Translate

Senin, 26 Februari 2018

Status Hadits Dzikir Masuk Pasar

Berdzikir atau mengingat Allah bukanlah hanya di masjid atau tempat shalat. Berdzikir pada Allah itu setiap saat bahkan sampai di tempat keramaian sekalipun seperti pasar. Namun karena kesibukan dunia dan transaksi di pasar, banyak yang lalai dari Allah. Ujung-ujungnya sampai terjerumus dalam perkara yang haram karena merasa tidak ada yang mengawasinya setiap saat.

Fadhilah Dzikir

Kita telah mengetahui bahwa dzikir adalah amalan yang amat utama. Di antara bentuk dzikir adalah menyebut asma’ dan sifat Allah, ditambah perenungan makna dan pengaplikasiannya. Di samping itu, mengingat nikmat Allah juga termasuk bagian dari dzikir. Begitu pula duduk di majelis ilmu untuk mengkaji hukum-hukum Allah juga termasuk dzikir. Demikian macam-macam dzikir yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim semacam dalam kitab beliau Al Wabilush Shoyyib dan Madarijus Salikin.

Di antara keutamaan dzikir sebagaimana disebutkan berikut ini:

(1) Dengan dzikir akan mengusir setan.

(2) Dzikir mudah mendatangkan ridho Ar Rahman.

(3) Dzikir dapat menghilangkan gelisah dan hati yang gundah gulana.

(4) Dzikir menguatkan hati dan badan.

(5) Dzikir menerangi hati dan wajah pun menjadi bersinar.

(6) Dzikir mudah mendatangkan rizki.

(7) Dzikir membuat orang yang berdzikir akan merasakan manisnya iman dan keceriaan.

(8) Hati dan ruh semakin kuat dengan dzikir. Jika seseorang melupakan dzikir maka kondisinya sebagaimana badan yang hilang kekuatan. Ibnul Qayyim rahimahullah menceritakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sesekali pernah shalat Shubuh dan beliau duduk berdzikir pada Allah Ta’ala sampai beranjak siang. Setelah itu beliau berpaling padaku dan berkata, “Ini adalah kebiasaanku di pagi hari. Jika aku tidak berdzikir seperti ini, hilanglah kekuatanku” –atau perkataan beliau yang semisal ini-.

(9) Senantiasa berdzikir pada Allah menyebabkan seseorang tidak mungkin melupakan-Nya. Orang yang melupakan Allah adalah sebab sengsara dirinya dalam kehidupannya dan di hari ia dikembalikan. Seseorang yang melupakan Allah menyebabkan ia melupakan dirinya dan maslahat untuk dirinya. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Hasyr: 19).

(10) Dzikir adalah obat hati sedangkan lalai dari dzikir adalah penyakit hati. Mak-huul, seorang tabi’in, berkata, “Dzikir kepada Allah adalah obat (bagi hati). Sedangkan sibuk membicarakan (‘aib) manusia, itu adalah penyakit.”

Demikian sebagian keutamaan dzikir yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Al Wabilush Shoyyib.

Berdzikir di Kala Orang-Orang Lalai

Lisan ini diperintahkan untuk berdzikir setiap saat. Dari ‘Abdullah bin Busr, ia berkata,

جَاءَ أَعْرَابِيَّانِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ أَحَدُهُمَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ ». وَقَالَ الآخَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ شَرَائِعَ الإِسْلاَمِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَىَّ فَمُرْنِى بِأَمْرٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ. فَقَالَ « لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْباً مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ »

“Ada dua orang Arab (badui) mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas salah satu dari mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, manusia bagaimanakah yang baik?” “Yang panjang umurnya dan baik amalannya,” jawab beliau. Salah satunya lagi bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya syari’at Islam amat banyak. Perintahkanlah padaku suatu amalan yang bisa kubergantung padanya.” “Hendaklah lisanmu selalu basah untuk berdzikir pada Allah,” jawab beliau. (HR. Ahmad 4: 188, sanad shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth). Hadits ini menunjukkan bahwa dzikir itu dilakukan setiap saat, bukan hanya di masjid, sampai di sekitar orang-orang yang lalai dari dzikir, kita pun diperintahkan untuk tetap berdzikir.

Abu ‘Ubaidah bin ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, “Ketika hati seseorang terus berdzikir pada Allah maka ia seperti berada dalam shalat. Jika ia berada di pasar lalu ia menggerakkan kedua bibirnya untuk berdzikir, maka itu lebih baik.” (Lihat Jaami’ul wal Hikam, 2: 524). Dinyatakan lebih baik karena orang yang berdzikir di pasar berarti berdzikir di kala orang-orang pada lalai. Para pedagang dan konsumen tentu lebih sibuk dengan tawar menawar mereka dan jarang yang ambil peduli untuk sedikit mengingat Allah barang sejenak.

Lihatlah contoh ulama salaf. Kata Ibnu Rajab Al Hambali setelah membawahkan perkataan Abu ‘Ubaidah di atas, beliau mengatakan bahwa sebagian salaf ada yang bersengaja ke pasar hanya untuk berdzikir di sekitar orang-orang yang lalai dari mengingat Allah. Ibnu Rajab pun menceritakan bahwa ada dua orang yang sempat berjumpa di pasar. Lalu salah satu dari mereka berkata, “Mari sini, mari kita mengingat Allah di saat orang-orang pada lalai dari-Nya.” Mereka pun menepi dan menjauh dari keramaian, lantas mereka pun mengingat Allah. Lalu mereka berpisah dan salah satu dari mereka meninggal dunia. Dalam mimpi, salah satunya bertemu lagi temannya. Di mimpi tersebut, temannya berkata, “Aku merasakan bahwa Allah mengampuni dosa kita di sore itu dikarenakan kita berjumpa di pasar (dan lantas mengingat Allah).” Lihat Jaami’ul wal Hikam, 2: 524).

Kedho’ifan Do’a Khusus Masuk Pasar

At-Tirmidziy rahimahullah berkata :

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَخْبَرَنَا أَزْهَرُ بْنُ سِنَانٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ وَاسِعٍ، قَالَ: قَدِمْتُ مَكَّةَ فَلَقِيَنِي أَخِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ فَحَدَّثَنِي، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ دَخَلَ السُّوقَ، فَقَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ بِيَدِهِ الْخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، كَتَبَ اللَّهُ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ حَسَنَةٍ وَمَحَا عَنْهُ أَلْفَ أَلْفِ سَيِّئَةٍ وَرَفَعَ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ دَرَجَةٍ ".

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Manii’ : Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haaruun : Telah mengkhabarkan kepada kami Az-har bin Sinaan : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Waasi’, ia berkata : Aku pernah datang ke Makkah, lalu aku menjumpai saudaraku, Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar. Lalu ia menceritakan kepadaku dari ayahnya, dari kakeknya : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Barangsiapa yang masuk pasar dan mengucapkan : Laa ilaha illallaahu wahdahu laa syariika lahu, lahul-mulku wa lahul-hamdu yuhyii wa yumiitu wahuwa hayyun laa yamuutu biyadihil-khairu wa huwa ‘alaa kulli syain qadiir (Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan, bagi-Nya segala pujian. Dia-lah Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan. Dia-lah Yang Hidup, tidak akan pernah mati. Di tangan-Nya kebaikan. Dia-lah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu); maka Allah akan tulis baginya sejuta kebaikan, menghapus sejuta kejelekan (dosa), dan mengangkatnya sejuta derajat” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3428].

Diriwayatkan juga oleh Ad-Daarimiy no. 2734, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah no. 2821, Adl-Dliyaa' dalam Al-Mukhtarah no. 186 - 169, ‘Abd bin Humaid no. 28, Al-Haakim 1/538, Al-‘Uqailiy dalam Adl-Dlu’afaa’ 1/151, Ath-Thabaraaniy dalam Ad-Du’aa’ no. 792, Ibnu Basyraan dalam Al-Amaaliy 1/262, Ibnu ‘Asaakir dalam At-Taariikh 56/139, dan Ibnu Qudaamah dalam Fadllu Yaumit-Tarwiyyah wa ‘Arafah no. 23; semuanya dari jalan Az-har bin Sinaan Al-Qurasyiy dan selanjutnya seperti hadits di atas.

Sanad riwayat ini dla’iif (lemah) dengan sebab Az-har. Berikut keterangan para perawinya :

1.     Ahmad bin Manii’ bin ‘Abdirrahmaan Abu Ja’far Al-Baghawiy Al-Asham; seorang yang tsiqah lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 160 H, dan wafat tahun 244 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 100 no. 115].

2.     Yaziid bin Haaruun bin Zaadziy atau Zaadzaan bin Tsaabit As-Sulamiy Abu Khaalid Al-Waasithiy; seorang yang tsiqah, mutqin, lagi ‘aabid. Termasuk thabaqahke-9, lahir tahun 118 H, dan wafat tahun 206 H.Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1084 no. 7842].

3.     Az-har bin Sinaan Al-Bashriy, Abu Khaalid Al-Qurasyiy; seorang yang dla’iif. Termasuk thabaqah ke-7. Dipakai oleh At-Tirmidziy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 123 no. 311].

4.     Muhammad bin Waasi’ bin Jaabir bin Al-Akhnas bin ‘Aaidz bin Khaarijah bin Ziyaad Al-Azdiy, Abu Bakr/Abu ‘Abdillah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat tahun 123 H. Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 904 no. 6408].

5.     Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Al-Khaththaab Al-Qurasyiy, Abu ‘Umar/Abu ‘Abdillah Al-Madaniy; seorang yang tsabat, ‘aabid, lagi mempunyai keutamaan. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 106 H.. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 360 no. 2189].

6.     ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththaab Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Makkiy Al-Madaniy; salah seorang shahabat Nabi yang mulia. Termasukthabaqah ke-1, dan wafat tahun 73 H/74 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 528 no. 3514].

7.     ‘Umar bin Al-Khaththaab bin Nufail bin ‘Abdil-‘Uzzaa bin Riyaah bin ‘Abdillah bin Qarth bin Razaah bin ‘Adiy Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy, Abu Hafsh; salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, amiirul-mukminiin. Termasuk thabaqah ke-1, dan wafat tahun 23 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 717 no. 4922].

Muhammad bin Waasi’ dalam periwayatan dari Saalim mempunyai mutaba’ah dari :

1.     ‘Amru bin Diinaar Aaluz-Zubair.

Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3429, Ibnu Maajah no. 2235, Ahmad 1/47, Ath-Thayaalisiy no. 12, Ad-Duulaabiy dalam Al-Kunaa no. 705, Ibnus-Sunniy dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 183, Abu Nu’aim dalam Akhbaar Ashbahaan 2/150, Abul-‘Abbaas Al-Asham dalam Hadiits-nya no. 58, Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 2/205 & 6/235-236, Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat no. 212, Tamaam Ar-Raaziy dalam Al-Fawaaid no. 1598, Ath-Thabaraaniy dalam Ad-Du’aa’ no. 789-791, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah no. 1338, Ar-Ramahurmuziy dalam Al-Muhaddits Al-Faashil 1/332-333, Abusy-Syaikh Al-Ashbahaaniy dalam Thabaqaatul-Muhadditsiin no. 332 & 443, ‘Abdul-Ghaniy Al-Maqdisiy dalam Akhbaarush-Shalaah no. 133, Bakr bin Bakkaar dalam Juuz-nya no. 47, Ibnu Abi Fawaaris dalam Juuz-nya no. 129, Abu ‘Abdillah bin Mandah dalam Al-Amaaliy no. 167 & 372, Abu ‘Abdillah Al-Farraa' dalam Al-Fawaaid no. 43, Ibnu Basyraan dalam Al-Amaaliy 1/300, Asy-Syajriy dalam Al-Amaaliy no. 40 & 117, Al-Khathiib dalam Maudlihul-Auhaam2/318-319, Ibnul-Bannaa Al-Baghdaadiy dalam Fadlaailut-Tahliil no. 5, dan Adz-Dzahabiy dalamAt-Taariikh 29/345; semuanya dari jalan ‘Amru bin Diinaar, dari Saalim, dan selanjutnya seperti hadits di atas.

Sanad riwayat ini dla’iif dengan sebab ‘Amru bin Diinaar. Nama lengkapnya adalah : ‘Amru bin Diinaar Al-Bashriy, Abu Yahyaa Al-A’war, Qahramaan Aaluz-Zubair; seorang yang dla’iif. Termasuk thabaqah ke-6. Dipakai oleh At-Tirmidziy dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 734 no. 5060].

Diriwayatkan juga oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 1/538 : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Umar bin Muhammad bin Zaid : Telah menceritakan kepadaku seorang laki-laki penduduk Bashrah, dari Saalim bin ‘Abdillah, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfuu’.

Kemungkinan laki-laki mubham ini adalah ‘Amru bin Diinaar Al-Bashriy. Wallaahu a’lam.

Abu Haatim rahimahullah berkata : “Hadits ini sangat munkar. Saalim tidak meriwayatkan hadits ini” [Al-‘Ilal, 5/312 no. 2006].

2.     Muhaajir bin Habiib.

Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraani dalam Ad-Du’aa’ no. 793 dan Abul-Fadhl Az-Zuhriy dalam Hadiits-nya no. 176; semuanya dari Abu Khaalid Al-Ahmad : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Muhaajir, ia berkata : Aku mendengar Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar berkata : Aku mendengar ayahku berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “...(al-hadits)...”.

Sulaimaan bin Hayyaan Al-Azdiy Abu Khaalid Al-Ahmar (114-189/190 H); seorang yangdiperselisihkan statusnya.

Ishaq bin Rahaawaih berkata : Aku bertanya kepada Wakii’ tentang Abu Khaalid, lalu ia berkata : “Dan Abu Khaalid, apakah ia termasuk orang yang masih ditanyakan ?”. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Shaduuq, namun bukan sebagai hujjah”. Di lain riwayat ia berkata : “Tsiqah”. Di lain riwayat ia berkata : “Tidak mengapa dengannya”. ‘Aliy bin Al-Madiniy berkata : “Tsiqah”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Abu Hisyaam Ar-Rifaa’iy berkata : “Telah menceritakan kepada kami Abu Khaalid Al-Ahmar, at-tsiqatul-amiin (sangat terpercaya)”. Abu Haatim berkata : “Shaduuq”. Abu Bakr Al-Khathiib berkata : “Sufyaan mencela Abu Khaalid dengan sebab keluarnya bersama Ibraahiim bin ‘Abdillah bin Hasan. Adapun dalam masalah hadits, maka ia tidak mencelanya”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Ia mempunyai hadits-hadits yang shaalihah (baik). Hanya saja, hapalannya yang jelek menyebabkan ia sering keliru. Ia pada asalnya adalah sebagaimana yang dikatakan Ibnu Ma’iin : ‘shaduuq, namun nukan sebagai hujjah” [Tahdziibul-Kamaal, 11/394-398 no. 2504]. Ibnu Sa’d berkata : “Seorang yang tsiqah, banyak haditsnya”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah, shaahibus-sunnah”. Al-Bazzaar berkata : “Bukan seorang yang haafidh. Ia meriwayatkan hadits-hadits dari Al-A’masy dan lainnya yang tidak mempunyai mutaba’ah” [Tahdziibut-Tahdziib, 4/182 no. 313]. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, sering keliru (yukhthi’)” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 406 no. 2562]. Adz-Dzahabiy berkata : “Tsiqah masyhuur” [Man Tukullima fiih Wahuwa Muwatstsaq Au Shaalihul-Hadiits, hal. 239-240 no. 144].

Kesimpulan : Ia seorang yang tsiqah, namun mempunyai beberapa keraguan (auhaam).

Adapun Muhaajir bin Habiib atau Muhaashir bin Habiib, seorang yang shaduuq, hasan haditsnya – atau bahkan ia seorang yang tsiqah.

Riwayat ini munkar.

Ibnu Katsiir rahimahullah berkata : “’Aliy bin Al-Madiiniy berkata dalam Musnad ‘Umar : ‘Adapun hadits Muhaajir dari Saalim tentang orang yang masuk ke pasar, maka Muhaajir bin Habiib ini seorang yang tsiqah dari kalangan penduduk Syaam. Akan tetapi Abu Khaalid Al-Ahmar tidak pernah berjumpa dengannya. Yang meriwayatkan darinya hanyalah Tsaur bin Yaziid, Al-Ahwash bin Hakiim, Faraj bin Fadlaalah, dan penduduk Syaam. Ini adalah hadits munkar dari hadits Muhaajir dimana ia mendengarnya dari Saalim. Hadits ini hanyalah diriwayatkan oleh seorang syaikh yang menurut ulama tidak tsabt yang bernama ‘Amru bin Diinaar Qahramaan Aaliz-Zubair. Telah menceritakan kepada kami Ziyaad bin Ar-Rabii’ hadits tersebut darinya. Shahabat-shahabat kami sangat mengingkari hadits ini karena kebagusan sanadnya. Syaikh ini (yaitu ‘Amru bin Diinaar) meriwayatkan satu hadits yang lain dari Saalim, dari ayahnya, dari ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau bersabda : ‘Barangsiapa yang melihat sesuatu yang basah....’. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan perkataan yang tidak aku hapal. Dan ini termasuk yang diingkari para ulama. Seandainya Muhaajir shahih haditsnya tentang doa masuk pasar, niscaya ‘Amru bin Diinaar tidak diingkari dalam hadits ini” [Musnad Al-Faaruuq, 2/642-643].

3.     ‘Ubaidullah Al-‘Umariy.

Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir no. 13175 dan dari jalannya diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 12637 dan Ibnu ‘Asaakir dalam At-Taariikh 45/405 : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin ‘Aliy Al-Ma’mariy : Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Aslam Al-Himshiy : Telah menceritakan kepada kami Salm bin Maimuun Al-Khawwaash, dari ‘Aliy bin ‘Athaa’, dari ‘Ubaidullah Al-‘Umariy, dari Saalim bin ‘Abdillah, dari ayahnya, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “......(al-hadits)...”.

Dalam riwayat ini, Ibnu ‘Umar meriwayatkan langsung secara marfuu’ dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tanpa melalui perantaraan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhumaa. Ini keliru, karena yang benar Ibnu ‘Umar meriwayatkan hadits ini melalui perantaraan ayahnya.

Sanad riwayat ini dla’iif dengan sebab Salm bin Maimuun Al-Khawwaash Az-Zaahid Ar-Raaziy. Ia seorang perawi dla’iif yang meriwayatkan beberapa hadits munkar [lihat : Lisaanul-Miizaan, 4/112 no. 3551]. Adapun ‘Aliy bin ‘Athaa’, saya belum menemukan data biografinya.

Diriwayatkan juga oleh At-Tirmidziy dalam Al-‘Ilal Al-Kabiir hal. 674, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr 12/302 no. 6140, Al-Haakim 1/539, dan Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 6/167; semuanya dari jalan Yahyaa bin Sulaim, dari ‘Imraan bin Muslim, dari ‘Abdullah bin Diinaar, dari Ibnu ‘Umar secara marfuu’.

At-Tirmidziy berkata : Aku pernah bertanya kepada Muhammad (bin Ismaa’iil Al-Bukhaariy) tentang hadits ini. Maka ia berkata : “Ini adalah hadits munkar”. Aku berkata kepadanya : “Siapakah ‘Imraan bin Muslim ini ?. Apakah ia ‘Imraan bin Al-Qashiir ?”. Ia berkata : “Bukan. Syaikh ini munkarul-hadiits” [Al-‘Ilal Al-Kabiir, hal. 363]. Penghukuman Al-Bukhaariy tersebut sama dengan Abu Haatim [Al-‘Ilal, 5/352 no. 2038].

Ibnu Abi Haatim berkata : “Hadits ini keliru. Yang benar adalah : ‘Imraan bin Muslim, dari ‘Amru bin Diinaar Qahramaan Aaliz-Zubair, dari Saalim, dari ayahnya. Lalu perawi keliru dan menjadikan nama ‘Amru (bin Diinaar) sebagai ‘Abdullah bin Diinaar, dan menggugurkan Saalim dari sanad hadits ini. Telah menceritakan kepada kami hal tersebut Muhammad bin ‘Ammaar, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Sulaimaan, dari Bukair bin Syihaab Ad-Daamaghaaniy, dari ‘Imraan bin Muslim, dari ‘Amru bin Diinaar, dari Saalim, dari ayahnya, dari ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ia menyebutkan haditsnya” [Al-‘Ilal, 5/352-353].

Perkataan Ibnu Abi Haatim ini sekaligus menunjukkan kekeliruan sanad yang dibawakan oleh Al-Haakim 1/539 yang menyebutkan mutaba’ah ‘Imraan bin Muslim dalam periwayatan dari ‘Abdullah bin Diinaar : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Muhammad bin Ahmad bin Baalawaih : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Al-Hasan bin Habdarah : Telah menceritakan kepada kami Masruuq bin Al-Marzabaan : Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyaats, dari Hisyaam bin Hassaan, dari ‘Abdullah bin Diinaar, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “....(al-hadits)....”.

Hal itu dikarenakan Hisyaam bin Hassaan masyhur dalam hadits ini meriwayatkan dari ‘Amru bin Diinaar, dari Saalim, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfuu’.

Al-Khathiib dalam At-Talkhiish 1/169 & 1/321 membawakan mutaba’ah dari Saalim, yaitu ‘Abdurrahmaan bin Zaid bin Aslam dan Khaarijah bin Mush’ab. Akan tetapi ‘Abdurrahmaan dan Khaarijah adalah dua orang perawi yang sangat lemah.

‘Abdurrahmaan bin Zaid bin Aslam; seorang yang dla’iif menurut kesepakatan sebagaimana dikatakan Ibnul-Jauziy. Bahkan Ibnu Ma’iin berkata berkata : “Haditsnya tidak ada apa-apanya”. Ibnu Sa’d berkata : “Sangat lemah”. As-Saajiy berkata : “Munkarul-hadiits”. Al-Haakim dan Abu Nu’aim berkata : “Ia meriwayatkan dari ayahnya hadits-hadits palsu” [Tahdziibut-Tahdziib, 6/177-179 no. 361].

Khaarijah bin Mush’ab bin Khaarijah Adl-Dluba’iy, Abul-Hajjaaj Al-Khurasaaniy As-Sarkhasiy; seorang yangmatruuk, melakukan tadlis dari para pendusta. Termasuk thabaqah ke-8, dan wafat tahun 168 H. Dipakai oleh At-Tirmidziy dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 283 no. 1622].

‘Umar bin Al-Khaththaab mempunyai syaahid dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhum, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnus-Sunniy dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 183 : Telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Zuhair : Telah menceritakan kepadaku ‘Umar bin Al-Khaththaab : Telah menceritakan kepada kami Abu Hafsh At-Tuniisiy, dari Shadaqah, dari Al-Hajjaaj bin Arthaah. Dari Nahsyal bin Sa’iid, dari Adl-Dlahhaak bin Muzaahim, dari Ibnu ‘Abbaas secara marfuu’.

Sanad riwayat ini sangat lemah terutama dengan keberadaan Nahsyal bin Sa’iid. Nama lengkapnya adalah : Nahsyal bin Sa’iid bin Wardaan Al-Qurasyiy Al-Wadaaniy, Abu Sa’iid/Abu ‘Abdillah Al-Khuraasaaniy An-Naisaabuuriy; seorang yang matruk – Ishaaq bin Rahawaih mendustakannya. Termasuk thabaqah ke-7. Dipakai oleh Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1009 no. 7247].

Kesimpulan :

Hadits ini dengan keseluruhan jalannya adalah dla’iif. Jalan-jalan hadits yang ada belum mampu menaikkan hadits ini pada derajat hasan atau yang lebih tinggi dari itu (shahih).

FAEDAH HADITS :

Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:

- Yang dimaksud dengan pasar adalah semua tempat yang didatangkan dan diperjual-belikan padanya berbagai macam barang dagangan [Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (1/170).

Yang ini mencakup pasar tradisional, pasar modern, super market, mall, toko-toko besar dan lain-lain.

- Pasar adalah tempat berjual-beli dan tempat yang melalaikan orang dari mengingat Allah Ta’ala karena kesibukan mengurus perdagangan. Maka di sanalah tempat berkumpulnya setan dan bala tentaranya, sehingga orang yang berzikir di tempat seperti itu berarti dia telah memerangi setan dan tentaranya, maka pantaslah jika dia mendapat pahala dan keutamaan besar yang tersebut dalam hadits di atas. [Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (9/272) dan “Faidhul Qadiir” (1/170).].

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

“Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.” (HR. An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan,

“Dalam hadits di atas terdapat dalil mengenai dianjurkannya melakukan amalan ketaatan di saat manusia lalai. Inilah amalan yang dicintai di sisi Allah.” (Lathoif Al Ma’arif, 235)

Bulan Sya’ban adalah bulan tempat manusia lalai. Karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan Harom) dan juga menanti bulan sesudahnya yaitu bulan Ramadhan.

Tatkalah manusia lalai, inilah keutamaan melakukan amalan puasa ketika itu. Sebagaimana seseorang yang berdzikir di tempat orang-orang yang begitu lalai dari mengingat Allah -seperti ketika di pasar-, maka dzikir ketika itu adalah amalan yang sangat istimewa.

Abu Sholeh mengatakan,
“Sesungguhnya Allah tertawa melihat orang yang masih sempat berdzikir di pasar. Kenapa demikian? Karena pasar adalah tempatnya orang-orang lalai dari mengingat Allah.”

- Pasar merupakan tempat yang paling dibenci oleh Allah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أحب البلاد إلى الله مساجدها و أبغض البلاد إلى الله أسواقها

“Tempat yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjidnya dan yang paling dibenci Allah adalah pasar-pasarnya.” (HR. Muslim no. 671 dari Abu Hurairah)

Dalam hadits lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خير البقاع المساجد و شر البقاع الأسواق

“Sebaik-baik tempat adalah masjid, dan seburuk-buruk tempat adalah pasar.” (HR. At-Thabarani dan al-Hakim. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 3271)

ada juga hadits lain:

لا تكونن إن استطعت أول من يدخل السوق ولا آخر من يخرج منها

" Janganlah engkau menjadi orang pertama yang masuk pasar jika engkau mampu dan jangan pula menjadi orang paling terakhir yang keluar darinya.

فإنها معركة الشيطان وبها ينصب رايته

Karena pasar itu adalah tempat peperangan para syaitan dan disanalah ditancapkan benderanya." [diriwayatkan oleh Imam Muslim (2451) dari Salman radiyallohu ‘anhu]

Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al-Imam menjelaskan hadits diatas:

Ucapan ini memiliki hukum marfu (disandarkan kepada Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, pen).

Yang dimaksud dengan ا لمعر كة dalam kata ”معركة الشيطان ” adalah tempat peperangan para syaitan dan mereka menjadikan pasar sebagai tempat perang tersebut karena dia mengalahkan mayoritas penghuninya disebabkan karena mereka lalai dari dzikrullah dan gemar melakukan kemaksiatan.

Oleh karena itu, pasar merupakan tempat yang dibenci oleh Alla Subhaanahu wata’ala.

(Kemudian beliau membawakan hadits)

أحب البلاد إلى الله مساجدها و أبغض البلاد إلى الله أسواقها

“Tempat yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjidnya dan yang paling dibenci Allah adalah pasar-pasarnya.” (HR. Muslim no. 671 dari Abu Hurairah)

Demikianlah para setan berkumpul di tempat-tempat yang di dalamnya gemar dilakukan perbuatan maksiat dan kemungkaran.

Sebagaimana ditegaskan oleh Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam:

إن هذه السوق يخالطها اللغو والكذب ، فشوبوها بالصدقة

Sesungguhnya pasar ini, bercampur (perbuatan/perkataan yang) sia-sia dan kedustaan (sumpah serapah). maka campurilah dengan sedekah (Shahiih, HR. Nasaa-iy; dishahiihkan oleh syaikh al-Albaniy dalam shahih an Nasaa-iy)

Maka bukan berarti menjadikan kita memahami keutamaan dzikir masuk pasar ini dengan pemahaman,

“kalau begitu, kita akan ke pasar setiap hari (walaupun tanpa keperluan mendesak) untuk menggapai fadhilah dzikir masuk pasar..”

karena telah dijelaskan diatas bahwa pasar merupakan tempat yang Allah benci, sejelek-jeleknya tempat yang dimana diatas terdapat berbagai macam kemungkaran, perbuatan dan perkataan sia-sia, belum lagi disanalah tempat syaithan berkumpul dan ditancapkan benderanya.. maka tentunya orang yang mencintai Allah akan mencntai apa yang di cintaiNya dan membenci apa yang dibenciNya.

Maka kita ke pasar SEKEDAR dengan KEBUTUHAN kita, terkecuali jika memang kita seorang pedagang (yang memang tempatnya dipasar), yang dimana disanalah tempat kita mencari nafkah.

- Seorang muslim yang datang ke pasar untuk mencari rezki yang halal, dengan selalu berzikir (ingat) kepada Allah Ta’ala dan meninggalkan segala sesuatu yang diharamkan-Nya, maka ini adalah termasuk sebaik-baik usaha yang diberkahi oleh Allah Ta’ala.

Sebagaimana sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ

“Sungguh sebaik-baik rizki yang dimakan oleh seorang laki-laki adalah dari usahanya sendiri (yang halal)” [SHAHIIH, HR an-Nasa-i (no. 4452), Abu Dawud (no. 3528), at-Tirmidzi (no. 1358) dan al-Hakim (no. 2295), dinyatakan shahih oleh at-Tirmidzi, al-Hakim, adz-Dzahabi dan al-Albani]

- Dzkir ini lebih utama jika diucapkan dengan lisan disertai dengan penghayatan akan kandungan maknanya dalam hati.

Karena dzikir yang dilakukan dengan lisan dan hati adalah lebih sempurna dan utama [Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 314)]

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar