Translate

Jumat, 09 Maret 2018

Kisah Teladan Dari Ummu Sulaim Rd

Kita berbicara tentang kaum wanita yang patut diteladani, dan kita tidak bisa melupakan seorang wanita yang mencapai derajat kemauan tertinggi dan mendapatkan kabar gembira (bahwa dia akan masuk) Surga, sedangkan dia berjalan di permukaan bumi. Dari wanita inilah kita belajar kemuliaan, kesabaran, dan memberi sumbangsih di jalan agama ini.

Beliau adalah Ummu Sulaim al-Ghumaisha’ binti Milhan Ummu Sulaim Radhiyallahu anha, yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentangnya:

دَخَلْتُ الْجَنَّةَ فَسَمِعْتُ خَشْفَةً، فَقُلْتُ: مَنْ هَذَا. قَالُوا: هَذِهِ الْغُمَيْصَاءُ بِنْتُ مِلْحَانَ، أُمُّ أَنَسِ بْنِ مَالِكِ.

“Aku memasuki Surga lalu aku mendangar suara, maka aku bertanya, ‘Siapakah ini?’ Mereka berkata, ‘Ini adalah al-Ghumaisha’ binti Milhan, Ummu Anas bin Malik.’”[HR. Muslim (no. 2456) kitab Fadhaa-ilush Shahaabah, Ahmad (no. 13102)].

Ummu Sulaim binti Malhan adalah wanita yang cantik, cerdas, dan berakhlak mulia. Kisah hidupnya telah menjadi cerita teladan bagi kaum muslim, khususnya wanita muslim. Pada zaman jahiliah, Ummu Sulaim menikah dengan Malik bin Nadir. Dari pernikahan itu, mereka memiliki anak lelaki bernama Anas bin Malik. Kelak, Anas bin Malik menjadi sahabat Rasulullah yang agung.

Bagaimana kisah Shahabiyah yang mulia ini?

Pada suatu masa, syiar ajaran agama Islam telah sampai di Madinah. Orang-orang yang melihat cahaya kebenaran dari ajaran Islam segera menyatakan keislamannya, termasuk Ummu Sulaim. Ummu Sulaim adalah salah seorang dari kaum Anshar yang pertama kali memeluk agama Islam. Saat itu, ia tidak ragu sedikit pun untuk meninggalkan agama nenek moyang mereka yang menyembah berhala.

Keislaman Ummu Sulaim diuji saat mendapat penentangan dari suaminya sendiri. Dengan penuh amarah, Malik bertanya, “Apakah engkau murtad dari agama nenek moyangmu dan agamamu ?” Ummu Sulaim menjawab, “Tidak. Aku hanya beriman kepada lelaki itu.” Yang dimaksud dengan lelaki itu adalah Rasulullah saw. Ummu Sulaim pun tetap berpegang teguh pada ajaran Islam.

Pada suatu hari, Ummu Sulaim mengajari Anas untuk mengucapkan kalimat syahadat, “Asyhadu alla Ilaaha Illallah, wa asyhadu annaa Muhammadar Rasulullah.” Hal itu membuat Malik marah, “Jangan kau rusak anakku.” Ummu Sulaim menjawab dengan tegas, “Aku tidak merusaknya. Akan tetapi, aku mendidiknya.”

Mengetahui Ummu Sulaim semakin teguh dengan ajaran barunya, Malik pun hendak bersikap tegas. Malik mengatakan kepada istrinya bahwa dirinya hendak meninggalkan rumah sampai istrinya bersedia meninggalkan agama barunya. Perkataan suaminya tidak menggoyahkan iman Ummu Sulaim. Ia mengucapkan kalimat syahadat secara berulang-ulang.

Akhirnya, Malik benar-benar pergi dari rumah. Ia tampak sangat marah dengan sikap istrinya. Dalam perjalanan, Malik dibunuh oleh musuhnya. Mendengar kabar kematian suaminya, Ummu Sulaim tabah. Ia berkata, “Aku tidak akan menikah lagi hingga Anas dewasa dan memintaku menikah.” Setelah itu, Ummu Sulaim menemui Rasulullah. Ia bermaksud menawarkan anaknya sebagai pembantu Rasulullah. Ia ingin anaknya belajar kepada Rasulullah saw. Sejak itu, Anak mengabdi kepada Rasulullah dan belajar di majelis-majelis yang diadakan Rasulullah.

Ummu Sulaim Menikah Dengan Abu Thalhah

Ummu Sulaim yang cantik telah menawan hati Abu Thalhah. Abu Thalhah pun berkeinginan untuk melamarnya. Ia hendak menawarkan mahar dalam jumlah yang sangat banyak. Abu Thalhah yakin dengan mahar yang banyak kemungkinan besar Ummu Sulaim akan menerima lamarannya. Saat berhadapan dengan Ummu Sulaim, Abu Thalhah yang musyrik mengutarakan keinginannya untuk menjadikan Ummu Sulaim sebagai istrinya. Di luar dugaan, Ummu Sulaim menolak lamaran dengan berkata, “Sungguh, tidak pantas bagiku menikah dengan orang musyrik. Wahau Abu Thalhah, tuhan-tuhanmu itu adalah hasil pahatan manusia. Jika engkau membakarnya, pastilah tuhan-tuhanmu akan terbakar.” Abu Thalhah tidak percaya dengan penolakan Ummu Sulaim.

Pada hari berikutnya, Abu Thalhah kembali melamar Ummu Sulaim. Kali ini, ia membawa mahar yang lebih banyak. Ia berharap Ummu Sulaim bersedia menikah dengannya. Namun, Ummu Sulaim tetap menolaknya. Harta yang banyak tidak membuatnya menerima lamaran Abu Thalhah. Ummu Sulaim berkata, “Wahai Abu Thalhah, orang seperti engkau tidak pantas ditolak. Hanya saja, engkau adalah orang kafir, sementara aku adalah seorang muslimah. Oleh karena itu, aku tidak dapat menerima lamaranmu.” Abu Thalhah bertanya, “Apa yang harus aku lakukan? Apakah engkau menginginkan emas atau perak?” Ummu Sulaim mengatakan bahwa sesungguhnya dirinya tidak menginginkan emas atau pun perak. Ummu Sulaim hanya menginginkan Abu Thalhah meyakini ajaran Islam dan keislamannya sebagai maskawin. Mendengar hal itu, Abu Thalhah tersentuh hatinya. Abu Thalhah berkata, “Apa yang harus aku lakukan untuk memeluk agama Islam?” Ummu Sulaim menyarankan agar Abu Thalhah mendatangi Rasulullah saw.

Setelah itu, Abu Thalhah datang menemui Rasulullah yang saat itu sedang duduk bersama para sahabat. Saat itu, Rasulullah bersabda, “Telah datang kepada kalian Abu Thalhah yang tampak cahaya Islam di kedua matanya.” Akhirnya, Abu Thalhah memeluk agama Islam. Setelah itu, Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim dengan maskawin keislamannya. Selanjutnya, suami istri ini hidup bahagia dengan menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-harinya.

Ketabahan Ummu Sulaim dan Abu Thalhah

Setelah beberapa lama menikah, Allah swt pun menganugerahkan Abu Thalhah dan Ummu Sulaim seorang anak lelaki. Anak itu diberi nama Abu Umair. Abu Thalhah sangat menyayangi Abu Umair. Hubungan keduanya sangatlah dekat.

Pada suatu ketika, Abu Umair sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Saat itu, Abu Thalhah sedang pergi. Oleh karena itu, Ummu Sulaim sendiri yang mengurus jenazah Abu Umair. Ummu Sulaim berpesan kepada keluarganya sendiri saat Abu Thalhah sudah pulang. Setelah pulang dari makam, ia bersiap menyambut suaminya pulang. Saat sampai di rumah, Abu Thalhah langsung menanyakan keadaan anaknya. Ummu Sulaim menjawab bahwa anaknya telah beristirahat dengan tenang. Abu Thalhah pun tidak menyadari bahwa sebenarnya anaknya telah meninggal.

Pada saat shubuh, Abu Thalhah bersiap untuk pergi ke masjid. Saat itulah, Ummu Sulaim menceritakan tentang meninggalnya anak mereka. Ummu Sulaim bertanya, “Suatu kaum meminjam sesuatu pada suatu keluarga. Kemudian keluarga itu meminta sesuatu itu dikembalikan. Menurutmu, apakah kaum itu boleh menolaknya?” Abu Thalhah menjawab, “Tidak”. Kemudian, Ummu Sulaim berkata, “Sesungguhnya, Allah telah meminta pinjaman-Nya kepada kita, yaitu anak kita.” Abu Thalhah pun mengerti maksud istrinya. Rasa sedih dan marah bersatu dalam diri Abu Thalhah. Ia sedih karena anaknya telah meninggal. Ia juga marah karena istrinya tidak segera memberitahu kejadian yang sebenarnya. Hal itu tidak berlangsung lama. Abu Thalhah segera mengucap kalimat istirja (Innaa Lillaahi wa Innaa Ilaihi raji’uun). Ia pun menjadi tenang.

Ketika itu, Abu Thalhah melaksanakan shalat berjamaah dengan Rasulullah. Setelah selesai shalat, Abu Thalhah menceritakan kejadian tersebut kepada Rasulullah. Kemudian, Rasulullah berdoa agar Allah memberi berkah kepada keduanya. Berkat ketabahan suami istri itu, Allah swt mengaruniakan mereka seorang anak lelaki. Anak itu adalah Abdullah bin Abu Thalhah. Pada masanya kelak, Abdullah memiliki beberapa orang anak yang menyebarkan imu dan ajaran Al-Quran.

Peristiwa tersebut termaktub dalam Hadits

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضى الله عنه – قَالَ كَانَ ابْنٌ لأَبِى طَلْحَةَ يَشْتَكِى ، فَخَرَجَ أَبُو طَلْحَةَ ، فَقُبِضَ الصَّبِىُّ فَلَمَّا رَجَعَ أَبُو طَلْحَةَ قَالَ مَا فَعَلَ ابْنِى قَالَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ هُوَ أَسْكَنُ مَا كَانَ . فَقَرَّبَتْ إِلَيْهِ الْعَشَاءَ فَتَعَشَّى ، ثُمَّ أَصَابَ مِنْهَا ، فَلَمَّا فَرَغَ قَالَتْ وَارِ الصَّبِىَّ . فَلَمَّا أَصْبَحَ أَبُو طَلْحَةَ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ « أَعْرَسْتُمُ اللَّيْلَةَ » . قَالَ نَعَمْ . قَالَ « اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمَا » . فَوَلَدَتْ غُلاَمًا قَالَ لِى أَبُو طَلْحَةَ احْفَظْهُ حَتَّى تَأْتِىَ بِهِ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَأَتَى بِهِ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَأَرْسَلَتْ مَعَهُ بِتَمَرَاتٍ ، فَأَخَذَهُ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « أَمَعَهُ شَىْءٌ » . قَالُوا نَعَمْ تَمَرَاتٌ . فَأَخَذَهَا النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فَمَضَغَهَا ، ثُمَّ أَخَذَ مِنْ فِيهِ فَجَعَلَهَا فِى فِى الصَّبِىِّ ، وَحَنَّكَهُ بِهِ ، وَسَمَّاهُ عَبْدَ اللَّهِ .

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa putera Abu Tholhah sakit. Ketika itu Abu Tholhah keluar, lalu puteranya tersebut meninggal dunia. Ketika Abu Tholhah kembali, ia berkata, “Apa yang dilakukan oleh puteraku?” Istrinya (Ummu Sulaim) malah menjawab, “Ia sedang dalam keadaan tenang.” Ketika itu, Ummu Sulaim pun mengeluarkan makan malam untuk suaminya, ia pun menyantapnya. Kemudian setelah itu Abu Tholhah menyetubuhi istrinya. Ketika telah selesai memenuhi hajatnya, istrinya mengatakan kabar meninggalnya puteranya. Tatkala tiba pagi hari, Abu Tholhah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan tentang hal itu. Rasulullah pun bertanya, “Apakah malam kalian tersebut seperti berada di malam pertama?” Abu Tholhah menjawab, “Iya.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mendo’akan, “Allahumma baarik lahumaa, Ya Allah berkahilah mereka berdua.”

Dari hubungan mereka tersebut lahirlah seorang anak laki-laki. Anas berkata bahwa Abu Tholhah berkata padanya, “Jagalah dia sampai engkau mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengannya.” Anas pun membawa anak tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ummu Sulaim juga menitipkan membawa beberapa butir kurma bersama bayi tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengambil anak tersebut lantas berkata, “Apakah ada sesuatu yang dibawa dengan bayi ini?” Mereka berkata, “Iya, ada beberapa butir kurma.” Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambilnya dan mengunyahnya. Kemudian beliau ambil hasil kunyahan tersebut dari mulutnya, lalu meletakkannya di mulut bayi tersebut. Beliau melakukan tahnik dengan meletakkan kunyahan itu di langit-langit mulut bayi. Beliau pun menamakan anak tersebut dengan ‘Abdullah. (HR. Bukhari no. 5470 dan Muslim no. 2144).

Dalam riwayat Muslim disebutkan,

عَنْ أَنَسٍ قَالَ مَاتَ ابْنٌ لأَبِى طَلْحَةَ مِنْ أُمِّ سُلَيْمٍ فَقَالَتْ لأَهْلِهَا لاَ تُحَدِّثُوا أَبَا طَلْحَةَ بِابْنِهِ حَتَّى أَكُونَ أَنَا أُحَدِّثُهُ – قَالَ – فَجَاءَ فَقَرَّبَتْ إِلَيْهِ عَشَاءً فَأَكَلَ وَشَرِبَ – فَقَالَ – ثُمَّ تَصَنَّعَتْ لَهُ أَحْسَنَ مَا كَانَ تَصَنَّعُ قَبْلَ ذَلِكَ فَوَقَعَ بِهَا فَلَمَّا رَأَتْ أَنَّهُ قَدْ شَبِعَ وَأَصَابَ مِنْهَا قَالَتْ يَا أَبَا طَلْحَةَ أَرَأَيْتَ لَوْ أَنَّ قَوْمًا أَعَارُوا عَارِيَتَهُمْ أَهْلَ بَيْتٍ فَطَلَبُوا عَارِيَتَهُمْ أَلَهُمْ أَنْ يَمْنَعُوهُمْ قَالَ لاَ. قَالَتْ فَاحْتَسِبِ ابْنَكَ. قَالَ فَغَضِبَ وَقَالَ تَرَكْتِنِى حَتَّى تَلَطَّخْتُ ثُمَّ أَخْبَرْتِنِى بِابْنِى. فَانْطَلَقَ حَتَّى أَتَى رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَخْبَرَهُ بِمَا كَانَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « بَارَكَ اللَّهُ لَكُمَا فِى غَابِرِ لَيْلَتِكُمَا ». قَالَ فَحَمَلَتْ

Dari Anas, ia berkata mengenai putera dari Abu Tholhah dari istrinya Ummu Sulaim. Ummu Sulaim berkata pada keluarganya, “Jangan beritahu Abu Tholhah tentang anaknya sampai aku yang memberitahukan padanya.” Diceritakan bahwa ketika Abu Tholhah pulang, istrinya Ummu Sulaim kemudian menawarkan padanya makan malam. Suaminya pun menyantap dan meminumnya. Kemudian Ummu Sulaim berdandan cantik yang belum pernah ia berdandan secantik itu. Suaminya pun menyetubuhi Ummu Sulaim. Ketika Ummu Sulaim melihat suaminya telah puas dan telah menyetubuhi dirinya, ia pun berkata, “Bagaimana pendapatmu jika ada suatu kaum meminjamkan sesuatu kepada salah satu keluarga, lalu mereka meminta pinjaman mereka lagi, apakah tidak dibolehkan untuk diambil?” Abu Tholhah menjawab, “Tidak.” Ummu Sulaim, “Bersabarlah dan berusaha raih pahala karena kematian puteramu.” Abu Tholhah lalu marah kemudian berkata, “Engkau biarkan aku tidak mengetahui hal itu hinggga aku berlumuran janabah, lalu engkau kabari tentang kematian anakku?” Abu Tholhah pun bergegas ke tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengabarkan apa yang terjadi pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendo’akan, “Semoga Allah memberkahi kalian berdua dalam malam kalian itu.” Akhirnya, Ummu Sulaim pun hamil lagi.  (HR. Muslim no. 2144).

Di antara pelajaran yang bisa dijadikan teladan oleh kaum wanita adalah keteguhan Ummu Sulaim berpegang pada agama. Lihatlah, tidak serta-merta beliau menerima lamaran Abu Thalhah, padahal Abu Thalhah adalah pria yang punya nama dan harta. Abu Thalhah pun menawarkan emas dan perak sebagai maharnya. Namun, Ummu Sulaim menolak semua itu dan mempersyaratkan satu hal saja, yaitu Abu Thalhah masuk Islam.

Bandingkanlah dengan masa ini. Godaan dunia mencabik-cabik keimanan seseorang. Tidak sedikit kaum muslimin yang murtad karena harta, terutama kaum wanita yang lemah dan mudah tergoda oleh perhiasan dunia yang gemerlap. Banyak wanita yang menjual agamanya demi mendapatkan dunia yang fana. Mereka mengumbar aurat demi mengejar karier, atau berpindah agama untuk mengikuti agama suami.

Bagaimana mereka kelak ketika dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah subhanahu wa ta’ala? Tatkala di alam kubur, mereka ditanya oleh malaikat, “Apa agamamu?” Kalau tidak dapat menjawab dengan benar, saat itulah mereka mulai mendapatkan siksaan. Dari siksa kubur sampai terjadinya hari kebangkitan, dan diikuti oleh siksa neraka yang kekal abadi.

Pembaca yang dimuliakan oleh Allah, banyak orang mencela wanita yang materialis. Mereka menyebutnya sebagai “cewek matre”. Namun, fenomena yang ada justru menunjukkan hal ini sering terjadi.

Pelajaran kedua dari kisah ini adalah kesetiaan istri kepada suami. Tatkala seorang wanita telah menjadi istri, dia wajib menaati suaminya dalam hal yang ma’ruf, melayaninya, dan menghiburnya tatkala sang suami mendapat musibah. Ummu Sulaim mempercantik diri untuk melayani suaminya, padahal dalam Islam, seorang wanita yang sedang berdukacita diperbolehkan tidak berdandan. Jika yang meninggal adalah salah seorang kerabatnya, masa berkabungnya adalah tiga hari. Namun, jika yang meninggal adalah suaminya, masaihdad) (berkabung)nya 4 bulan 10 hari.

Karena kedalaman ilmunya, Ummu Sulaim menganggap bahwa menyenangkan suami lebih utama daripada dia berdukacita dan tidak mau berhias.

Adapun mayoritas wanita pada zaman ini tidak memedulikan keadaan suami. Suami tidak dilayani dengan semestinya. Istri tidak berhias untuknya atau keluar masuk rumah tanpa izinnya. Hidup bebas ala Barat sudah menjadi tradisi yang tidak asing lagi di tengah-tengah kaum muslimin.

Kebanyakan wanita masa ini tidak berhias di hadapan suami. Akan tetapi, ketika ke luar rumah mereka justru menampakkan kecantikannya. Ketika menghadiri resepsi, arisan, dan acara kumpul-kumpul lainnya, mereka berlomba-lomba memamerkan keindahan dan perhiasan. Mereka tidak sadar bahwa hal itu akan membuat kaum pria tergoda. Dampak negatif pun terjadi. Banyak berita tentang perselingkuhan antara pria dan wanita yang masing-masing sudah berkeluarga. Wallahul musta’an.

Pelajaran ketiga dari kisah ini adalah keteguhan dan kesabaran Ummu Sulaim ketika menghadapi musibah. Tatkala putranya meninggal, Ummu Sulaim tidak berkeluh kesah. Sebaliknya, beliau beriman terhadap takdir dan ridha kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Meski ditimpa musibah, beliau tetap menjalankan tugas rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Beliau mempersiapkan makan malam untuk suami dan para tamu suami. Sang suami, Abu Thalhah, menjamu tamunya dengan baik sehingga tamunya merasa senang dan tidak merasa membebani keluarga Abu Thalhah yang sedang ditimpa musibah.

Itu semua karena kepandaian Ummu Sulaim menyembunyikan dukacita yang sedang dialaminya. Seandainya Ummu Sulaim menceritakan kematian putranya kepada Abu Thalhah, keadaannya pun akan berubah. Bisa jadi, Abu Thalhah tidak mau makan malam, dan para tamu pun akan berpamitan karena merasa bahwa kedatangan mereka menambah beban keluarga yang sedang ditimpa musibah.

Pembaca yang dimuliakan oleh Allah, mereka itulah para sahabat yang dipilih oleh Allah untuk menyertai Nabi-Nya mendakwahkan Islam. Sudah sepantasnya mereka, para sahabat, kita jadikan suri teladan dalam kehidupan kita sehari-hari.`

Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah ini, tetapi sengaja tidak kami sebutkan karena keterbatasan ruang. Semoga tulisan yang sederhana ini bisa memotivasi saudaraku, khususnya kaum wanita, untuk selalu berusaha memperbaiki diri dan beramal saleh.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar