Idul Fitri adalah salah satu hari raya yang paling ditunggu-tunggu oleh Umat muslim di dunia, karena id hari itulah Allah menghapus semua dosa-dosa sehingga sucilah orang itu layaknya bayi yang baru lahir.
Kegiatan apapun di hari raya yang tidak terkait dengan masalah peribadatan adalah kegiatan yang sah-sah saja dilakukan jika hanya dimaksudkan untuk mengungkapkan rasa gembira, seperti makan bersama, bertemu keluarga dan handai tolan. Sebab memang diperbolehkan kaum Muslimin mengungkapkan kegembiraan hatinya pada saat hari raya, sepanjang hal itu tidak menyimpang dari ketentuan syar’i.
Yang menjadi masalah
Terdapat banyak hal yang menyimpang dari ketentuan syari’at, seperti ikhtilath (bercampur antara laki-laki dan perempuan bukan mahram), jabat tangan antar lawan jenis (yang bukan mahram), hura-hura, pamer aurat, pamer kecantikan, nyanyian-nyanyian maksiat, main petasan dan lain sebagainya. Bahkan mungkin menyangkut masalah peribadatan yang tidak ada contohnya dari Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam maupun dari para Sahabat Beliau radhiyallâhu 'anhum.
Sesungguhnya Idul Fitri atau Idul Adhamerupakan kegiatan yang pelaksanaan serta tata caranya telah diatur dalam syari’at. Tetapi di dalamnya mengandung hal-hal yang bersifat bebas selama tidak bertentangan dengan syari’at.
Hukum asal dalam masalah ibadah adalah haram (dilakukan) sampai ada dalilnya.
Sedangkan dalam masalah adat dan muamalah, hukum asalnya adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya.
Perayaan hari raya (‘id) sebenarnya lebih dekat kepada masalah mu’amalah. Akan tetapi, dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa ‘id adalah tauqifi (harus berlandaskan dalil). Hal ini karena 'id tidak hanya adat, tapi juga memiliki sisi ibadah. Imam asy-Syâthibi rahimahullâh mengatakan :
وَإِنَّ الْعَادِيَّاتِ مِنْ حَيْثُ هِيَ عَادِيَّةٌ لاَ بِدْعَةَ فِيْهَا
وَمِنْ حَيث يُتعبَّدُ بِهَا أَوْ تُوْضَعُ وَضْعَ التعبُّدِ تَدْخُلُهَا الْبِدَعَةُ
Dan sungguh adat-istiadat dari sisi ia sebagai adat, tidak ada bid’ah di dalamnya,
tapi dari sisi ia dijadikan/diposisikan sebagai ibadah, bisa ada bid‘ah di dalamnya
Al-I’tishâm, Tahqiq: Syaikh Salim al-Hilali, Dar Ibni al-Qoyyim, cet. II, 1427 H/2006 M, II/59
Mudah memaafkan, penyayang terhadap sesama Muslim dan lapang dada terhadap kesalahan orang merupakan amal shaleh yang keutamaannya besar dan sangat dianjurkan dalam Islam. Allah Azza wa Jalla berfirman.
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan perbuatan baik, serta berpisahlah dari orang-orang yang bodoh. [al-A’raf/7:199]
Dalam ayat lain, Allah Azza wa Jalla berfirman.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah, kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. [Ali Imran/3:159]
Bahkan sifat ini termasuk ciri hamba Allah Azza wa Jalla yang bertakwa kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya.
الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
(Orang-orang yang bertakwa adalah) mereka yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya serta (mudah) memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. [Ali-Imran/3:134]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khsusus menggambarkan besarnya keutamaan dan pahala sifat mudah memaafkan di sisi Allah Azza wa Jalla dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan (di dunia dan akhirat)”
Arti bertambahnya kemuliaan orang yang pemaaf di dunia adalah dengan dia dimuliakan dan diagungkan di hati manusian karena sifatnya yang mudah memaafkan orang lain, sedangkan di akhirat dengan besarnya ganjaran pahala dan keutamaan di sisi Allah Azza wa Jalla.
Dahulu para salafuna shaleh, air mata mereka meleleh membasahi pipi dan lihyah lantaran Ramadhan pergi meninggalkan mereka. Terkadang dari lisan mereka terucap sebuah doa, sebagai ungkapan kerinduan akan datangnya ramadhan dan ramadhan :
اللَّهُمَّ بَلِّغْنَا رَمَضَانَ، وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ وَرَمَضَانَ وَرَمَضَانَ...
Ya Allah SWT, anugerahkanlah lagi kepada kami bulan Ramadhan, anugerahkanlah lagi kepada kami bulan Ramadhan, dan bulan Ramadhan, dan bulan Ramadhan…
Suasana seperti ini bahkan berlarut hingga muncul ‘keheningan’ yang demikian heningnya pada malam hari raya Iedul Fitri. Bahkan suasana seperti ini masih begitu terasa, minimal ketika penulis mengalaminya di Mesir, selama studi di sana. Betapa malam Iedul Fitri sangat sepi dan hening, seolah mereka meratapi kepergian ‘tamu istimewa’ mereka, yaitu bulan Ramadhan. Tidak heran jika beberapa mahasiswa Indonesia yang pada malam tersebut sembab matanya, lantaran rindu dan teringat dengan suasana malam Iedul Fitri di tanah air, yang suasananya 180 derajat berbeda dengan suasana di Mesir.
Namun akankah kesedihan itu terus berlarut-larut, sementara ajal kita ditentukan oleh Allah SWT. Dan haruskan kita bersedih, sedangkan Iedul Fitri merupakan hari raya seluruh kaum muslimin, yang kita dianjurkan untuk bergembira pada hari tersebut? Lantas, amalan apakah yang seharusnya kita laksanakan menjelang maupun pada saat Iedul Fitri. Berikut penulis kutipkan beberapa hadits mengenai Iedul Fitri, semoga ada manfaatnya bagi kita semua.
Makna Iedul Fitri
Terdapat beberapa pendapat dalam memaknai Iedul Fitri, yang merupakan hari raya umat Islam di seluruh alam. Jika dilihat dari segi bahasanya, Iedul Fitri terdiri dari dua kata yaitu ( عيد ) dan ( فطر ). Dan masing-masing dari kata ini memiliki maknanya tersendiri :
1- Al 'id Ada yang mengatakan bahwa Ied berasal dari kata ( عاد - يعود ) yang berarti kembali. Namun ada juga yang menterjemahkan Ied ini sebagai hari raya, atau hari berbuka. Pendapat yang kedua ini menyandarkan pada hadits :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ - رواه ابن ماجه
Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Idul Fitri adalah hari dimana kalian berbuka, dan Idul Adha adalah hari dimana kalian berkurban.” (HR. Ibnu Majah)
2- Al fithr Ada yang menerjemahkan fitri dengan “berbuka” karena ia beras
dari kata ( أفطر ) yang memang secara bahasa artinya berbuka setelah berpuasa.
Namun disamping itu, ada juga yang menerjemahkan fitri dengan “fitrah”, yang berarti suci dan bersih. Pendapat kedua ini menyandarkan pendapatnya pada hadits Rasulullah SAW :
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ - رواه البخاري
Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidaklah seorang anak dilahirkan, melainkan ia dilahirkan dalam keadaan fitrah (bersih/ suci). Orangtuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi (HR. Bukhari)
Dari maknanya secara harfiah ini, dapat disimpulkan adanya dua makna dalam menerjemahkan Iedul Fitri, yaitu :
1. Iedul Fitri diterjemahkan dengan kembali kepada fitrah atau kesucian, karena telah ditempa dengan ibadah sebulan penuh di bulan ramadhan. Dan karenanya ia mendapatkan ampunan dan maghfirah dari Allah SWT.
2. Iedul Fitri diterjemahkan dengan hari raya berbuka, dimana setelah sebulan penuh ia berpuasa, menjalan ibadah puasa karena Allah SWT, pada hari Idul Fitri ia berbuka dan tidak berpuasa sebagai ungkapan syukur kepada Allah SWT.
Penulis melihat bahwa kedua makna Iedul Fitri di atas adalah benar dan tepat. Dan kedua makna tersebut saling melengkapi dan tidak bertentangan sama sekali. Sehingga Iedul Fitri adalah hari raya umat Islam yang dianugerahkan oleh Allah SWT di mana insan dikembalikan pada fitrahnya dengan mendapatkan ampunan dari Allah SWT, sekaligus sebagai hari bergembiranya kaum muslimin dimana diperintahkan untuk makan dan minum (baca; berbuka) sebagai ungkapan syukur kepada Allah SWT. Oleh karena itulah, terdapat doa yang sering dibacakan sesama kaum muslimin ketika berjabat tangan dan saling memaafkan, yaitu :
جَعَلَنَا اللهُ وَإِيَّاكُمْ مِنَ الْعَائِدِيْنَ الْفَائِزِيْنَ، وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ
Semoga Allah SWT menjadikan kita semua sebagai hamba-hamba-Nya yang kembali (kepada fitrah) dan sebagai hamba-hamba-Nya yang menang (melawan hawa nafsu). Dan semoga Allah SWT menerima seluruh amal ibadah kita semua.
Hanya terkadang, masyarakat kita lebih suka “menyunat” doa di atas, sehingga yang diucapkan hanya kalimat, ‘Minal Aidin Wal Fa’izin” saja. Bahkan lebih parah lagi ketika Minal Aidin Wal Faidzin ini diterjemahkan dengan mohon maaf lahir dan batin. Tetapi bisa kita maklumi karena keterbatasan masyarakat kita pada umumnya, asalkan masih dilandasi dengan niatan yang ikhlas hanya mengharap ridha Allah SWT, semoga tetap Allah catat sebagai amal ibadah di sisi-Nya.
Menghidupkan Iedul Fitri
Bagi kita semua saat ini, bagaimana kita dapat menghidupkan Iedul Fitri, atau dengan kata lain memaknai Iedul Fitri sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Dari beberapa riwayat, terdapat beberapa hal yang disunnahkan untuk dilakukan pada malam Ied atau pada hari raya Iedul Fitri. Diantaranya adalah :
1. Disunnahkan untuk Qiyamul Lail, pada malam hari raya Idul Fitri. Dalam sebuah riwayat digambarkan :
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ لَيْلَتَيْ الْعِيدَيْنِ مُحْتَسِبًا لِلَّهِ لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ الْقُلُوبُ - رواه ابن ماجه
Dari Abu Umamah ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa yang melaksanakan qiyamullail pada dua malam Ied (Idul Fitri dan Adha), dengan ikhlas karena Allah SWT, maka hatinya tidak akan pernah mati di hari matinya hati-hati manusia. (HR. Ibnu Majah).
2. Disunnahkan pada pagi hari raya Idul Fitri, untuk mandi, menggunakan minyak wangi dan berpakaian yang rapi. Dalam sebuah hadits diriwayatkan :
عَنِ الْفَاكِهِ بْنِ سَعْدٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَيَوْمَ عَرَفَةَ وَيَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ قَالَ وَكَانَ الْفَاكِهُ بْنُ سَعْدٍ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالْغُسْلِ فِي هَذِهِ اْلأَيَّامِ
Dari Fakih bin Sa’d bahwasanya Rasulullah SAW senantiasa mandi pada hari jum’at, hari Arafah, hari Idul Fitri dan hari Idul Adha. Dan Fakih (Perawi hadits ini) senantiasa memerintahkan keluarganya untuk mandi pada hari-hari tersebut. (HR. Ahmad)
Dalam riwayat lain juga digambarkan :
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى - رواه مالك
Dari Nafi’, bahwasanya Abdullah bin Umar senantiasa mandi pada hari raya Idul Fitri, sebelum berangkat ke tempat shalat. (HR. Malik)
3. Mendatangi tempat-tempat dilaksanakannya shalat Ied. Dalam sebuah hadits diriwayatkan :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بَنَاتَهُ وَنِسَاءَهُ أَنْ يَخْرُجْنَ فِي الْعِيدَيْنِ - رواه أحمد
Dari Ibnu Abbas ra, bahwasanya Rasulullah SAW memerintahkan anak-anak wanitanya dan istri-istrinya untuk kelur (mendatangi tempat shalat Ied) pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. (HR. Ahmad)
Dalam riwayat lain dijelaskan :
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نَخْرُجَ يَوْمَ الْعِيدِ حَتَّى نُخْرِجَ الْبِكْرَ مِنْ خِدْرِهَا حَتَّى نُخْرِجَ الْحُيَّضَ فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيرِهِمْ وَيَدْعُونَ بِدُعَائِهِمْ يَرْجُونَ بَرَكَةَ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَطُهْرَتَهُ - رواه البخاري
Dari Ummu Athiyah ra berkata, kami diperintahkan untuk mendatangi tempat shalat, bahkan perawan di pingitannya dan wanita yang haid diperintahkan untuk mendatangi tempat shalat Ied. Hanya mereka berposisi di belakang shaf kaum muslimin. Mereka bertakbir dengan takbir kaum muslimin, dan berdoa dengan doa kaum muslimin, dengan berharap keberkahan dan kesucian hari tersebut. (HR. Bukhari)
4. Mendatangi tempat dilaksanakannya shalat Ied dengan berjalan kaki2 dan memakan sesuatu sebelum berangkat melaksanakan shalat Ied. Dalam sebuah riwayat dijelaskan :
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ مِنْ السُّنَّةِ أَنْ تَخْرُجَ إِلَى الْعِيدِ مَاشِيًا وَأَنْ تَأْكُلَ شَيْئًا قَبْلَ أَنْ تَخْرُجَ - رواه الترمذي
Dari Ali bin Abi Thalib ra berkata, termasuk sunnah jika kamu keluar mendatangi tempat shalat Ied dengan berjalan kaki dan memakan sesuatu sebelum pergi ke tempat shalat Ied.” (HR. Turmudzi)
5. Bertakbir mengagungkan Asma Allah SWT, dalam sebuah riwayat digambarkan :
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نَخْرُجَ يَوْمَ الْعِيدِ حَتَّى نُخْرِجَ الْبِكْرَ مِنْ خِدْرِهَا حَتَّى نُخْرِجَ الْحُيَّضَ فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيرِهِمْ وَيَدْعُونَ بِدُعَائِهِمْ يَرْجُونَ بَرَكَةَ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَطُهْرَتَهُ - رواه البخاري
Dari Ummu Athiyah ra berkata, kami diperintahkan untuk mendatangi tempat shalat, bahkan perawan di pingitannya dan wanita yang haid diperintahkan untuk mendatangi tempat shalat Ied. Hanya mereka berposisi di belakang shaf kaum muslimin. Mereka bertakbir dengan takbir kaum muslimin, dan berdoa dengan doa kaum muslimin, dengan berharap keberkahan dan kesucian hari tersebut. (HR. Bukhari)
6. Melalui jalan yang berbeda ketika berangkan dan pulang dari tempat dilaksanakannya shalat Ied. Dalam sebuah hadits diriwayatkan :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيدِ فِي طَرِيقٍ رَجَعَ فِي - رواه الترمذي
Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah SAW apabila pergi (ke tempat shalat Ied) pada hari Ied melalui satu jalan, maka beliau kembali dari tempat tersebut melalui jalan yang berbeda.”
7. Saling bermaaf-maafan seraya mendoakan semoga Allah SWT menerima seluruh amal ibadah kita. Dalam sebuah hadits diriwayatkan :
عَنْ خَالِدٍ بْنِ مَعْدَانٍ قَالَ لَقَيْتُ وَاثِلَةَ بْنَ اْلأَسْقَعِ فِيْ يَوْمِ عِيْدٍ فَقُلْتُ تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ فَقَالَ نَعَمْ تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ قَالَ وَاثِلَةٌ لَقَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَيْدٍ فَقُلْتُ تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ قَالَ نَعَمْ تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ - رواه البيهقي في الكبري
Dari Khalid bin Ma’dan ra, berkata, Aku menemui Watsilah bin Al-Asqo’ pada hari Ied, lalu aku mengatakan, ‘Taqabbalallah Minna Wa Minka”. Lalu ia menjawab, ‘Iya, Taqabbalallah Minna Wa Minka,’. Kemudian Watsilah berkata, ‘Aku menemui Rasulullah SAW pada hari Ied lalu aku mengucapkan ‘Taqabbalallah Minna Wa Minka’, kemudian Rasulullah SAW menjawab, ‘Ya, Taqabbalallah Minna Wa Minka’ (HR. Baihaqi Dalam Sunan Kubra).
8. Boleh mengadakan hiburan pada hari raya Ied, dalam sebuah riwayat digambarkan bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada Abu Bakar yang pada waktu itu (Hari Ied) menghardik dua hamba sahaya perempuan yang mendendangkan syair di rumah Aisyah :
يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيْدًا وَإِنَّ الْيَوْمَ عِيْدُنَا
Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan sesungguhnya hari ini adalah hari raya kita.” (HR. Nasa’I)
Adab Idul Fitri
صَلاَةُ العِيْدِ وَاجِبَةٌ. يَـخْرُجُ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ لِلْمُصَلَّى حَتَّى الحَيْض يَـخْرُجْنَ لِيَشْهَدْنَ الـخَيْرَ وَدَعْوَةَ الـمُسْلِمِيْنَ.
Sholat Ied hukumnya wajib. Laki-laki dan perempuan keluar menuju mushola (tempat sholat/lapangan) bahkan orang yang haid pun harus keluar untuk menyaksikan kebaikan dan doa kaum muslimin.
Hal ini berdasarkan hadits:
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ، قَالَتْ: «كُنَّا نُؤْمَرُ بِالْخُرُوجِ فِي الْعِيدَيْنِ، وَالْمُخَبَّأَةُ، وَالْبِكْرُ»، قَالَتْ: «الْحُيَّضُ يَخْرُجْنَ فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ، يُكَبِّرْنَ مَعَ النَّاسِ»
Dari Ummu 'Athiyyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata: "Kami (para wanita) diperintahkan untuk keluar pada dua hari Raya (Iedul Fitri dan Iedul Adha), demikian juga para wanita yang dipingit dan gadis perawan. Dan beliau berkata "Para wanita yang sedang haid juga keluar, namun mereka berada di belakang jama'ah sholat ied dan ikut serta bertakbir bersama jama'ah sholat ied" Hadits Shahih (HR. Muslim no. 890 (11))
Hadits yang lainnya:
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ، قَالَتْ: «أَمَرَنَا - تَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَنْ نُخْرِجَ فِي الْعِيدَيْنِ، الْعَوَاتِقَ، وَذَوَاتِ الْخُدُورِ، وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ»
Dari Ummu 'Athiyyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata:"Nabi memerintahkan kepada kami (para wanita) untuk keluar mengajak 'awatiq (gadis berusia muda belum menikah) dan gadis yang dipingit. Dan Beliau memerintahkan wanita yang sedang haid untuk tidak mendekati mushalla (lapangan tempat shalat) kaum muslimin". Hadits Shahih (HR. Al-Bukhori no. 974 dan Muslim no. 890 (10) lafazh ini milik Muslim.)
Hadits yang lainnya:
عَنْ حَفْصَةَ بِنْتِ سِيرِينَ، قَالَتْ: كُنَّا نَمْنَعُ جَوَارِيَنَا أَنْ يَخْرُجْنَ يَوْمَ العِيدِ، فَجَاءَتِ امْرَأَةٌ، فَنَزَلَتْ قَصْرَ بَنِي خَلَفٍ، فَأَتَيْتُهَا، فَحَدَّثَتْ أَنَّ زَوْجَ أُخْتِهَا غَزَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ غَزْوَةً، فَكَانَتْ أُخْتُهَا مَعَهُ فِي سِتِّ غَزَوَاتٍ، فَقَالَتْ: فَكُنَّا نَقُومُ عَلَى المَرْضَى، وَنُدَاوِي الكَلْمَى، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَعَلَى إِحْدَانَا بَأْسٌ إِذَا لَمْ يَكُنْ لَهَا جِلْبَابٌ أَنْ لاَ تَخْرُجَ؟ فَقَالَ: «لِتُلْبِسْهَا صَاحِبَتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا، فَلْيَشْهَدْنَ الخَيْرَ وَدَعْوَةَ المُؤْمِنِينَ»
Dari Hafshah binti Sirin, dia berkata, Dulu kami melarang anak gadis remajanya keluar untuk melaksanakan shalat di Iedul Fitri. Lalu datanglah seorang wanita ke kampung Bani Khalaf, maka aku pun menemuinya. Lalu ia menceritakan bahwa suami dari sudara perempuannya itu pernah ikut perang bersama Nabi Shallallahu'alaihi wassalam sebanyak dua belas peperangan dan saudara perempuannya itu pernah mendampingi suami dalam enam kali peperangan, Ia (saudara wanita) berkata, "Kami merawat orang yang sedang sakit dan mengobati orang-orang yang terluka, "Saudara perempuanku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu'alaihi wassalam, 'Wahai Rasulullah, apakah berdosa apabila seorang dari kami tidak keluar (untuk sholat ied) karena tidak mempunyai jilbab? 'Beliau menjawab, "Hendaklah temannya meminjamkan jilbabnya sehingga mereka dapat menyaksikan kebaikan dan doa kaum Muslimin." Hadits Shahih (HR. Al-Bukhori no. 980)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
وَمَنْ يَجْعَلُ الْعِيدَ وَاجِبًا عَلَى الْأَعْيَانِ لَمْ يَبْعُدْ أَنْ يُوجِبَهُ عَلَى مَنْ كَانَ فِي الْبَلَدِ مِنْ الْمُسَافِرِينَ وَالنِّسَاءِ كَمَا كَانَ فَإِنَّ جَمِيعَ الْمُسْلِمِينَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ كَانُوا يَشْهَدُونَ الْعِيدَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْقَوْلُ بِوُجُوبِهِ عَلَى الْأَعْيَانِ أَقْوَى مِنْ الْقَوْلِ بِأَنَّهُ فَرْضٌ عَلَى الْكِفَايَةِ. وَأَمَّا قَوْلُ مَنْ قَالَ إنَّهُ تَطَوُّعٌ فَهَذَا ضَعِيفٌ جِدًّا؛ فَإِنَّ هَذَا مِمَّا أَمَرَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَاوَمَ عَلَيْهِ هُوَ وَخُلَفَاؤُهُ وَالْمُسْلِمُونَ بَعْدَهُ وَلَمْ يُعْرَفْ قَطُّ دَارُ إسْلَامٍ يُتْرَكُ فِيهَا صَلَاةُ الْعِيدِ وَهُوَ مِنْ أَعْظَمِ شَعَائِرِ الْإِسْلَامِ. وقَوْله تَعَالَى {وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ} وَنَحْوُ ذَلِكَ مِنْ الْأَمْرِ بِالتَّكْبِيرِ فِي الْعِيدَيْنِ أَمْرٌ بِالصَّلَاةِ الْمُشْتَمِلَةِ عَلَى التَّكْبِيرِ الرَّاتِبِ وَالزَّائِدِ بِطَرِيقِ الْأَوْلَى وَالْأَحْرَى وَإِذَا لَمْ يُرَخِّصْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي تَرْكِهِ لِلنِّسَاءِ فَكَيْفَ لِلرِّجَالِ
"Bagi yang berpendapat bahwa Sholat Ied itu wajib 'ain tetap mewajibkan bagi setiap muslim yang berada dalam negeri bagi musafir (yang dapat singgah menghadiri sholat) dan juga para wanita sebagaimana segenap kaum muslimin laki-laki maupun perempuan dahulu menyaksikan ied bersama Rasulullah Shallallahu'alaihi wassalam. Pendapat yang menyatakan bahwa hukum shalat 'ied adalah wajib 'ain (wajib bagi setiap muslim) lebih kuat daripada yang menyatakan bahwa hukumnya adalah fardhu kifayah (wajib bagi sebagian kaum muslimin saja). Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa hukum shalat 'ied adalah sunnah (bukan wajib), ini adalah pendapat yang lemah sekali. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri memerintahkan untuk melakukan shalat ini. Lalu beliau sendiri dan para khulafaur rosyidin, serta kaum muslimin setelah mereka terus menerus melakukan shalat 'ied. Dan tidak dikenal sama sekali kalau ada di satu negeri Islam ada yang meninggalkan shalat 'ied sedangkan shalat 'ied adalah salah satu syi'ar Islam yang terbesar. Allah berfirman:
وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ
"Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (QS. Al-Baqarah: 185). Dan yang semacam demikian itu termasuk pula perintah untuk bertakbir di dalam Ied Al-Fitri dan Ied al-Adha yaitu perintah melakukan sholat Ied yang meliputi takbiratul ihram dan takbir tambahan dimana takbir didalamnya merupakan bentuk pengaguangan yang lebih utama dan lebih pantas. Jika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memberi keringanan bagi wanita untuk meninggalkan shalat 'ied, maka bagaimana pula dengan para laki-laki? (Majmu' Fatawa 24/183, (cet. Maktabah al-Ubaikan 12/330).
السُّنَّةُ أَنْ تُصَلِّيَ صَلَاةَ الْعِيْدِ فِي الـْمُصَلَّى لـِمُدَاوَمَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهَا فِيْهِ إِلَّا مَكَّةَ فَفِي الـْمَسْجِدِ الَحرَامَ. وَإِذَا لَمْ يُوْجَدْ الـمُصَلَّى فَفِي الـْمَسْجِدِ.
Disunnahkan untuk melakukan sholat Ied di lapangan tempat sholat sebagaimana yang biasa dilakukan terus menerus oleh Nabi Shallallahu'alaihi wassalam kecuali di Makkah maka sholatnya di Masjidil Haram. Apabila tidak ada lapangan tempat sholat maka boleh di masjid.
Hal ini berdasarkan hadits:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ، قَالَ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى المُصَلَّى
Dari Abu Sa'id Al Khudri, dia mengatakan, "Rasulullah shallalahu 'alaihi wa sallam biasa keluar pada hari raya 'Idul Fithri dan 'Idul Adha menuju tanah lapang." Hadits Shahih (HR. Al-Bukhari no. 956 dan Muslim no. 889.)
Imam An¬Nawawi menjelaskan berkenaan dengan hadits tersebut, "Hadits di atas adalah dalil bagi orang yang menganjurkan bahwa shalat Ied lebih utama dilakukan di tanah lapang daripada dilakukan di masjid. Inilah yang dipraktekkan oleh kaum muslimin di berbagai negeri. Adapun penduduk Makkah, maka sejak masa silam shalat Ied mereka selalu dilakukan di Masjidil Haram." (Syarah Muslim, An Nawawi, 6/417 cet. Daarul Ma'rifah th. 1426 H)
Sedangkan dalil yang mengatakan bahwa Nabi Shallallahu'alaihi wassalam itu pernah mengimami sholat Ied di masjid adalah hadits dhoif:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: «أَصَابَ النَّاسَ مَطَرٌ فِي يَوْمِ عِيدٍ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى بِهِمْ فِي الْمَسْجِدِ»
Dari Abu Hurairah, bahwa orang-orang tertimpa hujan pada hari Ied dizaman Rasulullah Shallallahu'alahi wassalam maka beliau Shallallahu'alaihi wassalam mengimami mereka di dalam masjid. Hadits Dhoif (HR. Ibnu Majah no. 1313 dan Abu Dawud no. 1160. Dhoif, karena di dalam sanadnya ada perawi yang majhul yaitu Isa bin Abdil A'la bin Abi Farwah. Lihat Dhoif Abi Dawud no. 213 oleh Syaikh Albani)
Ibnul Qayyim menjelaskan dalam kitabnya Zaadul Ma'aad:
وَهَدْيُهُ كَانَ فِعْلَهُمَا فِي الْمُصَلَّى دَائِمًا
Dan petunjuknya Nabi Shallallahu'alahi wassalam, beliau selalu melakukan sholat Iedul Fitri dan Adha di lapangan tempat sholat. (Lihat Zaadul Ma'aad 1/425 cet. Mussassah ar-Risalah tahqiq Abdul Qadir al-Arnauth dan Syuaib al-Arnauth)
لَيْسَ لَهَا أَذَانٌ وَ لَا نِدَاءٌ وَلَا إِقَامَةٌ لِحَدِيْثِ جَابِر فِي مُسْلِمٍ.
Tidak ada dalam sholat Ied itu adzan, panggilan seruan ("Ash-shalatu Jami'ah"), dan iqamah sebagaimana hadits Jabir radhiallahu'ahu di Shohih Muslim.
Hal ini berdasarkan hadits:
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ، قَالَ: «صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَيْنِ، غَيْرَ مَرَّةٍ وَلَا مَرَّتَيْنِ، بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ»
Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Aku shalat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada dua hari raya, bukan hanya sekali atau dua kali, tanpa adzan dan tanpa iqamat". Hadits Shahih (HR Muslim no. 887 (7)).
Dalil yang lainnya:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْأَنْصَارِيِّ، قَالَا: «لَمْ يَكُنْ يُؤَذَّنُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَلَا يَوْمَ الْأَضْحَى»، ثُمَّ سَأَلْتُهُ بَعْدَ حِينٍ عَنْ ذَلِكَ؟ فَأَخْبَرَنِي، قَالَ: «أَخْبَرَنِي جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ الْأَنْصَارِيُّ، أَنْ لَا أَذَانَ لِلصَّلَاةِ يَوْمَ الْفِطْرِ، حِينَ يَخْرُجُ الْإِمَامُ، وَلَا بَعْدَ مَا يَخْرُجُ، وَلَا إِقَامَةَ، وَلَا نِدَاءَ، وَلَا شَيْءَ، لَا نِدَاءَ يَوْمَئِذٍ، وَلَا إِقَامَةَ»
Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma dan Jabir bin Abdillah Al-Anshari keduanya berkata: "Tidak ada adzan pada hari Iedul Fitri dan Adha." Kemudian aku bertanya kepada Ibnu Abbas tentang itu, maka ia mengabarkan kepadaku bahwa Jabir bin Abdillah Al-Anshari mengatakan: "Tidak ada adzan dan iqamah di hari Iedul Fitri ketika keluarnya imam, tidak pula setelah keluarnya. Tidak ada iqamah, tidak ada panggilan ("Ash-shalatu Jami'ah") dan tidak ada apapun, tidak pula iqamah." Hadits Shahih (HR. Al-Bukhori no. 960 (secara ringkas) dan Muslim no. 886 (5), lafazh diatas milik Muslim))
Tidak adanya ucapan Ash-Shalatu Jami'ah, hal ini berdasarkan penjelasan Ibnu Rajab dalam Fathul Bari 8/448:
وقال الشافعي: قال الزهري: وكان النبي - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يأمر في العيدين المؤذن فيقول: الصلاة جامعة. واستحب ذلك الشافعي وأصحابنا. واستدلوا بمرسل الزهري، وهو ضعيف، وبالقياس على صلاة الكسوف؛ فإن النَّبيّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - صح عنه أنه أرسل مناديا ينادي: الصَّلاة جامعة. وقد يفرق بين الكسوف والعيد، بأن الكسوف لم يكن الناس مجتمعين لهُ، بل كانوا متفرقين في بيوتهم وأسواقهم، فنودوا لذلك، وأما العيد، فالناس كلهم مجتمعون له قبل خروج الإمام. وقول جابر: ((ولا إقامة ولا نداء ولا شيء)) يدخل فيه نفي النداء بـ ((الصَّلاة جامعة)) .
Imam Asy-Syafi'i berkata, "Telah berkata az-Zuhri: Bahwa Nabi Shallallahu'alaihi wassalam telah memerintahkan di dalam sholat Iedul Fitri dan Adha agar muadzin berseru "Asholatu Jaami'ah"
Imam Asy-Syafi'i dan para pengikutnya menganggap hal itu sunnah. Mereka berdalil dengan: (pertama) riwayat mursal dari seorang tabi'in yaitu Az-Zuhri dan Mursalnya az-Zuhri adalah dhoif (lemah).
(kedua) mengqiyaskannya dengan Shalat Kusuf (gerhana) dimana telah shohih dari Nabi Shollallahu'alaihi wassalam bahwa beliau mengutus muadzin untuk menyeru "Ashsholatu Jaami'ah. Antara Sholat Kusuf dan Ied memiliki perbedaan. Di antaranya bahwa pada Shalat Kusuf orang-orang masih berpencar sehingga perlu seruan semacam itu, sementara Shalat Ied tidak (orang-orang telah berkumpul). Bahkan orang-orang sudah menuju tempat shalat dan berkumpul padanya sebelum keluarnya Imam.
Dan perkataan Jabir (tidak ada iqamah dan tidak ada seruan serta tidak ada apapun) maknanya meniadakan panggilan/seruan Ashsholatu Jaami'ah.
صِفَتُهَا: ركْعَتَانِ يُكَبِّرُ فِي الأُوْلَى سَبْعًا بَعْدَ تَكْبِيْرَةِ الِإحْرَامِ وَقَبْلَ القِرَاءَةِ وَفِي الثَّانِيَةِ خَمْسًا قَبْلَ القِرَاءَةِ. وَإِنْ كَبَّرَ سِتًّا فِي الأُوْلىَ وَخَمْسًا فِي الثَّانِيَةِ فَلَا بَأْسَ.
Sifat pengerjaanya: Dua rakaat, bertakbir pada rakaat yang pertama sebanyak tujuh kali setelah takbiratul ihrom dan sebelum bacaan al-Fatihah dan pada rakaat yang kedua sebanyak lima kali sebelum bacaan al-Fatihah. Dan apabila bertakbir sebanyak enam kali pada rakaat pertama dan lima kali pada rakaat kedua maka itu tidak mengapa.
Hal ini berdasarkan hadits:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «كَبَّرَ فِي الْعِيدَيْنِ سَبْعًا فِي الْأُولَى، وَخَمْسًا فِي الْآخِرَةِ»
"Dari Abdillah bin Amr bin Auf dari bapaknya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir pada dua shalat Ied tujuh kali pada raka'at pertama, dan lima kali pada raka'at yang kedua" Hadits Shahih " (HR. Ibnu Majah no. 1279, Shohih, dishohihkan Syaikh Albani dalam Shohih wa Dhoif Ibni Majah 3/279 no. 1279)
Dalil yang lainnya:
عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «كَبَّرَ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى سَبْعًا وَخَمْسًا، سِوَى تَكْبِيرَتَيِ الرُّكُوعِ»
"Dari Aisyah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan takbir pada shalat 'Idul Fithri dan shalat 'Idul Adha tujuh kali (rokaat pertama) dan lima kali (rokaat kedua), selain dua takbir rukuk". Hadits Shahih " (HR Abu Dawud no. 1149, Ibnu Majah no. 1280 (lafazh miliknya) dan Ad-Daruquthni no. 1726, Lihat Irwa'ul Ghalil no. 639).
Dan apabila bertakbir sebanyak enam kali pada rakaat pertama dan lima kali pada rakaat kedua maka itu tidak mengapa. Penjelasannya enam kali adalah diluar takbiratul ihrom sehingga dengan takbiratul ihrom maka takbir pada rakaat pertama juga tujuh kali. (Lihat penjelasannya dalam Nailul Author Min Asror Muntaqal Akhbar 7/60-71 Tahqiq Muhammad bin Subhi Hasan Halaq cet. Daar Ibn al-Jauzy th. 1427 H)
لاَ تَرْفَع الأَيْدِي فِي هَذِه التَّكْبِيْراَتِ الزَوَائِد وَيَكْفِي الرَّفْعُ فِي الأُوْلَى.
Tidak mengangkat tangan pada takbir-takbir tambahan (takbir zawaid) cukup mengangkat pada takbiratul ihrom saja.
Adapun dalilnya sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-halabi Al-Atsari dalam kitabnya: Ahkaamu Al'Iidaini Fii As Sunnah Al Muthahharah hal. 46-48:
لم يصحَّ عن النبي - صلى الله عليه وسلم - أنه كان يرفع يديه مع تكبيرات العيد (انظر لزاماً "إرواء الغليل" (3/ 112- 114)) ، لكنْ قال ابنُ القيم: وكان ابنُ عمر- مع تَحَرِّيهِ للاتِّباع- يرفع يديه مع كل تكبيرة ("زاد المعاد" (1/441)) . قلت: وخير الهدي هديُ محمد - صلى الله عليه وسلم -. قال شيخُنا الألباني في "تمام المنة" (ص 348) : وكونُه رُوي عن عُمَرَ وابنهِ لا يجعلُه سُنّةً، ولا سيّما أن رواية عمر وابنه ها هنا لا تصحُّ. أما عن عمر: فرواه البيهقي بسند ضعيف.
Tidak ada yang shahih satu riwayatpun dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan mengucapkan takbir-takbir shalat Ied [Lihat Irwaul-Ghalil 3/112-114) Akan tetapi Ibnul Qayyim berkata : "Ibnu Umar -dengan semangat ittiba'nya kepada Rasul- mengangkat kedua tangannya ketika mengucapkan setiap takbir" (Lihat Zaadul Ma'ad 1/427 tahqiq Syuaib al-Arnauth dan Abdul Qadir al-Arnauth cet. Muassassah ar-Risalah th. 1998]
Aku (Syaikh Ali) katakan : Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Mengangkat tangan ketika bertakbir dalam shalat Ied diriwayatkan dari Umar dan putranya -Radhiyallahu anhuma-, tidaklah riwayat ini dapat dijadikan dasar bahwa perbuatan mengangkat tangan ketika takbir tambahan (selain takbiratul ihrom) sebagai sunnah. Terlebih lagi riwayat Umar dan putranya di sini tidak shahih. Adapun dari Umar, Al-Baihaqi meriwayatkannya dengan sanad yang dlaif (lemah).
يَقْرَأُ الإِمَامُ فِيْهِمَا بِسُوْرَةِ (الأَعْلَى) و (الغَاشِيَةِ) أَوْ (ق) وَ (القَمَرُ
Imam dalam Sholat Ied membaca pada rakaat pertama Surat al-A'laa dan rokaat kedua Al-Ghasyiyah atau pada rakaat pertama Surat Qaf dan rakaat kedua Surat al-Qamar.
Hal ini berdasarkan hadits:
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ، قَالَ: «كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْعِيدَيْنِ، وَفِي الْجُمُعَةِ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ»
Dari Nu'maan bin Basyiir, dia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat Iedul Fitri maupun Adha dan juga pada shalat Jum'at "Sabbihisma robbikal a'la" (surat Al A'laa) dan "Hal ataka haditsul ghosiyah" (surat Al Ghasiyah)." Hadits Shahih (HR. Muslim no. 878 (62))
Dalil lainnya hadits:
عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، سَأَلَ أَبَا وَاقِدٍ اللَّيْثِيَّ: مَا كَانَ يَقْرَأُ بِهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْأَضْحَى وَالْفِطْرِ؟ فَقَالَ: «كَانَ يَقْرَأُ فِيهِمَا بِ ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ، وَاقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ»
Dari Ubaidillah bin Abdillah bahwa Umar bin al-Khoththob pernah bertanya kepada Abu Waqid al-Laitsy, Apa yang dibaca Rasulullah Shallallahu'alaihi wassalam ketika Sholat Iedul Adha dan Fitri? Kemudian Abu Waqid menjawab, Rasulullah Shallallahu'alaihi wassalam senantiasa membaca pada keduanya (rakaat pertama) surat Qaf (wal quranil majid) dan surat al-Qamar (Iqtarabatis Saati wansyaqqal qamar). " Hadits Shahih (HR. Muslim no. 891 (14))
يَكْفِي أَنْ يَخْطُبَ بَعْدَ الصَّلَاةِ خُطْبَةً واَحِدَةً وَهُوَ ظَاهِرُ الأَحَادِيثِ النَّبَوِيَّةِ. وَالسُّنَّةُ أَنْ تَفْتَتِحَ باِلـْحـَمْدِ كَبَقِيَةِ الـخُطَبِ نَبَّهَ عَلَيْهِ ابْنُ القَيِّم. وَحُضُوْرُ الخُطْبَةِ سُنَّةٌ.
Cukup untuk melakukan khotbah setelah sholat dengan sekali khotbah saja dan inilah yang menjadi kontekstual nyata dari hadit-hadits Nabawi. Dan Sunnahnya untuk membuka khutbah Ied dengan Alhamdulillah (pujian kepada Allah) sebagaimana berlaku juga pada khutbah-khutbah yang lainnya sebagaimana ditekankan penjelasannya oleh Ibnul Qayyim dan menghadiri Khutbah hukumnya sunnah.
Hal ini berdasarkan hadits:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَبُو بَكْرٍ، وَعُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، يُصَلُّونَ العِيدَيْنِ قَبْلَ الخُطْبَةِ»
Dari Ibnu Umar radhiallahu'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan Abu Bakr, serta 'Umar biasa melaksanakan shalat Ied sebelum khutbah. Hadits Shahih (HR. Al-Bukhori no. 963 dan Muslim no. 888 (8))
Dalil sekali khutbah:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ، قَالَ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى المُصَلَّى، فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ، ثُمَّ يَنْصَرِفُ، فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ، وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ، وَيُوصِيهِمْ، وَيَأْمُرُهُمْ، فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ، أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ، ثُمَّ يَنْصَرِفُ»
Dari Abu Sa'id al-Khudri, ia berkata: "Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam keluar pada hari Idul Fithri dan Idul Adha menuju mushala (lapangan tempat shalat), maka hal pertama yang beliau lakukan adalah shalat. Kemudian manakala selesai, beliau berdiri menghadap orang banyak yang tetap duduk dalam shaf-shaf mereka, lalu menyampaikan nasihat dan pesan-pesan dan perintah kepada mereka. Lalu jika beliau hendak memberangkatkan angkatan perang atau hendak memerintahkan sesuatu beliau laksanakan lalu beranjak pulang." Hadits Shahih (HR Imam Bukhari no. 956)
Dalil khuthbah tidak dibuka dengan takbir tapi dengan tahmid:
عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: شَهِدْتُ الصَّلَاةَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي يَوْمِ عِيدٍ، فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ، فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلَالٍ، فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ، وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ وَحَثَّهُمْ عَلَى طَاعَتِهِ، ثُمَّ مَالَ وَمَضَى إِلَى النِّسَاءِ وَمَعَهُ بِلَالٌ، فَأَمَرَهُنَّ بِتَقْوَى اللَّهِ
Dari Jabir, ia berkata: Aku mendatangi shalat Ied bersama Nabi shalallahu 'alaihi wa salam, sebelum berkhutbah beliau memulai shalat tanpa adzan dan tanpa iqamah. Lalu ketika selesai shalat beliau berdiri dengan bersandar pada Bilal. Lalu beliau bertahmid dan memuji Allah, menyampaikan nasehat dan peringatan kepada jamaah serta mendorong mereka supaya bertaqwa kepada-Nya, kemudian mendatangi para wanita dan bilal bersamanya, maka beliau memerintahkan mereka untuk bertakwa kepada Allah. Hadits Shahih (HR. an-Nasa-i no. 1575, dishohihkan oleh Syaikh Albani dalam Irwaul-Ghalil no. 646)
Dalil Sunnahnya menghadiri khutbah Sholat Ied:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ السَّائِبِ، قَالَ: شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَ، فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ، قَالَ: «إِنَّا نَخْطُبُ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ»
Dari 'Abdullah bin As Sa-ib, ia berkata bahwa ia pernah menghadiri shalat Ied bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika beliau telah selesai menunaikan shalat, beliau bersabda, "Aku saat ini akan berkhutbah. barangsiapa yang mau tetap duduk untuk mendengarkan khutbah, silakan ia duduk dan barangsiapa yang ingin pergi, silakan ia pergi. Hadits Shahih (HR. Abu Dawud no. 1155, Al-Hakim no. 1093, Ibnu Majah no. 1290, ad-Daruquthni no. 182, lihat Irwaul Ghalil no. 629)
Imam Ibnul Qayyim menegaskan tentang membuka khutbah ied adalah dengan hamdalah dan bukan dengan takbir sebagaimana beliau tuliskan dalam kitabnya Zaadul Ma'ad fi Hadyi Khoiril Ibad 1/431 cet. Muassassah ar-Risalah th. 1998:
وَكَانَ يَفْتَتِحُ خُطَبَهُ كُلَّهَا بِالْحَمْدِ لِلَّهِ، وَلَمْ يُحْفَظْ عَنْهُ فِي حَدِيثٍ وَاحِدٍ أَنَّهُ كَانَ يَفْتَتِحُ خُطْبَتَيِ الْعِيدَيْنِ بِالتَّكْبِيرِ
Nabi Shallallahu'alaihi wassalam membuka semua khutbahnya dengan hamdalah (Alhamdulillah) dan tidak terdapat satu haditspun (yang shohih) bahwa beliau membuka khutbah Iedul Fitri dan Adha dengan takbir.
لاَ صَلاَةَ قَبْلَهَا وَلَا بَعْدَهَا فِي الْمُصَلَّى إِلاَّ مَنْ صَلَّى فيِ الـْمَسْجِدِ فَيُصَلِّي تَحِيَّةَ الـْمَسْجِدِ قَبْلَ الـْجُلُوْسِ.
Tidak ada sholat sunnah qabliyah (sholat sunnah sebelum sholat ied) dan ba'diyah (sholat sunnah setelah sholat ied) di lapangan, kecuali kalau sholatnya di dalam masjid maka hendaknya mengerjakan sholat tahiyyatul masjid (ketika masuk masjid) sebelum duduk.
Adapun Dalilnya:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى يَوْمَ الفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, "Sesungguhnya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat 'Idul Fithri dua raka'at, tidak shalat sebelumnya atau sesudahnya" Hadits Shahih (HR Al-Bukhari no. 964, Shohih).
Dalil sholat Tahiyyatul Masjid sebelum duduk ketika memasuki masjid:
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ»
Dari Abu Qatadhah, bahwa Rasulullah shollallahu'alahi wassalam bersabda: "Apabila seseorang diantara kalian telah memasuki masjid maka hendaknya ia melakukan sholat dua rakaat sebelum dia duduk. Hadits Shahih (HR. Muslim no. 714 (69)
الِاغْتِسَالُ جَاءَ عَنِ السَّلَفِ وَالتَّجَمُّلُ لَهاَ مَسْنُوْنٌ.
Mandi dan telah ada keterangan dari ulama salaf dan berhias merapikan diri itu disunahkan.
Disunnahkan untuk mandi, memakai minyak wangi dan mengenakan pakaian terbaik yang dimilikinya. (Lihat Ittihaaful Ummah Bi Takhrij Shohih Fiqhis Sunnah tahqiq Muhammad Subhi bin Hasan Halaaq 1/366, cet Maktabah As-Shohabah th. 2007)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلْبَسُ يَوْمَ الْعِيدِ بُرْدَةً حَمْرَاءَ»
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, pada hari 'Id, Beliau mengenakan burdah (kain seperti selimut agak tebal) warna merah (bergaris-garis/bermotif merah bukan merah semuanya)" Hadits Shahih (HR. At-Thobroni dalam al-Mu'jam al-Ausath no. 7609, Ash Shahihah no. 1279)
Ibnu Qudamah menukilkan perkataan Imam Malik rahimahullah, beliau berkata:
سَمِعْتُ أَهْلَ الْعِلْمِ يَسْتَحِبُّونَ الطِّيبَ وَالزِّينَةَ فِي كُلِّ عِيدٍ
"Saya mendengar para ulama, mereka menganggap sunnahnya memakai minyak wangi dan berhias di Setiap Ied." (Al Mughni, 3/102 cet. Daarul Hadits Al-Qahira th. 1425 H).
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Dahulu, ketika keluar pada shalat dua hari raya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengenakan pakaian yang terindah. Beliau memiliki baju khusus lagi bagus yang dikenakannya untuk dua hari raya dan hari Jumat. Pernah juga Beliau mengenakan dua burdah (kain selimut agak tebal biasanya seperti mantel kebawah) berwarna hijau, dan terkadang mengenakan burdah warna motif merah." (Lihat Zaadul Ma'ad, 1/426 cet. Muassassah ar-Risalah).
Ibnu Umar seorang shahabat Nabi Shollallahu'alaihi wassalam yang dikenal sangat berkomitmen dalam menjalankan sunnah telah mencontohkan untuk mandi pada hari Ied, sebagaimana yang tercantum dalam kitab al-Muwaththo Imam Malik no. 429 (cet. Maktabah as-Shofa):
كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى
Ibnu Umar biasa untuk mandi pada hari Iedul Fitri sebelum menuju ke (lapangan ) tempat sholat. (Lihat Zaadul Ma'ad 1/426, Isnadnya Shohih sebagaimana dishohihkan oleh Syaikh Syuaib al-Arnauth dan Abdul Qadir al-Arnauth dalam tahqiqnya terhadap Zaadul Ma'ad cet. Muassassah ar-Risalah)
Sunnahnya memakai wewangian dan memakai baju yang paling baik (baca: bukan baju baru) itu hanya untuk laki-laki sedangkan bagi kaum wanita tidak dianjurkan untuk berhias dengan mengenakan baju yang mewah, atau mengenakan minyak wangi agar tidak menimbulkan fitnah.
يَأْكُلُ تـَمْرَات وِتْراً (ثَلاَثاً أَوْ خَمْسًا أَوْ سَبْعًا) قَبْلَ الْخُرُوجِ إِلَى الـمُصَلَّى فِي الفِطْرِ.
Memakan kurma tamr (kurma kering) dengan jumlah yang ganjil (tiga butir, lima butir ataupun tujuh butir) sebelum keluar menuju lapangan tempat sholat saat Iedul Fitri.
Adapun Dalilnya:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَغْدُو يَوْمَ الفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ» «وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا»
Dari Anas Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pergi menuju tempat sholat untuk shalat 'Idul Fithri, sampai Beliau makan beberapa kurma (kering) dan beliau makan dengan jumlah yang ganjil". Hadits Shahih (HR Al-Bukhari no. 953).
Dalil yang lainnya:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُفْطِرُ عَلَى تَمَرَاتٍ يَوْمَ الفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَخْرُجَ إِلَى المُصَلَّى»
Dari Anas bin Malik, Sesungguhnya Nabi Shallallahu'alaihi wassalam makan pagi/sarapan dengan beberapa kurma pada hari Iedul Fitri sebelum keluar menuju lapangan tempat sholat. Hadits Shahih (HR. At-Tirmidzi no. 543 dan Ibnu Majah no. 1754. Shohih. Lihat Shohih At-Tirmidzi 2/43 no. 543)
Dalil yang lainnya:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: «كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ، وَلَا يَطْعَمُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يُصَلِّيَ»
Dari Abdulllah bin Buraidah dari bapaknya (Buraidah bin Hushoib al-Aslamy) radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar pada hari 'Idul Fithri, sehingga Beliau makan. Begitu pula Beliau tidak makan pada hari 'Idul Adha, sehingga Beliau pulang ke rumah, kemudian makan dari daging kurbannya". Hadits Shahih ". (HR At Tirmidzi no. 542 dan Ibnu Majah no. 1756. Shohih, lihat Shohih At-Tirmidzi 2/42 no. 542).)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Dahulu, sebelum keluar untuk shalat Iedul Fitri, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam makan beberapa kurma kering, dengan jumlah yang ganjil. Dan pada hari Iedul Adha, Beliau Shallallahu'alahi wassalam tidak makan sehingga kembali dari tanah lapang, maka Beliau Shallallahu'alahi wassalam makan dari daging kurbannya." (Zaadul Ma'ad, 1/426).
يَبْدَأُ التَّكْبِيْرُ مِنَ الـْخُرُوْجِ مِنَ الْبَيْتِ إِلَى أَنْ يَأْتِيَ الإِمَامُ.
Memulai bertakbir ketika keluar dari rumah sampai sebelum datangnya imam.
Adapun dalilnya:
عَنِ الزُّهْرِيِّ، «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ، فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى، وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلَاةَ، فَإِذَا قَضَى الصَّلَاةَ، قَطَعَ التَّكْبِيرَ»ِ
Dari az-Zuhri, bahwa Rasulullah Shallallahu'alahi wassalam biasa ketika keluar pada hari Iedul Fitri beliau bertakbir sampai di (lapangan) tempat sholat, sampai didirikan sholat, apabila sholat telah ditegakkan maka terputuslah takbir." Hadits Shahih (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam kitabnya al-Mushonaf 2/164 no. 5621. Shohih Mursal, lihat Irwaul Ghalil 3/123 dan Silsilah Ahaadits Ash-Shohihah no. 171)
لاَ بَأْسَ بِالتَّهْنِئَةِ بِقَوْلِكَ تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ لِثُبُوْتِهَا عَنِ الصَّحَابَةِ.
Tidak mengapa untuk menyampaikan selamat dengan ucapan Taqqaballahu minna wa minkum sebagaimana telah tetap atsar dari para shahabat.
Dalam Majmu' Fatawa 24/253 (12/368 cet. Maktabah al-Ubaikan) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya :
هَلْ التَّهْنِئَةُ فِي الْعِيدِ وَمَا يَجْرِي عَلَى أَلْسِنَةِ النَّاسِ: " عِيدُك مُبَارَكٌ " وَمَا أَشْبَهَهُ هَلْ لَهُ أَصْلٌ فِي الشَّرِيعَةِ؟ أَمْ لَا؟ وَإِذَا كَانَ لَهُ أَصْلٌ فِي الشَّرِيعَةِ فَمَا الَّذِي يُقَالُ؟ أَفْتُونَا مَأْجُورِينَ.
"Apakah ucapan selamat hari raya yang biasa diucapkan oleh banyak orang semisal "Ied Mubarak" memiliki dasar dalam agama ataukah tidak? Jika memang memiliki dasar dalam ajaran agama lalu ucapan apa yang tepat? Berilah kami fatwa, semoga Allah memberikanmu pahala yang berlimpah
فَأَجَابَ: أَمَّا التَّهْنِئَةُ يَوْمَ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ إذَا لَقِيَهُ بَعْدَ صَلَاةِ الْعِيدِ: تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ وَأَحَالَهُ اللَّهُ عَلَيْك وَنَحْوُ ذَلِكَ فَهَذَا قَدْ رُوِيَ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْ الصَّحَابَةِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَفْعَلُونَهُ وَرَخَّصَ فِيهِ الْأَئِمَّةُ كَأَحْمَدَ وَغَيْرِهِ. لَكِنْ قَالَ أَحْمَد: أَنَا لَا أَبْتَدِئُ أَحَدًا فَإِنْ ابْتَدَأَنِي أَحَدٌ أَجَبْته وَذَلِكَ لِأَنَّ جَوَابَ التَّحِيَّةِ وَاجِبٌ وَأَمَّا الِابْتِدَاءُ بِالتَّهْنِئَةِ فَلَيْسَ سُنَّةً مَأْمُورًا بِهَا وَلَا هُوَ أَيْضًا مِمَّا نُهِيَ عَنْهُ فَمَنْ فَعَلَهُ فَلَهُ قُدْوَةٌ وَمَنْ تَرَكَهُ فَلَهُ قُدْوَةٌ. وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.
"Ucapan taqabbalallahu minna wa minka atau ucapan ahalahullahu 'alaika yang dijadikan sebagai ucapan selamat hari raya yang diucapkan ketika saling berjumpa sepulang shalat hari raya adalah ucapan yang diriwayatkan dari sejumlah shahabat bahwa mereka melakukannya. Karenanya banyak ulama semisal Imam Ahmad membolehkan hal tersebut.
Akan tetapi Imam Ahmad mengatakan, "Aku tidak mau mendahului untuk mengucapkan selamat hari raya namun jika ada yang memberi ucapan selamat hari raya kepadaku maka pasti akan aku jawab". Beliau mengatakan demikian karena menjawab penghormatan hukumnya wajib sedangkan memulai mengucapkan selamat hari raya bukanlah sunnah Nabi yang diperintahkan, bukan pula hal yang terlarang.
Siapa yang memulai mengucapkan selamat hari raya dia memiliki panutan dari para ulama dan yang tidak mau memulai juga memiliki panutan dari kalangan ulama".Allahu A'lam.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani menukilkan sebuah riwayat yang isnadnya hasan:
عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ قَالَ كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا الْتَقَوْا يَوْمَ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكَ
Dari Jubair bin Nufair, ia berkata para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam jika berjumpa dengan hari Ied (Idul Fithri maupun Idul Adha), satu sama lain saling mengucapkan, "Taqobbalallahu minna wa minka (Semoga Allah menerima amal kami dan amalmu). (Fathul Bari Syarah Shohih al-Bukhori 2/575 cet. Daarus Salam Riyadh 1421 H)
Syaikh Muhammad rahimahullah pernah ditanya tentang ucapan selamat idul fitri dan beliau menjawab:
في العيد، لا بأس أن يقول لغيره: تقبّل الله منّا ومنك، أو عيد مبارك، أو تقبّل الله صيامك وقيامك، أو ما أشبه ذلك؛ لأن هذا ورد من فعل بعض الصحابة ـ رضي الله عنهم ـ وليس فيه محذور.
Saat Hari Ied tidak mengapa untuk mengucapkan kepada muslim yang lain Taqabbalallahu Minna wa Minka (semoga Allah menerima amal kami dan amal mu atau Ied Mubarak (Ied yang diberkahi) atau Taqabbalallahu Siyamaka wa Qiyamaka (semoga Allah menerima amalan puasamu dan sholatmu) atau yang semisalnya karena hal tersebut terdapat dalil dari perilaku sebagian para Shahabat Nabi radhiallahu'anhum dan di dalamnya tidak ada peringatan (larangan dari Rasulullah Shallallahu'alahi wassalam) (Syarhul Mumti' Ala Zaad al-Mustaqni' 5/171 cet. Daar Ibnul Jauzy th. 1423 H.)
يَجُوْزُ التَّرْوِيْحُ عَنِ النَّفْسِ باِللَّهْوِ الـمُباَحِ وَكَذَا غِنَاءُ الَبنَاتِ الصِّغَارِ وَضَرْبُهُنَّ الدُّفَّ.
Bolehnya mengambil refresing dengan sesuatu hiburan yang dibolehkan seperti musik yang dilantunkan oleh anak-anak perempuan yang mendendangkannya dengan pukulan rebana.
Adapun dalilnya:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ تُغَنِّيَانِ بِغِنَاءِ بُعَاثَ، فَاضْطَجَعَ عَلَى الفِرَاشِ وَحَوَّلَ وَجْهَهُ، فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ، فَانْتَهَرَنِي وَقَالَ: مِزْمَارَةُ الشَّيْطَانِ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «دَعْهُمَا»، فَلَمَّا غَفَلَ غَمَزْتُهُمَا، فَخَرَجَتَا
Dari Aisyah radliaalahu 'anha, ia berkata : "Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk menemuiku sedangkan di sisiku ada dua anak perempuan kecil yang sedang bernyanyi dengan nyanyian Bu'ats (kisah kemenangan suku Aus terhadap Khazraj). Lalu beliau berbaring di tempat tidur dan memalingkan wajahnya. Masuklah Abu Bakar, lalu dia menghardikku dan berkata : 'Seruling syaitan di sisi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam !?' Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian,menghadap ke Abu Bakar seraya berkata :'Biarkan kedua anak perempuan itu'. Ketika beliau tidur, aku memberi isyarat dengan mata kepada dua anak itu maka merekapun keluar".
Dalam riwayat lain :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَا أَبَا بَكْرٍ، إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Artinya : 'Wahai Abu Bakar, setiap kaum memiliki hari raya, dan ini adalah hari raya kita". Hadits Shohih (Kedua hadits ini Diriwayatkan oleh Bukhari 949, 952, 2097, 3530, 3931. Diriwayatkan juga oleh Muslim 892. Ahmad 6/134 dan Ibnu Majah no. 1898, Lihat Ahkamul Ied Syaikh Ali Hasan hal. 18.)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan tentang salah satu fawaid dari kandungan hadits tersebut dalam kitabnya Fathul Bari syarh Shohih al-Bukhori 2/571 cet. Daarus Salam th. 1421 H)
مَشْرُوعِيَّةُ التَّوْسِعَةِ عَلَى الْعِيَالِ فِي أَيَّامِ الْأَعْيَادِ بِأَنْوَاعِ مَا يَحْصُلُ لَهُمْ بَسْطُ النَّفْسِ وَتَرْوِيحُ الْبَدَنِ مِنْ كَلَفِ الْعِبَادَةِ وَأَنَّ الْإِعْرَاضَ عَنْ ذَلِكَ أَوْلَى وَفِيهِ أَنَّ إِظْهَارَ السُّرُورِ فِي الْأَعْيَادِ مِنْ شِعَارِ الدِّينِ
Disyariatkan untuk memberikan kelapangan kepada keluarga pada hari-hari raya untuk melakukan berbagai hal yang dapat menyampaikan mereka pada kesenangan jiwa dan istirahatnya tubuh dari beban ibadah. Dan sesungguhnya berpaling dari hal itu lebih utama. Dalam hadits ini juga menunjukkan bahwa menampakkan kegembiraan pada hari-hari raya merupakan syi'ar agama.
مَنْ فَاتَتْهُ صَلاَةَ العِيْدِ مَعَ الـجَمَاعَةِ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ مَعَ التَّكْبِيْرَاتِ الزَّوَائِدِ. وَمَنْ لَمْ يُصَلِّهَا حَتَّى دَخَلَ وَقْتَ الظَّهْرِ فَلْيَقْضِهَا فِي الْيَوِمِ الثَّانِي، لَأَنَّ وَقْتَهَا مثل صلاة الضحى.
Barangsiapa yang terlewat sholat iednya bersama jama'ah maka hendaknya ia sholat dua rokaat dengan disertai takbir tambahan (zawaid) (sama dengan yang dilakukan ketika sholat ied berjama'ah) dan barangsiapa yang belum sholat sampai datangnya waktu dhuhur maka mengqodho'nya pada hari yang kedua karena waktunya adalah sama dengan waktu sholat Dhuha.
Adapun Apabila jika sholat Ied terlewat maka bagi seorang muslim yang mengalaminya untuk melakukan sholat dua rokaat seperti yang dilakukan Imam di Sholat Ied, hal tersebut berdasarkan dalil berikut ini:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتِ الأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ، قَالَتْ: وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَا أَبَا بَكْرٍ، إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا»
Dari Aisyah radhiallahu'anha, dia berkata: bahwa Abu Bakar radhiallahu'anhu pernah masuk menemuiku dan disisiku terdapat dua budak perempuan tetangga kaum Anshor yang sedang bersenandung mengingatkan kepada peristiwa berdarah pada Kaum Anshor di perang – Buats. Kemudian Aisya berkata, 'Kedua budah sahaya itu tidaklah begitu pandai dalam berdendang. Maka Abu Bakar menimpali, "Seruling-seruling syaitan (kalian perdengarkannya) di rumah Rasulullah Shallallahu'alaihi wassalam !. Peristiwa tersebut terjadi pada Hari Raya Ied amaka bersabdalah Rasulullah Shallahu'alaihi wassalam : "Wahai Abu Bakar sesungguhnya setipa kaum itu memiliki hari Raya, dan sekarang ini adalah hari Raya." Hadits Shohih (HR. Al-Bukhori no. 952 dan juga Muslim no. 892)
Syaikh Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul dalam kitabnya Bughyatul Mutathowi' fi Sholatit Tathowwu' hal.124 mengomentari hadits tersebut dengan membawakan komentar dari Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Bari sebagai berikut: "Penamaan hari Ied itu memberikan faidah bahwa pelaksanaan sholat Ied itu adalah pada hari tersebut. Dan pelaksanaanya dapat dilakukan hingga akhir harinya yaitu Ayyam Mina – hari-hari Tashriq untuk Idul Adha."
Dalil yang lainnya adalah:
عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ خَادِمِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " كَانَ أَنَسٌ إِذَا فَاتَتْهُ صَلَاةُ الْعِيدِ مَعَ الْإِمَامِ جَمَعَ أَهْلَهُ فَصَلَّى بِهِمْ مِثْلَ صَلَاةِ الْإِمَامِ فِي الْعِيدِ "
Dari Ubaidilah bin Abi Bakr bin Anas bin Malik pembantu Rasulullah Shallallahu'alaihi wassalam, dia berkata: "Anas apabila terlewat baginya sholat Ied bersama Imam (sholat Jama'ah bersama Imam di tanah lapang) maka beliau mengumpulkan keluarganya dan sholat mengimaminya sebagaimana sholatnya Imam di hari Ied. Hadits Hasan Lighairihi . (HR. Al-Baihaqy dalam Sunan Al-Kubro no. 6237, ditulis oleh Al-Bukhori dalam judul bab di kitab Shohihnya sebagaimana tercantum dalam Fathul Bari 2/611 (Cet. Daarus Salam), sanadnya Hasan Lighoirihi sebagaimana dicantumkan oleh Syaikh Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul dalam kitabnya Bughyatul Mutathowi' fi Shalatit Tathowu' hal. 125 cet. Daar Imam Ahmad th. 1425 H)
Berdasarkan hadits:
عَنْ أَبِي عُمَيْرِ بْنِ أَنَسٍ، عَنْ عُمُومَةٍ لَهُ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، «أَنَّ رَكْبًا جَاءُوا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْهَدُونَ أَنَّهُمْ رَأَوُا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ، فَأَمَرَهُمْ أَنْ يُفْطِرُوا، وَإِذَا أَصْبَحُوا أَنْ يَغْدُوا إِلَى مُصَلَّاهُمْ»
Dari Abu Umairah Ibnu Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu dari paman-pamannya di kalangan shahabat bahwa suatu kafilah/rombongan orang telah datang, lalu mereka bersaksi bahwa kemarin mereka telah melihat hilal (bulan sabit tanggal satu syawal), maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan mereka agar berbuka dan esoknya (waktu Dhuha) menuju lapangan tempat sholat mereka. Hadits Shohih . (HR. Abu Dawud no. 1157, an-Nasa-I no. 1556, Ibnu Majah no. 1653 dan Ahmad 5/57, Shohih, lihat Shohih Abi Dawud – Al Um - no. 1050)
Imam Ibnu Qudamah menjelaskan dalam kitabnya Al-Mughni (3/126 cet. Daarul Hadits):
إذَا لَمْ يَعْلَمْ بِيَوْمِ الْعِيدِ إلَّا بَعْدَ زَوَالِ الشَّمْسِ، خَرَجَ مِنْ الْغَدِ، فَصَلَّى بِهِمْ الْعِيدَ. وَهَذَا قَوْلُ الْأَوْزَاعِيِّ، وَالثَّوْرِيِّ، وَإِسْحَاقَ، وَابْنِ الْمُنْذِرِ. وَصَوَّبَهُ الْخَطَّابِيُّ
Jika seseorang tidak mengetahui tentang jatuhnya Hari Ied kecuali setelah Matahari telah zawal (Tergelincirnya matahari dari tengah langit ke arah barat) maka hendaknya ia keluar menuju lapangan tempat sholat keesokan harinya untuk melakukan sholat Ied. Dan pendapat ini adalah yang dipegang oleh Imam al-Auza'I, Imam Sufyan at-Tsauri, Ishaq bin Ruwaihah dan Ibnul Mudziri dan dibenarkan oleh Al-Khoththobi.
مَنْ أَدْرَكَ الإِمَامَ وَقَدْ كَبَّرَ بَعْضَ التَّكْبِيْرَاتِ الزَّوَائِدِ فَإِنَّهُ يُكَبِّرُ تَكْبِيْرَةَ الاِحْرَامِ ثُمَّ يُتَابِعُ إِمَامَهُ وَيَسْقُطُ عَنْهُ مَا فَاتَهُ مِنَ التَّكْبِيْراَتِ.
Barangsiapa yang mendapati imam telah bertakbir beberapa kali dari takbir tambahan maka baginya agar melakukan takbiratul ihram dan mengikuti takbirnya imam dan terputus baginya takbir-takbir yang telah berlalu darinya.
Imam al-Bukhori memberikan nama bab di dalam kitab shohihnya Bab :
إِذَا فَاتَهُ العِيدُ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ
Bab: Apabila seseorang luput dari shalat Id hendaklah ia shalat dua raka'at
Seperti diketahui bahwa hampir setiap Imam-Imam penulis hadits ketika mereka memberikan judul bab di kitab-kitabnya mengandung prinsip pemahaman yang mereka pegang berkaitan dengan suatu masalah dalam Islam yang mulia ini. Sehingga Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan tentang maksud judul bab yang ditulis oleh Imam al-Bukhori dalam kitabnya Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhori 2/611 (cet. Daarus Salam) bahwa kandungan judul diatas ada dua hukum:
Disyariatkan menyusul shalat Id jika luput mengerjakan secara berjamaah, baik dengan terpaksa atau pilihan.
Shalat Id yang luput dikerjakan diganti dengan shalat dua raka'at Berkata Atha' : "Apabila seorang kehilangan shalat Id hendaknya ia shalat dua rakaat"
لاَ تَنْسَ زَكَاةَ الْفِطْرِ فَقَدْ أَمَرَ بِهَا النَّبِيُّ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَنْ تُؤَدِّيَ قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلىَ صَلَاةِ العِيْدِ وَيَجُوْزُ اِخْرَاجُهَا قَبْلَ العِيْدِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ.
Jangan lupa menunaikan zakat fitrah karena telah diperintahkan oleh Nabi Shallallahu'alaihi wassalam agar dilakukan sebelum manusia keluar menuju sholat Ied dan boleh dikeluarkan sehari atau dua hari sebelumnya.
Adapun dalil bolehnya zakat fitri dikeluarkan sehari atau dua hari sebelum Ied Fitri adalah hadits:
وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
Para shahabat memberikan zakat fitrinya sehari atau dua hari sebelum Ied Fitri Hadits Shohih . (HR. al-Bukhori no. 1511, dari Shahabat Ibnu Umar, lihat Irwaul Ghalil no. 846)
صِيَامُ سِتَّ مِنْ شَوَالٍ يُشْرَعُ مِنْ ثَانِي شَوَال
Puasa enam hari bulan Syawal dan disyariatkan awalnya dari tanggal 2 syawal.
Adapun dalilnya yaitu:
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّهُ حَدَّثَهُ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ»
Dari sahabat Abu Ayyub Al Anshoriy, beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti layaknya setahun penuh." Hadits Shohih . (HR. Muslim no. 1164 (204))
Dalil yang lainnya:
عَنْ ثَوْبَانَ، مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: «مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ، مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا»
Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barang siapa berpuasa enam hari setelah hari raya Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh. Barang siapa melakukan satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisalnya." Hadits Shohih (HR. Ibnu Majah no. 1715, shohih. Lihat Shohih At-Targhib no. 997)
Maka di samping amalan-amalan hari raya yang harus dilakukan berlandaskan dalil, seorang Muslim hendaknya semakin taat kepada Allâh Ta'âla dan semakin ketat menjaga keutuhan agamanya. Sehingga jika melakukan kegembiraan, ia berkomitmen untuk tidak bermaksiat dan tidak keluar dari ketetapan yang telah disyari’atkan.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar