya lowongan pekerjaan dan kelemahan pihak pekerja. Terkadang pula, terjadi penundaan pembayaran gaji dan tidak memberikannya kecuali dengan usaha keras para pekerja dengan tujuan agar para pekerja melepaskan haknya dan tidak menuntuk haknya kembali. Atau, ada yang bermaksud menggunakan upah pekerja tersebut untuk usahanya dan mengelolanya, sedangkan si pekerja yang miskin tersebut tidak memiliki bahan makanan untuk diri dan keluarganya.

Termasuk kategori dosa besar adalah melarang orang-orang memanfaatkan sesuatu yang boleh digunakan oleh mereka baik secara umum ataupun khusus, seperti: tanah tak bertuan yang siapapun boleh memilikinya, jalan, masjid, tanah wakaf untuk orang miskin, dan barang tambang yang tidak tampak maupun yang tampak. Maka, bila ada seseorang yang melarang orang lain untuk memanfaatkannya, maka hal itu merupakan bentuk dosa besar, karena serupa dengan tindakan ghashab. Orang seperti ini, layaknya seseorang yang melarang orang lain untuk memilikinya. Sebab, orang yang berhak memanfaatkan sesuatu, maka ia juga berhak untuk memilikinya. Sebagaimana menahan hak milik seseorang termasuk dosa besar, maka perbuatan seperti ini pun hukumnya sama. Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan Al-Haitsami dalam kitabnya Az-Zawajir ‘an Iqtirafil Kaba’ir (I/263).

Dalam sebuah hadits disebutkan,

مِنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ

“Barangsiapa menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Abu Dawud, Nasai dan Tirmidzi, hadits hasan)

Nasai juga meriwayatkan sebuah hadits yang dishahihkan oleh Ibnu Hibban yang berbunyi,

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَة فَلَهُ فِيْهَا أَجْرٌ, وَمَأَكَلَتِ الْعَوَافِي مِنْهَا فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ

“Barangsiapa menghidupkan tanah yang mati, maka akan mendapatkan pahala. Dan, apa yang dimakan oleh burung dan binatang buas, maka itu merupakan sedekah baginya.”

Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadits dari Hasan bin Samurah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sa llam, beliau bersabda,

مَنْ أَحَاطَ حَائِطًا عَلَى أَرْضٍ فَهِيَ لَهُ

“Barangsiapa yang memberi tanda di bumi (yang tidak ada pemiliknya), maka bumi itu menjadi miliknya.”

Para ulama telah sepakat bahwasanya orang yang menghidupkan tanah (yang tidak ada pemiliknya) merupakan sebab kepemilikan. Kebanyakan dari mereka tidak mensyaratkan adanya izin dari hakim. Hanya saja, sebaiknya tanah tersebut jauh dari keramaian, sehingga tidak ada yang memilikinya. Ada yang berpendapat, bahwa barangsiapa yang memberikan tanda atau memberi garis pembatas (pada tanah yang tak ada pemiliknya), kemudian ia tidak merawatnya dengan diolah, maka sesudah tiga tahun gugurlah kepemilikannya. Jika ada seseorang yang merawat suatu tempat dengan prasangka tempat tersebut tidak ada pemiliknya, kemudian datang seseorang yang mengakui bahwa tempat tersebut adalah miliknya, maka ada dua pilihan; orang yang meramaikan tempat tersebut mengembalikan kepada pemiliknya, setelah ia mengambil bayaran dari pemilik atas apa yang ia lakukan; atau kepemilikan tanah tersebut menjadi miliknya setelah ia membayar harganya. Inilah yang terjadi pada masa Umar bin Khaththab dan Umar bin Abdil Aziz. Diperbolehkan bagi hakim yang adil untuk memberikan kepemilikan seseorang baik dari kepemilikan tanah, pertambangan dan sumur selama di dalamnya terdapat kebaikan. Namun, hal ini tidak diperbolehkan jika alasannya karena faktor ia senang kepada orang tersebut. Dalam sejumlah atsar disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sa llam dan para Khulafaur Rasyidin serta orang-orang sesudahnya memberikan tanah kepada sekelompok orang. Akan tetapi, jika hal tersebut tidak ada manfaatnya dengan tidak dirawatnya tanah tersebut, maka pemberiannya tersebut dapat dicabut kembali.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar