Translate

Kamis, 22 Maret 2018

Perjuangan Wong Agung Wilis Melawan VOC

Masyarakat Banyuwangi yang dalam konteks kesejarahan dikenal dengan masyarakat Blambangan, memiliki banyak tokoh local yang tercatat berjuang dan berkorban melawan penjajah VOC dan Hindia Belanda. Salah satu tokoh local yang eksist berjuang melawan VOC dan Belanda adalah Pangeran Wilis atau dikenal Wong Agung Wilis.

Mempelajari tokoh local sejarah seringkali menjadi pelajaran yang tidak menarik bagi sebagian generasi muda sekarang. Mengetahui perjuangan tokoh local daerah  dianggap tidak memiliki peranan penting bagi masa depan generasi muda sekarang. Sering kali tokoh local hanya menjadi obrolan dikalangan orang tua saja, generasi muda lebih senang membicarakan tokoh-tokoh superhero yang berasal dari luar negeri dibandingkan membicarakan tokoh local daerah yang telah berkorban dan berjasa di daerahnya.

Untuk membangun daerah diperlukan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Sumber daya alam diperoleh dari kekayaan alam sedangkan sumber daya manusia diperoleh dari kekayaan nilai-nilai dan karakter unggul yang dapat dijadikan sebagai modal untuk membangun daerahnya. Salah satu nilai dan karakter yang dibutuhkan sebagai modal pembangunan adalah nilai dan karakter kepahlawanan.

Kurangnya pengetahuan terhadap nilai-nilai kepahlawanan tokoh local ini, menyebabkan hilangnya nilai-nilai keteladanan yang dapat dicontoh dari para pahlawan kita sendiri. Tidak adanya nilai-nilai keteladanan ini menyebabkan lunturnya nilai cinta tanah air (patriotisme) dan hilangnya nilai kebangsaan (nasionalisme) dikalangan generasi muda.

Namanya adalah Mas Sirna, saat menjadi Patih Amangkubhumi (Perdana Menteri) Blambangan dia bergelar Wong Agung Wilis, dan setelah turun dari jabatannya dia dikenal sebagai Mas Sirna Wibhawa. Dia menjabat sebagai Perdana Menteri Blambangan antara 1736-1760 dan selanjutnya menjadi raja Blambangan antara tahun 1764-1778.Ayahnya bernama Pangeran Mas Sepuh/Prabu Danurejo (1736-1763) dan ibunya adalah Mas Ayu Kabakaba.

Mas Sirna adalah putra dari Pangeran Danureja, penguasa Blambangan saat itu. Ibunya adalah seorang putri dari Kerajaan Mengwi, Bali. Ibu Mas Sirna bukanlah permaisuri dari Pangeran Danureja. Pernikahan keduanya terjadi karena motif politik agar kerjasama antara Blambangan dan Bali dapat terjalin kuat untuk mengatasi ancaman dari luar daerah.

Permaisuri Pangeran Danureja sendiri adalah putri dari Untung Surapati. Pernikahan Pangeran Danureja dengan permaisuri dianugerahi 3 putri dan seorang putra bernama Mas Noyang (Pangeran Danuningrat) yang nantinya akan mewarisi takhta Blambangan. Oleh karena memiliki ibu yang bukan permaisuri, Mas Sirna banyak hidup di luar istana.

Ada sumber yang menyebutkan bahwa ia tinggal di lereng Gunung Raung. Hal ini memberikan pengaruh besar kepada Mas Sirna, menyebabkannya peka terhadap masalah rakyat kecil. Pada saat dewasa ia hijrah ke Bali, ikut pamannya yang bernama Ki Gusti Ngurah Ketut Kaba-Kaba. Tidak ada riwayat mengenai dengan siapa ia menikah, namun ia memiliki enam orang putra yakni Serutadi, Kencling, Tunjung, Berud, Suratman (Surawijaya) dan Mas Ayu Prabu.

Kembali Ke Blambangan

Kerajaan Blambangan adalah sebuah kerajaan di ujung timur Pulau Jawa yang dalam pelaksanaan pemerintahannya banyak dipengaruhi oleh kerajaan-kerajaan di Bali. Hal ini terjadi saat pihak dari Kerajaan Mengwi melantik Mas Noyang atau Mas Nuweng menjadi penguasa Blambangan bergelar Pangeran Danuningrat menggantikan ayahnya Pangeran Danureja. Kerajaan Mengwi juga melantik Mas Sirna menjadi patih bergelar Pangeran Wong Agung Wilis atau lebih dikenal dengan Pangeran Wilis. Sejak saat inilah nama Wong Agung Wilis dipakai.

Jabatan patih ini tidak terlalu lama karena terjadi konflik internal dalam kerajaan. Seorang punggawa istana yang juga sepupu dari Pangeran Danuningrat bernama Mas Tepasana menyebar isu bahwa Pangeran Wong Agung Wilis akan mengkudeta Pangeran Danuningrat sebagai penguasa Blambangan. Keluarga kerajaan mempercayai ini sehingga Wong Agung Wilis dipecat dari jabatannya dari patih Blambangan dan kedudukannya digantikan oleh Sutajiwa yang merupakan putra Pangeran Danuningrat. Wong Agung Wilis lalu pergi mengembara hingga mencapai Pantai Lampon, Desa Sanggar, Gunung Dogong dan Gunung Tumpangpitu yang mana daerah-daerah ini pada masa kini berada dalam wilayah Kecamatan Pesanggaran.

Meskipun telah dipecat Wong Agung Wilis tetap menghargai Pangeran Danuningrat sebagai penguasa Blambangan. Pangeran Danuningrat lalu meminta Wong Agung Wilis kembali untuk menumpas perompak Bugis di daerah bernama Bang Pakem.

Perlawanan Terhadap VOC

Pada tahun 1743 Jawa Bagian Timur ( termasuk Blambangan ) diserahkan oleh Pakubuwono II kepada VOC, VOC merasa Blambangan memang sudah menjadi miliknya. Namun untuk sementara masih dibiarkan sebagai barang simpanan, yang baru akan dikelola sewaktu-waktu, kalau sudah diperlukan. Bahkan ketika Danuningrat memina bantuan VOC untuk melepaskan diri dari Bali, VOC masih belum tertarik untuk melihat ke Blambangan.

Namun barulah setelah Inggris menjalin hubungan dagang dengan Blambangan dan mendirikan kantor dagangnya (komplek Inggrisan sekarang) pada tahun 1766 di bandar kecil Banyuwangi ( yang pada waktu itu juga disebut Tirtaganda, Tirtaarum atau Toyaarum), maka VOC langsung bergerak untuk segera merebut Banyuwangi dan mengamankan seluruh Blambangan. Secara umum dalam peprangan yang terjadi pada tahun 1767-1772 ( 5 tahun ) itu, VOC memang berusaha untuk merebut seluruh Blambangan. Namun secara khusus sebenarnya VOC terdorong untuk segera merebut Banyuwangi, yang pada waktu itu sudah mulai berkembang menjadi pusat perdagangan di Blambangan, yang telah dikuasai Inggris.

Perjuangan Wong Agung Wilis tercatat dalam dua  peperangan besar yaitu  Perang Ulungpangpang (13 Mei 1768) dan perang Kutha-Latheng (18 Mei 1768). Perlawanan Wong Agung Wilis ini adalah perlawanan terhadap VOC ( 1767-1768) yang ingin menangkap Wong Agung Wilis sebagai pemimpin perlawanan terhadap VOC.

Karena kesuburan dan kekayaan Blambangan telah diketahui oleh VOC sebelum mereka menguasainya, maka sebenarnya VOC telah memiliki rencana untuk menguasai Blambangan namun rencana ini terkendala oleh beberapa faktor seperti Blambangan jauh dari pusat pemerintahan dan ikatan pernikahan politik yang terjadi di antara Blambangan dan Bali membuat hubungan mereka menjadi kuat. Namun akhirnya sikap ascribed status VOC yang meyakini secara sepihak bahwa Blambangan telah dikuasai oleh mereka melatarbelakangi perlawanan terhadap VOC di Blambangan.

Pada tahun 1767, sekembalinya dari Bali. Wong Agung Wilis diangkat menjadi penguasa Blambangan oleh VOC. Ia membiarkan dirinya diangkat oleh VOC karena telah merencanakan siasat untuk menarik simpati VOC dan jika pasukan telah terhimpun maka akan dilakukan perlawanan. Ia memanfaatkan jabatannya ini untuk menjalin hubungan dengan para bekel (kepala desa) agar perannya dalam hal ini dirahasiakan dan memerintahkan agar pasukan segera dihimpun, serta memerintahkan agar penyerangan ke loji-loji Belanda dilakukan secara bertahap.  Ia juga kerap melakukan penyamaran sebagai pemburu untuk mendistribusikan sejumlah uang dan senjata-senjata buatan Inggris kepada para pasukannya.

Pada 30 September 1767 ia mulai menghimpun kekuatan untuk melawan VOC yang mulai menduduki Blambangan. Silsilah keturunan yang dimilikinya mempermudah dalam penghimpunan kekuatan ini. Ia mendapat bantuan kekuatan dari orang-orang Inggris (yang memang bersaing dengan VOC dalam hal perdagangan di Jawa), orang Tiongkok, orang Madura dan orang Bugis yang tinggal di Blambangan.  Ia juga mendapat dukungan dari Bupati Malayakusuma (cucu Untung Surapati) dari Malang dan dari Kerajaan Mengwi, dimana kerajaan tersebut mengutus perwakilannya yaitu Purbakara dan Mas Ularan.

Perang Wilis

Pada Oktober 1767, Wong Agung Wilis mengumpulkan pasukannya di Ulupampang. Disana ia membagi wilayah pertempuran menjadi dua bagian. Sebagian dipimpin oleh Mas Rempeg (Pangeran Jagapati) dan sebagian lagi dipimpin oleh Wong Agung Wilis sendiri.

Pihak VOC mendengar penghimpunan pasukan ini. Maka dari itu VOC melakukan beberapa langkah untuk meredam perlawanan. Gubernur Pantai Timur Jawa, Johannes Vos mengirim surat pada 20 Oktober 1767 kepada Cakradiningrat V (penguasa Madura) yang berisi permintaan bala bantuan pasukan ke Blambangan. Lalu datanglah 1000 orang dari laskar Madura-Bangkalan, 200 orang Madura, 500 orang Probolinggo dan sejumlah tentara Eropa ke Blambangan dengan menempuh jalur darat. Sebelumnya, pada Maret 1767 dilakukan ekspedisi pertama pasukan gabungan VOC ke Blambangan. Selain menambah pasukan, VOC juga melakukan politik pecah belah (devide et impera) di Blambangan dengan membagi Blambangan menjadi dua bagian yakni Blambangan Timur yang dipimpin Bupati Mas Bagus Anom dan Patih Sutanegara dan Blambangan Barat yang dipimpin Bupati Mas Uno bersama Patih Wasengsari. Tujuan dari pemecahan ini adalah untuk mempermudah VOC untuk menangkap Wong Agung Wilis beserta pengikutnya dengan bantuan orang-orang pribumi. Persiapan lain yang dilakukan VOC adalah mengamankan Selat Bali dari pengaruh Inggris dan Bali yang mendukung perlawanan Wong Agung Wilis.

Perlawanan ini dimulai saat Wong Agung Wilis sebagai penguasa Blambangan mengabaikan perintah untuk menghadap Gubernur Johannes Vos untuk meberikan laporan tentang pendirian benteng di Banyualit dan menentang kehadiran VOC di Blambangan. Maka seketika itu keluarlah perintah penangkapan Wong Agung Wilis yang dikomandoi oleh seorang komandan VOC bernama Adrianus van Rijke. Pada 2 Maret 1768, saat akan memulai operasi penangkapan Wong Agung Wilis, van Rijke bersama pasukannya malah dikepung oleh pasukan Wong Agung Wilis di Benteng Banyualit. VOC dibuat pusing kembali dengan membelotnya penguasa boneka kembar Blambangan, Mas Anom dan Mas Weka dari VOC dan bergabung pada pihak Wong Agung Wilis.

Pengepungan di Benteng Banyualit ini tidak bertahan lama karena kalahnya persenjataan pasukan Wong Agung Wilis yang hanya senjata-senjata lama buatan Inggris sedangkan pasukan VOC menggunakan meriam. Sebab lain Gagalnya perebutan Benteng Banyualit disebabkan oleh datangnya bala bantuan pasukan untuk VOC yang dipimpin oleh komandan J.E. Corp Everard A. Groen. Pasukan Wong Agung Wilis dapat dipukul mundur ke Ulupampang oleh pasukan VOC pimpinan Groen. Pada 13 Mei 1768 VOC berhasil merebut Ulupampang dan menahan para pedagang Tiongkok dan Bugis yang membantu perlawanan Wong Agung Wilis. Pasukan Wong Agung Wilis yang kehilangan sumber logistik mundur lagi hingga ke Kutha Lateng.

Pertempuran kemudian terjadi di sana pada 18 Mei 1768 dan perlawanan ini secara total dapat dipatahkan oleh VOC. Kutha Lateng dibakar rata dan Wong Agung Wilis berhasil melarikan diri ke Blimbingsari.

Akhir Perlawanan Dan Wafatnya

Setelah perlawanan ini bisa dipatahkan oleh VOC, Mas Weka lalu memberitahukan tempat persembunyian Wong Agung Wilis di Blimbingsari. Mas Weka memberitahukan hal ini dengan tujuan agar memperoleh pengampunan dari VOC dan bisa kembali menjadi penguasa Blambangan.

Akibat pengkhianatan Mas Weka ini Wong Agung Wilis berhasil ditangkap dan diasingkan. Semula VOC merencanakan untuk mengasingkan Wong Agung Wilis ke Tanjung Harapan Baik, Afrika Selatan. Namun dikarenakan pertimbangan biaya yang mahal akhirnya Wong Agung Wilis beserta sekitar 22 pengikutnya termasuk Mas Weka, Mas Anom, Prabu Djaka dan Bupati Ngantang (daerah di dekat Gunung Kelud) dikirim ke Pulau Banda, Maluku.

Namun berkat bantuan para pengikutnya dan masyarakat Pulau Banda yang bersimpati kepada Wong Agung Wilis, ia akhirnya bisa lolos dari Penjara Rosingain (tempatnya diasingkan) dan lari ke Pulau Seram dan kemudian berlayar ke Bali. Sesampainya di Bali, ia tidak melanjutkan perjuangan. Meskipun keturunan-keturunan dan pengikut-pengikutnya (Seperti Pangeran Jagapati yang terkenal pada Perang Puputan Bayu pada tahun 1773) tetap berjuang melawan VOC walau tidak berhasil. Ia meninggal di Mengwi pada 1780 karena usia yang sangat lanjut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar