Translate

Jumat, 02 Maret 2018

Hukum Sholat Jum'at Tanpa Mustautin

Allah menciptakan manusia tidak lain hanyalah untuk melaksanakan ibadah.Ibadah merupakan aktivitas manusia  dalam kehidupan sehari-hari. Dan juga sebagai alat komunikasi kepada Allah serta mendekatkan diri kepadaNya. Banyak ibadah yang Allah perintahkan kepada hambanya seperti sholat, zakat, puasa, haji, kurban dan sebagainya.Allah akan membalas ibadah hambanya bagi mereka yang ikhlas. Tanpa ikhlas, ibadah sia-sia tidak mendapatkan balasan pahala dari Allah SWT dan bahkan bisa melebur pahala amal  sebelumnya.  Amal dan ikhlas harus sejalan denga ril agama yang tidak bisa dipisahkan.   Meninggalkan salah satu diantaranya akan gagal harapan, maka ikhlas beramal merupakan pilar penting dalam  kehidupan dunia untuk menuju kehidupan akhirat.  Semoga Allah menjadikan   ikhlas dalam hati kita dalam segala amal ibadah.
Amiin

Sholat Jum’at hukumnya wajib ‘ain artinya wajib atas setiap laki-laki dewasa yang beragama islam, merdeka, dan tetap di dalam negeri. Perempuan kanak-kanak,hamba sahaya, dan orang dalam perjalanan tidak jauh wajib sholat Jum’at.

Firman Allah SWT :

ياايهاالذين امنوا اذا نودي للصلوة من يوم الجمعة فاسعوا الى ذكر الله وذروا البيع : الجمعة :                                              

Hai orang orang yang yang beriman, apabila diseru untuk  menuaikan sholat pada hari Jum at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli ( QS.Aljum at : 9 )

ليس على مسافر جمعة

Seorang musafir tidak berkewajiban melaksanakan sholat jum’at

Sabda Rasulullah SAW :

الجمعة حق واجب على كل مسلم في جماعة الا اربعة عبد مملوك اوامرأة او صبي اومريض ( رواه ابودود والحاكم )

Sholat Jum’at hak yang wajib dikerjakan oleh tiap-tiap orang islam dengan berjamaah, kecuali empat orang : (1.) Hamba sahaya yang dimiliki (2.) Perempuan (3.) Anak anak (4.) Orang sakit. ( HR. Abu Dawud dan Hakim )

Bagaimana hukum Sholat Jumat tanpa mustauthin dan muqimin.

Hukumnya tidak wajib .
Dasar pengambilan  hukum  antara lain dari :

1.      Kitab Tuhfah  al-Thullab ( Hams Syarqowi  ) juz : 1 hlm 261 – 262

وثانيها اقامتها باربعين ولو بالامام مسلما مكلفا حرا ذكرا للاتباع   رواه البيهقى وغيره مع خبر صلوا كما رايتموني اصلى متوطنا بمحل الجمعة  لايظعن شتا ء ولاصيفا الالحاجة لانه صلى الله عليه وسلم لم يجمع بحجة الوداع مع عزمه على الاقامة اياما لعدم التوطن وكان يوم عرفة فيها يوم جمعة وصلى بها الظهر والعصر تقديما رواه مسلم  فلا تصح بكافر ولابغير مكلف ولابمن فيه رق ولابغيرذكر لنقصهم ولابغيرمتوطن لما مر    ( تحفة الطلا ب / هامس شرقاوى جزء 1 ص  

Dan keduanya (syarat wajib jum’at) adalah mendirikan Sholat Jum’at dengan jumlah 40 orang, meskipun imam disertakan yang beragama Islam, mukallaf, merdeka, dan leleki karena mengikuti Sunnah Nabi (HR : Baihaqi dan lainnya) serta ada hadits : Sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku melakukan shalat dalam keadaan menetap pada tempat jum’atan yang tidak pergi pada musim dingin dan panas melainkan karena ada hajat. Karena Nabi saw tidak melaksanakan sholat jum’at pada waktu haji wada’, yang azamnya mukim beberapa hari, karena tidak menetap tempat tinggalnya. Padahal hari Arafah, hari jum’at tapi beliau sholat dhuhur dan ashar dijama’ Taqdim (HR. Muslim). Maka tidak sah jum’atan karena kafir, belum mukallaf, budak, perempuan dan tidak menetap (mustauthin) menurut keterangan yang telah lewat (Tuhfatu al-Thullab/Hams Syarqowi juz : 1 halaman : 261-262)

2.        Al-Taqqrirot As-sadidah hlm : 324

السابعة الاقامة ,فلا تجب على المسافر,وتجب على المستوطن    
                                           
Ketujuh (syarat wajib jum’at) adalah mukmin. Maka tidak wajib jum’atan bagi musafir dan wajib bagi mustauthin.

3.     Kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab Juz : 4 hlm : 246

قال المصنف رحمه الله تعالى: ولا تجب على المقيم في موضع لا يسمع النداء من البلد الذي تقام فيها الجمعة أو القرية التي تقام فيها الجمعة لما روى عبد الله بن عمرو أن النبي صلى الله عليه وسلم قال "الجمعة على من سمع النداء"

Kyai. Pengarang Kitab berkata : Sholat jum’at tidak wajib bagi orang yang mukim pada suatu tempat yang tidak mendengar panggilan (adzan) dari kota/desa yang mendirikan jum’atan. Menurut keterangan yang diriwayatkan  Abdullah bin Amr : Sesungguhnya Nabi saw bersabda : Sholat wajib atas orang yang mendengar panggilan (adzan)

Para pelajar dan mahasiswa yang rumahnya berdekatan dengan sekolah atau kampus termasuk golongan mustautin sedangkan yang rumahnya jauh dari sekolah atau kampus tidak termasuk golongan mustautin. Demikian pula karyawan yang rumahnya dekat dengan pabrik/perusahaan termasuk golongan mustautin, sedang yang jauh tidak termasuk golongan mustautin. Yang dimaksud dekat disini adalah dapat mendengarkan adzan dari tempat mendirikan salat Jumat yang dilakukan di atas menara tanpa pengeras suara dari muadzin yang suaranya normal pada saat yang hening tanpa kebisingan.

Yang dimaksud dengan mustautin adalah orang yang bertempat tinggal menetap di suatu tempat, tanpa ada keinginan pulang kembali ke kampung halamannya manakala tujuannya telah tercapai sebagaimana pelajar atau mahasiswa yang kost dikota lain dengan tujuan mencari ilmu yang apabila setelah lulus dai akan pulang ke kampungnya atau pindah ketempat lain. Maka mereka ini meskipun menetap sampai 5 tahun menuntut ilmu, tidak dapat digolongkan mustautin, tetapi hanya digolongkan mukimin saja.

Salat Jumat yang dilakukan oleh orang-orang yang mukim atau musafir seperti karyawan pabrik/ perusahaan adalah sah jika tempat melakukan salat Jumat tersebut sah menurut syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syariat Islam. Akan tetapi mereka ini tidak sah dijadikan hitungan sebagai ahli Juamat di tempat melakukan salat Jumat tersebut.

Mengenai salat Jumat yang diadakan di sekolah/kampus atau di lingkungan pabrik, selama ahli Jumatnya yang terdiri dari orang-orang yang mustautin ada sejumlah 40 orang (menurut madzhab Syafii) laki-laki, orang merdeka bukan budak, sehat pendengarannya dan semuanya dapat membaca al Quran dengan benar, dan meskipun hari libur bertepatan dengan hari Jumat salat Jumat ditempat tersebut tetap ada (tidak diliburkan). Sedang tempatnya cukup jauh dengan tempat mendirikan salat Jumat yang lain (minimal 1666 m, menurut keputusan Muktamar NU), maka mendirikan salat Jumat ditempat tersebut adalah sah.

Menurut ibarat dari kitab I’anatut Thalibin juz 2 halaman 54, para murid sekolah, mahasiswa dan para karyawan yang tidak berdomisili di sekitar tempat mendirikan salat Jumat tidaklah termasuk golongan mustautin.

Dasar pengambilan Kitab Tausyih ala ibn Qosim halaman 78:

(وَ) السَّابِعُ (الإسْتِيْطَانُ) بِمَحَلِّ إِقَامَةِ الجُمُعَةِ فَلاَ تَنْعَقِدُ بِمَنْ يَلْزَمُهُ حُضُورُهَا مِنْ غَيْرِ المُسْتَوْطِنش وَهُوَ المُقِيْمُ بِمَحَلِّهَا أرْبَعَةَ أيَّامِ صِحَاحٍ أو بِمضا يُسْمَعُ مِنْهُالنِّدَاءُ. وَلاَ تَنْعَقِدُ بِمُسافِرٍ وَمُقِيْمٍ عَزَمَ عَلَى عَوْدِهِ لِوَطَنِهِ وَلَو بَعْدَ مُدَّةٍ طَوِيْلَةٍ. وَالمُسْتَوطِنُ مَنْ لاَيُسَافِرُ مِنْ مَحَلِّ فَغَيْرُ المُسْتَوطِنِ إنْ كَانَ مُسَافِرًا لَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ وَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِ وَتَصِحُّ مِنْهُ وَإنْ كَانَ مُقِيْمًا وَلَوْ أربَعَةَ أيَّامِ صِحَاحٍ وَجَبَتْ عَلَيْهِ وَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِ وَتَصِحُّ مِنْهُ.

“Dan yang ketujuh (dari syarat-syarat mendirikan salat Jumat) adalah istitan (bertempat tinggal menetap) di tempat mendirikan salat Jumat. Sehingga salat Jumat itu tidak sah (apabila ahli Jumatnya paling sedikit 40 orang itu digenapi jumlahnya) dengan orang yang wajib menghadiri salat Jumat dan ia bukan mustautin, yaitu orang yang bertempat tinggal ditempat mendirikan salat Jumat selama empat hari penuh, atau digenapi dengan orang yang mendengar adzan melalui pengeras suara atau radio tetapi rumahnya sangat jauh dari tempat mendirikan salat Juamat. Salat Jumat tidak sah dengan ahli Jumat (jamaah tetap) orang musagir atau orang mukim yang bercita-cita kembali kenegerinya meskipun sesudah jangka waktu yang lama. Mustautin itu adalah orang yang tidak bepergian dari tempat tinggalnya pada musim hujan atau musim lainnya, kecuali karena ada keperluan. Orang yang tidak mustautin, jika dia bepergian, maka dia tidak wajib melakukan salat Jumat dan salat Jumat itupun tidak sah jika ahli Jumatnya digenapi dengan dia, dan jika musafir ini melakukan salat Jumat, maka salat Jumatnya sah. Jika musafir itu tinggal di suatu tempat, meskipun selama empat hari penuh, maka dia wajib melakukan salat Jumat dan salat Jumat tidak sah jika ahli Jumatnya digenapi hitungannya dengan dia, dan salat Jumat yang dilakukan olehnya sah. ”

Perlu di ketahui bahwa perbedaan pendapat diantara para imam madzhab itu adalah disebabkan oleh perbedaan ushul dan pendangan mereka terhadap dalil-dalil nash. Sebagai contoh, madzhab Hanafi tidak mau menggunakan hadist ahad (hadist yang dalam satu stadium hanya diriwayatkan oleh satu orang) meskipun sahih sebagai dasar pengambilan hukum. Bagi madzhab Hanafi hadist yang dapat dijadikan dasar hukum itu paling tidak adalah Hadist Mashur (hadist yang dalam satu stadium diriwayatkan oleh paling sedikit dua orang).

Sebaliknya madzhab Maliki mau menggunakan hadist dlaif asal tidak terlalu dlaif sebagai dasar pengambilan hukum. Sedang madzhab Syafii hanya mau menggunakan hadist sahih meskipun hadist tersebut adalah hadist ahad.

Terhadap ayat-ayat al Quran serta perbedaan ushul diantara mereka, maka hasil ijtihad mereka menjadi berbeda-beda. Jadi jika dalam satu masalah, misalnya fardlu wudlu, kita setuju pendapat madzhab Syafii, yaitu enam, maka hal itu berarti kita setuju pendapat Imam Syafii bahwa hadist yang dapat dijadikan dasr hukum adalah hadist sahih meskipun ahad. Jika kita setuju pendapat madzhab Hanafi, yatiu empat, maka hal itu berarti kita setuju pendapat Imam Abu Hanifah bahwa hadist yang dapat dijadikan dasar hukum adalah hadist masyhur. Kemudian jika kita setuju pendapat madzhab Maliki, yaitu delapan, maka hal itu berarti kita setuju pendapat Imam Malik bin Anas bahwa hadist dlaif itu dapat dijadikan dasar hukum.

Dengan demikian, maka dapat kita ketahui bahwa jika seseorang dalam keadaan tidak terpaksa memiliki pendapat yang ada diantara para Imam Madzhab dengan alasan sama benarnya (melakukan talfiq) , maka berarti orang tersebut tidak mengetahui dan tidak memiliki pendirian yang tetap (consist) terhadap pokok masalah yang menjadi landasan dan dasar hukum. Terlebih hal itu tidak diperkenankan oleh agama.

Dasar pengambilan Kitab I’anatut Thalibin juz 4 halaman 217-218:

(فَائِدَةٌ) إِذَا تَمَسَّكَ العَامِى بِمَذْهَبٍ لَزِمَهُ مُوَافَقَتُهُ وَإلاَّ لَزِمَهُ التَمَذْهَبُ بَمَذْهَبٍ مُعَيَّنٍ مِنَ الأرْبَعَةٍ لاَغَيْرِهَا وَإنْ عَمَلَ بِالأوَّلِ. الإنْتِقَالُ الَى غَيْرِهِ بِالكُلِّيَّةِ أوْ فِى المَسَائِلِ بِشَرْطِ أَنْ لاَ يَتَتَبَّعَ الرُخَصُ بِأنْ يَأخُذَ مِنْ كُلِّ مَذْهَبٍ بِالأَسْهُلِ مِنْهُ فَيَفْسُقُ بِهِ عَلَى الأوجَة.

(faedah) apabila ada seorang yang awam berpegang teguh pada satu mazhab, maka wajib baginya untuk menyesuaikan diri dengan mazhab tersebut. Jika tidakdemikian, maka wajib baginya bermazhab dengan mazhab yang tertentu dari empat mazhab, bukan dengan selainya. Kemudian jika dia mengamalkan dengan mazhab yang pertama, dia boleh pindah ke mazhab lainya secara keseluruhan atau dalam masalah tertentu dengan syarat tidak mengikuti keringanan-keringanan, seperti apabila dia mengambil dari mazhab yang paling ringan dari mazhab tersebut, sehingga karenaya, menurut pendapat yang paling kuat, dia menjadi orang yang fasik.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar