Translate

Kamis, 12 Maret 2015

Mengenal Filsafat Keris dan Tosan Aji

Ada pepatah yang menyatakan : "Penghargaan pada seseorang tergantung karena busananya." Mungkin pepatah itu lahir dari pandangan psikolog yang mendasarkan pada kerapian, kebersihan busana yang dipakai seseorang itu menunjukkan watak atau karakter yang ada dalam diri orang itu.
Di kalangan masyarakat Jawa Tengah pada umumnya untuk suatu perhelatan tertentu, misalnya pada upacara perkawinan, para kaum prianya harus mengenakan busana Jawi jangkep (busana Jawa lengkap).

Dan kewajiban itu harus ditaati terutama oleh mempelai pria, yaitu harus menggunakan/memakai busana pengantin gaya Jawa yaitu berkain batik, baju pengantin, tutup kepala (kuluk) dan juga sebilah keris diselipkan di pinggang. Mengapa harus keris? Karena keris itu oleh kalangan masyarakat di Jawa dilambangkan sebagai simbol "kejantanan." Dan terkadang apabila karena suatu sebab pengantin prianya berhalangan hadir dalam upacara temu pengantin, maka ia diwakili sebilah keris. Keris merupakan lambang pusaka.

Pandangan ini sebenarnya berawal dari kepercayaan masyarakat Jawa dulu, bahwa awal mula eksistensi mahkluk di bumi atau di dunia bersumber dari filsafat agraris, yaitu dari menyatunya unsur lelaki dengan unsur perempuan. Di dunia ini Allah Swt, menciptakan makhluk dalam dua jenis seks yaitu lelaki dan perempuan, baik manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan.

Kepercayaan pada filsafat agraris ini sangat mendasar di lingkungan keluarga besar Karaton di Jawa, seperti Karaton Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan lain-lain. Kepercayaan itu mulanya dari Hinduisme yang pernah dianut oleh masyarakat di Jawa. Lalu muncul pula kepercayaan tentang bapa angkasa dan ibu bumi/pertiwi. 

Yang juga dekat dengan kepercayaan filsafat agraris di masyarakat Jawa terwujud dalam bentuk upacara kirab pusaka pada menjelang satu Sura dalam kalender Jawa dengan mengkirabkan pusaka unggulan Karaton yang terdiri dari senjata tajam: tombak pusaka, pisau besar (bendho).

Arak-arakan pengirab senjata pusaka unggulan Karaton berjalan mengelilingi komplek Karaton sambil memusatkan pikiran, perasaan, memuji dan memohon kepada Sang Maha Pencipta alam semesta, untuk beroleh perlindungan, kebahagiaan, kesejahteraan lahir dan batin.

Fungsi utama dari senjata tajam pusaka dulu adalah alat untuk membela diri dari serangan musuh, dan binatang atau untuk membunuh musuh. Namun kemudian fungsi dari senjata tajam seperti keris pusaka atau tombak pusaka itu berubah. Di masa damai, kadang orang menggunakan keris hanya sebagai kelengkapan busana upacara kebesaran saat temu pengantin. 

Maka keris pun dihias dengan intan atau berlian pada pangkal hulu keris. Bahkan sarungnya yang terbuat dari logam diukir sedemikian indah, berlapis emas berkilauan sebagai kebanggaan pemakainya. Lalu, tak urung keris itu menjadi komoditi bisnis yang tinggi nilainya.

Tosan Aji atau senjata pusaka itu bukan hanya keris dan tombak khas Jawa saja, melainkan hampir seluruh daerah di Indonesia memiliki senjata tajam pusaka andalan, seperti rencong di Aceh, badik di Makasar, pedang, tombak berujung tiga  (trisula), keris bali, dan lain-lain.

Ketika Sultan Agung menyerang Kadipaten Pati dengan gelar perang Garudha Nglayang, Supit Urang, Wukir Jaladri, atau gelar Dirada Meta, prajurit yang mendampingi menggunakan senjata tombak yang wajahnya diukir gambar kalacakra.

Keris pusaka atau tombak pusaka yang merupakan pusaka unggulan itu keampuhannya bukan saja karena dibuat dari unsur besi baja, besi, nikel, bahkan dicampur dengan unsur batu meteorid yang jatuh dari angkasa sehingga kokoh kuat, tetapi cara pembuatannya disertai dengan iringan doa kepada Sang Maha Pencipta Alam (Allah SWT) dengan suatu upaya spiritual oleh Sang Empu. 

Sehingga kekuatan spiritual Sang Maha Pencipta Alam itu pun dipercayai orang sebagai kekuatan magis atau mengandung tuah sehingga dapat mempengaruhi pihak lawan menjadi ketakutan kepada pemakai senjata pusaka itu.

Pernah ada suatu pendapat yang berdasarkan pada tes ilmiah terhadap keris pusaka dan dinyatakan bahwa keris pusaka itu mengeluarkan energi/kekuatan yang tidak kasat mata (tak tampak dengan mata biasa).

Yang menarik hati adalah keris yang dipakai untuk kelengkapan busana pengantin pria khas Jawa. Keris itu dihiasi dengan untaian bunga mawar melati yang dikalungkan pada hulu batang keris. Ternyata itu bukan hanya sekedar hiasan, melainkan mengandung makna untuk mengingatkan orang agar jangan memiliki watak beringas, emosional, pemarah, adigang-adigung-adiguna, sewenang-wenang dan mau menangnya sendiri seperti watak Harya Penangsang.

Kaitannya dengan Harya Penangsang ialah saat Harya Penangsang berperang melawan Sutawijaya, karena Penangsang pemarah, emosional, tidak bisa menahan diri, perutnya tertusuk tombak Kyai Plered yang dihujamkan oleh Sutawijaya. Usus keluar dari perutnya yang robek. Dalam keadaan ingin balas dendam dengan penuh kemarahan Penangsang yang sudah kesakitan itu mengalungkan ususnya ke hulu keris di pinggangnya. Ia terus menyerang musuhnya.

Pada suatu saat Penangsang akan menusuk lawannya dengan keris Kyai Setan Kober di bagian pinggang, begitu keris dihunus, ususnya terputus oleh mata keris pusakanya. Penangsang mati dalam perang dahsyat yang menelan banyak korban. Dari peristiwa itulah muncul ide keris pengantin dengan hiasan untaian bunga mawar dan melati.

Tosan aji atau senjata pusaka seperti tombak, keris dan lain-lain itu bisa menimbulkan rasa keberanian yang luar biasa kepada pemilik atau pembawanya. Orang menyebut itu sebagai piyandel, penambah kepercayaan diri, bahkan keris pusaka atau tombak pusaka yang diberikan oleh Sang Raja terhadap bangsawan Karaton itu mengandung kepercayaan Sang Raja terhadap bangsawan unggulan itu. Namun manakala kepercayaan sang raja itu dirusak oleh perilaku buruk sang adipati yang diberi keris tersebut, maka keris pusaka pemberian itu akan ditarik/diminta kembali oleh sang raja.

Hubungan keris dengan sarungnya secara khusus oleh masyarakat Jawa diartikan secara ilosoi sebagai hubungan akrab, menyatu untuk mencapai keharmonisan hidup di dunia. Maka lahirlah filosofi "manunggaling kawula – Gusti", bersatunya abdi dengan rajanya, bersatunya insan kamil dengan Penciptanya, bersatunya rakyat dengan pemimpinnya, sehingga kehidupan selalu aman damai, tentram, bahagia, sehat sejahtera.

Selain saling menghormati satu dengan yang lain masing-masing juga harus tahu diri untuk berkarya sesuai dengan porsi dan fungsinya masing-masing secara benar. Namun demikian, makna yang dalam dari tosan aji sebagai karya seni budaya nasional yang mengandung berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat Jawa pada umumnya,kini terancam perkembangannya karena aspek teknologi sebagai sahabat budayanya kurang diminati ketimbang aspek legenda magisnya.

Makna keris Jalak Sangu Tumpeng

Dalam pakem perkerisan, sangat banyak dapur jalak yang kita kenal, antara lain : Jalak, Jalak Ngore, Jalak Dinding, Jalak Sinom, dan Jalak Sangu Tumpeng. Dapur Jalak hampir semuanya merupakan dapur yang populer. Bahkan kerap ditemui dapur Jalak Sangu Tumpeng disimpan sebagai pusaka keluarga. Keris dapur ini kadang diberikan orang tua kepada anaknya ketika hendak pergi merantau mencari nafkah (bekerja).

Dapur Keris Jalak merupakan dapur keris yang telah ada sejak jaman kuno. Bagi sebagian penggemar keris, dapur Jalak Sangu Tumpeng dipercaya sebagai pusaka yang mempunyai tuah ke-rejeki-an atau memudahkan mencari nafkah. Bagi sebagian orang hal semacam ini dianggap kepercayaan yang mistik dan sirik. 

Meski dalam kenyataannya, nuansa cultural leluhur (khususnya orang jawa) akan sulit ditinggalkan sampai kapan pun dalam memandang suatu pusaka. Karena itu tuduhan syirik jelas ditolak mentah-mentah, sebab budaya leluhur mengajarkan demikian dan sama sekali tidak memper-tuhan-kan sebilah keris. Meski demikian benturan anatar budaya dan agama masih saja sering terjadi.

Tidak ada salahnya jika kita sedikit memperluas cakrawala pemikiran. Kita mencoba untuk mencari, mempelajari dan memahami segala sesuatu dibalik nilai-nilai budaya, bukan sebaliknya justru meninggalkan dan membuang suatu karya budaya karena takut dituduh syirik atau dianggap kuno ketinggalan jaman.

Minimnya budaya baca-tulis bangsa ini di jaman dahulu menyebabkan banyak pengajaran hidup dilakukan secara lisan (tutur). Dan agar lebih mudah mengingatnya, banyak hal “dicatat” dalam bentuk simbol-simbol dari suatu produk budaya, misalkan dalam bentuk tarian, gambar, ukiran, cerita, upacara-upacara tradisi, dan tak terkecuali keris.

Tidak ada ukuran / standar bagaimana suatu dapur atau pamor keris harus diinterpretasikan maknanya. Makna yang direfleksikan pada sebuah dapur keris akan sangat tergantung pada keleluasaan cakrawala masing-masing individu. Ajaran filsafat jawa yang dibungkus dalam suatu karya seni keris, tentunya mempunyai suatu perlambang tentang ajaran mengenai hidup dan kehidupan. Dalam hal ini budaya jawa membuka lebar-lebar setiap interpretasi, dengan tetap berpijak pula kepada ajaran budi luhur para leluhur.

Penamaan dapur keris tidak lepas dari maksud dan tujuan yang hendak disampaikan dalam dapur keris itu sendiri. Hal ini tidak lepas dari makna setiap ricikan yang ada dalam sebilah keris. 

Mungkin dengan latar belakang demikianlah, seorang empu menciptakan dapur dan memberinya nama. Empu, dalam memberi nama dapur keris tidaklah sembarangan. Sebuah nama dapat merupakan doa, harapan, simbol dari suatu ajaran atau pun pandangan hidup. 

Para empu pinilih tersebut tidak hanya ahli dalam hal teknis olah tempa dan laras(“ilmu”), namun juga memiliki keleluasaan pengetahuan olah batin (“ngelmu”) yang dimanifestasikan dalam karyanya, baik secara estetika teknis fisik maupun aspek spiritual. Sehingga, dalam perkembangannya keris bukan hanya sebagai senjata, namun juga sebagai karya seni tempa logam yang memuat nilai-nilai budaya luhur.

Seseorang yang memberikan keris kepada orang lain atau keturunananya, seolah memberikan pesan dan harapan, agar penerima dapat menjalankan nilai-nilai yang terkandung di dalam dapur keris tersebut. Sedangkan empu keris seolah memberikan dorongan moril dan doa agar siapa pun yang menyimpan hasil karyanya, diberikan petunjuk oleh Tuhan, sesuai dengan nilai-nilai simbolik dalam keris karyanya tersebut.

Nama Jalak Sangu Tumpeng dapat diartikan Burung Jalak Berbekal Tumpeng. Tumpeng adalah nasi (dibentuk seperti gunung) dengan segala lauk pauknya dalam sebuah nampan. Hal tersebut nampaknya aneh dan tak masuk akal. 

Bagaimana burung jalak yang kecil dapat membawa bekal tumpeng yang sedemikian besar dan berat? Supaya tidak kekurangan makan? Padahal burung jalak tidak doyan nasi tumpeng. Jika keliru menafsirkan, bisa jadi Jalak Sangu Tumpeng diartikan sebagai symbol keserakahan dan orang yang memaksakan diri.

Philosofi dalam Burung Jalak dan Nasi Tumpeng

Jalak merupakan species burung yang di jawa terdapat beberapa jenis, anatar lain: Jalak Kebo (hitam), Jalak Pita (putih), dan alak Suren (hitam putih). Dari beberapa jenis ini, yang paling menarik tingkah lakunya adalah jalak suren (Sturnus Contra Jalla). 

Di Jawa, sejak dahulu burung ini dikenal sebagai burung peliharaan yang bisa membantu pemiliknya menjaga rumah. Burung tersebut mempunyai naluri yang peka (waspada) terhadap kedatangan tamu asing baik siang maupun malam. Dia akan berbunyi keras dan serak (bukan berkicau) jika ada orang datang dan belum dikenal seolah mengingatkan (ng-eling-ake) pemilik rumah. 

Selain itu, Jalak merupakan burung yang dalam mencari makan tidak merugikan orang lain. Sampai di sekitar tahun 70-an masih sering kita lihat burung ini di atas punggung kerbau di sawah. Relasi simbiosis mutualisme dengan kerbau. Jalak memperoleh makanan dan kerbau jadi sehat. Di sisi lain, jalak juga dikenal sebagai burung yang setia kepada pasangannya.

Kukilo tumraping tiyang jawi, mujudaken simbul panglipur, saget andayani renaming penggalih, satemah saget ngicalaken raos bebeg, sengkeling penggalih. Condro pasemonanipun: pindho keblaking swiwi kukilo, ingkang tansah ngawe-ngawe ngupoyo bogo, kinaryo anyekapi ing bab kabetahanipun. Dene kukilo ingkang sampun pikanthuk ing bab kabetahanipun, kukilo kolo wau lajeng wangsul dhumateng tuk sumberipun, asalusulipun, inggih puniko wangsul dhateng susuhipun, ambekto kabetahaning gesangipun.

(terjemahan bebas: bagi orang Jawa, burung merupakan symbol pelipur duka, memberikan rasa senang di hati,menghilangkan rasa dongkol kejengkelan di hati. Sedangkan gambaran sosoknya, dimana kepakan sayapnya melambai-lambai merupakan usaha dalam mencari pangan (nafkah), untuk memenuhi kebutuhan. Urung yang telah mendapatkan pangan, kemudian pulang kembali ke sarangnya (rumah dan keluarganya).

Tumpeng merupakan sajian nasi kerucut dengan aneka lauk pauk yang ditempatkan dalam tampah (nampan besar, bulat, dari anyaman bambu). Tumpeng merupakan tradisi sajian yang digunakan dalam upacara, baik yang sifatnya kesedihan maupun gembira.

Tumpeng dalam ritual Jawa jenisnya ada bermacam-macam, antara lain : tumpeng sangga langit, Arga Dumilah, Tumpeng Megono dan Tumpeng Robyong. Tumpeng sarat dengan symbol mengenai ajaran makna hidup. Tumpeng robyong disering dipakai sebagai sarana upacara Slametan (Tasyakuran). 

Tumpeng Robyong merupakan symbol keselamatan, kesuburan dan kesejahteraan. Tumpeng yang menyerupai Gunung menggambarkan kemakmuran sejati. Air yang mengalir dari gunung akan menghidupi tumbuh-tumbuhan. Tumbuhan yang dibentuk ribyong disebut semi atau semen, yang berarti hidup dan tumbuh berkembang. Pada jaman dahulu, tumpeng selalu disajikan dari nasi putih. Nasi putih dan lauk-pauk dalam tumpeng juga mempunyai arti simbolik, yaitu:

Nasi putih: berbentuk gunungan atau kerucut yang melambangkan tangan merapat menyembah kepada Tuhan. Juga, nasi putih melambangkan segala sesuatu yang kita makan, menjadi darah dan daging haruslah dipilih dari sumber yang bersih atau halal. Bentuk gunungan ini juga bisa diartikan sebagai harapan agar kesejahteraan hidup kita pun semakin “naik” dan “tinggi”.

Ayam: ayam jago (jantan) yang dimasak utuh ingkung dengan bumbu kuning/kunir dan diberi areh (kaldu santan yang kental), merupakan symbol menyembah Tuhan dengan khusuk (manekung) dengan hati yang tenang (wening). Ketenangan hati dicapai dengan mengendalikan diri dan sabar (nge”reh” rasa). 

Menyembelih ayam jago juga mempunyai makna menghindari sifat-sifat buruk (yang dilambangkan oleh, red) ayam jago, antara lain: sombong, congkak, kalau berbicara selalu menyela dan merasa tahu/menang/benar sendiri (berkokok), tidak setia dan tidak perhatian kepada anak istri.

Ikan Lele: dahulu lauk ikan yang digunakan adalah ikan lele bukan banding atau gurami atau lainnya. Ikan lele tahan hidup di air yang tidak mengalir dan di dasar sungai. Hal tersebut merupakan symbol ketabahan, keuletan dalam hidup dan sanggup hidup dalam situasi ekonomi yang paling bawah sekalipun.

Ikan Teri / Gereh Pethek: Ikan teri/gereh pethek dapat digoreng dengan tepung atau tanpa tepung. Ikan Teri dan Ikan Pethek hidup di laut dan selalu bergerombol yang menyimbolkan kebersamaan dan kerukunan.

Telur: telur direbus pindang, bukan didadar atau mata sapi, dan disajikan utuh dengan kulitnya, jadi tidak dipotong – sehingga untuk memakannya harus dikupas terlebih dahulu. Hal tersebut melambangkan bahwa semua tindakan kita harus direncanakan (dikupas), dikerjakan sesuai rencana dan dievaluasi hasilnya demi kesempurnaan. 

Piwulang jawa mengajarkan “Tata, Titi, Titis dan Tatas”, yang berarti etos kerja yang baik adalah kerja yang terencana, teliti, tepat perhitungan,dan diselesaikan dengan tuntas. Telur juga melambangkan manusia diciptakan Tuhan dengan derajat (fitrah) yang sama, yang membedakan hanyalah ketakwaan dan tingkah lakunya.

Sayuran dan urab-uraban: Sayuran yang digunakan antara lain kangkung, bayam, kacang panjang, taoge, kluwih dengan bumbu sambal parutan kelapa atau urap. Sayuran-sayuran tersebut juga mengandung symbol-simbol antara lain: kangkung berarti jinangkung yang berarti melindung, tercapai. 

Bayam (bayem) berarti ayem tentrem,taoge/cambah yang berarti tumbuh, kacang panjang berarti pemikiran yang jauh ke depan/innovative, brambang(bawang merah) yang melambangkan mempertimbangkan segala sesuatu dengan matang baik buruknya, cabe merah diujung tumpeng merupakan symbol dilah/api yang meberikan penerangan/tauladan yang bermanfaat bagi orang lain. Kluwih berarti linuwih atau mempunyai kelebihan dibanding lainnya. Bumbu urap berarti urip/hidup atau mampu menghidupi (menafkahi) keluarga.

Pada jaman dahulu, sesepuh yang memimpin doa selamatan biasanya akan menguraikan terlebih dahulu makna yang terkandung dalam sajian tumpeng. Dengan demikian para hadirin yang datang tahu akan makna tumpeng dan memperoleh wedaran yang berupa ajaran hidup serta nasehat. 

Dalam selamatan, nasi tumpeng kemudian dipotong dan diserahkan untuk orang tua atau yang “dituakan” sebagai penghormatan. Setelah itu, nasi tumpeng disantap bersama-sama. Upacara potong tumpeng ini melambangkan rasa syukur kepada Tuhan dan sekaligus ungkapan atau ajaran hidup mengenai kebersamaan dan kerukunan.

Ada sesanti jawi yang tidak asing bagi kita yaitu: mangan ora mangan waton kumpul (makan tidak makan yang penting kumpul). Hal ini tidak berarti meski serba kekuarang yang penting tetap berkumpul dengan sanak saudara. 

Pengertian sesanti tersebut yang seharusnya adalah mengutamakan semangat kebersamaan dalam rumah tangga, perlindungan orang tua terhadap anak-anaknya, dan kecintaan kepada keluarga. Di mana pun orang barada, meski harus merantau, harus lah tetap mengingat kepada keluarganya dan menjaga tali silaturahmi dengan sanak saudaranya.

Ricikan pada Keris Dapur Jalak Sangu Tumpeng

Jalak Sangu Tumpeng adalah keris lurus yang mempunyai makna selalu menempuh “jalan lurus” menuju keutamaan hidup. Jalan lurus yang ditempuh yaitu dengan menjalani perbuatan yang baik (Dadya laku utama), yang antara lain: tidak sombong, dan tidak mencela orang lain serta introspeksi terhadap diri sendiri. 

Apalagi orang yang dianggap cerdik pandai atau berkeuasa, perlu dihindari menjadi Prawata Bramantara yaitu orang yang tutur katanya membuat gusar oang lain atau membuat suasana menjadi semakin keruh. Kata-katanya tidak menentramkan, ibarat gunung yang tampaknya indah namun menghasilkan hawa panas yang berbahaya. Lebih dari itu, “laku utama” juga meliputi tindakan selalu menjaga ketakwaan kepada Tuhandan hubungan kepada keluarga, masyarakat dan lingkungannya (eling lan waspada).

Gandik Polos, merupakan symbol kekuatan, ketabahan hati, ketekunan dan rajin bekerja. Dalam budaya Jawa ada sesanti yang mengatakan : sapa sing temen bakal tinemu, sapa sing tatag lan teteg bakal tutug (siapa yang tekun akan menemukan jalan, siapa yang ulet dan tabah akan tercapai cita-citanya)

Tikel Alis, merupakan symbol baik-buruk dalam diri manusia, yang keduanya harus selalu dikendalikan. Pengendalian dua sifat tersebut akan terpancar pada watak seseorang.

Sogokan rangkap (dua) dan Ada-ada, merupakan symbol dorongan/motivasi untuk selalu mempunyai ide/gagasan/inovasi kreatif untuk maju. Motivasi yang murni harus mulai dari niat lahir dan batin.

Tingil merupakan symbol bekal pengetahuan dan ketrampilan yang pinunjul. Dalam berkarya tentunya seseorang harus berbekal pengetahuan dan ketrampilan yang memadai.

Sraweyan merupakan symbol keluwesan. Dalam lehidupan hendaknya menjaga keselarasan terhadap sesame, masyarakat dan lingkungan, dan dapat beradaptasi dengan kebiasaan setempat dan menghargai pendapat serta sikap orang lain.

Pijetan/blumbangan, merupakan symbol keikhlasan hati dan kesabaran. Hidup dan bekerja harus dilandasi dengan hati yang senang, mencintai akan pekerjaannya dan ikhtiar serta tawakal. Tidak ada yang disebut takdir sebelum diawali dengan ikhtiar.

Jalak Sangu Tumpeng Merupakan Ajaran Hidup Dalam Mencari Nafkah

Dapur Jalak Sangu Tumpeng secara keseluruhan sebagaimana ditunjukan dalam simbolisasi Jalak, Tumpeng, bentuk keris lurus dan ricikan bilah merupakan ajaran hidup dalam mencari nafkah. Jalak merupakan symbol atau gambaran seseorang yang berkewajiban mencari nafkah – dan tentunya untuk keperluan tersebut dia perlu mempersiapkan diri baik mental maupun spiritual. 

Sesorang dalam mencari nafkah dan menjalani hidup diharapkan lebih mengutamakan perbuatan yang baik (dadya laku utama) selalu menjaga ketakwaan kepada Tuhan dan hubungan dengan keluarga, masyarakat serta lingungannya (eling lan waspada). 

Dalam mencari nafkah hendaknya berlaku jujur dan tidak merugikan orang lain, Mencari nafkah memang tidak mudah, namun jika diberi kemudahan hendaknya selalu juga waspada. Sebab uang sebanyak apapun jika tidak halal sumbernya jangan diambil. Lebih baik uang sedikit namun halal dan sah. Sebagaimana diajarkan dalam tembang dandanggula serat sana sunu (Yasadipura II):

“..yang suksma, angupaya sandang pangan teka gampil, yen gampang den waspada. Sangkaning arta yen tanprayogi, haywa arsa sanajan akathah, yen during sah hywa pinet, sathitik yen panuju, den pakolih amburu kasil, liring pakolih ingkang, sah tentrem ing kukum….”

Hal-hal yang tersirat dalam dapur Jalak Sangu Tumpeng merupakan pandangan dan pegangan hidup untuk mencapai sukses dalam bekerja dan berusaha. Sehingga, nilai-nilai yang terkandung dalam dapur ini, menjadikannya sebagai symbol pusaka dalam mencari nafkah. Sesorang yang menyimpan keris dapur ini, seolah menyimpan nilai-nilai ajaran yang dapat digunakan sebagai pandangan hidup.

Makna keris dengan dapur sempaner 

Dapur Sempaner (Sempanan Bener) merupakan nama salah satu dapur keris lurus yang sering kita jumpai mulai dari tangguh sepuh seperti Pajajaran, Majapahit, sampai tangguh Nom-noman. Sempaner berasal dari kata Sempana / Sumpena Bener yang secara harafiah berarti Mimpi yang benar. Ricikan dapur ini : Kembang kacang, tikel alis, Ri Pandan – ada pula yang menyebutkan mempunyai greneng, jalen, lambe gajah. Sempana bener dalam arti lebih dalam merupakan suatu pesan, angan-angan, harapan, cita-cita, keinginan apabila dilandasi suatu pemahaman yang benar menjadi suatu kenyataan. Pemahaman yang benar itulah yang akan mewujudkan suatu tercapainya harapan atau cita-cita. 

Dalam hal ini, suatu pesan bahwa manusia dalam menggapai suatu keinginan hendaknya diselaraskan dengan kemampuan atau potensi yang dimiliki, sebagaimana dalam ujar-ujar jawa disebutkan “Bisa rumangsa – aja rumangsa bisa”.

Macam-macam MimpiMimpi atau sumpena merupakan suatu penggembaraan bawah sadar manusia selama tidur ke tempat antah berantah atau berinteraksi dengan lingkungan, baik yang sudah dikenal maupun belum. Mimpi tertentu dipercaya sebagai perlambang akan terjadinya “sesuatu” dimasa yang akan datang atau sering disebut “sasmita”. Namun tidak semua mimpi merupakan perlambang. Dalam budaya jawa, orang bermimpi dibedakan dalam tiga macam :

- Titiyoni
- Gondoyoni
- Puspa Tajem
Tiyoni, merupakan mimpi yang biasanya terjadi antara jam 19.00-22.00. Mimpi pada saat ini biasanya merupakan gambaran dari pikiran yang tidak mampu ditinggalkan oleh seseorang pada saat menjelang tidur, seperti rasa gelisah, stress, kalut, cemas, dan lelah akibat aktivitas seharian. 

Mimpi ini penggambaran kejadiannya berubah-ubah, kadang terjadi secara tiba-tiba dan tidak runtut. Pada saat terbangun, biasanya kita lupa mengenai hal-hal yang terjadi dalam mimpi tersebut. Mimpi pada saat tiyoni tidak mempunyai makna.

Gondoyoni, merupakan mimpi yang biasanya terjadi antara jam 22.00-01.00 pagi. Mimpi pada saat Gondoyoni juga tidak mempunyai makna. Biasanya muncul dari bayangan, pemikiran atau angan-anagan saat terjaga atau sebelum tidur. Mimpi demikian disebut juga “impen-impenen” atau “kembange wong turu” atau “bunga tidur”.Biasanya mimpi pada saat itu tidak runtut berurutan dan mudah terlupakan saat bangun.

Puspa Tajem merupakan mimpi yang biasanya terjadi antara jam 01-04.00 pagi atau menjelang subuh. Waktu tersebut memasuki dua per tiga malam merupakan waktu yang utama. Mimpi pada saat ini umumnya mempunyai makna atau kemungkinan merupakan perlambang/firasat mengenai suatu kejadian (sasmita) yang akan menjadi kenyataan. 

Apabila perlambang dalam mimpi ini kemudian benar-benar terjadi dimasa yang akan datang, maka disebut mimpi yang Daradasih. Kejadian dalam mimpi tersebut seolah-olah terjadi sungguhan dan kejadiannya runtut berurutan. Bahkan, kadang membuat kita terbangun jika terkejut. Kejadian dalam mimpi ini masih melekat dalam ingatan pada saat terbangun dan selalu diingat dalam waktu yang lama.

Bagaimana mimpi yang mempunyai makna ini akan terwujud, kapan dan bagaimana, tentunya masih menjadi misteri. Kadang kita baru menyadari arti mimpi tersebut setelah terjadi suatu peristiwa di kemudian hari. Bagi orang yang mampu mengartikan mimpi tersebut dan benar-benar terjadi di waktu yang akan datang maka disebut “orang yang waskita”.

Simbolisasi Ricikan Dapur Sempaner : Sekar Kacang, Tikel Alis, Jalen, Lambe Gajah dan Greneng

Kembang Kacang, jaman dahulu kembang kacang sebagai ricikan keris disebut juga tlale (belalai) Gajah. Hal tersebut teringat dengan mitologi Ganesha, sebagai dewa lambang ilmu pengetahuan yang digambarkan selalu menghirup ilmu pengetahuan yang tiada habisnya dengan belalainya. Sekar kacang juga menyimbolkan adanya aktifitas tumbuh dan berkembang dan berbuah.

Jalen merupakan simbol jalannya nafas yang terus menerus dan lambe gajah merupakan simbol masuknya energi. Motivasi dan niat.

Tikel Alis, mempunyai arti ua alis (bulu mata) menunjukkan kedua mata. Tikel alis merupakan simbol sifat manusia ada sisi baik dan buruk, keduanya harus dapat dikendalikan. Dalam menggapai harapan hendaknya dipertimbangkan pada sisi baik buruknya.

Greneng berbentuk Ron Dha (Huruf jawa : Dha) atau kadang hanya berbentuk sederhana yang disebut Ri Pandan menyimbolkan suasana hati atau perasaan. Dari semua organ tubuh manusia yang menentukan tingkat derajat manusia yaitu dada (dha-dha). 

Dalam rongga dada itulah terletak hati, bathin, atau “perasaan” atau disebut “rasa”. Kalau “rasa” seseorang baik maka baiklah semua anggota tubuhnya, sebaliknya kalau “rasa” menjadi sakit maka “sakit”lah semua anggota tubuhnya. Rasa berarti merasakan sesuatu itu dalam segala dimensi. 

Rasa merupakan suatu keadaan yang hendak dicapai dalam diri seseorang terhadap sesuatu. Setiap orang memiliki rasa rasa dengan eksistensi yang berbeda-beda, tergantung pada wawasan, pengetahuan, moral dan sebagainya. Siapa yang mencapai rasa yang lebih mendalam dengan sendirinya hidupnya akan berubah (sikap pola pikir, perilaku). Ia akan memiliki sikap-sikap lain, yang lebih benar, serta yang lebih cocok dengan realitas sebenarnya.

Secara umum semuanya itu adalah melambangkan suatu pencarian dan mengembangkan pengetahuan, wawasan dan ketrampilan secara terus-menerus sampai tingkat tertentu. Hal tersebut merupakan syarat tercapainya cita-cita dan harapan. Mencari pengetahuan harus dilandasi dengan niat, motivasi yang kuat dan keberanian. 

Harapan dan cita-cita harus dipertimbangan dari sisi baik dan buruknya. Namun demikian orang harus menerima segala keterbatasannya. Orang perlu bersikap rela menerima keadaan apa adanya (Nrimo ing pandum). Nrima juga berarti iklas, menerima segala konsekuensi dan persoalan apa yang mendatangi kita tanpa keluh kesah. 

Hal ini bukan berarti apatis, nrima dalam arti seseorangwalaupun dalam keadaan kecewa, kesulitan dan kegagalan, tetap harus beraksi secara rasional, tidak ambruk dan tidak menentang secara percuma. Nrima menuntut untuk menerima apa adanya, tapi tidak hancur karenanya. Sikap nrima memberikan daya tahan untuk menanggung keadaan nasib” yang buruk. Bagi orang yang memiliki sikap itu maka “malapetaka akan kehilangan sengsaranya”.

Dapur Lurus : Bener-Lurus

Dalam berdoa kita selalu memohon untuk diberikan “Jalan yang Lurus” (sirotol mustaqin) kepada Tuhan. Lurus berarti tidak menyimpang dari jalur yang ditetapkan. Lurus juga berarti tidak berlebihan juga tidak kekurangan, berada di tengah-tengah. Seseorang yang jika di dalam hidupnya mengusahakan selalu berada di jalur lurus berarti akan bertindak jujur dan luhur budinya.

Berlaku jujur, bener lan pener akan menuju batin manusia yang selaras dengan realitas yang sebenarnya, dan oleh karena itu dengan sendirinya (Otomatis-konsekuen) memenuhi kewajiban, tugas dan peranan dan jabatan yang dituntut dari padanya. Mengembangkan diri pribadi, pengetahuan sesuai dengan bakat dan kemampuan (empan papan) dan tidak memaksakan kehendak / mengendalikan hawa nafsu. 

Selain itu, pengembangan pribadi dengan pengekangan hawa nafsu adalah salah satu cara. Karena nafsu akan memperlemah manusia. Mengendalikan hawa nafsu berarti mengembangkan budi pekerti. Untuk pencapaian budi pekerti (etika) yang baik umumnya dihalangi dua hal yaitu hawa nafsu dan pamrih.

Nafsu yang terkait dengan pamrih (egoisme) antara lain :
- Nafsu selalu ingin menonjol (nepsu menange dhewe)- Menganggap diri selalu betul (nepsu benere dhewe)- Memperhatikan diri sendiri (nepsu butuhe dhewe)

Sikap dasar yang luhur adalah kebebasan tanpa pamrih. Ujar-ujar jawa mengajarkan “sepi ing pamrih, rame ing gawe”. Sepi ing pamrih berarti melepaskan diri diri dari kepentingan pribadi dan mengutamakan kepentingan masyarakat demi keselarasan kehidupan. Manusia mencapai “sepi ing pamrih” apabila ia semakin tidak lagi perlu gelisah dan prihatin terhadap diri sendiri, semakin bebas dari nafsu ingin memiliki serta mempunyai hati yang tenang.

Rame ing gawe berarti melakukan apa yang dituntut oleh jabatandan kedudukan kita dalam masyarakat atau pun pekerjaan. Masing-masing menjalankan sesuai dengan tugas dan kewajiban yang diemban. Setiap orang harus menyadari keterbatasannya, sehingga tumbuh kerelaan untuk membatasi diri pada peran yang telah ditentukan di dunia.

Dalam hidup ini hendaknya dipahami benar ajaran Catur Merti – bersatunya pikiran, perasaan, perkataan dan perbuatan :

- Pikiran yang benar
- Perasaan yang benar
- Perkataan yang benar
- Perbuatan yang benar

Harapan yang Menjadi Kenyataan – Sumpena yang Daradasih – Sumpena Bener – Sempaner

Mimpi yang benar adalah hanya mimpi yang menjadi kenyataan (puspatajem daradasih). Harapan dan cita-cita yang baik yaitu harapan yang dapat diwujudkan sebagai kenyataan. Hal tersebut tentunya suatu harapan yang luhur (bener). 

Sempana Bener (sempaner) memaparkan ajaran bagaimana seseorang dapat menggapai harapannya secara benar. Dalam menggapai harapan hendaknya dilandasi dengan laku yang lurus dan benar, khususnya dalam hal etika sehingga akan tumbuh budi luhurnya. 

Budi luhur dicapai dengan sikap sederhana (prasaja), bersedia untuk menganggap dirinya lebih rendah dibanding orang lain (andhap asor), selalu sadar akan batas-batas dalam situasi dan lingkungan (tepa selira). Sebaliknya menghindarkan diri dari sikap yang jauh dari sifat budi luhur, yaitu : mencampuri urusan orang lain (dahwen/open), iri-dengki (srei), suka main intrik (jail), dan bersikap kasar (methakil).

Dari kedalaman rasa, pengetahuan, kemampuan seperti diuraikan di atas semua tercakup, maka tergantung apakah manusia sanggup untuk menempatkan diri dalam kosmosnya, serta dapat menemukan tempatnya yang cocok dan selaras. 

Menurut Aristoteles, manusia hanya dapat menemukan kebahagiaan apabila ia dapat mengaktualkan bakat-bakatnya. Untuk mewujudkan suatu harapan harus disertai dengan usaha dan kemampuan yang sesuai. Harapan tidak akan menjadi kenyataan jika tanpa disertai dengan usaha dan memampuan yang menyertainya. Keinginan harus disesuaikan dengan kapasitas pribadi, bakat, pengetahuan, menepati janji, jujur dan melakukan sesuai kewajiban. Sepi ing pamrih rame ing gawe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar