Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman
وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ (1) وَطُورِ سِينِينَ (2) وَهَذَا الْبَلَدِ الْأَمِينِ (3) لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (4) ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ (5) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ (6) فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّينِ (7) أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ (8)
Demi (buah) tin dan (buah) zaitun, dan demi Bukit Sinai, dan demi kota (Mekah) ini yanga man, sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu? Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya? (QS At-Tin :1-8)
Ulama tafsir berbeda pendapat sehubungan dengan tafsir surat ini, ada beberapa pendapat yang cukup banyak di kalangan mereka mengenainya. Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan tin adalah sebuah masjid di kota Dimasyq. Menurut pendapat yang lainnya adalah buah tin. Dan menurut pendapat yang lainnya lagi adalah nama sebuah gunung penuh dengan buah tin.
Al-Qurtubi mengatakan bahwa tin adalah nama masjid As-habul Kahfi. Dan telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas oleh Al-Aufi, bahwa tin di sini adalah masjid Nabi Nuh yang ada di puncak Bukit Al-Judi. Mujahid mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah pohon tin kalian ini.
Sedangkan mengenai zaitun —menurut Ka'bul Ahbar, Qatadah, Ibnu Zaid, dan yang lainnya— hal ini adalah nama sebuah masjid yang terletak di kota Yerussalem (Baitul Maqdis). Mujahid dan Ikrimah mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah buah zaitun yang kalian peras ini.
{وَطُورِ سِينِينَ}
dan demi Bukit Sinai. (At-Tin: 2)
Ka'bul Ahbar dan yang lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa ini adalah nama bukit yang di tempat itu Allah berbicara langsung kepada Musa a.s.
{وَهَذَا الْبَلَدِ الأمِينِ}
dan demi kota (Mekah) ini yang aman. (At-Tin: 3)
Makna yang dimaksud adalah kota Mekah, menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Al-Hasan, Ibrahim An-Nakha'i, Ibnu Zaid, dan Ka'bul Ahbar; tiada perbedaan pendapat di kalangan mereka dalam hal ini.
Sebagian para imam mengatakan bahwa ketiganya merupakan nama tiga tempat yang pada masing-masingnya Allah telah mengutus seorang nabi dari kalangan Ulul 'Azmi para pemilik syariat-syariat yang besar.
Yang pertama ialah tempat yang dipenuhi dengan tin dan zaitun, yaitu Baitul Maqdis, Allah telah mengutus Isa putra Maryam padanya. Yang kedua adalah Tur Sinai, yakni nama bukit yang padanya Allah berbicara langsung kepada Musa ibnu Imran. Dan yang ketiga ialah Mekah alias kota yang aman; yang barang siapa memasukinya, pasti dia dalam keadaan aman; di tempat inilah Allah Swt. mengutus Nabi Muhammad Saw.
Mereka mengatakan bahwa pada akhir kitab Taurat nama ketiga tempat ini disebutkan, "Allah datang dari Bukit Sinai —yakni tempat yang padanya Allah berbicara langsung kepada Musa a.s. ibnu Imran—. Dan muncul di Sa'ir, nama sebuah bukit di Baitul Maqdis, yang padanya Allah mengutus Isa. Dan tampak di bukit-bukit Faran, yakni bukit-bukit Mekah yang darinya Allah Swt. mengutus Nabi Muhammad Saw.
Maka Allah Swt. menyebutkan nama-nama ketiga tempat itu seraya memberitakan tentang mereka yang diutus-Nya secara tertib dan menurut urutan zamannya. Untuk itulah hal ini berarti Allah bersumpah dengan menyebut yang mulia, lalu yang lebih mulia darinya, kemudian yang lebih mulia dari keseluruhannya.
Firman Allah Swt.:
{لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ}
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (At-Tin: 4)
Dan inilah subjek sumpahnya, yaitu bahwa Allah Swt. telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik dan rupa yang paling sempurna, tegak jalannya dan sempurna, lagi baik semua anggota tubuhnya.
{ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ}
Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. (At-Tin: 5)
Yakni neraka, menurut Mujahid, Abul Aliyah, Al-Hasan, Ibnu Zaid, dan lain-lainnya. Yakni kemudian sesudah penciptaan yang paling baik lagi paling indah itu, tempat kembali mereka adalah ke neraka, jika mereka tidak taat kepada Allah dan tidak mengikuti rasul-rasul-Nya.
Untuk itulah maka disebutkan dalam firman berikutnya:
{إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ}
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh. (At-Tin:6)
Sebagian ulama ada yang mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Kemudian Kami kembalikan dia ke tempatyang serendah-rendahnya. (At-Tin: 5)
Yaitu kepada usia yang paling hina. Hal ini telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dan Ikrimah, sehingga Ikrimah mengatakan bahwa barang siapa yang hafal Al-Qur'an seluruhnya, maka ia tidak akan memasuki usia yang paling hina. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir.
Seandainya hal itulah yang dimaksud oleh makna ayat, niscaya tidaklah menjadi indah pujian bagi kaum mukmin, mengingat sebagian dari mereka adalah yang mengalami usia pikun. Dan sesungguhnya makna yang dimaksud hanyalah sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas, yakni ke neraka, bukan ke usia yang paling hina alias pikun. Dan ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحاتِ
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, (Al-'Asr: 1-3)
Maksudnya, yang dikembalikan ke tempat yang rendah adalah dijadikan orang yang merugi. Yang tidak merugi hanyalah orang yang beriman dan beramal shalih.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
فَحَكَمَ عَلَى النَّوْعِ كُلِّهِ وَالْأُمَّةِ الْإِنْسَانِيَّةِ جَمِيعِهَا بِالْخَسَارَةِ وَالسُّفُولِ إلَى الْغَايَةِ إلَّا الْمُؤْمِنِينَ الصَّالِحِينَ
“Seluruh manusia dan umat berada dalam kerugian dan keadaan yang serendah-rendahnya kecuali orang beriman dan beramal shalih.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 2: 5)
Karena kalau diartikan keadaan yang rendah (jelek) dalam surat At-Tiin adalah keadaan di waktu harom (waktu tua), sebenarnya orang beriman pun ada yang merasakan sulit beramal di waktu tuanya. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7: 601)
Adapun firman Allah Swt.:
{فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ}
maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. (At-Tin: 6)
Yakni tiada habis-habisnya, sebagaimana yang sering diterangkan sebelumnya. Kemudian disebutkan dalam firman berikutnya:
{فَمَا يُكَذِّبُكَ}
Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan. (At-Tin: 7)
hai anak Adam.
{بَعْدُ بِالدِّينِ}
(hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu? (At-Tin: 7)
Maksudnya, pembalasan di hari kemudian. Sesungguhnya kamu telah mengetahui permulaan kejadianmu dan telah mengetahui bahwa Tuhan yang mampu menciptakan dari semula berkuasa pula untuk mengembalikannya jadi hidup, bahkan itu lebih mudah bagi-Nya. Maka apakah yang mendorongmu mendustakan adanya hari pembalasan, padahal engkau telah mengetahui hal tersebut?
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad Ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, dari Sufyan, dari Mansur yang mengatakan bahwa aku pernah bertanya kepada Mujahid mengenai makna firman-Nya: Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu? (At-Tin: 7) Apakah yang dimaksud adalah Nabi Saw.? Maka Mujahid menjawab, "Ma'azallah, makna yang dimaksud adalah manusia." Hal yang sama telah dikatakan oleh Ikrimah dan lain-lainnya.
Jika seseorang sulit beramal di waktu tua padahal waktu mudanya gemar beramal, maka ia tetap dicatat seperti keadaannya di waktu muda. Sama halnya keadaannya seperti orang yang sakit dan bersafar. Dalam hadits Abu Musa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika seorang hamba sakit atau bersafar, maka dicatat baginya semisal keadaan ketika ia beramal saat mukim atau sehat.” (HR. Bukhari no. 2996)
Berlindung dari Keadaan Jelek di Waktu Tua
Jadi, usia muda adalah masa fit (semangat) untuk beramal. Oleh karena itu, manfaatkanlah dengan sebaik-baiknya. Janganlah disia-siakan. Mintalah juga perlindungan kepada Allah dari usia tua yang jelek sebagaimana do’a yang Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam contohkan. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa meminta perlindungan dengan do’a,
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْكَسَلِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَرَمِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبُخْلِ
“Allahumma inni a’udzu bika minal kasl wa a’udzu bika minal jubn, wa a’udzu bika minal harom, wa a’udzu bika minal bukhl
[artinya: Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari rasa malas, aku meminta perlindungan pada-Mu dari lemahnya hati, aku meminta perlindungan pada-Mu dari usia tua (yang sulit untuk beramal) dan aku meminta perlindungan pada-Mu dari sifat kikir (pelit)].” (HR. Bukhari no. 6371)
Ada empat hal yang diminta dilindungi dalam doa di atas:
1- Sifat al-kasal, yaitu tidak ada atau kurangnya dorongan (motivasi) untuk melakukan kebaikan padahal dalam keadaan mampu untuk melakukannya. Inilah sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Nawawirahimahullah.
Bedanya dengan kasal dan ‘ajz, ‘ajz itu tidak ada kemampuan sama sekali, sedangkan kasal itu masih ada kemampuan namun tidak ada dorongan untuk melakukan kebaikan.
2- Sifat al-jubn, artinya berlindung dari rasa takut (lawan dari berani), yaitu berlindung dari sifat takut untuk berperang atau tidak berani untuk beramar ma’ruf nahi mungkar. Juga do’a ini bisa berarti meminta perlindungan dari hati yang lemah.
3- Sifat al-harom, artinya berlindung dari kembali pada kejelekan umur (di masa tua). Ada apa dengan masa tua? Karena pada masa tua, pikiran sudah mulai kacau, kecerdasan dan pemahaman semakin berkurang, dan tidak mampu melakukan banyak ketaatan.
4- Sifat al-bukhl, artinya berlindung dari sifat pelit (kikir). Yaitu do’a ini berisi permintaan agar seseorang bisa menunaikan hak pada harta dengan benar, sehingga memotivasinya untuk rajin berinfak (yang wajib atau yang sunnah), bersikap dermawan dan berakhlak mulia. Juga do’a ini memaksudkan agar seseorang tidak tamak dengan harta yang tidak ada padanya. (Lihat Syarh Shahih Muslim, 17: 28-30)
Firman-Nya
{أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ}
Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya? (At-Tin: 8)
Yakni bukankah Dia Hakim yang paling adil, yang tidak melampaui batas dan tidak aniaya terhadap seseorang pun. Dan termasuk dari sifat adil-Nya ialah Dia mengadakan hari kiamat, lalu orang yang dianiaya di dunia dapat membalas kepada orang yang pernah berbuat aniaya kepadanya di hari itu.
Dalam pembahasan yang lalu telah kami terangkan melalui hadis Abu Hurairah secara marfu':
«فَإِذَا قَرَأَ أَحَدُكُمْ وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ فَأَتَى عَلَى آخِرِهَا أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحاكِمِينَ فَلْيَقُلْ بَلَى وَأَنَا عَلَى ذَلِكَ من الشاهدين»
Apabila seseorang di antara kamu membaca Wat Tini Waz Zaituni (surat At-Tin), lalu sampai pada ayat terakhirnya, yaitu firman Allah Swt., "Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya, " maka hendaklah ia mengucapkan, "Benar, dan aku termasuk orang-orang yang menjadi saksi atas hal tersebut.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Assalamualaikum,
BalasHapusSetelah 2 tahun tulisan ini delisting, bertepatan juga dg waktu tatkala saya sulit menyelesaikan bacaan surat at tin karena setiap membaca surat ini saya menangis, alhamdulillah menemukan tulisan yg menurut saya sangat membantu memahami makna surat at tin. Lebih jauh, saya ingin sekali mendapat penjelasan keterkaitan makna surat at tin dg ilmu pengetahuan umum. Mohon bantuan nya. TeriMa kash