Wahai saudaraku… Janganlah Anda meremehkan amal kebaikan sekalipun kecil, dan ketahuilah bahwa Anda diseru untuk menunaikan tanggung jawab Anda dengan mencurahkan segenap kemampuan dan banyak berkorban dalam rangka menegakkan bangunan Islam yang agung. Janganlah sekali-kali anda mengelak dari tugas anda sekalipun hanya sedetik karena tipu daya musuh Islam terhadapmu. Mereka musuh-musuh Islam ingin sekiranya engkau menyimpang dari tugasmu yang mulia, dan mereka berupaya menjatuhkan semangatmu dalam berhidmat kepada Islam dan membina umat.
Janganlah… dan sekali lagi janganlah Anda mengelak dan mundur dari berkhidmat kepada Islam karena anda merasa lemah, tidak ada kemampuan untuk ikut andil dalam menguatkan masyarakat Islam, sebab sesungguhnya perasaan-perasaan seperti itu merupakan rekayasa dari setan jin dan manusia.
Seseorang tidak akan pernah tahu pasti, amalan mana yang telah dilakukannya yang akan diterima oleh Allah? Kita juga tidak akan pernah tahu secara pasti amalan manakah yang dapat mengantarkan kita ke surga. Itu sebabnya jangan meremehkan kebaikan sekecil apapun.
Allah Subhanahu Wa taala berfirman dalam Al Quran Surat Al Anbiya: 47
وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا ۖ وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا ۗ وَكَفَىٰ بِنَا حَاسِبِينَ
“Dan Kami letakkan timbangan keadilan pada hari kiamat. Maka tidaklah akan dizalimi seorangpun sedikitpun. Sekalipun (keadaan kebaikan atau kejelekan tersebut) sebesar biji sawi akan Kami datangkan dengannya (perhitungan dan pembalasannya). Dan cukuplah Kami sebagai penghitung.” (QS 21-Al Anbiya ayat 47)
Dan juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ المْعَرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
“Janganlah kalian meremehkan kebaikan sedikitpun, sekalipun (hanya sekadar) engkau memberikan kepada saudaramu wajah yang berseri-seri.” [HR Imam Muslim].
Maka di sini kami hendak menyuguhkan sebuah kisah seorang wanita yang lemah dan berkulit hitam. Kisah ini merupakan sebuah pelajaran bagi kaum muslimin dalam hal kesungguhan, ketawadhu’an hingga sampai pada puncak semangatnya.
Dari sebuah hadis Muttafaqun ‘ alaihi yang menceritakan tentang seorang perempuan berkulit hitam, yang biasa menyapu masjid di masa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.
َعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -فِي قِصَّةِ الْمَرْأَةِ الَّتِي كَانَتْ تَقُمُّ الْمَسْجِدَ- قَال: فَسَأَلَ عَنْهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: مَاتَتْ, فَقَالَ: “أَفَلاَ كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي”? فَكَأَنَّهُمْ صَغَّرُوا أَمْرَهَا. فَقَالَ: “دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهَا”, فَدَلُّوهُ, فَصَلَّى عَلَيْهَا.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Beliau berkisah tentang seorang wanita yang biasa membersihkan masjid (di masa Nabi).
Beliau seorang wanita yang berkulit hitam, dipanggil dengan nama Ummu Mahjan. Telah disebutkan di dalam Ash-Shahih tanpa menyebutkan nama aslinya, bahwa beliau tinggal di Madinah [Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat (VIII/414)].
Ummu Mahjan adalah seorang sahabat dari kaum perempuan yang tinggal di kota Madinah. Ia tergolong sahabat yang miskin dengan fisik yang lemah. Akan tetapi ditengah kekurangannya itu, ia merupakan seorang muslimah yang selalu ingin berbuat kebaikan. Ia tidak sedikitpun merasa ragu dan putus asa di dalam hatinya karena ia yakin putus asa bukanlah sifat yang dimiliki oleh orang-orang yang beriman. Keimanan telah menunjukan kepadanya untuk menunaikan tanggung jawab kebaikan. Ia menyadari bahwa dirinya memiliki kewajiban terhadap aqidahnya dan kaum muslimin.
Ummu Mahjan -sebagaimana telah disebutkan- adalah seorang wanita tua dan miskin. Tidak banyak amalan yang dapat dilakukannya. Tenaganya sudah sangat berkurang dimakan usia, belum lagi keadaannya yang miskin membuatnya terhalang dari melakukan amalan yang berkaitan dengan harta. Tapi hal tersebut tidak membuatnya berkecil hati. Ia sadar benar bahwa Allah senantiasa membuka pintu kebaikan bagi siapapun yang menghendaki keridaan-Nya.
Maka dengan penuh kesederhanaan Ummu Mahjan mulai menyingsingkan lengannya berupaya memberikan sedikit tenaga yang dimilikinya untuk membersihkan masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ya... hanya sekadar membersihkan masjid. Akan tetapi, siapa yang meremehkan masjid Allah? Berbagai amalan kebaikan dilakukan di sana. Salat lima waktu, halaqah ilmi bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tempat para hamba Allah beribadah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Maka bagi Ummu Mahjan tempat ini haruslah senantiasa dijaga kebersihannya.
Ia lakukan amalan ini dengan penuh kesungguhan. Setiap mendekati waktu-waktu salat, di setiap harinya, ia berusaha tidak terluput dari menjaga kebersihannya. Demikian senantiasa dia lakukan hingga ajal menjemputnya. MasyaAllah. Mungkin itulah sebabnya, mungkin awalnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengenalnya, akan tetapi karena seringnya Rasulullah melihat dan bertemu dengannya ketika sedang membersihkan masjid, maka ketika ia tidak ada, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa kehilangan dirinya.
Dikisahkan dari buku Al-Ishabah dalam Tamyizish Shahabah (VIII/187), ketika Ummu Mahjan wafat, para shahabat Ridhwanullahi ‘Alaihim membawa jenazahnya setelah malam menjelang dan mereka mendapati Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam masih tertidur. Mereka pun tidak ingin membangunkan beliau, sehingga mereka langsung menshalatkan dan menguburkannya di Baqi‘ul Gharqad.
Keesokan di pagi harinya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam merasa kehilangan wanita itu, kemudian beliau tanyakan kepada para sahabat, mereka menjawab, “Beliau telah wafat dan dikubur wahai Rasulullah, kami telah mendatangi anda dan kami dapatkan anda masih dalam keadaan tidur sehingga kami tidak ingin membangunkan anda.”
Rasulullah bertanya: “Mengapa kalian tidak mengabariku?” Seakan Rasulullah menyalahkan keputusan sahabat yang tidak membangunkan beliau. Para sahabat menganggap Ummu Mahjan adalah sosok yang kurang berarti sehingga merasa tidak perlu membangunkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Tunjukkan kepadaku di mana kuburnya!” Maka mereka menunjukkan kuburnya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau menyalatkannya di kuburannya. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, sementara para sahabat berdiri bershaf-shaf di belakang beliau, lantas Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menshalatkannya dan bertakbir empat kali, kemudian bersabda:
إِنَّ هٰذِهِ الْقُبُورَ مَمْلُوءَةٌ ظُلْمَةٌ عَلَى أَهْلِهَا، وَإِنَّ اللّٰهَ يُنَوِّرُهَا لَهُمْ بِصَلاَتِي عَلَيْهِمْ
“Sesungguhnya kubur ini terisi dengan kegelapan atas penghuninya dan Allah meneranginya bagi mereka karena aku telah menyalatkannya.” [Lihat al-Ishabah (VIII/187), Al-Muwatha’ (I/227), An-Nasa’i (I/9) hadits tersebut mursal, akan tetapi maknanya sesuai dengan hadits yang setelahnya yang bersambung dengan riwayat al-Bukhari dan Muslim.]
Kebaikan yang dilakukan oleh Ummu Mahjan bahkan dapat memberikan manfaat bukan hanya bagi dirinya di dunia maupun di alam kuburnya, tapi juga bagi orang lain. Maa syaa Allah.
Dari kisah ini kita melihat bahwa seorang Ummu Mahjan yang sekalipun miskin dan lemah, turut berusaha berbuat amal shaleh sesuai dengan kemampuannya. Ia juga memberikan pelajaran bagi kaum muslimin bahwa tidak boleh menganggap sepele suatu amal walaupun amal tersebut terlihat kecil. Karena dengan kebaikan yang dilakukannya, Ummu Mahjan mendapat perhatian dari Rasulullah SAW hingga ia wafat. Sampai-sampai Rasulullah SAW menyalahkan sahabat beliau yang tidak memberitahukan perihal wafatnya Ummu Mahjan agar beliau dapat mengantarkannya ke tempat tinggalnya yang terakhir di dunia. Bahkan tidak cukup demikian, Rasulullah SAW bersegera menuju kuburnya untuk menyolatkannya agar Allah SWT menerangi kuburnya dengan shalat beliau. Semoga Allah SWT memberikan kekuatan bagi kita sebagai kaum muslimin untuk meneladani akhlak yang baik dari para sahabat Rasulullah SAW.
Dari kisah sederhana tersebut tersirat sebuah pelajaran yang besar. Ternyata kebaikan besar bisa tercipta dengan sebuah amalan yang mungkin terlihat sederhana. Niat dan keikhlasan kepada Allah sajalah yang membuat amalan itu bisa berubah menjadi besar. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan dalam sebuah hadis bahwa setiap amalan itu tergantung dari niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan. Apalagi jika amalan tersebut adalah amalan kebaikan, sesuai dengan tuntunan Rasul, dikerjakan terus menerus. Dalam hadis yang lain Rasulullah bersabda:
وَكَانَ أَحَبُّ الدِّينِ إِلَيْهِ مَا دَاوَمَ صَاحِبُهُ عَلَيْهِ
“Dan keadaan amalan / perkara yang paling dicintai di dalam agama adalah amalan yang pelakunya terus-menerus melakukannya.” [H.R. Mutafaqun alaihi].
Sekalipun tidak banyak, akan tetapi terus dilakukan, istiqamah dalam melaksanakannya, mengharap keridaan Allah, maka akan berbuah hasil yang besar. Apalagi jika amalan itu amalan yang lebih besar lagi. Lalu... apa yang membuat kita duduk termangu menunggu ada amalan besar yang harus dikerjakan? Sepantasnya kita bersegera bangkit menyingsingkan lengan untuk melakukan kebaikan di kehidupan kita ini. Kebaikan yang kita lakukan untuk orang lain pada hakikatnya adalah kebaikan untuk bekal kita sendiri di akhirat kelak.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar