Translate

Rabu, 15 Juni 2016

Jangan Terburu Nafsu Untuk Berpoligami

Firman Alloh Subhanahu Wata'ala;

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتامى فَانْكِحُوا مَا طابَ لَكُمْ مِنَ النِّساءِ مَثْنى وَثُلاثَ وَرُباعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَواحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمانُكُمْ ذلِكَ أَدْنى أَلاَّ تَعُولُوا (3) وَآتُوا النِّساءَ صَدُقاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْساً فَكُلُوهُ هَنِيئاً مَرِيئاً (4) 

Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku  adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kalian mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Berikanlah mas-kawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari maskawin itu dengan senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya). (QS An-Nisa Ayat 3-4)

Firman Allah Swt.:

{وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى}

Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kalian mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi dua. (An-Nisa: 3)

Yakni apabila di bawah asuhan seseorang di antara kalian terdapat seorang anak perempuan yatim, dan ia merasa khawatir bila tidak memberikan kepadanya mahar misil-nya, hendaklah ia beralih mengawini wanita yang lain, karena sesungguhnya wanita yang lain cukup banyak; Allah tidak akan membuat kesempitan kepadanya.

Imam Bukhari mengatakan. telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Hisyam ibnu Urwah. dari ayah-nya, dari Aisyah, bahwa ada seorang lelaki yang mempunyai anak perempuan yatim, lalu ia menikahinya. Sedangkan anak perempuan yatim itu mempunyai sebuah kebun kurma yang pemeliharaannya dipegang oleh lelaki tersebut, dan anak perempuan yatim itu tidak mendapat sesuatu maskawin pun darinya. Maka turunlah firman-Nya: Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil. (An-Nisa: 3)

Menurut keyakinanku, dia (si perawi) mengatakan bahwa anak perempuan yatim tersebut adalah teman seperseroan lelaki itu dalam kebun kurma, juga dalam harta benda lainnya.

Kemudian Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Sa'd, dari Saleh ibnu Kaisan, dari Ibnu Syihab yang mengatakan bahwa Urwah ibnuz Zubair pernah menceritakan kepadanya bahwa ia pernah bertanya kepada Siti Aisyah mengenai firman-Nya:Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kalian mengawininya). (An-Nisa: 3) Siti Aisyah mengatakan, "Hai anak saudara perempuanku, anak yatim perempuan yang dimaksud berada dalam asuhan walinya dan berserikat dengannya dalam harta bendanya. Lalu si wali menyukai harta dan kecantikannya, maka timbullah niat untuk mengawininya tanpa berlaku adil dalam maskawinnya; selanjutnya ia memberinya maskawin dengan jumlah yang sama seperti yang diberikan oleh orang lain kepadanya (yakni tidak sepantasnya). Maka mereka dilarang menikahi anak-anak yatim seperti itu kecuali jika berlaku adil dalam mas kawinnya, dan hendaklah maskawinnya mencapai batas maksimal dari kebiasaan maskawin untuk perempuan sepertinya. Jika para wali tidak mampu berbuat demikian, mereka diperintahkan untuk kawin dengan wanita lain selain anak-anak perempuan yatim yang berada dalam perwaliannya. Urwah mengatakan bahwa Siti Aisyah pernah mengatakan, "Sesungguhnya ada orang-orang yang meminta fatwa kepada Rasulullah Saw. sesudah ayat di atas. Maka Allah menurunkan firman-Nya: 'Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita' (An-Nisa: 127)." Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa diturunkan pula ayat lain-nya, yaitu firman-Nya: sedangkan kalian ingin mengawini mereka. (An-Nisa: 127) Karena ketidaksukaan seseorang di antara kalian terhadap anak yatim yang tidak banyak hartanya dan tidak cantik, maka mereka dilarang menikahi anak yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya, kecuali dengan maskawin yang adil. Demikian itu karena ketidaksukaan mereka bila anak-anak yatim itu sedikit hartanya dan tidak cantik. 

Firman Allah Swt.: 

{مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ}

dua, tiga, empat. (An-Nisa: 3)

Nikahilah wanita mana pun yang kamu sukai selain dari anak yatim: jika kamu suka, boleh menikahi mereka dua orang; dan jika suka, boleh tiga orang; dan jika kamu suka, boleh empat orang. Seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:

جاعِلِ الْمَلائِكَةِ رُسُلًا أُولِي أَجْنِحَةٍ مَثْنى وَثُلاثَ وَرُباعَ

Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk meng-rus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga, dan empat. (Fathir: 1)

Maksudnya, di antara mereka ada yang mempunyai dua buah sayap. tiga buah sayap, ada pula yang mempunyai empat buah sayap. Akan tetapi, hal ini bukan berarti meniadakan adanya malaikat yang selain dari itu karena adanya dalil yang menunjukkan adanya selain itu.

Masalahnya lain dengan dibatasinya kaum lelaki yang hanya boleh menikahi empat orang wanita. Maka dalilnya berasal dari ayat ini, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan jumhur ulama, mengingat makna ayat mengandung pengertian dibolehkan dan pemberian keringanan. Seandainya diperbolehkan mempunyai istri lebih dari itu (yakni lebih dari empat orang), niscaya hal ini akan disebutkan oleh firman-Nya.

Imam Syafii mengatakan, "Sesungguhnya sunnah Rasulullah Saw. yang menjelaskan wahyu dari Allah telah menunjukkan bahwa seseorang selain Rasulullah Saw. tidak boleh mempunyai istri lebih dari empat orang wanita." Apa yang dikatakan oleh Imam Syafii ini telah disepakati di kalangan para ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari segolongan ulama Syi’ah yang mengatakan, "Seorang lelaki diperbolehkan mempunyai istri lebih dari empat orang sampai sembilan orang." Sebagian dari kalangan Syi'ah ada yang mengatakan tanpa batas. Sebagian dari mereka berpegang kepada perbuatan Rasulullah Saw. dalam hal menghimpun istri lebih banyak daripada empat orang sampai sembilan orang wanita, seperti yang disebutkan di dalam hadis sahih.

Adapun mengenai boleh menghimpun istri sebanyak sebelas orang, seperti yang disebutkan di dalam sebagian lafaz hadis yang diketengahkan oleh Imam Bukhari; sesungguhnya Imam Bukhari sendiri telah men-ta'liq-nya (memberinya komentar). Telah diriwayatkan kepada kami, dari Anas, bahwa Rasulullah Saw. menikah dengan lima belas orang istri, sedangkan yang pernah beliau gauli hanya tiga belas orang, yang berkumpul dengan beliau ada sebelas orang, dan beliau wafat dalam keadaan meninggalkan sembilan orang istri. Hal ini menurut para ulama termasuk kekhususan bagi Nabi Saw. sendiri, bukan untuk umatnya; karena adanya hadis-hadis yang menunjukkan kepada pengertian tersebut, yaitu membatasi istri hanya sampai empat orang. Dalam pembahasan berikut kami akan mengemukakan hadis-hadis yang menunjukkan kepada pengertian tersebut.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ وَمُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَا حَدَّثَنَا مَعمَرٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ. قَالَ ابْنُ جَعْفَرٍ فِي حَدِيثِهِ: أَنْبَأَنَا ابْنُ شِهَابٍ، عَنْ سَالِمٍ، عَنِ أَبِيهِ: أَنَّ غَيْلَانَ بْنَ سَلَمة الثَّقَفِيَّ أَسْلَمَ وَتَحْتَهُ عَشَرَةُ نِسْوَةٍ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا. فَلَمَّا كَانَ فِي عَهْدِ عُمَرَ طَلَّقَ نِسَاءَهُ، وَقَسَّمَ مَالَهُ بَيْنَ بَنِيهِ، فَبَلَغَ ذَلِكَ عُمَرَ فَقَالَ: إِنِّي لَأَظُنُّ الشَّيْطَانَ فِيمَا يَسْتَرِقُ مِنَ السَّمْعِ سَمِعَ بِمَوْتِكَ فَقَذَفَهُ فِي نَفْسِكَ وَلَعَلَّكَ لَا تَمْكُثُ إِلَّا قَلِيلًا. وَايْمُ اللَّهِ لتراجعنَّ نِسَاءَكَ وَلَتَرْجِعَنَّ فِي مَالِكَ أَوْ لأورثُهن مِنْكَ، وَلَآمُرَنَّ بِقَبْرِكَ فَيُرْجَمُ، كَمَا رُجِمَ قبرُ أَبِي رِغَال

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail dan Muhammad ibnu Ja'far; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri. Ibnu Ja'far mengatakan bahwa di dalam hadisnya disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab, dad Salim, dari ayahnya, bahwa Gailan ibnu Salamah As-Saqafi masuk Islam; saat itu ia mempunyai sepuluh orang istri. Maka Nabi Saw. bersabda kepadanya: Pilihlah olehmu di antara mereka empat orang saja. Ketika pemerintahan Khalifah Umar. Gailan menceraikan semua istrinya dan membagi-bagikan hartanya di antara semua anaknya. Hal tersebut terdengar oleh sahabat Umar, maka ia berkata (kepada Gailan), "Sesungguhnya aku tidak menduga setan dapat mencuri pendengaran (dari pembicaraan para malaikat) mengenai saat kematianmu, lalu membisikkannya ke dalam hatimu. Yang jelas. barangkali kamu merasakan masa hidupmu tidak akan lama lagi. Demi Allah, kamu harus merujuk istri-istrimu kembali dan kamu harus mencabut kembali pembagian harta bendamu itu. atau aku yang akan memberi mereka warisan dari hartamu, lalu aku perintahkan membuat lubang kuburan buatmu, kemudian kamu dirajam sebagaimana Abu Riqal dirajam dalam kuburannya."

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Syafii, Imam Turmuzi, Imam Ibnu Majah, Imam Daruqutni, dan Imam Bailiaqi serta lain-lainnya melalui berbagai jalur dari Ismail ibnu Ulayyah, Gundar, Yazid ibnu Zurai', Sa'id ibnu Abu Arubah, Sufyan As-Sauri, Isa ibnu Yunus, Abdur Rahman ibnu Muhammad Al-Muharibi, dan Al-Fadl ibnu Musa serta lain-lainnya dari kalangan para huffazul hadis, dari Ma'mar berikut sanadnya dengan lafaz yang semisal sampai pada sabda Nabi Saw.:Pilihlah olehmu empat orang saja di antara mereka!

Sedangkan lafaz lainnya mengenai kisah Umar r.a. termasuk asar yang hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri. Tetapi hal ini merupakan tambahan yang baik dan sekaligus melemahkan analisis yang dikemukakan oleh Imam Bukhari terhadap hadis ini menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Turmuzi darinya.

Dalam riwayatnya itu Imam Turmuzi mengatakan bahwa ia pernah mendengar Imam Bukhari mengatakan bahwa hadis ini tidak ada yang hafal. Tetapi yang benar ialah hadis yang diriwayatkan oleh Syu'aib dan lain-lainnya, dari Az-Zuhri yang mengatakan bahwa dia menceritakan hadis berikut dari Muhammad ibnu Abu Suwaid ibnus Saqafi, Gailan ibnu Salamah, hingga akhir hadis.

Imam Bukhari mengatakan, "Sesungguhnya hadis Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya hanyalah mengatakan bahwa seorang lelaki dari Bani Saqif menceraikan semua istrinya. Maka Umar berkata kepadanya, "Kamu harus merujuk istri-istrimu kembali, atau aku akan merajam kuburmu sebagaimana kubur Abu Rigal dirajam." Akan tetapi, analisis Imam Bukhari ini masih perlu dipertimbangkan.

Sesungguhnya Abdur Razzaq meriwayatkannya dari Ma'mar, dari Az-Zuhri secara mursal. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Az-Zuhri secara mursal. Menurut Abu Zar'ah, hal ini lebih sahih.

Imam Baihaqi mengatakan bahwa Uqail meriwayatkannya dari Az-Zuhri, telah sampai hadis ini kepada kami dari Usman ibnu Muhammad ibnu Abu Suwaid, dari Muhammad ibnu Yazid.

Abu Hatim mengatakan bahwa hal ini hanyalah dugaan belaka; sesungguhnya sanad hadis ini adalah Az-Zuhri, dari Muhammad ibnu Abu Suwaid yang menceritakan, telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah Saw. ... hingga akhir hadis.

Imam Baihaqi mengatakan bahwa Yunus dan Ibnu Uyaynah meriwayatkannya dari Az-Zuhri, dari Muhammad ibnu Abu Suwaid. Hal ini sama dengan apa yang di-ta'liq-kan(dianalisiskan) oleh Imam Bukhari. Dan isnad yang telah kami ketengahkan dari kitab Musnad Imam Ahmad semua perawinya adalah orang-orang yang siqah dengan syarat Syaikhain.

Kemudian diriwayatkan melalui jalur selain Ma'mar, bahkan Az-Zuhri. Imam Baihaqi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Abdullah Al-Hafiz, telah menceritakan kepada kami Abu Ali Al-Hafiz, telah menceritakan kepada kami Abu Abdur Rahman An-Nasai dan Yazid ibnu Umar ibnu Yazid Al-Jurmi, telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Ubaidillah, telah menceritakan kepada kami Sar-rar ibnu Mujasysyar, dari Ayyub, dari Nafi' dan Salim, dari Ibnu Umar, bahwa Gailan ibnu Salamah pada mulanya mempunyai sepuluh orang istri. Lalu ia masuk Islam, dan semua istrinya ikut masuk Islam pula bersamanya. Maka Nabi Saw. menyuruh Gailan memilih empat orang istri saja di antara mereka. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Nasai di dalam kitab sunannya.

Abu Ali ibnus Sakan mengatakan bahwa hadis ini hanya diriwayatkan oleh Sarrar ibnu Mujasysyar. dan dia orangnya siqah Ibnu Mu'in menilainya siqah pula.

Abu Ali mengatakan bahwa hal yang sama diriwayatkan oleh As-Sumaid' ibnu Wahb, dari Sarrar.

Imam Baihaqi mengatakan, telah diriwayatkan kepada kami melalui hadis Qais ibnul Haris atau Al-Haris ibnu Qais dan Urwah ibnu Mas'ud As-Saqafi serta Safwan ibnu Umayyah, yakni hadis Gailan ibnu Salamah ini.

Pada garis besarnya tersimpulkan bahwa seandainya diperbolehkan menghimpun lebih dari enipat orang istri. niscaya Rasulullah Saw. memperbolehkan tetapnya semua istri Gailan yang sepuluh orang itu, mengingat mereka semua masuk Islam. Setelah Nabi Saw. memerintahkan Gailan memegang yang empat orang dan menceraikan yang lainnya, hal ini menunjukkan bahwa tidak boleh memiliki istri lebih dari empat orang dengan alasan apa pun. Apabila hal ini berlaku untuk yang telah ada, maka terlebih lagi bagi yang pemula.

رَوَى أَبُو دَاوُدَ وَابْنُ مَاجَهْ فِي سُنَنِهِمَا  مِنْ طَرِيقِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ حُمَيضة بْنِ الشَّمَرْدَل -وَعِنْدَ ابْنِ مَاجَهْ: بِنْتِ الشَّمَرْدَلِ، وَحَكَى أَبُو دَاوُدَ أَنَّ مِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ: الشَّمَرْذَلِ بِالذَّالِ الْمُعْجَمَةِ -عَنْ قَيْسِ بْنِ الْحَارِثِ. وَعِنْدَ أَبِي دَاوُدَ فِي رِوَايَةِ: الْحَارِثِ بْنِ قَيْسِ بْنِ عُمَيْرَةَ الْأَسَدِيِّ قَالَ: أَسْلَمْتُ وَعِنْدِي ثماني نِسْوَةٍ، فَذَكَرْتُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا".

Hadis lain mengenai hal tersebut diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Ibnu Majah di dalam kitab sunnahnya masing-masing melalui jalur Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Khamisah ibnusy Syamardal, sedangkan yang ada pada Imam Ibnu Majah dari bintisy Syamardal. Imam Abu Daud meriwayatkan bahwa di antara mereka ada yang menyebut Asy-Syamarzal dengan memakai huruf Zal dari Qais ibnul Haris. Menurut riwayat lain yang ada pada Imam Abu Daud dalam riwayat Al-Haris ibnu Qais, Umairah Al-Asadi pernah mengatakan, "Aku masuk Islam dalam keadaan mempunyai delapan orang istri. Lalu aku tuturkan hal tersebut kepada Nabi Saw. Maka beliau bersabda: 'Pilihlah olehmu di antara mereka empat orang saja'!"

Sanad hadits ini jayyid; perbedaan syawahid seperti ini tidak menimbulkan mudarat pada hadis yang dimaksud.

Hadis lain sehubungan dengan masalah ini diriwayatkan oleh Imam Syafii di dalam kitab musnadnya. Disebutkan bahwa: 

أَخْبَرَنِي مَنْ سَمِعَ ابْنَ أَبِي الزِّناد يَقُولُ: أَخْبَرَنِي عَبْدُ الْمَجِيدِ بْنُ سُهَيل بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَوْفِ بْنِ الْحَارِثِ، عَنْ نَوْفَلِ بْنِ مُعَاوِيَةَ الدِّيْلِيِّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أَسْلَمْتُ وَعِنْدِي خَمْسُ نِسْوَةٍ، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اخْتَرْ أَرْبَعًا أَيَّتَهُنَّ شِئْتَ، وَفَارِقِ الْأُخْرَى"، فَعَمَدت إِلَى أَقْدَمِهِنَّ صُحْبَةً عَجُوزٍ عَاقِرٍ مَعِي مُنْذُ سِتِّينَ سَنَةً، فَطَلَّقْتُهَا .

Telah menceritakan kepadaku seseorang yang pernah mendengar dari Ibnu Abuz Zanad mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdul Majid, dari Ibnu Sahl ibnu Abdur Rahman, dari Auf ibnul Haris, dari Naufal ibnu Mu'awiyah Ad-Daili yang mengatakan bahwa ketika dirinya masuk Islam, ia mempunyai lima orang istri. Maka Rasulullah Saw. bersabda kepadanya: Pilihlah empat orang istri saja, mana yang kamu sukai, dan ceraikanlah yang lainnya. Ia mengatakan, "Maka aku menjatuhkan keputusanku terhadap seorang di antara mereka yang paling lama menemaniku, yaitu seorang wanita yang sudah tua lagi mandul, sejak enam puluh tahun yang silam, lalu aku ceraikan dia."

Semuanya merupakan syawahid yang memperkuat hadis Gailan tadi. menurut apa yang dikatakan oleh Imam Baihaqi.
 
Firman Allah Swt.:

{فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ}

Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kalian miliki. (An-Nisa: 3)

Maksudnya, jika kalian merasa takut tidak akan dapat berlaku adil bila beristri banyak, yakni adil terhadap sesama mereka. Seperti yang dinyatakan di dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya:

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّساءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian (An-nisa 129)

Pendapat yang sahih adalah apa yang dikatakan oleh jumhur ulama sehubungan dengan tafsir ayat ini: Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (An-Nisa: 3) Yakni tidak berbuat zalim. 

Dikatakan 'alafil hukmi apabila seseorang berbuat aniaya berat sebelah, dan curang dalam keputusan hukumnya Abu Talib mengatakan dalam salah satu bait qasidahnya yang terkenal:

بِمِيزَانِ قسطٍ لَا يَخيس شُعَيْرَةً ...لَهُ شَاهِدٌ مِنْ نَفْسِهِ غَيْرُ عَائِلِ
 
Dengan timbangan keadilan yang tidak berat sebelah, walau hanya seberat sehelai rambut pun, dia mempunyai saksi dari dirinya yang tidak aniaya.

Hasyim meriwayatkan dari Abu Ishaq, bahwa Usman ibnu Affan berkirim surat kepada penduduk Kufah sehubungan dengan sesuatu hal yang membuat mereka menegurnya. Di dalam suratnya itu Usman ibnu Affan mengatakan, "Sesungguhnya aku bukanlah neraca yang berat sebelah." Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.

وَقَدْ رَوَى ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَابْنُ مَرْدويه، وَأَبُو حَاتِمِ ابْنِ حِبَّان فِي صَحِيحِهِ، مِنْ طَرِيقِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ دُحَيْم، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ شُعَيْبٍ، عَنْ عُمَرَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا} قال: "لا تجوروا".

Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih serta Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya telah meriwayatkan melalui jalur Abdur Rahman ibnu Abu Ibrahim dan Khaisam, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Syu'aib, dari Amr ibnu Muhammad ibnu Zaid, dari Abdullah ibnu Umair, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda sehubungan dengan firman-Nya: Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(An-Nisa: 3) Yaitu, "Janganlah kalian berbuat aniaya!"

Ibnu Abu Hatim mengatakan.”Menurut ayahku hadis ini keliru. Yang benar hadis ini adalah dari Siti Aisyah secara mauquf tidak sampai kepada Nabi Saw.

Ibnu Abu Hatim mengatakan telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Siti Aisyah, Mujahid, Ikrimah. Al-Hasan, Imam Malik. Ibnu Razin, An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, Ad-Dahhak, Ata Al-Khurasani. Qatadah, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan, bahwa mereka mengatakan.”Tidak berat sebelah."

Ikrimah memperkuat pendapatnya dengan bait yang diucapkan oleh Abu Talib, seperti yang telah kami sebutkan di atas. Tetapi apa yang diucapkan oleh Abu Talib adalah seperti yang diriwayatkan di dalam kitab As-Sirah. Ibnu Jarir meriwayatkannya, kemudian ia mengemukakannya secara baik dan memilihnya.

Firman Allah Swt.:

{وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً}

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (An-Nisa: 4)

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan istilah nihlah dalam ayat ini adalah mahar.

Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Az-Zuhri. dari Urwah, dari Siti Aisyah, bahwa nihlah adalah maskawin yang wajib.

Muqatil, Qatadah, dan Ibnu Juraij mengatakan bahwa nihlah artinya faridah (maskawin yang wajib), sedangkan Ibnu Juraij menambahkan bahwa maskawin tersebut adalah maskawin yang disebutkan.

Ibnu Zaid mengatakan, istilah nihlah dalam perkataan orang Arab artinya maskawin yang wajib. Disebutkan, "Janganlah kamu menikahinya kecuali dengan sesuatu (maskawin) yang wajib baginya. Tidak layak bagi seseorang sesudah Nabi Saw. menikahi seorang wanita kecuali dengan maskawin yang wajib. Tidak layak penyebutan maskawin didustakan tanpa alasan yang dibenarkan."

Pada garis besarnya perkataan mereka menyatakan bahwa seorang lelaki diwajibkan membayar maskawin kepada calon istrinya sebagai suatu keharusan. Hendaknya hal tersebut dilakukannya dengan senang hati. Sebagaimana seseorang memberikan hadiahnya secara suka rela, maka seseorang diharuskan memberikan maskawin kepada istrinya secara senang hati pula. Jika pihak istri dengan suka hati sesudah penyebutan maskawinnya mengembalikan sebagian dari maskawin itu kepadanya, maka pihak suami boleh memakannya dengan senang hati dan halal. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:

{فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا}

Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (An-Nisa: 4)

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Sufyan, dari As-Saddi, dari Ya'qub ibnul Mugirah ibnu Syu'bah, dari Ali yang mengatakan, "Apabila seseorang di antara kalian sakit, hendaklah ia meminta uang sebanyak tiga dirham kepada istrinya atau yang senilai dengan itu, lalu uang itu hendaklah ia belikan madu. Sesudah itu hendaklah ia mengambil air hujan, lalu dicampurkan sebagai minuman yang sedap lagi baik akibatnya, sebagai obat yang diberkati."

Hasyim meriwayatkan dari Sayyar, dari Abu Saleh, bahwa seorang lelaki apabila menikahkan anak perempuannya, maka dialah yang menerima maskawinnya, bukan anak perempuannya. Lalu Allah Swt. melarang mereka melakukan hal tersebut dan turunlah firman-Nya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (An-Nisa: 4)
Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir.

وَقَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ الْأَحْمَسِيُّ، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عُمَيْرٍ الْخَثْعَمِيِّ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ الْمُغِيرَةِ الطَّائِفِيِّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ البَيْلَمَاني قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً} قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَمَا الْعَلَائِقُ بَيْنَهُمْ؟ قَالَ: "مَا تَرَاضَى عَلَيْهِ أهْلوهُم"

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail Al-Humaidi, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Sufyan, dari Umair Al-Khas’ami. dari Abdul Malik ibnu Mugirah At-Taifi, dari Abdur Rahman ibnu Malik As-Salmani menceritakan bahwa Rasulullah Saw. Membacakan firman-Nya:  Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (An-Nisa: 4) Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah tanda pertalian di antara mereka?" Rasulullah Saw. menjawab, "Jumlah yang disetujui oleh keluarga mereka."

قَدْ رَوَى ابْنُ مَرْدُويه مِنْ طَرِيقِ حَجَّاج بْنِ أرْطاة، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ الْمُغِيرَةِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ البَيْلمَاني عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: خَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "أَنْكِحُوا الْأَيَامَى" ثَلَاثًا، فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الْعَلَائِقُ بَيْنَهُمْ؟ قَالَ: "مَا تَرَاضَى عليه أهلوهم".

Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui jalur Hajaj ibnu Artah, dari Abdul Malik ibnul Mugirah, dari Abdur Rahman ibnus Salman, dari Umar ibnul Khattab yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. berkhotbah kepada kami. Beliau Saw. bersabda, "Nikahkanlah oleh kalian wanita-wanita kalian yang sendirian," sebanyak tiga kali. Lalu ada seorang lelaki mendekat kepadanya dan bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah tanda pengikat di antara mereka?" Rasulullah Saw. menjawab, "Sejumlah yang disetujui oleh keluarga mereka."

Ibnus Salman orangnya daif. kemudian dalam sanad hadis ini terdapat inqita'.

Firman-Nya 

وَإِنِ امْرَأَةٌ خافَتْ مِنْ بَعْلِها نُشُوزاً أَوْ إِعْراضاً فَلا جُناحَ عَلَيْهِما أَنْ يُصْلِحا بَيْنَهُما صُلْحاً وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كانَ بِما تَعْمَلُونَ خَبِيراً (128) وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّساءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوها كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كانَ غَفُوراً رَحِيماً (129) وَإِنْ يَتَفَرَّقا يُغْنِ اللَّهُ كُلاًّ مِنْ سَعَتِهِ وَكانَ اللَّهُ واسِعاً حَكِيماً (130)

Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kalian menggauli istri kalian dengan baik dan memelihara diri kalian (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (kalian), walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kalian terlalu cenderung (kepada yang kalian cintai), sehingga kalian biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kalian mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Mahabijaksana. (QS An-Nisa Ayat 128-130)

Allah Swt. memberitahukan serta mensyariatkan ketetapan hukum-hukum-Nya menyangkut berbagai kondisi yang dialami oleh sepasang suami istri. Adakalanya pihak suami bersikap tidak senang kepada istrinya, adakalanya pihak suami serasi dengan istrinya, dan adakalanya pihak suami ingin bercerai dengan istrinya.

Keadaan pertama terjadi bilamana pihak istri merasa khawatir terhadap suaminya, bila si suami merasa tidak senang kepadanya dan bersikap tidak acuh kepada dirinya. Maka dalam keadaan seperti ini pihak istri boleh menggugurkan dari kewajiban suaminya seluruh hak atau sebagian haknya yang menjadi tanggungan suami, seperti sandang, pangan, dan tempat tinggal serta lain-lainnya yang termasuk hak istri atas suaminya. Pihak suami boleh menerima hal tersebut dari pihak istrinya, tiada dosa bagi pihak istri memberikan hal itu kepada suaminya, tidak (pula) penerimaan pihak suami dari pihak istrinya akan hal itu. Untuk itulah disebutkan di dalam firman-Nya:

{فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا}

maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya. (An-Nisa: 128)
Kemudian dalam firman selanjutnya disebutkan: 


{وَالصُّلْحُ خَيْرٌ}

dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka). (An-Nisa: 128) 
Yakni daripada perceraian. 

‎Firman Allah Swt.: 

{وَأُحْضِرَتِ الأنْفُسُ الشُّحَّ}

walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. (An-Nisa: 128) 

Maksudnya, perdamaian di saat saling bertolak belakang adalah lebih baik daripada perceraian. Karena itulah ketika usia Saudah binti Zam'ah sudah lanjut, Rasulullah Saw. berniat akan menceraikannya, tetapi Saudah berdamai dengan Rasulullah Saw. dengan syarat ia tetap menjadi istrinya dan dengan suka rela ia memberikan hari gilirannya kepada Siti Aisyah. Maka Nabi Saw. menerima persyaratan tersebut yang diajukan oleh Saudah, dengan imbalan Saudah tetap berstatus sebagai istri Nabi Saw.

Bagi wanita solehah yang ta'at kepada suami, faham akan kebenaran agama terhadap poligami dan bersabar diatas kerenah suami, sudah tentu akan mendapat ganjaran daripada Allah swt.

Sudah tentu ganjaran yang terbaik bagi seorang isteri adalah balasan syurga. Dialam sebuah hadith Nabi saw bersabda :-

إذا صلت المرأة خمسها وصامت شهرها وحصنت فرجها وأطاعت زوجها قيل لها : ادخلي الجنة من أي أبواب الجنة شئت

"Jika seorang wanita menunaikan solat 5 waktu, puasa bulan bulannya (Ramadhan), mengawal kemaluannya dan ta'at kepada suaminya, akan dikatakan kepadanya : Masuklah ke Syurga dari mana-mana pintu yang anda kehendaki" [Hadith Ibn Hibban].

Allah swt amat suka kepada hamba-hambanya yang bersabar dan akan memberi ganjaran kepadanya. Segala dugaan, rintangan, kekecewaan yang di hadapi dengan redha, Allah swt tidak mensia-siakan hambanya Dari Abu Hurairah ra., Nabi saw bersabda :-

ما يصيب المسلم من نصب ولا وصب ولا هم ولا حزن ولا أذى ولا غم حتى الشوكة يشاكها إلا كفر الله بها من خطاياه‌

"Tidak ada kesukaran, penyakit, kekecewaan, luka, dugaan yang menimpa orang Islam, sehinggakan sekeping duri yang mencucuk dia, Allah swt akan mengkifarahkan baginya kesalahan-kesalahan". [Hadith Riwayat al-Bukhari #5642, Muslim #2573]

Didalam hadith yang lain, Nabi saw bersabda :-

ما يزال البلاء بالمؤمن والمؤمنة في نفسه وولده وماله حتى يلقى الله و ما عليه خطيئة
"Bala' akan terus menimpa orang yang beriman baik lelaki dan wanita, pada diri mereka, anak-anak mereka dan harta-harta mereka, sehingga dia bertemu Allah tanpa ada dosa keatasnya" [Hadith Riwayat al-Tirmudzi #2399]

Demikianlah ganjaran umum kepada seseoramg isteri yang membenarkan suaminya berpoligami.


ADAB-ADAB POLIGAMI

Perhatikan ayat yang mulia berikut:

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [An-Nisa: 129]

1. Dengan Berpoligami, Seorang Laki-Laki Janganlah Menjadi Lalai Dalam Menjalankan Ketaatannya Kepada Allah. 

Yang dimaksud yakni hanya memikirkan isteri-isteri dan anak-anaknya saja. Karena sesungguhnya tujuan kehidupan adalah beribadah kepada Allah. Demikian juga kewajiban hidup di dunia ini banyak. Ada kewajiban terhadap Allah, kewajiban terhadap orang tua, kewajiban terhadap tetangga, dan lain-lain. Allah berfirman:
"Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah terhadap mereka. Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [Ath-Thaghabun/64:14]

Dalam tafsirnya tentang ayat ini, Imam Ibnu Katsir menjelaskan, Allah Ta'ala berkata memberitakan tentang isteri-isteri dan anak-anak, bahwa di antara mereka ada yang menjadi musuh bagi suami dan anak. Dalam arti, isteri-isteri dan anak-anak dapat melalaikannya dari amal shalih. Sebagaimana firman Allah:

"Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi".[Al Munafiqun/63:9] 

2. Seorang Laki-Laki –dari umat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam - Tidak Boleh Beristeri Lebih Dari Empat Dalam Satu Waktu. 

Jika seseorang masuk agama Islam, sedangkan dia beristeri lebih dari empat, maka dia disuruh memilih empat isterinya, dan lainnya diceraikan. Seorang sahabat Nabi yang bernama Wahb al Asadi Radhiya;;ahu 'anhu berkata:

أَسْلَمْتُ وَعِنْدِي ثَمَانُ نِسْوَةٍ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا 

"Aku masuk Islam, sedangkan aku memiliki delapan isteri. Aku menyebutkan hal itu kepada Nabi n , maka beliau bersabda: "Pilihlah empat dari mereka". [HR Abu Dawud, no. 2241. Hadits ini dishahihkan oleh al Albani]

3. Jika Seseorang Menikahi Wanita Kelima, Padahal Dia Masih Memiliki Empat Isteri. 

Dalam masalah ini, al Qurthubi rahimahullah mengatakan: "(Imam) Malik dan Syafi'i mengatakan, 'Jika dia mengetahui (hukumnya), maka dia dikenai had'. Begitu pula (yang) dikatakan oleh Abu Tsaur. Az-Zuhri mengatakan,'Jika dia mengetahui (hukumnya), maka dia dirajam (dilempari dengan batu sampai mati). Jika dia tidak tahu, maka dia dikenai had yang rendah, yaitu dera. (Adapun) wanita itu, (ia) mendapatkan mahar, dan dipisahkan antara keduanya. Mereka tidak boleh berkumpul selamanya'." 

Kalau ini sebagai hukuman bagi orang yang menikahi isteri kelima, lalu bagaimanakah orang yang menikahi isteri ke enam dan seterusnya, sebagaimana dilakukan oleh orang-orang zhalim dari kalangan raja –dan lainnya- zaman dahulu dan sekarang?

4. Seorang Laki-Laki Tidak Boleh Memperisteri Dua Wanita Bersaudara Dalam Satu Waktu.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

"(Diharamkan atas kamu) menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [An-Nisaa`/4:23]

5. Seorang Laki-Laki Tidak Boleh Memperisteri Seorang Wanita Dan Bibinya Dalam Satu Waktu. 

Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata:

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُنْكَحَ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَالْمَرْأَةُ وَخَالَتُهَا 

"Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang seorang wanita dinikahi bersama dengan 'ammah (wanita saudara bapak)nya, dan seorang wanita bersama khalah (wanita saudara ibu)nya (oleh seorang laki-laki, Pen.). [HR Bukhari, no. 5110, Muslim, no. 1408]

6. Boleh Berbeda Mahar Dan Walimah Bagi Isteri-Isteri. Yaitu Nilai MDhar dan Besarnya Walimah Di Antara Para Isteri Tidak Harus Sama. 

An-Najasyi Radhiyallahu menikahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan Ummu Habibah Radhiyallahu 'anha, dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan mahar sebanyak empat ribu (dirham). (HR Abu Dawud, an-Nasaa-i). Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga menikahi Shafiyah Radhiyallahu 'anha dengan mahar memerdekan Shafiyah dari perbudakan. [HR Bukhari, 5086, Muslim, no. 1045]

Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu mengatakan tentang walimah yang diadakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika menikahi Zainab bintu Jahsy Radhiyallahu 'anha :

مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلَمَ عَلَى أَحَدٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلَيْهَا أَوْلَمَ بِشَاةٍ

"Tidaklah aku melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengadakan walimah pada seorangpun dari isteri-isterinya sebagaimana beliau mengadakan walimah terhadapnya. [HR Bukhari, 5171, Muslim, no. 1428].

7. Seorang Suami Yang Menikah Lagi Dengan Gadis, Maka Dia Tinggal Bersamanya Selama Tujuh Hari, Kemudian Melakukan Giliran Yang Sama Setelah itu. Jika Yang Dinikahi Janda, Maka Dia Tinggal Selama Tiga Hari, Kemudian Baru Melakukan Giliran.

Hal ini berdasarkan hadits sebagai berikut:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ مِنْ السُّنَّةِ إِذَا تَزَوَّجَ الرَّجُلُ الْبِكْرَ عَلَى الثَّيِّبِ أَقَامَ عِنْدَهَا سَبْعًا وَقَسَمَ وَإِذَا تَزَوَّجَ الثَّيِّبَ عَلَى الْبِكْرِ أَقَامَ عِنْدَهَا ثَلاَثًا ثُمَّ قَسَمَ 

"Dari Anas, dia berkata: "Termasuk Sunnah, jika seorang laki-laki menikah lagi dengan gadis, maka dia tinggal bersamanya selama tujuh hari, dan (kemudian) menggilir. Dan jika menikahi janda, maka dia tinggal bersamanya selama tiga hari, kemudian baru menggilir". [HR Bukhari, no. 5214, Muslim, no. 1461].

8. Seorang Wanita Yang Dipinang Oleh Seorang Laki-Laki Yang Telah Beristeri, Tidak Boleh Mensyaratkan Kepada Laki-Laki Itu Untuk Menceraikan Isterinya.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَسْأَلْ الْمَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَسْتَفْرِغَ صَحْفَتَهَا وَلْتَنْكِحْ فَإِنَّ لَهَا مَا قُدِّرَ لَهَا

"Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah seorang wanita meminta (seorang laki-laki) menceraikan saudaranya (seagama), sehingga dia akan membalikkan piringnya. Namun hendaklah dia menikah, karena sesungguhnya dia mendapatkan apa yang telah ditakdirkan baginya". [HR Bukhari, no. 6601]

Menurut Imam an-Nawawi, makna hadits ini adalah, larangan terhadap seorang wanita asing (bukan mahram) meminta kepada seorang laki-laki menceraikan isterinya, dan menikahinya, sehingga dia mendapatkan nafkah laki-laki itu, kebaikannya, dan pergaulannya, yang sebelumnya untuk wanita yang telah diceraikan. 

Ketika menjelaskan makna hadits ini, di antaranya al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, kemungkinan yang dimaksudkan adalah, hendaklah dia menikah dengan laki-laki tersebut, tanpa meminta mengeluarkan madunya dari penjagaan laki-laki itu (yakni menceraikannya). Tetapi hendaklah ia menyerahkannya kepada apa yang telah Allah takdirkan. Oleh karena itulah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menutup dengan sabdanya "karena sesungguhnya dia mendapatkan apa yang telah ditakdirkan baginya", sebagai isyarat, walaupun jika dia meminta dan mendesaknya, serta mensyaratkan (untuk mencerainya), maka hal itu tidak akan terjadi, kecuali apa yang Allah takdirkan. (9/275). 

Demikian juga seorang isteri, tidak boleh meminta suaminya untuk menceraikan madunya. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah, beliau berkata: "Di dalam hadits ini terdapat fiqih (pemahaman), bahwa seorang wanita tidak pantas meminta kepada suaminya untuk menceraikan madunya, agar dia bersendiri dengan suaminya". (9/274). Wallahu a'lam.

9. Suami Wjib Berlaku Adil Dalam Memberi Giliran Pada Isteri-Isterinya. 

Misalnya, setiap satu isteri bagian gilirannya satu hari dan satu malam. Atau jika seorang isteri mendapatkan sepekan, maka yang lain juga mendapatkan bagian yang sama. Demikian pula terhadap isteri yang sedang haidh atau sakit, ia tetap berhak mendapat giliran. Dan jika suami akan bersafar, kemudian hendak mengajak salah satu isterinya, maka dia dapat mengadakan undian. 
'Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ سَفَرًا أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ فَأَيَّتُهُنَّ خَرَجَ سَهْمُهَا خَرَجَ بِهَا مَعَهُ وَكَانَ يَقْسِمُ لِكُلِّ امْرَأَةٍ مِنْهُنَّ يَوْمَهَا وَلَيْلَتَهَا غَيْرَ أَنَّ سَوْدَةَ بِنْتَ زَمْعَةَ وَهَبَتْ يَوْمَهَا وَلَيْلَتَهَا لِعَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبْتَغِي بِذَلِكَ رِضَا رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Kebiasaan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam jika menghendaki safar, beliau mengundi di antara isterinya. Maka siapa dari mereka yang keluar bagiannya, dia pun keluar bersama beliau. Dan beliau membagi untuk tiap-tiap isterinya sehari semalam. Akan tetapi Saudah binti Zam'ah Radhiyallahu 'anha, (beliau) menyerahkan harinya untuk 'Aisyah, isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, (karena) beliau mencari ridha Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengannya. [HR Bukhari, no. 2688, Abu Dawud, no. 2138]

Demikian juga, seorang suami tidak boleh pergi pada waktu malam hari dari rumah isterinya yang berhak mendapatkan giliran menuju ke rumah isteri yang lainnya, karena hal ini merupakan kezhaliman.

10. Suami Tidak Boleh Berjima' Dengan Isteri Yang Bukan Pemilik Hak Giliran, Kecuali Dengan Izin Dan Ridha Pemilik Hak. 

'Urwah bin Zubair mengatakan, bahwa 'Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata kepadanya:

يَا ابْنَ أُخْتِي كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُفَضِّلُ بَعْضَنَا عَلَى بَعْضٍ فِي الْقَسْمِ مِنْ مُكْثِهِ عِنْدَنَا وَكَانَ قَلَّ يَوْمٌ إِلَّا وَهُوَ يَطُوفُ عَلَيْنَا جَمِيعًا فَيَدْنُو مِنْ كُلِّ امْرَأَةٍ مِنْ غَيْرِ مَسِيسٍ حَتَّى يَبْلُغَ إِلَى الَّتِي هُوَ يَوْمُهَا فَيَبِيتَ عِنْدَهَا وَلَقَدْ قَالَتْ سَوْدَةُ بِنْتُ زَمْعَةَ حِينَ أَسَنَّتْ وَفَرِقَتْ أَنْ يُفَارِقَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ يَوْمِي لِعَائِشَةَ فَقَبِلَ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا قَالَتْ نَقُولُ فِي ذَلِكَ أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى وَفِي أَشْبَاهِهَا أُرَاهُ قَالَ وَإِنْ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا

Wahai, anak saudara perempuanku. Dahulu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengutamakan sebagian kami (para isteri) atas yang lain di dalam pembagian. Yaitu menetapnya beliau pada kami. Dan hampir setiap hari beliau mengelilingi kami semua. Yakni beliau mendatangi semua isterinya dengan tanpa menyentuh (jima', Pen.), sehingga beliau sampai kepada isteri yang hari itu menjadi haknya, maka beliau bermalam padanya. Pada waktu Saudah (salah satu isteri beliau) sudah tua dan takut diceraikan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dia mengatakan: "Wahai, Rasulullah. Hariku untuk 'Aisyah," maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menerima itu darinya. 'Aisyah mengatakan: Kami berkata: Tentang itu –dan yang semacamnya- Allah menurunkan firmanNya:

"Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya…" [HR Abu Dawud, no. 213]

Kelengkapan ayat di atas ialah:

وَإِنِ امْرَأَةٌ خافَتْ مِنْ بَعْلِها نُشُوزاً أَوْ إِعْراضاً فَلا جُناحَ عَلَيْهِما أَنْ يُصْلِحا بَيْنَهُما صُلْحاً وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كانَ بِما تَعْمَلُونَ خَبِيراً 

"Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan." [An-Nisaa`/4:128]

Penulis kitab 'Aunul Ma'bud berkata: "Di dalam hadits ini terdapat dalil, bahwa laki-laki boleh menemui isterinya yang bukan pemilik hak giliran hari itu, menyenangkan hatinya, menyentuhnya, dan menciumnya. Hadits ini juga menunjukkan kebaikan akhlak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau adalah sebaik-baik manusia terhadap keluarganya (isterinya). Di dalam hadits ini juga terdapat dalil, bolehnya seorang isteri memberikan gilirannya kepada madunya. Dengan syarat, (mendapat) ridha suami. Karena, suami juga mempunyai hak atas isterinya, sehingga isteri tersebut tidak berhak menggugurkan hak suami kecuali dengan ridhanya". [Syarah hadits no. 2135]

Bahkan demikian juga jika para isteri mengizinkan suami boleh menggilir mereka semua dalam satu malam. Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu berkata:

أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَطُوفُ عَلَى نِسَائِهِ فِي اللَّيْلَةِ الْوَاحِدَةِ وَلَهُ يَوْمَئِذٍ تِسْعُ نِسْوَةٍ

"Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengelilingi semua isterinya dalam satu malam. Waktu itu beliau memiliki sembilan isteri". [HR Bukhari, no. 284]


Maka orang yang adil, dan menilai dengan jujur, pastilah mengakui keunggulan dan kesempurnaan Islam, dibandingkan dengan ajaran dan fikiran manusia, siapapun orangnya.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar