Islam bukanlah agama individual/nafsi-nafsi yang hanya mementingkan diri sendiri. Namun juga merupakan agama sosial di mana setiap anggota masyarakat harus melakukan kewajiban Amar Ma’ruf Nahi Munkar terhadap sesama. Menyuruh mengerjakan kebaikan dan Mencegah perbuatan mungkar.
Orang disebut al-‘Aqil adalah orang yang menjaga dirinya dan menjauhkannya dari hawa nafsu. Akal adalah penentuan secara hati-hati di dalam segala urusan. Akal adalah qalbu dan qalbu adalah akal. Orang disebut berakal karena pemiliknya mengerti supaya tidak terjerumus dalam kehancuran atau dia menjaganya (dari kehancuran). Akal adalah pembeda antara manusia (insan) dan seluruh binatang atau makhluk hidup lainnya. Orang berakal adalah orang yang mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dan tidak mengerjakan apa yang dilarang-Nya.
Allah Ta’ala berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 44 sebagai berikut:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلا تَعْقِلُونَ
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)-mu sendiri, padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?
Firman Allah swt, dalam ayat ini ditujukan kepada pendeta-pendeta Yahudi. Allah telah mencela tingkah laku dan perbuatan mereka yang tidak baik dan ditunjukkan-Nya kepada mereka jalan keluar dari kesesatan-kesesatan itu. Di antara kesesatan-kesesatan yang telah mereka lakukan ialah bahwa bangsa Yahudi mengatakan bahwa mereka beriman kepada kitab-kitab suci mereka, yaitu Taurat dan mereka melaksanakan petunjuk-petunjuknya dan akan tetap memelihara dan membacanya.
Akan tetapi ternyata mereka tidak membacanya dengan baik karena membaca dengan baik berarti mengimaninya menurut cara yang diridai Allah. Pendeta-pendeta mereka yang bertugas untuk menyuruh dan melarang, hanya mau menyebutkan yang hak yang terdapat dalam ajaran kitab suci itu, apabila sesuai dengan keinginan hawa nafsu mereka dan mereka tidak mengerjakan hukum-hukum yang terdapat dalam kitab itu apabila berlawanan dengan hawa nafsu mereka. Pendeta-pendeta Yahudi yang berada di kota Madinah secara rahasia menasihatkan kepada orang orang lain untuk beriman kepada Nabi Muhammad saw, akan tetapi mereka sendiri tak mau beriman kepadanya. Mereka menyuruh orang lain untuk taat kepada Allah dan melarang mereka dari perbuatan maksiat tetapi mereka sendiri melakukan perbuatan-perbuatan maksiat itu.
Dalam ayat ini disebutkan bahwa mereka “melupakan” diri mereka. Maksudnya ialah “membiarkan” diri mereka merugi, sebab sudah tentu bahwa biasanya manusia tidak pernah melupakan dirinya untuk memperoleh keuntungan dan ia tak rela apabila yang lain mendahuluinya mendapat kebahagiaan. Maka ungkapan “melupakan” itu menunjukkan betapa mereka melalaikan dan tidak memuliakan apa-apa yang sepatutnya mereka lakukan.
Maka seakan-akan Allah berfirman, “Jika benar-benar kamu yakin kepada janji Allah bahwa Dia akan memberikan pahala atas perbuatan yang baik dan Dia mengancam akan mengazab orang-orang yang meninggalkan perbuatan perbuatan yang baik itu, maka mengapakah kamu melupakan kepentingan dirimu sendiri”. Cukup jelas bahwa susunan kalimat ini mengandung celaan yang tak ada taranya karena barang siapa menyuruh orang-orang lain untuk melakukan sesuatu perbuatan kebaikan padahal ia sendiri tidak melakukannya, berarti ia telah menyalahi ucapannya sendiri.
Para pendeta yang selalu membacakan kitab suci itu kepada orang-orang lain lebih mengetahui isi kitab itu dari orang yang mereka suruh untuk mengikutinya. Dan adalah besar sekali perbedaan antara orang yang melakukan suatu perbuatan, padahal ia belum mengetahui benar-benar faedah dari perbuatan itu, dengan orang yang meninggalkan perbuatan itu padahal ia mengetahui benar-benar faedah dari perbuatan yang ditinggalkannya itu. Oleh sebab itu Allah swt, memandang bahwa mereka seolah-olah tidak berakal, sebab orang yang berakal, betapa pun lemahnya, tentu akan mengamalkan ilmu pengetahuannya itu.
Firman Allah swt. ini, walaupun ditujukan kepada bangsa Yahudi, namun ia menjadi pelajaran pula bagi yang lain. Sebab itu, setiap bangsa, baik perseorangan maupun keseluruhannya, hendaklah memperhatikan keadaan dirinya dan berusaha untuk menjauhkan diri dari keadaan dan sifat-sifat seperti yang terdapat pada bangsa Yahudi itu yang dikritik dalam ayat tersebut di atas, supaya tidak menemui akibat seperti yang mereka alami.
Abu Darda’ a mengatakan, seseorang tidak memiliki pemahaman yang mendalam sehingga ia mencela orang lain karena Allah, kemudian ia mengintrospeksi dirinya sendiri, akhirnya ia lebih mencela dirinya sendiri. Yang dimaksud, bukan celaan terhadap usaha mereka menyuruh berbuat kebajikan, namun yang wajib dan lebih patut baginya adalah mengerjakan kebajikan bersama orang-orang yang ia perintahkan dan tidak menyelisihi mereka. Sebagaimana perkataan Nabi Syu’aib a.s:
وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلا الإصْلاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang, aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan, dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah, hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.(QS. Hud: 88)
Melakukan amar ma'ruf dan melakukan perbuatan makruf hukumnya wajib, masing-masing dari keduanya tidak gugur karena tidak melakukan yang lain. Demikianlah pendapat yang paling sahih dari kedua golongan ulama, yaitu ulama Salaf dan ulama Khalaf.
Sebagian ulama mengatakan bahwa orang yang berbuat maksiat tidak boleh melarang orang lain untuk melakukannya. Pendapat ini lemah, dan lebih lemah lagi mereka memegang ayat ini sebagai dalil mereka, karena sesungguhnya tidak ada hujah bagi mereka dalam ayat ini.
Tetapi pendapat yang sahih mengatakan bahwa orang yang alim harus memerintahkan amar ma'ruf, sekalipun dia sendiri tidak mengerjakannya; harus melarang perbuatan yang mungkar, sekalipun dia sendiri mengerjakannya.
Malik ibnu Rabi'ah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnu Jubair berkata, "Seandainya seseorang tidak melakukan amar ma'ruf, tidak pula nahi munkar karena diharuskan baginya bersih dari hal tersebut, niscaya tiada seorang pun yang melakukan amar ma'ruf, tidak pula nahi munkar." Malik berkata, "Dan memang benar, siapakah orangnya yang bersih dari kesalahan?"
Menurut kami, dalam keadaan demikian (orang yang bersangkutan adalah seorang yang alim) ia tercela, sebab meninggalkan amal ketaatan dan mengerjakan maksiat, karena dia adalah seorang yang alim dan pelanggaran yang dilakukannya atas dasar pengetahuan, mengingat tidaklah sama antara orang yang alim dengan orang yang tidak alim. Untuk itu, banyak hadis yang mengancam orang yang melakukan hal tersebut. Imam Abul Qasim At-Tabrani di dalam kitab Mu'jamul Kabir telah meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Ma’la Ad-Dimasyqi dan Al-Hasan ibnu Ali Al-Umri; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Sulaiman Al-Kalbi, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Abu Tamimah Al-Hujaimi, dari Jundub ibnu Abdullah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَثَلُ الْعَالِمِ الَّذِي يُعَلِّمُ النَّاسَ الْخَيْرَ وَلَا يَعْمَلُ بِهِ كَمَثَلِ السِّرَاجِ يُضِيءُ لِلنَّاسِ وَيَحْرِقُ نَفْسَهُ"
Perumpamaan orang alim yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain, sedangkan dia sendiri tidak mengamalkannya, sama dengan pelita; ia memberikan penerangan kepada orang lain, sedangkan dirinya sendiri terbakar.
Hadis ini bila ditinjau dari sanad ini berpredikat garib.
Hadis kedua diketengahkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya:
حَدَّثَنَا وَكِيع، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ هُوَ ابْنُ جُدْعَانَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عَلَى قَوْمٍ شِفَاهُهُمْ تُقْرَض بِمَقَارِيضَ مِنْ نَارٍ. قَالَ: قُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ؟ " قَالُوا: خُطَبَاءُ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا مِمَّنْ كَانُوا يَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَيَنْسَوْنَ أَنْفُسَهُمْ، وَهُمْ يَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا يَعْقِلُونَ؟
telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Ali ibnu Zaid (yaitu ibnu Jad'an), dari Anas ibnu Malik r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Di malam aku diisrakan, aku bersua dengan suatu kaum yang bibir mereka digunting dengan gunting-gunting api, lalu aku bertanya, "Siapakah mereka itu?" Mereka (para malaikat) menjawab, "Mereka adalah tukang ceramah umatmu di dunia, dari kalangan orang-orang yang memerintahkan orang lain untuk mengerjakan ketaatan, sedangkan mereka melupakan dirinya sendiri, padahal mereka membaca Al-Qur'an. Maka tidakkah mereka berpikir?"
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Abdu ibnu Humaid di dalam kitab Musnad-nya, juga di dalam kitab tafsirnya yang bersumber dari Al-Hasan ibnu Musa, dari Hammad ibnu Salamah dengan lafaz yang sama. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya melalui hadis Yunus Ibnu Muhammad Al-Muaddib dan Al-Hajjaj ibnu Minhal, keduanya menerima hadis ini dari Hammad ibnu Salamah dengan lafaz yang sama. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Yazid ibnu Harun, dari Hammad ibnu Salamah dengan lafaz yang sama.
Kemudian Ibnu Murdawaih meriwayatkan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ هَارُونَ، حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التُّسْتَرِيُّ بِبَلْخٍ، حَدَّثَنَا مَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ قَيْسٍ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ عَنْ ثُمَامَةَ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عَلَى أُنَاسٍ تُقْرَضُ شِفَاهُهُمْ وَأَلْسِنَتُهُمْ بِمَقَارِيضَ مِنْ نَارٍ. قُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ؟ " قَالَ: هَؤُلَاءِ خُطَبَاءُ أُمَّتِكَ، الَّذِينَ يَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَيَنْسَوْنَ أَنْفُسَهُمْ.
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim At-Tusturi di Balakh, telah menceritakan kepada kami Makki ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Qais, dari Ali ibnu Yazid, dari Sumamah, dari Anas yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:Di malam aku diisrakan aku bersua dengan orang-orang yang bibir dan lidah mereka digunting dengan gunting-gunting dari api, lalu aku bertanya, "Siapakah mereka itu, hai Jibril?" Jibril menjawab, "Mereka adalah tukang ceramah umatmu yang memerintahkan kepada orang lain untuk melakukan ketaatan, sedangkan mereka melupakan dirinya sendiri."
Hadis ini diketengahkan oleh Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya dan Ibnu Abu Hatim serta Ibnu Murdawaih melalui hadis Hisyam Ad-Dustuwai, dari Al-Mugirah yakni Ibnu Habib menantu Malik ibnu Dinar, dari Malik ibnu Dinar, dari Sumamah, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan:
لَمَّا عُرِجَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِقَوْمٍ تُقْرض شِفَاهُهُمْ ، فَقَالَ: "يَا جِبْرِيلُ، مَنْ هَؤُلَاءِ؟ " قَالَ: هَؤُلَاءِ الْخُطَبَاءُ مِنْ أُمَّتِكَ يَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَيَنْسَوْنَ أَنْفُسَهُمْ؛ أَفَلَا يَعْقِلُونَ؟
Ketika Rasulullah Saw. dibawa mikraj, beliau bersua dengan suatu kaum yang bibir mereka diguntingi, lalu beliau bertanya, "Hai Jibril, siapakah mereka itu?" Jibril menjawab, "Mereka adalah tukang khotbah dari kalangan umatmu, mereka memerintahkan orang lain untuk mengerjakan kebajikan, sedangkan mereka melupakan dirinya sendiri. Maka tidakkah mereka berpikir?"
Hadis lainnya diriwayatkan oleh Imam Ahmad, disebut bahwa:
حَدَّثَنَا يَعْلَى بْنُ عُبَيْدٍ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ، قَالَ: قِيلَ لِأُسَامَةَ -وَأَنَا رَدِيفُهُ-: أَلَا تُكَلِّمُ عُثْمَانَ؟ فَقَالَ: إِنَّكُمْ تُرَون أَنِّي لَا أُكَلِّمُهُ إِلَّا أُسْمِعُكُمْ. إِنِّي لَا أُكَلِّمُهُ فِيمَا بَيْنِي وَبَيْنَهُ مَا دُونُ أَنْ أَفْتَتِحَ أَمْرًا -لَا أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ أَوَّلَ مَنِ افْتَتَحَهُ، وَاللَّهِ لَا أَقُولُ لِرَجُلٍ إِنَّكَ خَيْرُ النَّاسِ. وَإِنْ كَانَ عَلَيَّ أَمِيرًا -بَعْدَ أَنْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ، قَالُوا: وَمَا سَمِعْتَهُ يَقُولُ؟ قَالَ: سَمِعْتُهُ يَقُولُ: "يُجَاء بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ، فَتَنْدَلِقُ بِهِ أَقْتَابُهُ ، فَيَدُورُ بِهَا فِي النَّارِ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِرَحَاهُ، فَيُطِيفُ بِهِ أهلُ النَّارِ، فَيَقُولُونَ: يَا فُلَانُ مَا أَصَابَكَ؟ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنِ الْمُنْكَرِ؟ فَيَقُولُ: كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا آتِيهِ، وَأَنْهَاكُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ"
telah menceritakan kepada kami Ya’la ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Abu Wail yang telah menceritakan bahwa pernah dikatakan kepada Usamah yang saat itu aku membonceng padanya, "Mengapa engkau tidak berbicara kepada Usman?" Usamah menjawab, "Sesungguhnya kalian berpandangan bahwa tidak sekali-kali aku berbicara kepadanya melainkan aku akan memperdengarkannya kepada kalian. Sesungguhnya aku akan berbicara dengannya mengenai urusan antara aku dan dia tanpa menyinggung suatu perkara yang paling aku sukai bila diriku adalah orang pertama yang memulainya. Demi Allah, aku tidak akan mengatakan kepada seorang pun bahwa engkau adalah sebaik-baik orang, sekalipun dia bagiku adalah sebagai amir, sesudah aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda." Mereka bertanya, "Apakah yang telah engkau dengar dari beliau?" Usamah menjawab bahwa dia pernah mendengar Nabi Saw. bersabda: Kelak di hari kiamat ada seorang lelaki yang didatangkan, lalu dicampakkan ke dalam neraka, maka berhamburanlah isi perutnya, lalu berputar-putar seraya membawa isi perutnya ke dalam neraka sebagaimana keledai berputar dengan penggilingannya. Maka penghuni neraka mengelilinginya dan mengatakan, "Hai Fulan, apakah gerangan yang telah menimpamu? Bukankah kamu dahulu memerintahkan kepada kami untuk berbuat yang makruf dan melarang kami dari perbuatan yang mungkar?" Lelaki itu menjawab, "Dahulu aku memerintahkan kalian kepada perkara yang makruf, tetapi aku sendiri tidak mengerjakannya; dan aku melarang kalian melakukan perbuatan yang mungkar, tetapi aku sendiri mengerjakannya."
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan hadis yang semisal melalui hadis Sulaiman ibnu Mihran, dari Al-A'masy dengan lafaz yang sama.
قَالَ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سَيَّارُ بْنُ حَاتِمٍ، حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ اللَّهَ يُعَافِي الْأُمِّيِّينَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَا لَا يُعَافِي الْعُلَمَاءَ"
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Sayyar ibnu Hatim, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Sulaiman, dari Sabit, dari Anas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:Sesungguhnya Allah memaafkan orang-orang yang ummi di hari kiamat dengan pemaafan yang tidak Dia lakukan terhadap ulama.
Di dalam suatu asar dijelaskan bahwa Allah memberikan ampunan bagi orang yang bodoh sebanyak tujuh puluh kali, sedangkan kepada orang yang alim cuma sekali. Tiadalah orang yang tidak alim itu sama dengan orang yang alim. Allah Swt. telah berfirman:
{قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَابِ}
Katakanlah, "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Az-Zumar: 9)
Di dalam bab autobiografi Al-Walid ibnu Uqbah, Ibnu Asakir meriwayatkan sebuah hadis yang menyebutkan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
"إِنَّ أُنَاسًا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ يَطَّلِعُونَ عَلَى أُنَاسٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَيَقُولُونَ: بِمَ دَخَلْتُمُ النَّارَ؟ فَوَاللَّهِ مَا دَخَلْنَا الْجَنَّةَ إِلَّا بِمَا تَعَلَّمْنَا مِنْكُمْ، فَيَقُولُونَ: إِنَّا كُنَّا نَقُولُ وَلَا نَفْعَلُ"
Sesungguhnya ada segolongan orang dari kalangan penduduk surga melihat segolongan orang dari kalangan penduduk neraka, lalu mereka bertanya, "Apakah sebabnya hingga kalian masuk neraka? Padahal demi Allah, tiada yang memasukkan kami ke surga kecuali apa yang kami pelajari dari kalian." Ahli neraka menjawab, "Sesungguhnya dahulu kami hanya berkata, tetapi tidak mengamalkannya."
Ibnu Jarir At-Tabari meriwayatkan hadis ini dari Ahmad ibnu Yahya Al-Khabbaz Ar-Ramli, dari Zuhair ibnu Abbad Ar-Rawasi, dari Abu Bakar Az-Zahiri Abdullah ibnu Hakim, dari Ismail ibnu Abu Khalid, dari Asy-Sya'bi dari Al-Walid ibnu Uqbah, kemudian Ibnu Jarir mengetengahkan hadis ini.
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah kedatangan seorang lelaki, lalu lelaki itu berkata, "Hai Ibnu Abbas, sesungguhnya aku hendak melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar." Ibnu Abbas bertanya, "Apakah kamu telah melakukannya?" Lelaki itu menjawab, "Aku baru mau melakukannya." Ibnu Abbas berkata, "Jika kamu tidak takut nanti akan dipermalukan oleh tiga ayat dari Kitabullah, maka lakukanlah." Lelaki itu bertanya, "Apakah ayat-ayat tersebut?" Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri? (Al-Baqarah: 44) Lalu dia berkata, "Apakah engkau mampu melakukannya?" Lelaki itu menjawab, "Tidak." Ibnu Abbas berkata, "Ayat yang kedua ialah firman-Nya: 'Mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.' (Ash-Shaff: 2-3) Apakah kamu mampu melakukannya?" Lelaki itu menjawab, "Tidak." Ibnu Abbas melanjutkan perkataannya, "Dan ayat yang ketiga ialah ucapan seorang hamba saleh —yaitu Nabi Syu'aib a.s.— yang disitir oleh firman-Nya: 'Dan aku tidak berkehendak mengerjakan apa yang aku larang kalian darinya. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan’ (Hud: 88) Apakah kamu mampu melakukan apa yang terkandung dalam ayat ini?" Lelaki itu menjawab, "Tidak." Maka Ibnu Abbas berkata, "Mulailah dari dirimu sendiri!" Demikianlah menurut riwayat Ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya.
قَالَ الطَّبَرَانِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدَانُ بْنُ أَحْمَدَ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحَرِيشِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ خِرَاش، عَنِ الْعَوَّامِ بْنِ حَوْشَبٍ، عَنْ [سَعِيدِ بْنِ] الْمُسَيَّبِ بْنِ رَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِصَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ دَعَا النَّاسَ إِلَى قَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ وَلَمْ يَعْمَلْ هُوَ بِهِ لَمْ يَزَلْ فِي ظِلِّ سُخْطِ اللَّهِ حَتَّى يَكُفَّ أَوْ يَعْمَلَ مَا قَالَ، أَوْ دَعَا إِلَيْهِ"
Imam Tabrani meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abdan ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Haris, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Khirasy, dari Al-Awwam ibnu Hausyab, dari Al-Musayyab ibnu Rafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa menyeru kepada orang lain untuk berucap atau beramal, sedangkan dia sendiri tidak mengamalkannya, maka ia terus-menerus berada di bawah naungan murka Allah sebelum berhenti atau mengamalkan apa yang telah dia ucapkan atau mengamalkan apa yang telah dia serukan.
Dalam sanad hadis ini terkandung ke-daif-an (kelemahan).
Ibrahim An-Nakha'i mengatakan, sesungguhnya dia benar-benar tidak menyukai bercerita karena tiga ayat, yaitu firman-Nya: Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri? (Al-Baqarah: 44);Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan. (Ash-Shaff: 2-3) Juga firman Allah Swt. menyitir kata-kata yang diucapkan oleh Nabi Syu'aib, yaitu: Dan aku tidak berkehendak mengerjakan apa yang aku larang kalian darinya. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali. (Hud: 88)
Al-Qurthubiy rahimahullah berkata :
وقال الحسن لمطرف بن عبدالله: عظ أصحابك، فقال إني أخاف أن أقول ما لا أفعل، قال: يرحمك الله وأينا يفعل ما يقول ويود الشيطان أنه قد ظفر بهذا، فلم يأمر أحد بمعروف ولم ينه عن منكر. وقال مالك عن ربيعة بن أبي عبدالرحمن سمعت سعيد بن جبير يقول: لو كان المرء لا يأمر بالمعروف ولا ينهى عن المنكر حتى لا يكون فيه شيء، ما أمر أحد بمعروف ولا نهى عن منكر. قال مالك: وصدق، من ذا الذي ليس فيه شيء.
Al-Hasan berkata kepada Mutharrif bin ‘Abdillah : “Nasihatilah shahabatmu”. Ia (Mutharrif) menjawab : “Sesungguhnya aku takut mengatakan apa yang tidak aku perbuat”. Al-Hasan berkata : “Semoga Allah merahmatimu. Dan siapakah di antara kita yang mampu melakukan semua yang dikatakannya ?. Setan sangatlah ingin mendapatkan keinginannya melalui perkataan ini, hingga tidak ada seorang pun yang menyuruh berbuat kebaikan dan mencegah kemunkaran”.
Telah berkata Maalik, dari Rabii’ah bin Abi ‘Abdirrahmaan : Aku mendengar Sa’iid bin Jubair berkata : “Seandainya seseorang tidak boleh mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran hingga tidak ada dosa sedikitpun padanya (karena ia mengerjakan kebaikan yang ia perintahkan kepada orang lain, dan meninggalkan kemunkaran yang ia cegah kepada orang lain), niscaya tidak ada seorang pun yang akan mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran”. Maalik berkata : “Ia benar. Siapakah orang yang tidak mempunyai dosa sama sekali ?” [Tafsiir Al-Qurthubiy, 1/367-368, tahqiiq : Hisyaam bin Samiir Al-Bukhaariy].
Adapun hal meninggalkan perbuatan itu sendiri bagi individu, maka ia perlu dirinci. Jika yang ditinggalkannya itu adalah perkara sunnah,pada asalnya ia tidaklah diancam dengan dosa. Dengan dalil :
حدثنا إسماعيل قال: حدثني مالك بن أنس، عن عمه أبي سهيل بن مالك، عن أبيه، أنه سمع طلحة بن عبيد الله يقول: جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم من أهل نجد، ثائر الرأس، يسمع دوي صوته ولا يفقه ما يقول، حتى دنا، فإذا هو يسأل عن الإسلام، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (خمس صلوات في اليوم والليلة) فقال: هل علي غيرها؟ قال: (لا إلا أن تطوع). قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (وصيام رمضان). قال هل علي غيره؟ قال: (لا إلا أن تطوع). قال: وذكر له رسول الله صلى الله عليه وسلم الزكاة، قال: هل علي غيرها؟ قال: (لا إلا أن تطوع). قال: فأدبر الرجل وهو يقول: والله لا أزيد على هذا ولا أنقص، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (أفلح إن صدق).
Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Maalik bin Anas, dari pamannya yang bernama Abu Suhail bin Maalik, dari ayahnya, bahwasannya ia mendengar Thalhah bin ‘Ubaidillah berkata : Datang seorang laki-laki penduduk Najd kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, kepalanya telah beruban, gaung suaranya terdengar tetapi tidak bisa dipahami apa yang dikatakannya kecuali setelah dekat. Ternyata ia bertanya tentang Islam. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Shalat lima waktu dalam sehari semalam”. Ia bertanya lagi : “Adakah aku punya kewajiban shalat lainnya ?”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kemudian menyebutkan puasa di bulan Ramadlan. Ia bertanya lagi : “Adakah aku mempunyai kewajiban puasa selainnya ?”. Beliau menjawab : “Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja”. Perawi (Thalhah) mengatakan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kemudian menyebutkan tentang zakat kepadanya. Maka ia pun kembali bertanya : “Adakah aku punya kewajiban lainnya ?”. Beliau menjawab : “Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja”. Perawi mengatakan : Selanjutnya orang ini pergi seraya berkata : “Demi Allah, saya tidak akan menambahkan dan tidak akan mengurangi ini”. Mendengar hal itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pun berkata : “Niscaya ia akan beruntung jika ia benar-benar melakukannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 46]
Lain halnya jika yang ditinggalkannya itu adalah kewajiban, maka ia berhak mendapatkan ancaman.
Namun harus dikatakan bahwa termasuk kesempurnaan amar ma’ruf dan nahi munkar yang kita lakukan (kepada orang lain), kita sendiri mengerjakan apa yang kita dakwahkan. Islam tidaklah mendorong terciptanya generasi NATO (Not Action Talk Only) atau OMDO (Omong Doang). Orang akan lebih tergerak dan menyambut seruan yang kita sampaikan apabila melihat contoh tersebut ada pada diri kita. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan kita.
فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ قَضِيَّةِ الْكِتَابِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَصْحَابِهِ: قُومُوا فَانْحَرُوا، ثُمَّ احْلِقُوا، قَالَ: فَوَاللَّهِ مَا قَامَ مِنْهُمْ رَجُلٌ حَتَّى قَالَ ذَلِكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، فَلَمَّا لَمْ يَقُمْ مِنْهُمْ أَحَدٌ دَخَلَ عَلَى أُمِّ سَلَمَةَ فَذَكَرَ لَهَا مَا لَقِيَ مِنَ النَّاسِ، فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، أَتُحِبُّ ذَلِكَ اخْرُجْ، ثُمَّ لَا تُكَلِّمْ أَحَدًا مِنْهُمْ كَلِمَةً حَتَّى تَنْحَرَ بُدْنَكَ، وَتَدْعُوَ حَالِقَكَ فَيَحْلِقَكَ، فَخَرَجَ فَلَمْ يُكَلِّمْ أَحَدًا مِنْهُمْ حَتَّى فَعَلَ ذَلِكَ نَحَرَ بُدْنَهُ وَدَعَا حَالِقَهُ فَحَلَقَهُ، فَلَمَّا رَأَوْا ذَلِكَ قَامُوا فَنَحَرُوا وَجَعَلَ بَعْضُهُمْ يَحْلِقُ بَعْضًا حَتَّى كَادَ بَعْضُهُمْ يَقْتُلُ بَعْضًا غَمًّا
“Ketika selesai membuat perjanjian (Hudaibiyyah), Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para shahabatnya : “Berdirilah, sembelihlah hewan kalian, lalu bercukurlah”. Perawi berkata : “Demi Allah, tidak ada satu pun dari mereka yang berdiri hingga beliau mengulangnya sebanyak tiga kali”. Ketika tidak ada satupun dari mereka yang berdiri, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam masuk menemui Ummu Salamah dan menceritakan kepadanya sikap yang beliau temui dari para shahabat tadi. Ummu Salamah berkata : “Wahai Nabi Allah, apakah engkau ingin orang-orang melakukannya ?. Keluarlah, kemudian janganlah engkau berbicara sepatah katapun pada mereka hingga engkau menyembelih ontamu, dan engkau panggil tukang cukurmu untuk mencukur rambutmu”. Kemudian beliau keluar tanpa berbicara pada seorang pun dari mereka hingga melakukannya, yaitu menyembelih onta dan memanggil tukang cukur untuk mencukur rambut beliau. Ketika para shahabat melihat hal itu, mereka pun segera berdiri dan menyembelih hewan-hewan mereka. Sementara itu, sebagian dari mereka mencukur rambut sebagian yang lain, hingga sebagian mereka membunuh sebagian yang lain (terjadi pertengkaran, karena berlomba-lomba ingin mengikuti beliau)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2734].
Dan,..... ada satu hal yang mungkin perlu saya ingatkan (yang mungkin kita sering terlupa), yaitu..... jangan sekali-kali kita mencela perbuatan baik orang lain dalam ajakannya kepada kebaikan atau larangannya terhadap kemunkaran, dengan prasangka/perkataan : ‘ah, ente omdo (omong doang)’. Jika kita melihat ia kurang dalam pengamalan atas apa yang ia katakan, maka yang seharusnya kita lakukan : mendorongnya untuk mengamalkan apa yang ia katakan (tanpa mengendurkan semangatnya dalam kebaikan).
Allah ta’ala akan membalas semua kebaikan yang dilakukan hamba-Nya. Tidak terkecuali, Anda, saya, atau mereka.
وَمَا يَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَلَنْ يُكْفَرُوهُ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالْمُتَّقِينَ
“Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala) nya; dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa” [QS. Aali ‘Imraan : 115].
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar