Translate

Rabu, 21 Maret 2018

Perindah Irama Bacaan Al-qur'an Dengan Hukum Tajwid

غَايَتُهُ بُلُوْغُ النِّهَايَةِ فِي اِتْقَانِ لَفْظِ الْقُرْآنِ عَلَى مَاتُلُقِّيَ مِنَ الْحَضْرَةِ النَّبَوِيَّةِ اَلاَفْصَحِيَّةِ وَقِيْلَ غَايَتُهُ صَوْنُ اللِّسَانِ عَنِ الْخَطَاءِ فِي كِتَابِ اللهِ تَعَالَى

“Tujuan (memahami ilmu tajwid) ialah agar dapat membaca ayat-ayat al-Qur’ân secara betul (fasih) sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi SAW. Dengan kata lain, agar dapat memelihara lisan dari kesalahan-kesalahan ketika membaca kitab Allâh SWT.”

Definisi Ilmu Tajwid

وَهُـوَ إِعْـطَـاءُ الْـحُـرُوفِ حَقَّـهَـا

مِــنْ صِـفَـةٍ لَـهَـا وَمُستَحَـقَّـهَـا

“Ilmu yang memberikan pengertian tentang hak-hak huruf dari sifat huruf dan mustahaqqul hurûf.”

Haqqul Hurûf (حق الحروف): sifat-sifat huruf dan tempat-tempat keluarnya huruf.Mustahaqqul Hurûf (مستحق الحروف): meliputi hukum-hukum baru (‘aridhah) semisal izh-har, ikhfa’, iqlab, idhgham, mad, waqaf, tafkhim, tarqiq, qalqalah, ghunnah,-.

Wajib Membaca Al-Qur’ân dengan Tajwidnya

Saat membaca al-Qur’ân dalam terapi ruqyah, wajib pula diperhatikan pengamalan tajwidnya, berdasarkan dalil al-Qur’ân dan al-Sunnah.

Dalil-Dalil Al-Qur’ân

 وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا

“…Dan bacalah al-Qur’ân itu dengan perlahan-lahan.” (QS. Muzzammil [73]: 4)

Melalui ayat yang agung ini, Allâh SWT memerintahkan kita membaca al-Qur’ân secara perlahan sehingga memudahkan kita memahami dan merenungi al-Qur’ân.Sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasûlullâh SAW,beliau membaca panjang ayat yang seharusnya dibaca panjang (madd), dan membaca pendek ayat yang seharusnya dibaca pendek.

وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا

“Dan al-Qur’ân itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al-Isrâ’ [17]: 106)

لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ

“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al-Qur’ân karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya.” (QS. Al-Qiyâmah [75]: 16)

Salah satu dalil hadîts tentang tajwid ialah hadîts dari Qatadah r.a. ia berkata, Anas r.a. pernah ditanya:

كَيْفَ كَانَتْ قِرَاءَةُ النَّبِيِّ فَقَالَ كَانَتْ مَدًّا ثُمَّ قَرَأَ { بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ }يَمُدُّ بِبِسْمِ اللهِ وَيَمُدُّ بِالرَّحْمَنِ وَيَمُدُّ بِالرَّحِيمِ

“Bagaimanakah bacaan (al-Qur’ân) Nabi SAW?” Ia pun menjawab, “Beliau membaca dengan madd (dipanjangkan).” Lalu Anas r.a. mencontohkan, “Bismillâhirrahmânirrahîm” Anas r.a. menjelaskan, “Beliau SAW memanjangkan bacaan, ‘Bismillâh’ dan juga memanjangkan bacaan, ‘arrahmân’ serta bacaan, ‘arrahîm’.” (HR. al-Bukhârî)


عَن عُثَمانَ رَضِىَ اللٌهُ عَنهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صٌلَى اللٌهُ عَلَيهِ وَسَلٌمَ خَيُركُم مَن تَعلٌمَ القُرانَ وَعَلٌمَهَ . ) رواه البخاري وابو داود والترمذي والنسائ وابي ماجه هكذا في الترغيب وعزاه الى مسلم ايضا لكن حكي الحافظ في الفضح عن ابي العلاء ان مسلما سكت عنه ).

Dari Utsman r.a. Rasulullah s.a.w. bersabda, “sebaik-baiknya kamu adalah orang yang belajar al Qur’an dan mengajarkannya.” (Hr. Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah)

Dalam sebagian besar kitab, hadis diriwayatkan dengan menunggukan huruf wa (artinya dan) , sebagaimana terjemahan di atas. Dengan merujuk terjemahan di atas, maka keutamaan itu diperuntukkan bagi orang yang belajar al Qur’an dan mengajarkannya kepada orang lain. Namun dalam beberap kitab lainnya, hadits itu diriwayatkan dengan menggunakan huruf aw (artinya ataw), sehingga terjemahanya adalah, “Yang terbaik di antara kamu ialah orang yang belajar Al-Quraan saja ataw yang mengajarkan alquraan saja.” Dengan demikian, maka keduanya mendapatkan derajat keutamaan yang sama .

Al Qur’an adalah inti agama. Menjaga dan menyebarkan sama dengan menegakan agama. Karenanya sangat jelas keutamaan mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya, walaupun bentuknya berbeda-beda. Yang paling sempurna adalah mempelajarinya, dan akan lebih sempurna lagi jika mengetahui maksud dan kandungannya. Sedangkan yang terendah adalah mempelajari bacaannya saja.

Hadist di atas diperkuat oleh sebuah hadist yang diriwayatkan dari Sa’id bin Sulaim r.a. secara mursal bahwa barang siapa mempelajari al Qur’an tetapi ia menganggap bahwa orang lain yang telah diberi kelebihan yang lain lebih utama darinya, berarti ia telah menghina nikmat Allah yang dikaruniakan kepadanya, yaitu taufik untuk mempelajari al Qur’an.

Jelaskanlah, bahwa al Qur’an itu lebih tinggi daripada yang lainnya, sebagaimana akan diterangkan dalam hadist-hadist selanjutnya, sehingga harus diyakini bahwa membaca dan mengajarkannya lebih utama daripada segala-galanya. Mengenai hal ini, Mulla Ali Qari rah.a menegaskan dalam hadist yang lain bahwa barang siapa yang menghafal al Qur’an, maka ia telah menyimpan ilmu kenabian dikepalanya. Sahal Tustari rah.a. berkata, “Tanda cinta seseorang kepada Allah adalah menanamkan rasa cinta terhadap al Qur’an didalam hatinya.

Dalam Syarah al Ihya diterangkan bahwa diantara golongan orang yang akan mendapatkan naungan Arasy Ilahi pada hari Kiamat yang penuh ketakutan yaitu orang yang mengajarkan al Qur’an kepada anak-anak, dan orang yang mempelajari al Qur’an pada masa kanak-kanak serta ia terus menjaganya hingga masa tua.

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ

“Barangsiapa membaca satu huruf dari Kitabullah (Al Qur`an), maka baginya satu pahala kebaikan dan satu pahala kebaikan akan dilipat gandakan menjadi sepuluh kali, aku tidak mengatakan ALIF LAAM MIIM itu satu huruf, akan tetapi ALIF satu huruf, LAAM satu huruf dan MIIM satu huruf.” ( HR.Tirmidzi,no 2910)

Maksudnya, bahwa dalam amal ibadah lain, sesuatu ibadah itu baru dihitung sebagai satu amalan jika dilakukan secara utuh (keseluruhan). Tetapi tidak demikian dengan amalan membaca al Qur’an. Setiap bagiannya akan dinilai sebagai satu amalan, sehingag membaca satu huruf pun tergolong satu hasanah (kebaikan). Dan bagi setiap satu kebaikan itu Allah berjanji akan melipatkannya hingga sepuluh kali, sebagaimana firman-Nya,

مَنْ جاء بالحسنة فلهُ عَشْرُ أمْثَالهِا......

“Barangsiapa membawa amalan baik, maka untuknya (pahala) sepuluh kali lipat amalannya…”(Qs. Al An’am [6] :160)

Walau bagaimanapun, tambahan sepuluh kali lipat ini adalah yang terendah, karena Allah swt. mampu melipatgandakan pahala dengan sekehendak-Nya,

والله يضاعف لمن يشاءُ....

“…..Allah menggandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki….” (Qs. Al Baqarah [2] : 261)

Permisalan bahwa setiap huruf al Qur’an dinilai satu kebaikan telah disabdakan oleh Rasulullah saw. bahwa alif lam mim bukanlah satu huruf, tetapi alif terpisah, lam terpisah, dan mim terpisah, sehingga alif lam mim berisi tiga puluh kebaikan. Disini terdapat perselisihan apakah yang dimaksud adalah alif lam mim permulaan surat al Baqarah atau permulaan surat al Fiil? Jika yang dimaksud adalah alif lam mim permulaan al Baqarah, berarti hitungannya menurut jumlah huruf yang tertulis. Karena yang tertulis hanya tiga huruf, maka pahalanya tiga puluh. Dan jika yang dimaksud adalah alif lam mim permulaan surat al Fiil, berarti alif lam mim pada surat al Baqarah itu Sembilan huruf (dengan menghitung jumlah huruf yang dilafazhkan), sehingga menjadi Sembilan puluh pahala. Baihaqi meriwayatkan, “Aku tidak mengatakan bahwa bismillah itu satu huruf, tetapi ba, sin, mim, dst. adalah huruf-huruf yang terpisah.”

Bahkan seseorang membaca terbata- bata juga mendapatkan pahala.

Rasulullah ﷺ bersabda:

الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ

“Orang mukmin yang mahir membaca Al Qur`an, maka kedudukannya di akhirat ditemani oleh para malaikat yang mulia. Dan orang yang membaca Al Qur`an dengan gagap, ia sulit dalam membacanya, maka ia mendapat dua pahala.” ( HR.Muslim,no 798).

Ilmu Tajwid Hukumnya Fardhu Kifayah, dan mengamalakannya hukumnya fardhu ain bagi kaum muslimin dan muslimah”.
(Al Mulakhos Al Mufid Fi ilmi Tajwid,hal 8)

Adapun Dalil dari Hadist Nabi tentang membaguskan Bacaan di antaranya,

Rasulullah ﷺ bersabda:

لَمْ يَأْذَنْ اللَّهُ لِشَيْءٍ مَا أَذِنَ لِلنَّبِيِّ أَنْ يَتَغَنَّى بِالْقُرْآنِ وَقَالَ صَاحِبٌ لَهُ يُرِيدُ يَجْهَرُ بِهِ

“Allah tidak pernah mengijinkan sesuatu pun kepada Nabi sebagaimana ijin-Nya untuk membaguskan Al Qur`an.” Salah seorang sahabatnya berkata; Maksudnya adalah membaguskan dengan suara yang keras .(HR.Bukhari 5023)

Dalam hadist lain juga disebutkan,

Dari Al Bara` bin ‘Azib  radhiallahu ‘anhu ia berkata; Rasulullah ﷺ bersabda:

زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ

“Perindahlah Al Qur’an dengan suara kalian.” (HR.Abu Daud,no 1468)

Dalam riwayat lain juga disebutkan,

Dari Abu Hurairah berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ

“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak membaguskan Al Qur’an, ” (HR.Bukhari,7527)

Ada beberapa hadis yang menganjurkan untuk memperindah bacaan al-Quran. Diantaranya,

Hadis dari al-Barra bin Azib Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan,

زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ

Hiasilah al-Quran dengan suara kalian. (HR. Ahmad 18994, Nasai 1024, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)

Kemudian, hadis dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ

“Siapa yang tidak memperindah suaranya ketika membaca al-Quran, maka ia bukan dari golongan kami.” (HR. Abu Daud 1469, Ahmad 1512 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Ada beberapa keteragan yang disampaikan para ulama tentang makna ‘yataghanna bil qur’an’. Diantaranya adalah memperindah bacaan al-Quran. Karena itu, dia hadis di atas dijadikan dalil anjuran memperbagus suara ketika membaca al-Quran.

Imam an-Nawawi mengatakan,

أجمع العلماء رضي الله عنهم من السلف والخلف من الصحابة والتابعين ومن بعدهم من علماء الأمصار أئمة المسلمين على استحباب تحسين الصوت بالقرآن

Para ulama salaf maupun generasi setelahnya, di kalangan para sahabat maupun tabiin, dan para ulama dari berbagai negeri mereka sepakat dianjurkannya memperindah bacaan al-Quran. (at-Tibyan, hlm. 109).

Selanjutnya an-Nawawi menyebutkan makna hadis kedua,

قال جمهور العلماء معنى لم يتغن لم يحسن صوته،… قال العلماء رحمهم الله فيستحب تحسين الصوت بالقراءة ترتيبها ما لم يخرج عن حد القراءة بالتمطيط فإن أفرط حتى زاد حرفا أو أخفاه فهو حرام

Mayoritas ulama mengatakan, makna ‘Siapa yang tidak yataghanna bil quran’ adalah siapa yang tidak memperindah suaranya dalam membaca al-Quran. Para ulama juga mengatakan, dianjurkan memperindah bacaan al-Quran dan membacanya dengan urut, selama tidak sampai keluar dari batasan cara baca yang benar. Jika berlebihan sampai nambahi huruf atau menyembunyikan sebagian huruf, hukumnya haram. (at-Tibyan, hlm. 110)

Konsekuensi melagukan al-Quran dengan dalam arti mengikuti irama lagu, bisa dipastikan dia akan memanjangkan bacaan atau menambahkan huruf atau membuat samar sebagian huruf karena tempo nada yang mengharuskan demikian. Dan ini semua termasuk perbuatan haram sebagaimana keterangan an-Nawawi.

Makna yang benar untuk melagukan al-Quran adalah melantunkannya dengan suara indah, membuat orang bisa lebih khusyu. Diistilahkan Imam as-Syafii dengan at-Tahazun (membuat sedih hati). Sebagaimana dinyatakan al-Hafidz dalam Fathul Bari, Syarh Shahih Bukhari (9/70).

Al Imam Ibnul Jazari rahimahullah mengatakan di dalam matan al Jazari

والأخذ بالتجويد حتمٌ لازمُ

Membaca Al Qur’an dengan Tajwid Hukumnya Wajib

من لم يجوِّد القرآن آثم

Barangsiapa yang tidak mengamalkan tajwid dalam membaca Al Qur’an maka ia berdosa

لأنه به الإله أنزلا

Karena dengan tajwidlah Allah menurunkan Al Qur’an.

وهكذا منه إلينا وصلا

Dan demikian dengan tajwid pulalah al Qur’an dturunkan kepada kita.

وهو أيضًا حلية التلاوة

Dan dengan Tajwid juga sebagai penghias Al Qur’an

وزينة الأداء والقراءة

Juga sebagai penghias dalam membacanya.

Dalam Kitab Fathul Bary Dijelaskan

ولا شك أن النفوس تميل إلى سماع القراءة بالترنم أكثر من ميلها لمن لا يترنم , لأن للتطريب تأثيرا في رقة القلب وإجراء الدمع . وكان بين السلف اختلاف في جواز القرآن بالألحان
أما تحسين الصوت وتقديم حسن الصوت على غيره فلا نزاع في ذلك , فحكى عبد الوهاب المالكي عن مالك تحريم القراءة بالألحان

Tidak syak lagi bahawa setiap nafs akan tertarik dgn bacaan yang baik (tarannum) daripada bacaan yang tidak bertarannum kerana keasyikan melembutkan hati dan mengalirnya air mata. Sungguhpun demikian, para salaf berbeza pendapat tentang keharusan membaca quran dgn talhin. Utk memperelokkan suaranya dan keutamaan utk memperelokkan suara maka ia tidak ada sebarang masalah dgn nya itu. Maka Abdul Wahab Al-maliki meriwayatkan dari Malik bahwa dilarang (haram) membacanya dgn talhin. (Fathul Bari, Ibn Hajar Al-Asqalani)

Namun demikian, tidaklah dilarang membaca dgn tartil dgn suara yang merdu.

الدَّالَّة عَلَى اِسْتِحْبَاب التَّرْتِيل وَتَحْسِين الصَّوْت بِالْقِرَاءَةِ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيث
" زَيِّنُوا الْقُرْآن بِأَصْوَاتِكُمْ " وَ " لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ "

Antara dalil2 yang menganjurkan bertartil dan memperelokan suara dan bacaan seperti mana yang disebut dlm hadith spt “Perindahkanlah al-quran dgn suaramu yang merdu”, “Bukan dari golongan kami mereka yang tidak melagukan quran.”

Kembali kepada persoalan anda. APakah bacaan musabaqah al-quran itu termasuk dalam talhin? Jawabnnya tidak.

Syaikh Zainuddin Al-Munawi rahimahullah (wafat 1031 H) dalam kitabnya Faidhul Qadiir Syarh al-Jami' as-Shoghiir cet. Al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubro 1356 H, menukilkan perkataan yang bagus dari At-Turbisyti:

هذا إذا لم يخرجه التغني عن التجويد ولم يصرفه عن مراعاة النظم في الكلمات والحروف فإن انتهى إلى ذلك عاد الاستحباب كراهة وأما ما أحدثه المتكلفون بمعرفة الأوزان والموسيقى فيأخذون في كلام الله مأخذهم في التشبيب والغزل فإنه من أسوأ البدع فيجب على السامع النكير وعلى التالي التعزير ِ

Seperti ini, jika lantunan-lantunan yang dipergunakan di saat membacanya tidak menyalahi aturan tajwid, dan tidak juga memalingkannya dari kesesuaian rangkaian kalimat dan huruf-hurufnya. Apabila sampai melakukan hal itu, maka suatu yang sunnah akan berubah menjadi sesuatu yang makruh. Adapun yang diada-adakan (lagu-lagu yang diada-adakan), orang-orang yang suka memberatkan diri untuk menekuni nada-nada musik (cengkok irama), lalu menyadurnya ke dalam Al-Quran sebagaimana mereka memainkannya ketika menyanjung dan merayu wanita adalah termasuk salah satu dari sekian bid'ah yang paling jelek. Wajib bagi orang yang mendengarkannya untuk mengingkari kemudian mencelanya.

وأخذ جمع من الصوفية منه ندب السماع من حسن الصوت وتعقب بأنه قياس فاسد وتشبيه للشيء بما ليس مثله وكيف يشبه ما أمر الله به بما نهى عنه

Sebagian kaum Sufi, dengan analogi dari hadits ini menyatakan sunnahnya menyimak suara yang indah. Namun ini dapat disanggah yaitu bahwa ini adalah analogi yang rusak dan penyerupaan sesuatu dengan sesuatu yang tidak serupa dengannya. Bagaimana mungkin mereka (berani) untuk menyamakan sesuatu yang diperintahkan oleh Allah (membaca al-Quran) dengan sesuatu yang dilarang oleh Allah (nyanyian). (end Faidhul Qadiir)

Ada pula orang yang memaksa panjangnya harokat agar sesuai dengan lagu dan irama yang diinginkannya, bahkan diulang-ulang ataupun dilengking panjangkan, sehingga tajwidnya porak poranda.

Al Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah (wafat 852 H) mengatakan dalam kitabnya Fathul Bari Syarah Shohih al-Bukhori 9/92 cet. Darul Ma'rifah 1379 H:

وَالَّذِي يَظْهَرُ أَنَّ فِي الترجيع قدرا زَائِدا على الترتيل فَعِنْدَ بن أَبِي دَاوُدَ مِنْ طَرِيقِ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ عَلْقَمَةَ قَالَ بِتُّ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ فِي دَارِهِ فَنَامَ ثُمَّ قَامَ فَكَانَ يَقْرَأُ قِرَاءَةَ الرَّجُلِ فِي مَسْجِدِ حَيِّهِ لَا يَرْفَعُ صَوْتَهُ وَيُسْمِعُ مَنْ حَوْلَهُ وَيُرَتِّلُ وَلَا يُرَجِّعُ

Yang Nampak jelas bagiku bahwa bacaan dengan tarji' ada nilai lebih dari sekedar membaca dengan tartil. Pada riwayat dari Ibnu Abi Dawud dari Jalan Abu Ishaq dari Alqamah, dia berkata, "Saya menginap di kediaman Abdullah bin Mas'ud. lalu beliau tidur, setelah itu beliau berdiri mengerjakan sholat dan beliau membaca bacaannya seperti layaknya seseorang yang membaca di masjid kampungnya. Beliau tidak mengeraskan bacaannya namun memperdengarkannya kepada yang ada disekitarnya dan membacanya dengan tartil namun tidak mentarji'

وَقَالَ الشَّيْخُ أَبُو مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي جَمْرَةَ : مَعْنَى التَّرْجِيعِ تَحْسِينُ التِّلَاوَةِ لَا تَرْجِيعَ الْغِنَاءِ لِأَنَّ الْقِرَاءَةَ بِتَرْجِيعِ الْغِنَاءِ تُنَافِي الْخُشُوعَ الَّذِي هُوَ مَقْصُودُ التِّلَاوَةِ

Syaikh Abu Muhammad Ibnu Abi Jamrah (wafat 699 H) berkata, "Makna tar'ji adalah membaguskan suara ketika melantunkan bacaan al-Qura-an ...bukan tarji' yang berarti melagukannya. Karena membaca al-Quran dengan tarji' yang dilagukan meniadakan kekhusyukan yang merupakan tujuan yang sebenarnya dari melantunkan al-Qur-an. (end nukilan Al-Hafizh)

قال الشيخ القاري : وَمَنْ تَأَمَّلَ أَحْوَالَ السَّلَفِ عَلِمَ أَنَّهُمْ بَرِيئُونَ مِنَ التَّصَنُّعِ فِي الْقِرَاءَةِ بِالْأَلْحَانِ الْمُخْتَرَعَةِ دُونَ التَّطْرِيبِ، وَالتَّحْسِينِ الطَّبِيعِيِّ، فَالْحَقُّ أَنَّ مَا كَانَ مِنْهُ طَبِيعَةً، وَسَجِيَّةً كَانَ مَحْمُودًا، وَإِنْ أَعَانَتْهُ طَبِيعَتُهُ عَلَى زِيَادَةِ تَحْسِينٍ وَتَزْيِينٍ لَتَأَثَّرَ التَّالِي وَالسَّامِعُ بِهِ، وَأَمَّا مَا فِيهِ تَكَلُّفٌ وَتَصَنُّعٌ بِتَعَلُّمِ أَصْوَاتِ الْغِنَاءِ، وَأَلْحَانٍ مَخْصُوصَةٍ فَهَذِهِ هِيَ الَّتِي كَرِهَهَا السَّلَفُ وَالْأَتْقِيَاءُ مِنَ الْخَلَفِ. جمع الوسائل في شرح الشمائل 2/115

Syaikh al-Mulaa Ali al-Qari (wafat th. 1014 H) dalam kitabnya Jam'ul Wasaail fi Syarh as-Syamaail 2/115 (cet. Mathba'ah Syarfiyah) berkata,

"Barangsiapa yang mau memperhatikan dengan seksama perilaku para ulama salaf, dia akan mengetahui bahwa mereka berlepas diri dari bacaan yang dibuat-buat dengan sekian banyak lantunan yang bid'ah dan tanpa dinyanyikan. Bacaan mereka adalah dengan membaguskan suara secara alamiyah. Yang benar adalah bahwa bacaan yang sifatnya alamiyah merupakan tabiat (sesuai dengan asal suaranya) adalah sesuatu yang terpuji dan itu "intonasi" alaminya akan membantunya untuk lebih memperbagus dan mengindahkan bacaannya agar yang melantunkannya dan juga yang mendengarnya dapat tersentuh (hatinya). Sedangkan bacaan yang terlalu dipaksakan dan dibuat-buat dengan mempelajari nada-nada lagu dan lantunan yang khusus maka inilah yang dibenci oleh ulama Salaf dan ulama khalaf yang bertaqwa.

Dalam Shahih Muslim dari Abi Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Saya mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا قَالَ قَاتَلْتُ فِيْكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لأَنْ يُقَالَ جَرِيْءٌ فَقَدْ قِيْلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيْكَ الْقُرْآنَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ فَقَدْ قِيْلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّـهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا قَالَ مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيْلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيْهَا إِلاَّ أَنْفَقْتُ فِيْهَا لَكَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ فَقَدْ قِيْلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ

“Manusia pertama yang diadili pada hari Kiamat adalah seorang yang mati syahid, ia menghadap kepada Allah, kemudian Allah memperlihatkan nikmat yang telah dika-runiakan kepadanya. Allah bertanya: ‘Untuk apa engkau berbuat dalam hal ini?’ Ia menjawab: ‘Aku berperang untukMu sehingga aku mati syahid’. Lantas dijawab: ‘Engkau dusta, sesungguhnya engkau berperang agar manusia mengatakan bahwa engkau seorang pemberani’, kemudian Allah memerintahkan agar ia diseret dan di-lempar ke Neraka. Kemudian didatangkan seorang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya, lalu Allah mem-perlihatkan nikmat yang telah dikaruniakan kepadanya. Allah bertanya: ‘Untuk apa engkau berbuat dalam hal ini?’ Ia menjawab: ‘Aku belajar dan mengajarkan ilmu yang kudapat serta membaca Al-Qur’an untukMu’. Allah menjawab: ‘Engkau dusta, sesungguhnya engkau belajar agar dikatakan ‘alim dan engkau membaca Al-Qur’an agar dikatakan seorang qari’, kemudian diperintahkan agar ia diseret dan dilempar ke Neraka.”

Al-Ajuri berkata: “Seyogyanya bagi yang dikaruniai oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala suara yang baik ketika membaca Al-Qur’an agar mengetahui bahwa Allah telah mengaruniakan kebaikan khusus padanya maka hendaknya ia mengetahui kadar keistimewaan Allah baginya. Bacalah Al-Qur’an semata ka-rena Allah bukan untuk dipuji manusia. Berhati-hatilah dari kecenderungan untuk didengarkan orang agar memperoleh pujian, untuk mendapat dunia (harta), perasaan suka dipuji, untuk memperoleh kedudukan di dunia, hubungan dengan penguasa, lebih dari masyarakat umumnya. Barangsiapa cenderung kepada yang aku peringatkan maka aku khawatir suaranya yang bagus malah menjadi fitnah. Sedangkan suaranya akan memberi manfaat baginya jika ia takut kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala dalam keadaan sendiri atau bersama yang lain. Yang diminta darinya agar ia memperdengarkan Al-Qur’an untuk memperingatkan orang-orang yang lalai agar berpaling dan mencintai apa yang dicintai Allah Subhannahu wa Ta’ala menjauhi apa yang dicegahnya. Siapa yang memiliki sifat ini maka suaranya yang bagus bermanfaat baginya sendiri dan manusia.”

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar