Mencintai para sahabat Rasûlullâh –Radhiyallahu ‘anhum- menjadi kewajiban bagi seorang muslim. Dan melakukan pembelaan kepada mereka merupakan konsekwensi dari rasa cinta tersebut. Termasuk pada masa sekarang ini, tuduhan dan celaan tanpa dasar banyak disebarkan di tengah-tengah masyarakat dan mempengaruhi sikap mereka terhadap para sahabat. Syubhat yang dihembuskan para musuh Islam sudah masuk ke dalam tubuh masyarakat Islam, sehingga tanpa disadari banyak kaum muslimin sudah mencela sebagian sahabat. Diantara sahabat yang dicela adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyân Radhiyallahu anhuma. Sejarah kehidupan beliau yang tersebar di masyarakat banyak tercemari berita dusta.
Sahabat yang mulia ini adalah tabir penutup dan tameng bagi para sahabat seluruhnya. Apabila tabir penutup tersingkap, maka orang-orang yang gemar mencela akan lebih lancang dan berani mencela sahabat lainnya. Diungkapkan oleh ar-Rabi’ al-Halabi sebagaimana disampaikan Imam ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan- Nihayah (8/139): “Mu’awiyah adalah tameng bagi para sahabat Nabi lainnya. Apabila tersingkap, maka seseorang akan berani merambah yang di belakangnya”.
Imam an-Nasa’i pernah ditanya tentang sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyân, beliau menjawab: “Islam itu bagaikan sebuah rumah yang memiliki pintu. Pintu Islam adalah para sahabat. Barangsiapa yang mengganggu para sahabat, berarti ia ingin mengganggu Islam. Ibarat seseorang yang merusak pintu, tentulah hanya ingin masuk ke dalam rumah tersebut. Barang siapa yang menginginkan (jelek) Mu’awiyah, berarti ia (juga) menginginkan para sahabat”. Lihat Tahdzibul-Kamâl, 1/45.
Oleh karena itu, menjelaskan keutamaan dan sejarah yang benar tentang Mu’awiyah ini termasuk melakukan pembelaan terhadap para sahabat. Membela para sahabat berarti membela Islam.
Alloh Subhaanahu Wata'ala Berfirman
وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (100)
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dari Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik Allah rida kepada mereka dan menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya mereka kekal di dalammnya selama-lamanya, itulah kemenangan yang besar.(At-Taubah Ayat 100)
Allah Swt. menceritakan tentang rida-Nya kepada orang-orang yang terdahulu masuk Islam dari kalangan kaum Muhajirin, Ansar, dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik. Allah rida kepada mereka, untuk itu Dia menyediakan bagi mereka surga-surga yang penuh dengan kenikmatan dan kenikmatan yang kekal lagi abadi.
Asy-Sya'bi mengatakan bahwa orang-orang yang terdahulu masuk islam dari kalangan kaum Muhajirin dan Ansar ialah mereka yang mengikuti bai'at Ridwan pada tahun Perjanjian Hudaibiyyah.
Abu Musa Al-Asy'ari, Sa'id ibnul Musayyab, Muhammad ibnu Sirin, Al-Hasan, dan Qatadah mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang salat menghadap ke dua arah kiblat bersama-sama Rasulullah Saw.
Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi mengatakan bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab melewati seorang lelaki yang sedang membaca firmanNya berikut ini: Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar. (At-Taubah: 100) Maka Umar memegang tangan lelaki itu dan bertanya, "Siapakah yang mengajarkan ayat ini kepadamu?" Lelaki itu menjawab, "Ubay ibnu Ka'b." Umar berkata, "Kamu jangan berpisah dariku sebelum aku hadapkan kamu kepadanya." Setelah Umar menghadapkan lelaki itu kepada Ubay, Umar bertanya, "Apakah engkau telah mengajarkan bacaan ayat ini kepadanya dengan bacaan demikian?" Ubay ibnu Ka'b menjawab, "Ya." Umar bertanya, "Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah Saw.?" Ubay ibnu Ka'b menjawab, "Ya." Umar berkata, "Sesungguhnya aku berpendapat sebelumnya bahwa kami (para sahabat) telah menduduki tingkatan yang tinggi yang tidak akan dicapai oleh orang-orang sesudah kita." Maka Ubay ibnu Ka'b menjawab bahwa yang membenarkan ayat ini terdapat pada permulaan surat Al-Jumu'ah. yaitu firman-Nya:
{وَآخَرِينَ مِنْهُمْ لَمَّا يَلْحَقُوا بِهِمْ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ}
dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. Dan Dialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Al-Jumu'ah: 3)
Di dalam surat Al-Hasyr disebutkan melalui firman-Nya:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka(Muhajirin dan Ansar). (Al-Hasyr: 10)
Dan dalam surat Al-Anfal disebutkan melalui firman-Nya:
وَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْ بَعْدُ وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا مَعَكُمْ
Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu. (Al-Anfal: 75), hingga akhir ayat.
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Allah Swt. telah memberitakan bahwa Dia telah rida kepada orang-orang yang terdahulu masuk Islam dari kalangan kaum Muhajirin dan Ansar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Maka celakalah bagi orang yang membenci mereka, mencaci mereka, atau membenci dan mencaci sebagian dari mereka. Terlebih lagi terhadap penghulu para sahabat sesudah Rasul Saw. dan yang paling baik serta paling utama di antara mereka, yaitu As-Siddiqul Akbar —khalifah Rasulullah yang pertama— Abu Bakar ibnu Abu Quhafah r.a.
Lain halnya dengan golongan yang terhina dari kalangan golongan Rafidah (Khawarij), mereka memusuhi sahabat yang paling utama, membenci mereka serta memusuhinya; semoga Allah melindungi kita dari hal tersebut. Hal ini jelas menunjukkan bahwa akal mereka telah terbalik dan kalbu mereka telah tertutup. Maka mana mungkin mereka dinamakan sebagai orang yang beriman kepada Al-Qur'an bila mereka mencaci orang-orang yang telah diridai oleh Allah Swt.?
Berbeda dengan golongan ahli sunnah, maka mereka rida kepada orang-orang yang diridai oleh Allah, mencaci orang-orang yang dicaci oleh Allah dan Rasul-Nya, memihak kepada orang-orang yang dipihak oleh Allah, dan memusuhi orang-orang yang dimusuhi oleh Allah. Dengan demikian, mereka adalah orang-orang yang mengikuti (Rasul dan sahabat-sahabatnya), bukan orang-orang ahli bid'ah; dan mereka adalah orang-orang yang bertaklid, bukan orang-orang yang memulai. Mereka itulah golongan Allah yang beruntung dan hamba-hamba-Nya yang beriman.
Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan radliyallaahu ‘anhumaa tetaplah salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, meskipun banyak yang mencela Beliau Inilah pandangan ulama salaf tentang diri Mu’aawiyyah.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ مُكْرَمٍ، ثنا سُرَيْجُ بْنُ يُونُسَ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَجَاءٍ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ الأَسْوَدِ، عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ، قَالَ: قِيلَ لابْنِ عَبَّاسٍ: إِنَّ مُعَاوِيَةَ أَوْتَرَ بِرَكْعَةٍ فَقَالَ: " دَعَوْنَا مِنْ مُعَاوِيَةَ فَإِنَّهُ قَدْ صَحِبَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Husain bin Mukram : Telah menceritakan kepada kami Suraij bin Yuunus : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Rajaa’, dari ‘Utsmaan bin Al-Aswad, dari Ibnu Abi Mulaikah, ia berkata : Dikatakan kepada Ibnu ‘Abbaas : “Sesungguhnya Mu’aawiyyah shalat witir satu raka’at saja”. Ibnu ‘Abbaas berkata : “Tinggalkan kami dari urusan Mu’aawiyyah, karena ia telah bershahabat dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir no. 11247; sanadnya hasan atau shahih. Diriwayatkan juga oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah 3/514].
Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa jelas menyebutkan Mu’aawiyyah adalah shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
وَأَنْبَأَنَا ابْنُ نَاجِيَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعِيدٍ الْجَوْهَرِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، قَالَ: سَمِعْتُهُ وَقِيلَ لَهُ: " أَيُّمَا أَفْضَلُ مُعَاوِيَةُ أَوْ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ؟ فَقَالَ: أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا يُقَاسُ بِهِمْ أَحَدٌ "
Telah memberitakan kepada kami Ibnu Naajiyyah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Sa’iid Al-Jauhariy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah. Ia (Ibraahiim) berkata : Aku mendengarnya (Abu Usaamah) dan dikatakan kepadanya : “Mana yang lebih utama : Mu’aawiyyah ataukah ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz ?”. Maka ia menjawab : “Shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tidak boleh dibandingkan dengan mereka seorang pun” [Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah 3/520; shahih].
Abu Usaamah, namanya adalah Hammaad bin Usaamah, salah seorang ulama shighaaru atbaa’ut-taabi’iin. Ia menyebut Mu’aawiyyah sebagai shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang tidak dapat dibandingkan dengan ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz rahimahullah.
وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ شَهْرَيَارَ، قَالَ: حَدَّثَنَا فَضْلُ بْنُ زِيَادٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا رَبَاحُ بْنُ الْجَرَّاحِ الْمَوْصِلِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَجُلا، يَسْأَلُ الْمُعَافَى بْنَ عِمْرَانَ فَقَالَ: يَا أَبَا مَسْعُودٍ، أَيْنَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ مِنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ؟ فَرَأَيْتُهُ غَضِبَ غَضَبًا شَدِيدًا وَقَالَ: لا يُقَاسُ بِأَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدٌ، مُعَاوِيَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَاتِبُهُ وَصَاحِبُهُ وَصِهْرُهُ وَأَمِينُهُ عَلَى وَحْيِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Syahrayaar : Telah menceritakan kepada kami Fadhl bin Ziyaad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Rabbaah bin Al-Jarraah Al-Maushiiliy, ia berkata : Aku mendengar seseorang bertanya kepada Al-Mu’aafaa bin ‘Imraan. Ia berkata : “Wahai Abu Mas’uud, dimanakah kedudukan ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz dibandingkan Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan ?”. Maka aku (Rabbaah) melihatnya (Al-Mu’aafaa) sangat marah, lalu berkata : “Tidak boleh dibandingkan seorang pun dengan shahabat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Mu’aawiyyah radliyallaahu ‘anhu adalah sekretaris beliau, shahabat beliau, kerabat beliau, dan kepercayaan beliau atas wahyu Allah ‘azza wa jalla (untuk menulisnya)” [Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy 3/520; sanadnya hasan].
Al-Mu’aafaa bin ‘Imraan Al-Azdiy rahimahullah adalah salah seorang ulama shighaaru atbaa’ut-taabi’iin.
Mu’aawiyyah adalah orang kepercayaan beliau Rosululloh SAW sehingga diangkat sebagai sekretaris beliau sebagaimana riwayat :
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنِي الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي رَبِيعَةُ بْنُ يَزِيدَ، حَدَّثَنِي أَبُو كَبْشَةَ السَّلُولِيُّ، أَنَّهُ سَمِعَ سَهْلَ ابْنَ الْحَنْظَلِيَّةِ الْأَنْصَارِيَّ صَاحِبَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ عُيَيْنَةَ، والْأَقْرَعَ سَأَلَا رَسُولَ اللَّهِصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا، " فَأَمَرَ مُعَاوِيَةَ أَنْ يَكْتُبَ بِهِ لَهُمَا، فَفَعَلَ وَخَتَمَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَمَرَ بِدَفْعِهِ إِلَيْهِمَا "
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdillah : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid bin Muslim : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdurrahmaan bin Yaziid bin Jaabir, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Rabii’ah bin Yaziid : Telah menceritakan kepadaku Abu Kabsyah As-Saluuliy, bahwasannya ia mendengar Sahl bin Al-Handhaliyyah Al-Anshaariy, salah seorang shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Bahwasannya ‘Uyainah dan Al-Aqra’ pernah bertanya sesuatu kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau memerintahkan Mu’aawiyyah agar menuliskannya bagi mereka berdua. Mu’aawiyyah melakukannya yang kemudian distempel oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menyampaikannya kepada mereka berdua…” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/180; sanadnya shahih].
Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa berkata :
لَيْسَ أَحَدٌ مِنَّا أَعْلَمَ مِنْ مُعَاوِيَةَ
“Tidak ada seorang pun dari kami yang lebih ‘alim daripada Mu’aawiyyah” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 4641 dan darinya Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath no. 2655; sanadnya hasan].
Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa berkata :
مَا رَأَيْتُ رَجُلا بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَسْوَدَ مِنْ مُعَاوِيَةَ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: وَلا عُمَرُ؟ فَقَالَ: عُمَرُ كَانَ خَيْرًا مِنْهُ، وَكَانَ هُوَ أَسْوَدَ مِنْهُ
“Aku tidak pernah melihat laki-laki setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang lebih dermawan dibandingkan Mu’aawiyyah”. Seorang laki-laki berkata kepadanya : “Tidak juga ‘Umar ?”. Ibnu ‘Umar berkata : “’Umar lebih baik darinya. Akan tetapi Mu’aawiyyah lebih dermawan darinya” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal no. 677 & 679, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 2781, Ibnu Abi ‘Aashim dalam Al-Aahaadul-Matsaaniy no. 514, dan yang lainnya; shahih].
Ummu Habiibah, istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, senantiasa mengharapkan kebaikan bagi Mu’aawiyyah radliyallaahu ‘anhumaa, sebagaimana dalam doanya :
اللَّهُمَّ أَمْتِعْنِي بِزَوْجِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِأَبِي أَبِي سُفْيَانَ، وَبِأَخِي مُعَاوِيَة
“Ya Allah, berikanlah aku kenikmatan (panjangkanlah usiaku) bersama suamiku, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, ayahku Abu Sufyaan, dan saudaraku Mu'awiyah…” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2663].
Pujian dari kalangan taabi’iin :
Abu Ishaaq As-Sabii’iy rahimahullah berkata :
كَانَ مُعَاوِيَةُ وَكَانَ وَكَانَ، وَمَا رَأَيْنَا بَعْدَهُ مِثْلَهُ
“Adalah Mu’aawiyyah, tidak pernah kami melihat seorang pun semisalnya setelahnya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat, 8/489; shahih].
Qabiishah bin Jaabir rahimahullah berkata :
وَصَحِبْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ، فَمَا رَأَيْتُ رَجُلًا أَثْقَلَ حِلْمًا، وَلَا أَبْطَأَ جَهْلًا، وَلَا أَبْعَدَ أَنَاةً مِنْهُ،
“Aku telah bershahabat dengan Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan. Maka, aku tidak pernah melihat laki-laki yang lebih berat akalnya (pandai), lebih lambat/sedikit kebodohannya, dan lebih cekatan dibandingkan dia” [Diriwayatkan oleh Al-Fasawiy dalam Al-Ma’rifah 1/458, Ibnu Abi ‘Aashim dalam Al-Aahaadul-Matsaaniy no. 507, Al-Bukhaariy dalam Al-Kabiir 7/175; hasan].
Sebagian salaf bahkan telah menyebut Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan radliyallaahu ‘anhu sebagai paman orang-orang beriman.
أَخْبَرَنِي أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ مَطَرٍ، وَزَكَرِيَّا بْنُ يَحْيَى، أَنَّ أَبَا طَالِبٍ حَدَّثَهُمْ، أَنَّهُ سَأَلَ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، " أَقُولُ: مُعَاوِيَةُ خَالُ الْمُؤْمِنِينَ، وَابْنُ عُمَرَ خَالُ الْمُؤْمِنِينَ؟ قَالَ: نَعَمْ، مُعَاوِيَةُ أَخُو أُمِّ حَبِيبَةَ بِنْتِ أَبِي سُفْيَانَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَحِمَهُمَا، وَابْنُ عُمَرَ أَخُو حَفْصَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَحِمَهُمَا، قُلْتُ: أَقُولُ: مُعَاوِيَةُ خَالُ الْمُؤْمِنِينَ؟ قَالَ: نَعَمْ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin mathar dan Zakariyyaa bin Yahyaa, bahwasannya Abu Thaalib telah menceritakan kepada mereka, bahwa ia pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal). Aku (Abu Thaalib) berkata : “Apakah Mu’aawiyyah adalah paman orang-orang beriman, dan Ibnu ‘Umar juga paman orang-orang beriman ?”. Ia menjawab : “Benar. Mu’aawiyyah adalah saudara laki-laki Ummu Habiibah binti Abi Sufyaan, istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan semoga Allah merahmati keduanya. Adapun Ibnu ‘Umar adalah saudara laki-laki Hafshah istri Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam, semoga Allah merahmati keduanya”. Aku berkata : “(Kalau begitu) aku katakan Mu’aawiyyah itu paman orang-orang beriman ?”. Ia menjawab : “Ya” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 655; sanadnya shahih].
حدثنا أبو مسلم حدثني أبي أحمد حدثني أبي عبد الله قال قال رجل للحكم ما تقول في معاوية قال ذاك خال كل مؤمن
Telah menceritakan kepada kami Abu Muslim : Telah menceritakan kepadaku Abu Ahmad : Telah menceritakan kepadaku Abu ‘Abdillah, ia berkata : Telah berkata seorang laki-laki kepada Al-Hakam : “Apa yang engkau katakan tentang Mu’aawiyyah ?”. Ia menjawab : “Ia adalah paman bagi setiap orang yang beriman” [Diriwayatkan oleh Al-‘Ijliy dalam Ma’rifatuts-Tsiqaat 1/314; sanadnya shahih].
Al-Hakam bin Hisyaam Ats-Tsaqafiy adalah salah seorang ulama dari kalangan kibaaru atbaa’ut-taabi’iin.
Mu’aawiyyah memang kelak akan dibalas oleh Allah ta’ala, sebagaimana dikatakan Al-Mis’ariy. Hanya saja, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengkhabarkan bahwa Mu’aawiyyah kelak akan dibalas dengan jannah, sedangkan Al-Mis’ariy berkeyakinan Mu’aawiyyah akan dibalas dengan ‘adzab. Tentang balasan jannah, tentu ada dalilnya :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ إِسْحَقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْخُلُ عَلَى أُمِّ حَرَامٍ بِنْتِ مِلْحَانَ فَتُطْعِمُهُ وَكَانَتْ أُمُّ حَرَامٍ تَحْتَ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ فَدَخَلَ عَلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فَأَطْعَمَتْهُ ثُمَّ جَلَسَتْ تَفْلِي رَأْسَهُ فَنَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ اسْتَيْقَظَ وَهُوَ يَضْحَكُ قَالَتْ فَقُلْتُ مَا يُضْحِكُكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي عُرِضُوا عَلَيَّ غُزَاةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَرْكَبُونَ ثَبَجَ هَذَا الْبَحْرِ مُلُوكًا عَلَى الْأَسِرَّةِ أَوْ مِثْلَ الْمُلُوكِ عَلَى الْأَسِرَّةِ يَشُكُّ أَيَّهُمَا قَالَ قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَدَعَا لَهَا ثُمَّ وَضَعَ رَأْسَهُ فَنَامَ ثُمَّ اسْتَيْقَظَ وَهُوَ يَضْحَكُ قَالَتْ فَقُلْتُ مَا يُضْحِكُكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي عُرِضُوا عَلَيَّ غُزَاةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَا قَالَ فِي الْأُولَى قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ قَالَ أَنْتِ مِنْ الْأَوَّلِينَ فَرَكِبَتْ أُمُّ حَرَامٍ بِنْتُ مِلْحَانَ الْبَحْرَ فِي زَمَنِ مُعَاوِيَةَ فَصُرِعَتْ عَنْ دَابَّتِهَا حِينَ خَرَجَتْ مِنْ الْبَحْرِ فَهَلَكَتْ
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa, ia berkata : Aku membacakan (hadits) di hadapan Maalik, dari Ishaaq bin ‘Abdillah bin Abi Thalhah, dari Anas bin Maalik : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menemui Ummu Haram binti Milhan - isteri ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit – yang kemudian ia (Ummu Haram) menghidangkan makanan untuk beliau. Setelah itu Ummu Haram menyisir rambut beliau, hingga Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tertidur. Tiba-tiba beliau terbangun sambil tertawa. Ummu Haram bertanya : "Apa yang menyebabkanmu tertawa wahai Rasulullah ?". Beliau bersabda : “Sekelompok umatku diperlihatkan Allah ta'ala kepadaku. Mereka berperang di jalan Allah mengarungi lautan dengan kapal, yaitu para raja di atas singgasana atau bagaikan para raja di atas singgasana" - perawi ragu antara keduanya - . Ummu Haram berkata : "Wahai Rasulullah, doakanlah agar aku termasuk di antara mereka." Kemudian beliau mendoakannya. Setelah itu beliau meletakkan kepalanya hingga tertidur. Tiba-tiba beliau terbangun sambil tertawa. Ummu Haram berkata : Lalu aku kembali bertanya : "Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu tertawa ?". Beliau menjawab : "Sekelompok umatku diperlihatkan Allah Ta'ala kepadaku, mereka berperang di jalan Allah…" - sebagaimana sabda beliau yang pertama - . Ummu Haram berkata : Lalu aku berkata : "Wahai Rasulullah, doakanlah agar aku termasuk di antara mereka !". Beliau bersabda : "Kamu termasuk dari rombongan pertama". Pada masa (kepemimpinan) Mu'aawiyah, Ummu Haram turut dalam pasukan Islam berlayar ke lautan (untuk berperang di jalan Allah). Ketika mendarat, dia terjatuh dari kendaraannya hingga meninggal dunia [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1912].
حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ بْنُ يَزِيدَ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ قَالَ حَدَّثَنِي ثَوْرُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ أَنَّ عُمَيْرَ بْنَ الْأَسْوَدِ الْعَنْسِيَّ حَدَّثَهُ أَنَّهُ أَتَى عُبَادَةَ بْنَ الصَّامِتِ وَهُوَ نَازِلٌ فِي سَاحَةِ حِمْصَ وَهُوَ فِي بِنَاءٍ لَهُ وَمَعَهُ أُمُّ حَرَامٍ قَالَ عُمَيْرٌ فَحَدَّثَتْنَا أُمُّ حَرَامٍ أَنَّهَا سَمِعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ الْبَحْرَ قَدْ أَوْجَبُوا قَالَتْ أُمُّ حَرَامٍ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا فِيهِمْ قَالَ أَنْتِ فِيهِمْ ثُمَّ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ مَدِينَةَ قَيْصَرَ مَغْفُورٌ لَهُمْ فَقُلْتُ أَنَا فِيهِمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لَا
Telah menceritakan kepadaku Ishaaq bin Yaziid Ad-Dimasyqiy : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Hamzah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Tsaur bin Yaziid, dari Khaalid bin Ma’daan : Bahwasannya ‘Umair bin Al-Aswad Al-‘Ansiy telah menceritakan kepadanya : Bahwa dia pernah menemui 'Ubaadah bin Ash-Shaamit ketika dia sedang singgah dalam perjalanan menuju Himsh. Saat itu dia sedang berada di rumahnya, dan Ummu Haram ada bersamanya. 'Umair berkata : Maka Ummu Haram bercerita kepada kami bahwa dia pernah mendengar Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Pasukan dari umatku yang pertama kali berperang dengan mengarungi lautan, telah diwajibkan padanya (pahala surga)". Ummu Haram berkata : Aku katakan : "Wahai Rasulullah, apakah aku termasuk di antara mereka ?". Beliau bersabda : "Ya, kamu termasuk dari mereka". Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kembali bersabda : "Pasukan dari umatku yang pertama kali akan memerangi kota Qaishar (Romawi) akan diberikan ampunan (dari dosa)". Aku katakan : "Apakah aku termasuk di antara mereka, wahai Rasulullah ?". Beliau menjawab : “Tidak" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2924].
Al-Muhallab rahimahullah berkata :
في هذا الحديث منقبةٌ لمعاوية، لأنه أول من غزا البحر، ومنقبةٌ لولده يزيد لأنه أول من غزا مدينةَ قيصر
“Dalam hadits ini (terdapat petunjuk tentang) kebajikan yang dilakukan Mu’aawiyyah, karena ia adalah orang yang pertama kali (memimpin) peperangan di lautan; dan juga kebajikan yang dilakukan anaknya, Yaziid, karena ia adalah orang yang pertama kami memerangi kota Qaishar” [Fathul-Baariy, 6/102].
Al-Firyaabiy rahimahullah berkata :
وكان أول من غزا [يعني البحر] معاويةُ في زمن عثمان بن عفان رحمة الله عليهما
“Orang yang pertama kali berperang di lautan adalah Mu’aawiyyah di jaman (kekhalifahan) ‘Utsmaan bin ‘Affaan – semoga Allah memberikan rahmat kepada mereka berdua” [Asy-Syarii’ah, 3/501 no. 1980, tahqiq : Al-Waliid bin Muhammad bin Saif An-Nashr; Muassasah Al-Qurthubah, Cet. 1/1417].
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
لم يختَلفْ أهلُ السِّـيَر فيما عَلمتُ أن غَزاةَ معاوية هذه المذكورةُ في حديثِ هذا الباب إذْ غَزَتْ معه أمُّ حَرَام كانت في خِلافة عُثمان
“Tidak ada perselisihan di kalangan ahli sirah sepanjang yang aku ketahui bahwa peperangan Mu’aawiyyah (di lautan) pada hadits dalam bab ini, saat Ummu Haram ikut berperang bersamanya, terjadi pada masa kekhilafahan ‘Utsmaan” [At-Tamhiid, 1/242 – melalui perantaraan Min Fadlaaili wa Akhbaari Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan].
Syariat mengharamkan celaan terhadap sahabat Nabi. Siapa saja yang mencela para sahabat Nabi, maka ia berhak mendapat laknat Allah, malaikat dan seluruh manusia.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
Janganlah mecela sahabatku! Janganlah mencela sahabatku! Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, meskipun kalian menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan dapat menyamai satu mud sedekah mereka; tidak juga separuhnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
مَنْ سَبَّ أَصْحَابِي فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَ المَلاَئِكَةِ وَ النَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
Barang siapa yang mencela sahabatku, maka atasnya laknat Allah, laknat malaikat dan laknat seluruh umat manusia.
Hadis riwayat Hakim dan Thabrany dari `Usaimir bin sa`idah
عن عويمر بن ساعدة رضي الله عنه ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال :ان الله اختارنى واختارلى أصحابا فجعل لى منهم وزارء وانصارا وأصهارا .فمن سبهم فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين .لايقبل الله منه يوم القيامة صرفا ولا عدلا .
Dari `uwaimir bin sadah r.a. sesungguhnya Nabi SAW berkata: sesungguhnya Allah telah memilih shahabat untukku, Allah jadikan dari mereka, penolong dan menantu untukku. Siapa yang mencaci sahabatku, maka dia akan dilaknat oleh Allah malaikat dan seluruh manusia. pada hari qiamat Allah tidak akan menerima amalan fardhu dan sunat mereka .
Rasulullah berbicara kepada Khalid bin al-Walid ketika terjadi peselisihan antara dirinya dengan Abdur Rahman bin Auf tentang Bani Judzaimah, maka Nabi bersabda kepada Khalid, “Jangan mencela sahabatku.” Dan yang harus diperhatikan adalah keumuman lafazh.
Tanpa ragu Abdur Rahman bin Auf dan orang-orang yang seangkatan dengannya lebih afdhal daripada Khalid bin al-Walid dari segi masuk Islam yang lebih dahulu daripada dia oleh karena itu Nabi bersabda, “Jangan mencela sahabatku.” Sabdanya ini tertuju kepada Khalid dan orang-orang sepertinya.
Apabila ada seseorang berinfak emas seperti Uhud, maka nilainya tidak menandingi satu mud atau setengahnya yang diinfakkan oleh sahabat, padahal infaknya sama, pemberinya sama dan yang diberi sama, sama-sama manusia akan tetapi manusia tidaklah sama, para sahabat itu memiliki keutamaan, kelebihan, keikhlasan dan ketaatan yang tidak dimiliki oleh selain mereka, keikhlasan mereka besar, ketaatan mereka kuat, maka mereka mengungguli siapa pun dari selain mereka dalam perkara infak.
Larangan dalam hadits di atas menunjukkan pengharaman. Tidak halal bagi siapa pun mencela sahabat secara umum tidak pula mencela satu dari mereka secara khusus. Jika ada yang mencela mereka secara umum maka dia kafir bahkan tidak ada keraguan pada kekufuran orang yang meragukan kekufurannya. Jika ada yang mencela secara khusus maka pendorongnya diteliti terlebih dahulu karena bisa jadi dia mencela karena alasan bentuk tubuh atau prilaku akhlak atau agama, masing-masing memiliki hukumnya.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَازِمِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ خَالِدٍ الضَّبِّيُّ ، عَنْ عَطَاءٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، : " مَنْ حَفِظَنِي فِي أَصْحَابِي حَفِظَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، وَمَنْ سَبَّ أَصْحَابِي فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ " .
{رواه احمد في فضائل الصحابة برقم : 8، أو 9، أو 1533. وابن أبي شيبة في مصنفه برقم : 31739. وأبو نعيم في حلية الأولياء، برقم : 9965. ولفظ الحديث في حديث أبي الفوارس الصابوني للإمام محمد بن الفضل بن نظيف، رقم الحديث: 77}
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Khazimi bin Muhammad bin Khalid Al Shabiyyu. Dari 'Atho, beliau berkata : Rasulullaah shalallaahu 'alaihi wasallama telah bersabda : Barang siapa menjagaku (dalam kehormatan) sahabat-sahabatku, maka Allah akan menjaganya kelak dihari qiyamat. Dan barang siapa mencaci maki sahabat-sahabatku, maka wajib baginya laknat Allah.
{HR. Ahmad Fi Fadloilu Al Shahabah no. 8, 9, 1533. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf no. 31739. Abu Nu'aim dalam Hulyatu Al Auliya' no. 9965. Dan Teks hadits ini ditulis dalam Kitab Hadits Abi Al Fawaris Al Shabuni karya Syaikh Muhammad bin Al Fadlol bin Nadzif no. 77}
Al-Imam an-Nawawi mengatakan:
وَاعْلَمْ أَنَّ سَبَّ الصَّحَابَة رَضِيَ اللَّه عَنْهُمْ حَرَام مِنْ فَوَاحِش الْمُحَرَّمَات ، سَوَاء مَنْ لَابَسَ الْفِتَن مِنْهُمْ وَغَيْره ؛ لِأَنَّهُمْ مُجْتَهِدُونَ فِي تِلْكَ الْحُرُوب ، مُتَأَوِّلُونَ كَمَا أَوْضَحْنَاهُ فِي أَوَّل فَضَائِل الصَّحَابَة مِنْ هَذَا الشَّرْح
“ketahuilah bahwasanya mencela sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah perkara haram termasuk keharaman yang sangat keji. Baik sahabat itu termasuk yang ikut dalam perseteruan fitnah dan yang tidak. Karena mereka semua adalah para mujtahid dalam peperangan itu. Mereka juga ahli tafsir sebagaimana yang kami jelaskan dalam permulaan Fadhail ash-Shahabah dari kitab syarah ini (yang dimaksud adalah Syarah Shahih Muslim karya an-Nawawi-pen).”
Kemudian al-Imam an-Nawawi rahimahullah membawakan pernyataan dari al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berikut ini:
“Hal ini (sangat mulia dan agungnya infak satu segenggam bahkan setengah genggam makanan oleh para sahabat) diperkuat oleh penjelasan yang telah kami kemukakan pada permulaan bab Fadhail ash-Shahabah dari jumhur tentang diutamakannya seluruh para sahabat di atas seluruh generasi setelah mereka.”
Dan sebab diutamakannya infak mereka karena dilakukan pada saat-saat yang sangat darurat dan sangat sempit. Berbeda halnya dengan generasi selain mereka.
Juga dikarenakan infak mereka benar-benar tertuju langsung dalam pembelaan dan menjaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan kelebihan dan keutamaan ini tidak akan ada lagi setelah beliau meninggal. Demikian pula dengan jihad dan ketaatan mereka.
Kemudian al-Imam an-Nawawi rahimahullah melanjutkan:
Keutamaan ini semua dibarengi dengan sifat yang ada pada diri mereka berupa kasih sayang, saling mencintai, khusyu’, tawadhu’, benar-benar mendahulukan saudaranya seiman, berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benar jihad.
Keutamaan para sahabat walaupun hanya sebentar bertemu atau melihat Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam tidak bisa ditandingi oleh amalan apa pun. Dan derajat sebagai sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa diraih dengan amalan apa pun. Sisi keutamaan ini tidak bisa disimpulkan dengan kiyas. (Selesai penukilan dari Syarah Muslim).
Mencintai para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti iman, dan membenci mereka berarti kemunafikan.
Ath-Thahâwi dalam 'Aqidah-nya mengatakan: “Kami (yakni Ahlus Sunnah wal-Jama’ah) menyintai sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kami tidak berlebih-lebihan dalam menyintai salah seorang dari mereka. Dan kami tidak berlepas diri dari mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka dan yang menyebut mereka dengan sebutan yang tidak baik. Kami tidak menyebut mereka kecuali dengan kebaikan. Menyintai mereka adalah ketaatan, keimanan dan kebaikan, sedangkan membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan dan kesesatan”.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
آيَةُ الْإِيمَانِ حُبُّ الْأَنْصَارِ، وَآيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ الْأَنْصَارِ
Tanda keimanan ialah mencintai kaum Anshar, dan tanda kemunafikan ialah membenci kaum Anshar.
Hadis riwayat Bukhari dari Abi Sa`id Al khudri
عن ابي سعيد الخدري رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم انه قال لاتسبوا أصحابي لاتسبوا أصحابي فوالذى نفسى بيده لو أن اأحدكم أنفق مثل أحد ذهبا ما أدرك مد أحدهم ولا نصيفه
Dari Abi Sa`id Al Khudry dari Nabi SAW beliau berkata: janganlah kamu cela sahabatku, janganlah kamu cela sahabatku .Demi zat yang jiwaku berada salam kekuaaan Nya, seandainya kamu menginfakkan emas sebesar gunung uhud pun, kamu takkan mendaptkan balasan sebesar satu mud infak para sahabatku, bahkan setengahnyapun tak akan kamu dapatkan .
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar