Translate

Jumat, 20 Maret 2015

Kyai Ageng Gribig

Kyai Ageng Gribig Malang

Malang tak hanya menawarkan pesona alamnya yang memukau. Namun kota apel ini juga memiliki potensi wisata bernilai historis dan religius yang menarik. Salah satunya yaitu  Kompleks Makam Ki Ageng Gribig. Jika Anda penyuka wisata sejarah atau religi, kompleks pemakaman ini wajib untuk dikunjungi.

Kompleks Makam Ki Ageng Gribig terletak di Jalan Ki Ageng Gribig Gang II, Kelurahan Madyopuro, Kecamatan Kedung Kandang, Kota Malang. Tak hanya makam tokoh Ki Ageng Gribig, di kompleks ini juga terdapat makam para mantan Bupati Malang yang memerintah pada akhir abad XIX hingga awal abad XX. Menariknya, kompleks pekuburan ini diklaim sebagai makam para Bupati terbesar dan terindah di kawasan Jawa Timur. Di samping itu, terdapat pula makam mantan Bupati Surabaya, Bupati Bondowoso, dan keluarga Bupati Probolinggo.

Menurut masyarakat setempat, Ki Ageng Gribig merupakan adik kandung Sunan Giri, salah seorang Walisongo yang dimakamkan di Gresik. Adapun menurut Babad Malang, Ki Ageng Gribig adalah cicit dari Raja Majapahit, Brawijaya. Ayahnya bernama Pangeran Kedawung, salah seorang keturunan Lembu Niroto, pemilik Panembahan Bromo. Ki Ageng Gribig dikenal sebagai seorang ulama yang tersohor di Malang pada tahun 1600-an. Ia juga merupakan salah satu murid kesayangan Sunan Kalijaga.

Ki Ageng Gribig dipercaya sebagai pendiri atau cikal bakal kota Malang. Konon, adik Sunan Giri ini sangat suka berkelana ke tempat-tempat jauh untuk menimba ilmu dan memperkuat iman. Pada suatu ketika, sampailah Ki Ageng Gribig di sebuah tempat berupa hutan yang sangat lebat. Karena merasa cocok dengan tempat tersebut, maka Ki Ageng Gribig membabatnya dan menjadikan tempat itu sebagai pemukiman. Sejak itulah tempat tersebut dihuni orang dan dikenal dengan nama ‘Malang’. Nama ‘Malang’ sendiri diberikan oleh Ki Ageng Gribig berdasarkan kenyataan adanya Gunung Buring dan deretan pegunungan yang melintang di kiri dan kanannya.

Kisah tersebut diyakini oleh Bupati Malang yang pertama yakni R.A.A Notodiningrat. Setelah menemukan makam Ki Ageng Gribig, ia membangun dan memelihara tempat peristirahatan terakhir pendiri kota Malang tersebut. Kemudian kompleks makam itupun digunakan oleh R.A.A Notodiningrat sebagai makam keluarga dan berlangsung secara turun temurun.

Memasuki kompleks pemakaman Ki Ageng Gribig, kesan yang akan Anda rasakan pertama kali adalah nyaman dan asri. Jalan setapak di dalam makam dibuat dari beton yang kiri-kanannya ditumbuhi pohon-pohon hias yang terawat rapi. Terdapat tiga bangunan besar dan beberapa bangunan kecil di pekuburan itu. Bangunan terbesar terletak di bagian tengah, yakni tempat disemayamkannya Bupati Malang pertama yaitu R.A.A. Notodiningrat. Di sebelahnya, tepatnya di bagian teras terdapat 17 makam para kerabat dekat dan 8 kerabat jauh R.A.A. Notodiningrat. Bangunan kedua yang agak kecil adalah makam Bupati Malang kedua yaitu R.A.A. Notodiningrat II bersama 26 makam kerabat dekat dan 6 kerabat jauh. Di teras bangunan besar itu juga ada makam Mas Ajoe Aminah, istri dari Raden Toemenggoeng Ario Soerjoningrat, Bupati Probolinggo.

Sedangkan bangunan besar ketiga yang terletak di bagian paling belakang adalah tempat persemayaman Ki Ageng Gribig bersama istrinya. Di samping makam Ki Ageng Gribig terdapat sebuah bangunan mushola Kyai Ageng Gribig. Konon menurut juru kunci, dahulu di mushola itulah Ki Ageng Gribig berdakwah. Tak jauh dari makam juga terdapat Masjid Ki Ageng Gribig yang memiliki desain bangunan yang indah dan megah.

Makam Bupati Malang ketiga tidak berada dalam bangunan besar yang tertutup, tetapi dibuatkan bangunan kecil terbuka dan ditutup dengan kain kelambu. Terdapat tulisan jelas di batu nisan dari marmer berbunyi “R. Toemenggoeng Ario Notodingrat wafat 8 Juli 1898”. Walaupun makam ini berada di luar bangunan gedung, namun keadaannya tetap terawat rapi. Nisan dan payungnya ditutup dengan kain berwarna kuning tua. Di sebelah makam Bupati Malang ketiga, terdapat makam Bupati Bondowoso, RTA Notodiningrat yang wafat pada tengah malam 13 Oktober 1934. Sedangkan jauh di depan, di dekat jalan masuk terdapat makam Bupati Surabaya, R. Soekarso yang menjabat pada 1958-1968. Tertulis jelas di batu nisan terlahir pada 11 Desember 1908 dan wafat 7 Desember 1986.

Untuk masuk ke dalam kompleks pekuburan Ki Ageng Gribig, pengunjung harus menemui juru kunci terlebih dahulu. Kawasan makam ini tidak pernah sepi dari pengunjung, terutama pada malam Jumat dan hari-hari besar. Suasana hening dan khusyuk akan langsung terasa saat Anda berziarah di tempat ini. Banyak peziarah yang datang khusus untuk berkhalwat dan menyepi mendekatkan diri pada Tuhan.

Untuk mencapai tempat peristirahatan Ki Ageng Gribig ini, dari kota Malang bisa langsung menuju Kecamatan Kedung Kandang. Jika sudah memasuki wilayah Kedung Kandang, Anda harus menuju Jalan Ki Ageng Gribig. Tidak sulit menemukan jalan ini. Ikuti saja jalan tersebut hingga menemukan Masjid Ki Ageng Gribig. Letak kompleks pemakaman tak jauh dari masjid ini.

Kyai Ageng Gribig Jatinom

Ki Ageng Gribig, ulama besar yang waktu mudanya bernama Wasibagno Timur, adalah putra Kiai Ageng Gribig (Kyai Ageng Tinom putra Browijoyo Mojopahit) dari Ngibig (menantu Sunan Giri)  Saat Wasibagno berumur belasan tahun, ia sudah ditinggal wafat oleh ayah-ibundanya. Ia tidak mau mengikuti tradisi kerajaan, melainkan memilih jalan hidup bertapa.

Usai mendapatkan wangsit dari kakeknya, yaitu Sunan Giri, berangkatklah Wasibagno ke arah barat. Sesampainya dihutan Merbabu di lereng Gunung Merapi, ia memutuskan mulai bertapa (semedi) dibawah bendungan Kali Bogowondo. Di situlah ia bertapa bertahun-tahun lamanya. Mendengar kejadian itu, Sunan Kalijaga dari Kadilangu Demak segera menemui Sunan Tembayat, yang juga disebut Sunan Pandanaran, untuk memberitahukan bahwa di bawah Kali Bogowondo ada seorang pertapa yang masih punya hubungan darah dengan Sunan Tembayat. Sunan Kalijaga meminta agar Sunan Tembayat mau menemui dan mengajarkan ilmu kebendaan, serta yang menyangkut ilmu serengat (syari'ah), hakikat dan ma'rifat.

Setelah jelas apa yang dikehendaki Sunan Kalijaga, berangkatlah Sunan Tembayat menemui Wasigbagno. Di tempat pertapaan itulah terjadi perdebatan antara Wasigbagno dengan Sunan Tembayat mengenai ilmu yng dimaksud Sunan Kalijaga. Wasigbagno merasa kalah, dan ia pun bersujud serta menyatakan diri untuk masuk Islam dan meminta segera diberi pelajaran tata cara bersembahyang.

Setelah mendapat pelajaran dari Sunan tembayat, Wasigbagno pun segera berangkat ke arah timur Kali Bogowondo. Ia berganti nama menajdi Ki Ageng Gribig, nama ayahnya. Di sebuah hutan jati, ia memutuskan mulai babat alas dan membangun masjid serta mendirikan padukuhan. Bertahun-tahun lamanya Ki Ageng Gribig babat alas sendiri. Kemudian, ia memperdalam ilmu yang didapatnya dari Sunan Tembayat. apa yang diinginkan akhirnya terwujud, Padukuhan yang dibangun mulai didatangi orang.
Konon, suatu saat menjelang salat dluhur, Ki Ageng Gribig membunyikan tabuh. Tanpa disangka, suara itu terdengar sampai ke Mataram yang saat itu sedang punya hajat wisudan (pelantikan) Sultan Agung. Sultan Agung, tertarik dan memerintahkan mencari asal suara untuk diajak ke Mataram. Kemudian, padukuhan yang dibangun Ki Ageng Gribig diberi hadiah sebagai tanah perdikan. Sebagai gantinya, Ki Ageng Gribig diwajibkan ikut hadir setiap peringatan hari kelahiran Sultan Agung di Mataram. Selain itu Ki Ageng Gribig juga diberi hadiah isteri, yang tidak lain Raden Ayu Emas, adik Sultan Agung sendiri.

Seperti biasanya, setiap bulan Ramadhan, anak cucu Ki Ageng Gribig, pada sore hari sudah memenuhi halaman masjid Jatinom untuk darusan (pengajian) dan dilanjutkan salat Tarawih. Pada suatu malam, saat salat tarawih akan dimulai, Ki Ageng Gribig belum juga datang. Konon, pada saat tertentu di malam Ramadhan, Ki Ageng Gribig menghadiri salat Tarawih di Mekah bersama Sultan Agung. Kendati begitu, jamaah masih taat menunggu. Sepulang dari Mekah, Ki Ageng Gribig menuju masjid di Jatinom guna memimpin salat Tarawih. Selesai Tarawih, Ki Ageng Gribig bermaksud membagi oleh-oleh dari Mekah berupa kue apem. namun kuenya cuma tiga buah, sementara anak cucunya banyak. Karena itu Ki Ageng Gribig meminta pada Nyi Ageng untuk membuatkan kue apem yang terbuat dari beras. Saat itulah Ki Ageng Gribig berpesan, agar tiap bulan Sapar menyisihkan harta bendanya untuk zakat syukuran. "Menurut kepercayaan, apem Yaqawiyu yang selesai disalatkan dan dibagikan itu dapat mendatangkan rezeki,"
Sejarah Apem Gribig 

Pada mulanya, Kyai Ageng Gribig ke Mekkah untuk menunaikan Ibadah Haji. Sewaktu berada di Mekkah mendapat apem 3 buah yang masih hangat, kemudian dibawa pulang untuk anak cucunya, ternyata sampai di Jatinom apem tersebut masih hangat. Dengan bersabda “APEM YAQOWIYU” artinya kata yaa qowiyyu itu ialah Tuhan Mohon Kekuatan. Berhubung apem buah tangan itu tidak mencukupi untuk anak cucunya, maka Nyai Ageng Gribig diminta membuatkan lagi agar dapat merata.
Kyai Ageng Gribig juga meminta kepada orang-orang Jatinom; di bulan Sapar, agar merelakan harta bendanya sekedar untuk zakat kepada sesame yang datang (tamu). Oleh karena orang-orang semua tahu bahwa Nyai Ageng Gribig sedekah apem, maka kini penduduk Jatinom ikut-ikutan sama membawa apem untuk selamatan. Sekarang ini orang-orang Jatinom membawa apem untuk diserahkan ke Panitia Penyebaran Apem, dan sesudah sholat Jumat disebarkan di lapangan.

Menurut kepercayaan warga, apem tersebut sebagai syarat untuk bermacam-macam maksud. Bagi petani dapat untuk sawahnya, agar tanamannya selamat dari hama. Ada yang percaya bahwa apem tersebut akan membawa rezeki, membawa jodoh, dan lain-lain. Bahkan, ada yang percaya siapa yang mendapat banyak apem pada perebutan itu sebagai tanda akan memperoleh rezeki melimpah. Saking percaya hal itu ada yang kaul (nadar) menggelar wayang kulit, atau pertunjukan tradisional yang lain.

Jumat siang, ribuan orang memadati lapangan di dekat Masjid Ageng Jatinom  Kecamatan Jatinom Kabupaten Klaten untuk berebut kue apem yang disebar, yaa qowiyyu yang dirayakan pada setiap hari Jumat bakda sholat Jumat pada pertengahan bulan Sapar ini telah ada sejak jaman sejarah Kyai Ageng Gribig.

Maka, tak heran jika pada puncak acara peringatan yaaqowiyuu ini pengunjung melimpah yang datang dari berbagai daerah di Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. Acara tradisi budaya tersebut digelar untuk mengenang jasa Ki Ageng Gribig, tokoh ulama penyebar agama Islam di Jawa, yang menetap dan meninggal di Jatinom.

Pada Kamis siang sebelum apem disebar pada hari jumat, apem disusun dalam dua gunungan yaitu gunungan lanang dan gunungan wadon. Gunungan apem ini lalu akan diarak dari Kantor Kecamatan Jatinom menuju Masjid Ageng  Jatinom yang sebelumnya telah mampir terlebih dahulu ke Masjid Alit Jatinom. Arak-arakan ini diikuti oleh pejabat-pejabat kecamatan, kabupaten, Pemerintah Daerah Kabupaten, Bupati (atau yang mewakili), Disbudparpora (Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga) dari Klaten. Arak-arakan jalan kaki ini juga dimeriahkan oleh marching band, reog, seni bela diri dan Mas Mbak Klaten yang terpilih.

Setelah kedua gunungan apem sampai di Masjid Ageng Jatinom maka gunungan apem tersebut dimalamkan di dalam Masjid untuk diberi doa-doa. Pada hari Jumat setelah sholat Jumat, apem tersebut disebar oleh Panitia bersama dengan ribuan apem sumbangan dari warga setempat. 

Banyak orang berpendapat bahwa apem yang ada di gunungan dan telah dimalamkan di Masjid Ageng itulah apem yang paling “berkhasiat” atau manjur. Menurut banyak warga sebenarnya dari ribuan apem yang disebar apem yang telah dimalamkan di Masjid tersebut adalah apem yang benar-benar punya berkah. Tapi meskipun demikian tidak berarti ribuan apem lain yang disebar tidak membawa berkah, masyarakat percaya bahwa apem-apem yang disebar itu punya berkah. Menurut para sesepuh Jatinom, gunungan apem itu mulai diadakan sejak 1974, bersamaan dengan dipindahnya lokasi sebaran apem dari halaman Masjid Gedhe ke tempat sekarang. Sebelumnya, acara sebaran apem tidak menggunakan gunungan.

Penyusunan gunungan itu juga ada artinya, apem disusun menurun seperti sate 4-2-4-4-3 maksudnya jumlah rakaat dalam shalat Isa, Subuh, Zuhur, Asar, dan Magrib. Di antara susunan itu terdapat kacang panjang, tomat, dan wortel yang melambangkan masyarakat sekitarnya hidup dari pertanian. Di puncak gunungan terdapat mustaka (seperti mustaka masjid) yang di dalamnya berisi ratusan apem.

Ada perbedaan antara gunungan lanang danwadon. Gunungan wadon lebih pendek dan berbentuk lebih bulat. Gunungan lanang lebih tinggi dan di bawahnya terdapat kepala macan putih dan ular.

Kedua hewan itu adalah kelangenan Ki Ageng Gribig. Macan diibaratkan Kiai Kopek yakni macan putih kesayangan Ki Ageng Gribig, sedangkan ular adalah Nyai Kasur milik Ki Ageng Gribig.

Kota Jatinom penuh sesak adanya beribu-ribu orang yang ada disitu meminta berkah kepada Kyai Ageng Gribig yang dimakamkan di Jatinom itu. Tetapi hendaknya kita selalu sadar bahwa: Mintalah sesuatu itu hanya kepada Allah semata.

Perayaan Yaaqowiyuu di Jatinom, Klaten, banyak dikunjungi puluhan ribu wisatawan lokal dan mancanegara. Mereka berkumpul di lapangan dekat Masjid Besar Jatinom, menunggu acara sebar kue apem yang dilakukan setelah selesai salat Jumat. Sekarang ini, sebanyak 5 ton kue apem yang diperebutkan para pengunjung.

Di lokasi ini terdapat juga peninggalan Kyai Ageng Gribig berupa: Gua Belan, Sendang Suran, Sendang Plampeyan dan Oro oro Tarwiyah. Disamping itu masih ada satu peninggalan yaitu Masjid Alit atau Masjid Tiban. Perlu kiranya ditambahkan disini bahwa sepulangnya Kyai Ageng Gribig dari Mekah tidak hanya membawa apem saja tetapi juga membawa segenggam tanah dari Oro-Oro Arofah dan tanah ini ditanamkan di Oro-Oro Tarwiyah. 

Adapun Oro-Oro ini disebut Tarwiyah karena tanah dari Mekah yang ditanam Kyai Ageng Gribig yang berasal dari Padang Arofah ketika beliau sedang mengumpulkan air untuk bekal untuk bekal wukuf di Arofah pada tanggal 8 bulan Dzulhijah. Dari tanggal 8 Dzulhijah ini dinamakan Yaumul Tarwiyah yang artinya pada tanggal itu para jamaah Haji mengumpulkan air sebanyak banyaknya untuk bekal wukuf di Arofah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar