Translate

Minggu, 04 Februari 2018

Berdzikir Setelah Sholat Fardhu

Berdzikir sesudah shalat merupakan sunnah yang sudah diamalkan dan dicontohkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Hendaknya kita mengikuti beliau dalam amal ini dan mencontoh bagaimana beliau melaksanakannya.

Sebagian saudara kita (kaum muslimin) ada yang memandang bahwa dzikir sesudah shalat harus lirih, tidak boleh mengeraskannya karena bisa mengganggu orang di sekitarnya yang juga berdzikir atau mengganggu mereka yang sedang menyelesaikan shalatnya. Sehingga ketika ada ikhwan yang mengeraskan suara dzikir diingkari dan dianggap bid’ah. Bagaimana tatacara dzikir sesudah shalat yang sesuai sunnah? Apakah disunnahkan mengeraskannya atau melirihkannya?

Dalil-Dalil Yang Menjadi Sandaran Hujjah Dzikir Berjama’ah Ba’da Shalat Fardhu

Firman Alloh subhanahu wa ta’aala:

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ

(cahaya itu) di rumrh-rumah yang di sana telah diperintahkan Alloh untuk memuliakan dan menyebut nama-Nya, di sana bertasbih (menycikan) nama-Nya pada waktu pagi dan petang. (QS. An Nuur : 36)

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ مَنَعَ مَسَاجِدَ اللهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَى فِي خَرَابِهَا أُولَئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ أَنْ يَدْخُلُوهَا إِلَّا خَائِفِينَ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang melarang di dalam masjid-masjid Alloh untuk menyebut nama-Nya, dan berusaha merobohkannya? Mereka itu tidak pantas memasukinya kecuali dengan rasa takut (kepada Alloh). Mereka mendapat kehinaan di dunia dan di akhirat mendapat adzab yang berat. (QS. Al Baqoroh : 114).

Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu :

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ للهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى مَلَائِكَةً سَيَّارَةً فُضُلًا يَتَتَبَّعُونَ مَجَالِسَ الذِّكْرِ، فَإِذَا وَجَدُوا مَجْلِسًا فيْهِ ذِكْرٌ قَعَدُوا مَعَهُمْ، وَحَفَّ بَعْضُهُمْ بَعْضًا بِأَجْنِحَتِهِمْ، حَتَّى يَمْلَئُوا مَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ السَّمَاءِ الدُّنْيَا، فَإِذَا تَفَرَّقُوا عَرَجُوا وَصَعِدُوا إِلَى السَّمَاءِ، قَالَ : فَسْأَلُهُمُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ : مِنْ أَيْنَ جِئْتُمْ ؟ فَيَقُولُونَ : جِئْنَا مِنْ عِنْدِ عَبَادٍ لَكَ فِي الْأَرْضِ يُسَبِّحُونَكَ، وَيُكَبِّرُونَكَ، وَيُهَلِّلُونَكَ، وَيَحْمَدُونَكَ، وَيَسْأَلُونَكَ، قَالَ : وَمَاذَا يَسْأَلُونِيْ ؟ قَالُوا : يَسْأَلُونَكَ جَنَّتَكَ، قَالَ : وَهَلْ رَأَوْا جَنَّتِيْ ؟ قَالُوا : لَا أَيْ رَبَّ، قَالَ : فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْا جَنَّتِيْ ؟ قَالُوا : وَيَسْتَجِيرُو نَكَ، قَالَ : وَمِمَّا يَسْتَجِيرُونَنِيْ، قَالُوا : مِنْ نَارِكَ يَا رَبِّ، قَالَ : هَلْ رَأَوْا نَارِي ؟ قَالُوا : لَا، قَالَ : فَكَيفَ لَوْ رَأَوْا نَارِيْ ؟ ......

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah tabaaraka wa ta’aalaa mempunyai beberapa malaikat yang terus berkeliling mencari majelis dzikir. Apabila mereka telah menemukan majelis yang di situ disebut nama Allah, maka mereka duduk bersama orang-orang tersebut, mereka mengelilingi jama’ah itu dengan sayap-sayap mereka, sehingga memenuhi ruang antara mereka dan langit dunia. Jika orang-orang tersebut telah selesai, maka mereka naik ke langit”.  Nabi berkata : “Kemudian Allah ‘azza wa jalla bertanya kepada para malaikat tersebut – dan Allah lebih tahu tentang apa yang mereka lakukan - : “Dari mana kamu sekalian ?”. Mereka menjawab : “Kami datang dari hamba-hamba-Mu di bumi, mereka sedang mensucikan-Mu, bertakbir kepada-Mu, memuji-Mu, dan memohon kepada-Mu”. Allah bertanya : “Apa yang mereka minta ?”. Para malaikat menjawab : “Mereka memohon surga-Mu”. Allah bertanya : “Apakah mereka pernah melihat surga-Ku ?”. Para malaikat menjawab : “Tidak wahai Rabbku”. Kata Allah : “Betapa seandainya mereka pernah melihat surga-Ku”. Para malaikat berkata : “Mereka juga berlindung kepada-Mu”. Allah bertanya : “Dari apa mereka berlindung kepada-Ku?”. Para malaikat menjawab : “Dari neraka-Mu wahai Rabbku”. Allah bertanya : “Apakah mereka pernah melihat neraka-Ku?”. Para malaikat menjawab : “Tidak”. Kata Allah : “Betapa seandainya mereka pernah melihat neraka-Ku…” [HR. Al-Bukhari no. 6408 dan Muslim no. 2689].

Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ حِينَ يَذْكُرُنِي إِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ هُمْ خَيْرٌ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ مِنِّي شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Allah ’azza wa jalla berfirman : “Aku terserah pada sangkaan hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersama hamba-Ku ketika dia mengingat-Ku. Jika dia mengingat-Ku di dalam dirinya, maka Aku akan mengingatnya di dalam diri-Ku. Jika dia mengingat-Ku di tengah orang banyak, maka Aku juga mengingatnya di tengah orang banyak yang lebih baik dari mereka. Jika dia mendekat sejengkal kepada-Ku, Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Jika dia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekat kepada-Nya sedepa. Jika dia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku mendatanginya dengan berlari” [HR. Al-Bukhari no. 7405 dan Muslim no. 2675].

Hadits Mu’awiyyah radliyallaahu ‘anhu :

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ خَرَجَ مُعَاوِيَةُ عَلَى حَلْقَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ مَا أَجْلَسَكُمْ قَالُوا جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللَّهَ قَالَ آللَّهِ مَا أَجْلَسَكُمْ إِلَّا ذَاكَ قَالُوا وَاللَّهِ مَا أَجْلَسَنَا إِلَّا ذَاكَ قَالَ أَمَا إِنِّي لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ وَمَا كَانَ أَحَدٌ بِمَنْزِلَتِي مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقَلَّ عَنْهُ حَدِيثًا مِنِّي وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَلَى حَلْقَةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ مَا أَجْلَسَكُمْ قَالُوا جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللَّهَ وَنَحْمَدُهُ عَلَى مَا هَدَانَا لِلْإِسْلَامِ وَمَنَّ بِهِ عَلَيْنَا قَالَ آللَّهِ مَا أَجْلَسَكُمْ إِلَّا ذَاكَ قَالُوا وَاللَّهِ مَا أَجْلَسَنَا إِلَّا ذَاكَ قَالَ أَمَا إِنِّي لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ وَلَكِنَّهُ أَتَانِي جِبْرِيلُ فَأَخْبَرَنِي أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبَاهِي بِكُمْ الْمَلَائِكَةَ.

Dari Abu Sa’id Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Mu’awiyyah radliyallaahu ‘anhu pernah melewati suatu halaqah di masjid. Lalu ia bertanya : “Majelis apakah ini ?”. Mereka menjawab : “Kami duduk untuk berdzikir kepada Allah ta’ala”. Mu’awiyyah bertanya lagi : “Demi Allah, benarkah kalian duduk hanya untuk itu ?”. Mereka menjawab : “Demi Allah, kami duduk hanya untuk itu”. Kata Mu’awiyyah selanjutnya : “Sungguh aku tidak menyuruh kalian bersumpah karena mencurigai kalian, sebab tidak ada orang yang menerima hadits dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lebih sedikit daripada aku. Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati satu halaqah para shahabatnya, lalu beliau bertanya : “Majelis apakah ini ?”. Mereka menjawab : “Kami duduk untuk berdzikir kepada Allah. Kami memuji-Nya atas hidayah-Nya berupa Islam dan atas anugerah-Nya kepada kami”. Beliau bertanya lagi :“Demi Allah, apakah kalian duduk untuk itu ?”. Mereka menjawab : “Demi Allah, kami duduk hanya untuk itu”. Beliau pun kemudian bersabda : “Sungguh, aku tidaklah menyuruh kalian bersumpah karena mencurigai kalian, tetapi karena aku didatangi Jibril ‘alaihis-salaam yang memberitahukan bahwa Allah ‘azza wa jalla membanggakan kalian di depan para malaikat” [HR. Muslim no. 2701].

Dari Ibnu Jarir, ia berkata, ‘Amr telah berkata padaku bahwa Abu Ma’bad –bekas budak Ibnu ‘Abbas- mengabarkan kepadanya bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – . وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ

“Mengeraskan suara pada dzikir setelah shalat wajib telah ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ibnu ‘Abbas berkata, “Aku mengetahui bahwa shalat telah selesai dengan mendengar hal itu, yaitu jika aku mendengarnya.” (HR. Bukhari no. 805 dan Muslim no. 583)

Dalam riwayat lainnya disebutkan,

كُنَّا نَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالتَّكْبِيرِ

“Kami dahulu mengetahui berakhirnya shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui suara takbir.” (HR. Bukhari no. 806 dan Muslim no. 583)

Berdasarkan hadits di atas, sebagian ulama berpendapat, “Dianjurkan mengeraskan suara pada dzikir setelah shalat.” Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Hazm. Beliau berkata,

ورفع الصوت بالتكبير إثر كل صلاة حسن

“Mengeraskan suara dengan bertakbir pada dzikir sesudah shalat adalah suatu amalan yang baik.” (Al Muhalla, 4: 260)

Demikian juga pendapat Ath Thobari, beliau berkata,

فيه الإبانه عن صحة ما كان يفعله الأمراء من التكبير عقب الصلاة

“Hadits ini sebagai isyarat benarnya perbuatan para imam yang bertakbir setelah shalat.” (Rujuk Fathul Bari, 2: 325)

Telah berkata Al-Imam Asy-Syafi’iy dalam Al-Umm :

وأختار للإمام والمأموم أن يذكرا الله بعد الانصراف من الصلاة ، ويخفيان الذكر إلا أن يكون إماماً يجب أن يُتعلم منه فيجهر حتى يرى أنه قد تُعُلِّم منه ثم يُسِرُّ ، فإن الله عز وجل يقول : { ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها } [ الإسراء : 110 ] يعني - والله تعالى أعلم - الدعاء ، ولا تجهر : ترفع .  ولا تخافت : حتى لا تسمع نفسك

“Dan aku memilih bagi imam dan makmum agar berdoa kepada Allah setelah selesai melakukan shalat, danmelembutkan suara dalam berdzikir kecuali seorang imam yang ingin mengajarkan kepada makmum. Hendaknya ia mengeraskan bacaan dzikir sehingga makmum mengetahui bahwa mereka telah diajarkan, kemudian setelah itu imam harus melembutkan suaranya dengan pelan ketika berdoa, sebagaimana firman Allah : “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam doamu dan jangan pula merendahkannya. Carilah jalan tengah di antara keduanya” (QS. Al-Israa’ : 110). Dan yang dimaksud dengan ayat ini adalah doa” [selesai].

Apa yang ditegaskan oleh Asy-Syafi’i adalah benar lagi mencocoki firman Allah ta’ala :

{ وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ }

“Dan berdzikirlah/sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai” [QS. Al-A’raaf : 205].

Al-Haafidh Ibnu Katsir – pengarang kitab tafsir yang terkenal – berkata dalam Al-Bidaayah wan-Nihaayah :

وفيها كتب المأمون إلى إسحاق بن إبراهيم نائب بغداد يأمره أن يأمر الناس بالتكبير عقيب لموات الخمس، فكان أول ما بدئ بذلك في جامع بغداد والرصافة يوم الجمعة لاربع عشر ليلة ت من رمضان، وذلك أنهم كانوا إذا قضوا الصلاة قام الناس قياما فكبروا ثلاث تكبيرات، ثم مروا على ذلك في بقية الصلوات. وهذه بدعة أحدثها المأمون أيضا بلا مستند ولا دليل ولا مد، فإن هذا لم يفعله قبله أحد، ولكن ثبت في الصحيح عن ابن عباس أن رفع الصوت بالذكر على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم ليعلم حين ينصرف الناس من المكتوبة، وقد استحب هذا طائفة من ماء كابن حزم وغيره. وقال ابن بطال: المذاهب الاربعة على عدم استحبابه. قال النووي: وقد عن الشافعي أنه قال: إنما كان ذلك ليعلم الناس أن الذكر بعد الصلوات مشروع، فلما علم لم يبق للجهر معنى. وهذا كما روى عن ابن عباس أنه كان يجهر في الفاتحة في صلاة الجنازة ليعلم ؟ أنها سنة، ولهذا نظائر والله أعلم. وأما هذه البدعة التي أمر بها المأمون فإنها بدعة محدثة لم يعمل بها أحد من السلف. وفيها وقع شديد جدا.

“Pada waktu itu, Al-Ma’mun menulis surat yang ditujukan kepada Ishaq bin Ibrahim, Gubernur Baghdad. Isinya perintah agar dia menyuruh orang-orang bertakbir (dengan suara nyaring) seusai shalat lima waktu. Yang pertama kali dilakukan adalah di Masjid Jaami’ Baghdad dan Ar-Rashafah pada hari Jum’at, empat hari sebelum Ramadlan. Jelasnya, setelah menyelesaikan shalat, orang-orang berdiri secara serentak lalu mereka bertakbir tiga kali. Kemudian mereka dapat melanjutkan shalat lain yang belum dilaksanakan. Ini merupakan bid’ah yang dilakukan oleh Al-Ma’mun. Yang demikian itu tidak pernah dilakukan seorang pun sebelumnya. Disebutkan dalam Ash-Shahiih, dari Ibnu ‘Abbas bahwa mengeraskan suara dzikir pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, untuk menandai selesainya orang-orang dari shalat fardlu. Memang ada sebagian ulama, seperti Ibnu Hazm dan yang lainnya menganjurkan hal itu. Ibnu Baththal menyatakan : ‘Empat madzhab tidak menganjurkannya’. An-Nawawi berkata : Dari Asy-Syaafi’iy bahwasannya ia berkata : ‘Yang demikian itu (dzikir dengan suara nyaring) untuk mengajari bahwa dzikir seusai shalat disyari’atkan. Setelah orang-orang mengetahuinya, maka tidak ada maknanya menyaringkan dzikir’. Yang demikian ini seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas, bahwa ia pernah menyaringkan bacaan Al-Fatihah saat shalat jenazah karena hendak mengajarkan kepada orang-orang bahwa bacaan Al-Fatihah itu merupakan sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Contoh-contoh lain semacam ini banyak.Wallaahu a’lam. Adapun bid’ah yang diperintahkan Al-Ma’mun ini, maka itu jelas merupakan bid’ah yang diada-adakan, tidak pernah dilakukan seorang pun di antara orang-orang salaf. Karena itulah muncul penentangan yang keras”.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar