Translate

Rabu, 22 Juni 2016

Bersentuhan Dengan Lawan Jenis Bisa Batalkan Wudhu

Salah satu yang dituntut bagi seorang muslim sebelum melaksanakan shalat adalah berwudhu’. Yang tanpa dilaksanakan yang satu ini shalat seseorang tiada artinya. Seorang muslim wajib mengetahui ilmu tentang bagaimana berwudhu’ yang benar dan apa saja yang berkaitan dengan hal itu. Sehingga amalan shalat yang dilakukan setelahnya tidak sia-sia, dalam arti kata; amal yang dilakukan seseorang sesuai tuntutan syariat.

Adapun hal yang harus diketahui oleh seorang muslim dalam berwudhu’ ini diantaranya tentang rukunya, sunnahnya, serta apa saja yang mebatalkan wudhu’ itu sendiri. Salah satu yang termasuk membatalkan wudhu’ itu sendiri diantaranya adalah menyentuh laki-laki akan seorang perempuan.

Secara umum, para ulama sepakat bahwa menyentuh laki-laki akan seorang perempuan yang bukan mahram dapat membatalkan wudhu’. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang hukum seorang suami yang menyentuh istrinya tanpa ada pembatas antara keduanya. Jika dilihat dari perbedaan pandangan ini terjadi akibat perbedaan dalam pentafsiran ayat al-Quran sebagai rujukan awal dalam penetapan hukum serta pandangan kedudukan hadits yang digunakan sebagai dalil hukumnya.

Batal wudhunya karena istri bukan muhrim, meskipun antara mereka berdua melakukan sentuhan dengan tanpa syahwat. Dalilnya adalah firman Allah berikut:

وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih) (QS. Al-Maidah: 6)

Menurut imam syafii, kata لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ adalah bersentuhan antara kulit laki-laki dan perempuan bukan muhrim meski tanpa jimak.
Istidlalnya sebagai berikut:

Pada permulaan ayat, Allah swt menyebutkan mengenai mandi jinabah. Kemudian bersentuhan dengan perempuan diathafkan ke al-ghaith (berak) dengan huruf athaf أَوْ. Dari sini bisa dipahami bahwa menyentuh perempuan termasuk hadas kecil seperti orang melakukan berak. Ini berbeda dengan jinabah yang diharuskan mandi besar. Jadi yang dimaksudkan لَامَسْتُمُ  di sini adalah menyentuh dengan tangan dan bukan bermakna jimak.
1. Madzhab Hanafi‎

Al Kamal Ibnu Al Humam (w 681 H) dari madzhab hanafi di dalam kitab  Fathul Qadir berpendapat bahwa menyentuh wanita tidak membatalakan wudhu secara muthlaq, baik dengan syahwat ataupun tidak, dan yang membatalkan wudhu adalah berhubungan suami istri, karena kata لامستم yang terdapat dalam ayat diatas menurut beliau adalah adalah jima’.

ولا يجب من مجرد مسها ولو بشهوة ولو فرجها، خلافا للشافعي مطلقا، ولمالك إذا مس بشهوة. لنا في الأولى عدم دليل النقض بشهوة وبغير شهوة فيبقى الانتقاض على العدم، وقوله تعالى {أو لامستم النساء} مراد به الجماع وهو مذهب جماعة من الصحابة.

“Dan tidak wajib berwudhu dari menyentuh wanita sekalipun dengan adanya syahwat, sekalipun pada kemaluannya, berbeda dengan imam syafii yang mengatakn bahwa menyentuh wanita mewajibkan wudhu secara mutlaq, dan imam malik yang berpendapat bahwa menyentuh wanita mewajibkan wudhu jika disertai syahwat. Bagi kami tidak ada dalil yang menegaskan bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu, baik dengan syahwat ataupun tidak, adapun firman allah: {أو لامستم النساء} yang dimaksud adalah Jima’, dan ini adlah pendapat sebagian sahabat”. ‎

Untuk memperkuat pendapatnya beliau berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ummul Mu’minin Aisyah radiallahu ‘anha:

أن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان يقبل بعض نسائه و لا يتوضأ

“Bahwasanya rasululah shallallahu alaihi wasallam mencium sebagian istrinya dan beliau tidak berwudhu setelah itu”. HR Bazzar

2. Madzhab Maliki
Imam Ibnu Abdi Al Barr (w 463 H) dari madzhab maliki dalam kitab Al Kafi Fi Fiqhi Ahli Al Madinah mengatakan bahwa mulamasah dalam ayat itu bukan jima’ akan tetapi muqaddimah jima’ seperti mencium atau meraba dengan syahwat, maka menurut beliau hal-hal itu membatalkan wudhu baik perbuatan itu disertai taladzdzudz(menikmati) atau tidak, baik wanita ajnabiyah (asing) ataupun mahramnya.

الملامسة، وهي ما دون الجماع من دواعي الجماع فمن قبل امرأة لشهوة كانت من ذوات محارمه أو غيرهن وجب عليه الوضوء التذ أم لم يلتذ.

“Mulamasah adalah hal yang dilakukan suami isteri tetapi tidak sampai kepada Jima’ seperti foreplay, orang yang mencium perempuan disertai syahwat baik itu mahramnya ataupun bukan maka ia wajib berwudhu, baik dengan taladzdzudz atau tidak” .‎

Adapun hanya sekedar menyentuh perempuan baik secara langsung atau dengan adanya penghalang seperti baju atau sejenisnya maka hal itu tidak membatalkan wudhu, kecuali jika sentuhan itu disertai taladzdzudz, kemudian beliau menyebutkan riwayat dari Imam Malik bahwa beliau tidak membedakan anggota tubuh mana yang membatalkan jika disentuh, baik itu rambutnya, giginya atau apapun dari tubuh wanita.

ومن قصد إلى لمس امرأة فلمسها بيده انتقض وضوؤه إذا التذ بلمسها من فوق الثوب الرقيق الخفيف أو من تحته وسواء مس منها عند مالك شعرها أو سائر جسدها إذا التذ بلمس ذلك منها.

“Seorang bermaksud menyentuh perempuan, kemudian ia menyentuhnya dengan tangannya maka wudhunya batal jika sentuhan itu disertai taladzdzudz, baik dari atas pakaian yang tipis (adanya penghalang) atau dari bawahnya (secara langsung), baik yang ia sentuh itu -menurut imam malik- rambutnya atau apapun dari anggota tubuh wanita tersebut jika disertai taladzdzudz”.‎

Imam Al Qarafi Al Maliki (w 684 H) juga menyebutkan hal serupa yang disebutkan Imam Ibnu Abd Al Barr diatas Di dalam kitab Adz-Dzakhirah beliau menuliskan sebagai berikut:

الملامسة مس أحد الزوجين صاحبه للذة من فوق ثوب أو من تحته أو قبلة في غير الفم يوجب الوضوء خلافا (ح) في اشتراطه التجرد والتعانق والتقاء الفرجين مع الانتشار وخلافا (ش) في عدم اشتراط اللذة مع نقضه.

“Mulamasah adalah saling sentuhnya dua orang suami isteri yang disertai ladzdzah, baik dari atas pakaian (ada penghalang) atau dari bawahnya (secara langsung) atau ciuman pada selain mulut, maka hal tersebut mewajibkan wudhu, berbeda dengan Abu Hanifah yang mensyaratkan jima’ dan Imam Syafii yang tidak mensyaratkan ladzdzah dalam membatalkan wudhu”.

Pendapat ini adalah hasil dari kompromi atas dua dalil yang saling kontradiksi yaitu ayat diatas tadi dengan hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya:

عن عائشة، قالت: كنت أنام بين يدي رسول الله صلى الله عليه وسلم ورجلاي في قبلته فإذا سجد غمزني فقبضت رجلي، وإذا قام بسطتهما قالت: والبيوت يومئذ ليس فيها مصابيح

Dari aisyah radiallahu anha beliau berkata: aku tidur didepan rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kedua kakiku berada tepat diarah kiblatnya, jika beliau ingin sujud beliau menyentuhku lalu aku menarik kakiku dan jika beliau bangun dari sujudnya aku mengluruskan kembali kakiku” dan Aisyah melanjutkan: “saat itu tidak ada lampu didalam rumah” HR: Muslim

Dari hadits ini Imam Al Qarafi beserta ulama malikiyah yang lain berkesimpulan bahwa menyentuh wanita tanpa ladzdzah tidak membatalkan wudhu. ‎
3. Madzhab Syafi’i
‎Imam Asy-Syafi’i berkata; “Telah sampai kepada kami dari Ibnu Mas’ud yang mendekati makna ucapan Ibnu Umar: Apabila seorang laki-laki menyentuhkan tangannya kepada istrinya, atau bersentuhan sebahagian tubuhnya pada sebahagian tubuh istrinya, dimana tidak ada pembatas antara dia dan istrinya, baik dengan nafsu birahi atau tidak, maka wajib atas keduanya berwudhu.‎ Disebutkan dalam kitab al-Umm:

قال الشافعي: وَبَلَغَنَا عن بن مَسْعُودٍ قَرِيبٌ من مَعْنَى قَوْلِ بن عُمَرَ، وإذا أَفْضَى الرَّجُلُ بيده إلَى امْرَأَتِهِ أو بِبَعْضِ جَسَدِهِ إلَى بَعْضِ جَسَدِهَا لَا حَائِلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا بِشَهْوَةٍ أو بِغَيْرِ شَهْوَةٍ وَجَبَ عليه الْوُضُوءَ 
Hal ini sesuai dalam hadits sebagai berikut: ‎
عن سالم بن عبد الله عن أبيه عبد الله بن عمر، أنه كان يقول قبلة الرجل امرأته وجسها بيده من الملامسة فمن قبل امرأته أو جسها بيده فعليه الوضوء. ‎

“Dari Salim bin Abdullah, dari bapaknya, Abdullah bin Umar, beliau berkata, Ciuman laki-laki atas isterinya dan memenyentuh dengan tangannya adalah termasuk “mulamasah”. Maka barangsiapa mencium isterinya atau menyentuh dengan tangannya, maka wajib ia berwudhu.” (HR. Imam Malik)

Terhadap hadist di atas, Imam An-Nawawi menyatakan bahwa hadits di atas dengan sanad yang shahih.

Demikian halnya apabila sentuhan itu dari pihak istri, maka keduanya pun wajib berwudhu. Jadi, mana saja dari badan keduanya yang tersentuh pada yang lain, baik dari pihak laki-laki yang menyentuh kulit wanita atau wanita yang menyentuh kulit laki-laki, keduanya wajib berwudhu.

Imam Syafi’i Rh menyampaikan; Apabila laki-laki menyentuhkan tangannya pada rambut wanita, namun tidak sampai menyentuh kulitnya, maka tidak wajib atas orang itu berwudhu, baik terdorong oleh nafsu birahi atau tidak. Demikian juga halnya bila ia bernafsu kepada istrinya, namun ia tidak menyentuhnya, maka tidak wajib baginya berwudhuk kembali. Nafsu tidak dapat dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum, sebab ia hanya ada dalam hati. Bahkan yang mesti dijadikan pegangan adalah perbuatan, sementara rambut berbeda dengan kulit. Namun, Apabila seorang laki-laki memegang isterinya atau bersentuhan sebagian tubuhnya dengan sebagian tubuh isterinya, tanpa dinding kain, dengan syahwat atau tidak dengan syahwat, maka wajib atasnya dan isterinya berwudhu.‎

Imam Syafi’I melanjutkan; Seandainya seseorang lebih berjaga-jaga dan berhati-hati, misalnya ketika ia menyentuh rambut wanita kemudian ia berwudhu, niscaya hal itu lebih saya sukai. Jika seseorang menyentuh dengan tangannya apa yang dikehendaki dari badan wanita, baik dilapisi kain tipis maupun yang tebal atau selainnya, disertai rasa nikmat ataupun tidak, dan hal itu diperbuat juga oleh wanita, maka tidak wajib bagi mereka untuk berwudhu, karena masing-masing dari keduanya tidak saling bersentuhan. Hanya saja, setiap salah seorang dari keduanya menyentuh lawan jenisnya.‎

Imam An Nawawi (w 676 H) dari madzhab syafii di dalam kitabnya, Raudatu At Thalibin Wa Umdatu Al Muftin, berpendapat bahwa menyentuh kulit wanita dewasa selain mahramnya dan anak kecil membatalkan wudhu secara muthlaq, baik dengan syahwat atau tidak, baik sengaja atau lupa, karena menurut beliau kata mulamasahdalam ayat tersebut bermakna Al Lams yang berarti menyentuh.

adapun menyentuh rambut, gigi dan kuku wanita maka tidak membatalkan wudhu. Iamam An Nawawi juga menyebutkan bahwa dalam madzhab syafii ada perbedaan pendapat mengenai wudhu orang yang disentuh apakah wudhunya batal atau tidak, dan yang beliau pilih adalah pendapat yang mengatakan bahwa wudhunya juga batal.

الناقض الثالث: لمس بشرة امرأة مشتهاة، فإن لمس شعرا، أو سنا، أو ظفرا، أو بشرة صغيرة لم تبلغ حد الشهوة، لم ينتقض وضوءه، على الأصح. وإن لمس محرما بنسب، أو رضاع، أو مصاهرة، لم ينتقض على الأظهر.وإن لمس ميتة، أو عجوزا لا تشتهى، أو عضوا أشل، أو زائدا، أو لمس بغير شهوة، أو عن غير قصد، انتقض على الصحيح في جميع ذلك، وينتقض وضوء الملموس على الأظهر.

“Pembatal yang ketiga adalah menyentuh wanita yang mengundang syahwat, jika ia menyentuh rambut, gigi, atau kuku wanita, atau menyentuh anak kecil yang tidak mengundang syahwat maka wudhunya tidak batal menurut pendapat yang shahih dalam madzhab.

Begitu juga menyentuh mahram baik mahram senasab, sesusu atau sebab hubungan pernikahan. Jika ia menyentuh wanita yang sudah wafat atau wanita tua yang sudah tidak mengundang syahwat, atau anggota tubuh wanita yang cacat atau yang berlebih, atau ia menyentuhnya tanpa syahwat dan tidak disengaja maka wudhunya batal menurut pendapat yang shahih dalam madzhab, begitu juga wudhu orang yang disentuh”. ‎

Syaikh Al Islam Zakariya Al Anshari (w 926 H), dari madzhab yang sama memaparkan hal serupa. Di dalam kitab Asna Al Matalib beliau menuliskan bahwa bersentuhannya kulit laki-laki dan wanita yang bukan mahram membatalkan wudhu secara muthlaq. Begitu juga menyentuh mayit dan menyentuh anggota tubuh yang lumpuh, atau anggota tubuh yang berlebih.

الثالث التقاء بشرته أي الذكر وبشرتها أي الأنثى ولو كان الذكر ممسوحا لقوله تعالى {أو لامستم النساء} أي لمستم كما قرئ به لا جامعتم لأنه خلاف الظاهر واللمس الجس باليد وبغيرها أو باليد فقط كما فسره به ابن عمر وغيره. لا إن كان محرما لها بنسب أو رضاع أو مصاهرة فلا ينقض الالتقاء ولا بشهوة لانتفاء مظنتها كانت الأنثى (صغيرة لا تشتهى) عرفا فلا تنقض. وتنقض أنثى ميتة وذكر ميت وعجوز وهرم وعضو أشل أو زائد لعموم الآية.

“Pembatal yang ketiga adalah bertemunya kulit laki-laki dan wanita, sekalipun laki-laki tersebut hanya disentuh, sesuai firman allah: {أو لامستم النساء}maknanya adalah menyentuh, sebagaimana dalam sebagian qiraat, dan bukan jima’ karena bertentangan dengan dzahir ayat, dan Al Lams adalah menyentuh dengan tangan atau yang lainnya, atau hanya dengan tangan seperti yang ditafsirkan Ibnu Umar dan yang lain. Dan tidak membatalkan jika laki-laki itu mahram siwanita, baik mahram senasab, sesusu atau mahram dari hubungan pernikahan, sekalipun disertai syahwat karena tidak adanya praduga demikian, begitu juga jika wanita yang disentuh masih kecil dan tidak mengundang syahwat menurut ‘Uruf maka tidak membatalkan wudhu. Dan menyentuh wanita yang sudah mati begitu juga sebaliknya, dan wanita lanjut usia begitu juga sebaliknya, dan menyentuh anggota tubuh yang cacat atau anggota yang berlebih maka membatalkan wudhu sesuai keumuman ayat”. ‎

Adapun jawaban dua ulama ini dan ulama syafiyah yang lain terhadap hadits yang mengatakan Rasulullah shallalahu alaihi wasallam mencium istrinya dan tidak berwudhu adalah hadits dhaif.

4. Madzhab Hanbali
Al Muwaffaq Ibnu Qudamah (w 620 H) dari madzhab hanbali di dalam kitabnya, yaitu Al-Mughni menyebutkan tiga riwayat pendapat dari Imam Ahmad bin Hanbal: 

pendapat pertama adalah, menyentuh perempuan jika disertai syahwat maka membatalkan wudhu dan jika tidak disertai syahwat maka tidak membatalkan.
pendapat kedua dari Imam Ahmad adalah menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara muthlaq seperti madzhab Imam Abu Hanifah.
pendapat ketiga adalah menyentuh wanita membatalkan wudhu secara muthlaq seperti madzhab Imam Syafi’i.
Tapi pendapat yang masyhur dalam madzhab hanbali menurut Ibnu Qudamah adalah pendapat pertama, yaitu menyentuh yang disertai syahwat membatlkan wudhu adapun yang tidak disertai syahwat maka tidak, baik wanita yang disentuh mahram atau bukan, anak kecil atau wanita dewasa, tetapi beliau membedakan antara sentuhan secara langsung dengan sentuhan yang tidak langsung dengan adanya penghalang, yang pertama membatalkan dan yang kedua tidak membatalkan, begitu juga-tidak membatalkan wudhu- menyentuh rambut, gigi dan kuku wanita.

المشهور من مذهب أحمد - رحمه الله -، أن لمس النساء لشهوة ينقض الوضوء، ولا ينقضه لغير شهوة. وعن أحمد رواية ثانية، لا ينقض اللمس بحال. وعن أحمد، رواية ثالثة أن اللمس ينقض بكل حال.

“Pendapat yang masyhur dalam madzhab Ahmad rahimahullah bahwa menyentuh wanita disertai syahwat membatalkan wudhu, dan tidak membatalkan wudhu jika tidak disertai syahwat. Dan riwayat kedua dari Imam Ahmad bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara muthlaq. Dan riwayat ketiga bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu secara muthlaq”.

Kemudian Al Muwaffaq melanjutkan:

ولنا، عموم النص، واللمس الناقض تعتبر فيه الشهوة، ومتى وجدت الشهوة فلا فرق بين الجميع. ولا ينقض مس شعر المرأة، ولا ظفرها، ولا سنها، وهذا ظاهر مذهب الشافعي.

“Bagi kami keumuman Nash, dan sentuhan yang membatalkan adalah sentuhan yang disertai syahwat, jika sentuhan terhadap wanita itu disertai syahwat maka tidak ada perbedaan antara mahram dan wanita ajnabiyah (asing), wanita dewasa ataupun anak kecil. Dan menyentuh rambut wanita, kukunya atau giginya tidak membatalkan wudhu, dan ini adalah dzahir madzhab Syafi’i”

Kemudian beliau memaparkan bahwa sentuhan yang tidak langsung atau dengan adanya penghalang antara kulit laki-laki dan wanita tidak membatalkan wudhu:

لنا، أنه لم يلمس جسم المرأة؛ فأشبه ما لو لمس ثيابها، والشهوة بمجردها لا تكفي، كما لو مس رجلا بشهوة، أو وجدت الشهوة من غير لمس.

“Bagi kami ia tidak menyentuh tubuh wanita, maka sama seperti menyentuh pakaiannya, dan munculnya syahwat saja tidak cukup, sama seperti ia menyentuh laki-laki disertai syahwat atau munculnya syahwat ketika melihat wanita tanpa adanya sentuhan”.

Syaik Al Islam Ibnu Taymiyyah (w 728 H) juga menyebutkan pendapat seperti ini dan mengatakan bahwa madzhab hanbali adalah seperti yang disebutkan Ibnu Qudamah diatas.

وأما لمس النساء ففيه ثلاثة أقوال مشهورة: قول أبي حنيفة: لا وضوء منه بحال وقول مالك وأهل المدينة - وهو المشهور عن أحمد -: أنه إن كان بشهوة نقض الوضوء وإلا فلا وقول الشافعي يتوضأ منه بكل حال.

“Adapun menyentuh wanita maka dalam masalah ini ada tiga pendapat yang masyhur: pendapat Abu Hanifah bahwa tidak mewajibkan wudhu secara muthlaq, dan pendapat Malik dan penduduk madinah dan ini yang masyhur dari imam ahmad bahwa menyentuh wanita jika disertai syahwat maka membatalkan wudhu dan jika tidak disertai syahwat maka tidak, dan pendapat Syafii yang mewajibkan wudhu dari menyentuh wanita secara muthlaq”. ‎
Pendapat yang disebutkan kedua ulama ini dikuatkan lagi oleh Imam Al Mardawi (w 885 H) dalam kitabnya Al Inshaf Fi Ma’rifat Ar Rajih min Al Khilaf jilid 1 hal. 213.

Adapun yang membedakan pendapat ini (Hanabilah) dengan pendapat Malikiyah adalah bahwa mereka ulama Hanabilah membedakan antara menyentuh secara langsung dengan menyentuh tidak langsung dengan adanya penghalang, menyentuh secara langsung menurut mereka membatalkan wudhu dan yang tidak secara langsung (adanya penghalang) tidak membatalkan seperti yang dipaparkan Ibnu Qudamah, adapun ulama Malikiyah mereka tidak membedakan.
5. Madzhab Dzahiri
Ibnu Hazm (w 456 H) dari madzhab dzahiri di dalam kitabnya Al-Muhalla berpendapat bahwa menyentuh lawan jenis dengan sengaja dan tanpa ada penghalang dengan anggota tubuh yang manapun membatalkan wudhu, baik yang disentuh mahram atau bukan, anak kecil ataupun dewasa. Adapun menyentuh yang tidak disengaja dan dengan adanya penghalang maka tidak membatalkan wudhu.

ومس الرجل المرأة والمرأة الرجل بأي عضو مس أحدهما الآخر، إذا كان عمدا، دون أن يحول بينهما ثوب أو غيره، سواء أمه كانت أو ابنته، أو مست ابنها أو أباها، الصغير والكبير سواء.

“Menyentuhnya laki-laki seorang wanita atau sebaliknya dengan anggota manapun mereka saling menyentuh, jika hal itu disengaja dan tanpa ada penghalang seperti pakaian atau yang lain, baik yang disentuh laki-laki itu ibunya atau anak wanitanya, atau yang disentuh wanita itu anak laki-lakinya atau ayahnya, baik keil atau dewasa maka semuanya sama, membatalkan wudhu”. ‎

Yang membedakan antara pendapat ibnu hazm ini dengan pendapat ulama Syafiiyah sebagaimana disebutkan diatas adalah beliau tidak membedakan antara mahram dan bukan mahram, serta orang dewasa atau anak kecil, satu lagi yang membedakan pendapat ini dengan pendapat madzhab Syafii ialah bahwa Ibnu Hazm membedakan antara menyentuh dengan sengaja dan tidak, menyentuh dengan sengaja menurut beliau membatalkan wudhu adapun yang tidak sengaja maka tidak membatalkan, berbeda dengan Syafiiyah yang tidak membedakan antara sengaja dengan tidak, keduanya menurut mereka membatalkan wudhu.

Itulah pendapat-pendapat ulama lintas madzhab mengenai menyentuh wanita apakah membatalkan wudhu atau tidak.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar