Translate

Senin, 05 Desember 2016

Saya Selalu Membaca Sholawat Dengan Memakai Lafadz Sayyidina Karena Nabi Muhammad Itu Sayyid

Suatu masalah dalam agama yang nampaknya kecil tetapi pada hakikatnya besar, ialah masalah membaca “sayidina” ketika mengucapkan shalawat kepada nabi Muhammad saw.

Dikatakan kecil karena hanya menyangkut sepatah kata, tetapi besar karena masalah ini berhubungan langsung dengan pribadi nabi Muhammad Saw yang sangat dihormati.

Ulama-ulama sunny dan pengikut-pengikutnya memang dari dulu membiasakan diri  membaca “sayidina” ketika mengucapkan shalawat. Mereka bershalawat begini :

اللهما صلى على سيدنا محمد وعلى ال سيدنا محمد

Artinya :
“ya Allah, turunkanlah rahmatmu kepada “sayidina” Muhammad dan kepada keluarga “sayidina” Muhammad. 

Mereka tidak membiasakan diri membaca shalawat tanpa “sayidina” seperti :


اللهما صلى على  محمد وعلى ال  محمد 

Artinya : “ya Allah, turunkanlah rahmatmu kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad.

Kemudian dalam rangka “modernisasi agama” juga timbul fatwa-fatwa baru yang mengatakan bahwa membaca “sayidina” dalam mengucapkan shalawat kepada nabi, tidak baik. Lebih baik dihentikan.

Disebabkan fatwa baru ini terjadilah dua golongan di Indonesia, yaitu : ada golongan yang tetap membaca sayidina dan ada pula yang tidak membaca sama sekali.

Hal ini menjadi  menyolok kalau shalawat itu diucapkan dihadapan umum, seperti pada khutbah-khutbah jum’at yang didengar oleh orang banyak, karena ada khatib jum’at yang membaca sayidina dalam membaca shalawat dan ada khatib yang tidak membaca sayidina.

Orang awam yang mendengar khutbah itu terheran-heran saja, dan bertanya-tanya dalam hati : kenapa pembacaan kedua khatib ini berbeda ???

Kemudian, orang awam sebagai biasanya ada yang menanggapi secara negatif, mereka mengatakan : yang membaca sayidina adalah khatib kuno, dan yang tidak membaca sayidina adalah khatib modern.

Dengan sebab demikianlah, kita selaku orang-orang yang mengetahui sepatah dua kata tentang masalah ini harus menjelaskan kepada orang yang masih timbul keraguan dalam masalah ini.

Dalam al-Quran terdapat perintah yang secara tegas memerintahkan umat islam untuk mengagungkan rasulullah dan memanggilnya dengan panggilan penuh penghormatan. 

Dalam surat An-Nur Allah SWT berfirman:

ﻻ ﺗَﺠْﻌَﻠُﻮﺍ ﺩُﻋَﺎﺀَ ﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝِ ﺑَﻴْﻨَﻜُﻢْ ﻛَﺪُﻋَﺎﺀِ ﺑَﻌْﻀِﻜُﻢْ ﺑَﻌْﻀًﺎ ﻗَﺪْ ﻳَﻌْﻠَﻢُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﺘَﺴَﻠَّﻠُﻮﻥَ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻟِﻮَﺍﺫًﺍ ﻓَﻠْﻴَﺤْﺬَﺭِ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﺨَﺎﻟِﻔُﻮﻥَ ﻋَﻦْ ﺃَﻣْﺮِﻩِ ﺃَﻥْ ﺗُﺼِﻴﺒَﻬُﻢْ ﻓِﺘْﻨَﺔٌ ﺃَﻭْ ﻳُﺼِﻴﺒَﻬُﻢْ ﻋَﺬَﺍﺏٌ ﺃَﻟِﻴﻢٌ

Artinya:
"Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih". (QS. An-Nur: 63)

Begitupun dalam surat Al-Hujarat Allah SWT berfirman:

ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻟَﺎ ﺗَﺮْﻓَﻌُﻮﺍ ﺃَﺻْﻮَﺍﺗَﻜُﻢْ ﻓَﻮْﻕَ ﺻَﻮْﺕِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺠْﻬَﺮُﻭﺍ ﻟَﻪُ ﺑِﺎﻟْﻘَﻮْﻝِ ﻛَﺠَﻬْﺮِ ﺑَﻌْﻀِﻜُﻢْ ﻟِﺒَﻌْﺾٍ ﺃَﻥ ﺗَﺤْﺒَﻂَ ﺃَﻋْﻤَﺎﻟُﻜُﻢْ ﻭَﺃَﻧﺘُﻢْ ﻟَﺎ ﺗَﺸْﻌُﺮُﻭﻥَ

Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain, nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus sedangkan kamu tidak menyadari.” (QS. Al-Hujurat : 2)

Oleh sebab itu, orang yang menyebut nama baginda Nabi Muhammad saw secara polos tanpa takdzim, semisal "Dia Muhammad" atau "Muhammad telah berkata", maka yang demikian digolongkan sebagai orang yang tidak memiliki adab dan tatakrama.

Dalam kitab Al-Iklil Fi Istinbathit-Tanzil Imam Suyuthi mengatakan: Dengan turunnya ayat tersebut Allah melarang ummat Islam menyebut beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam atau memanggil beliau hanya dengan namanya, tetapi harus menyebut atau memanggil beliau dengan Ya Rasulullah atau Ya Nabiyullah. Menurut kenyataan sebutan atau panggilan demikian itu tetap berlaku, kendati beliau telah wafat.

Kita sepakat bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia terbaik, kekasih Tuhan semesta alam, yang akan menempati maqam mahmud, nabi yang menebarkan rahmah, rasul hidayah, junjungan kita, penghulu kita. Kita sepakat, Beliaulah sayyiduna (pemimpin kita). Semoga Allah memberikan shalawat kepada beliau.

Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menegaskan bahwa beliau adalah sayyid seluruh manusia. Beliau bersabda:

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَومَ القِيَامَةِ ، وَأَوَّلُ مَن يَنشَقُّ عَنهُ القَبرُ

“Saya adalah sayyid keturunan adam pada hari kiamat. Sayalah orang yang pertama kali terbelah kuburnya.” (HR. Muslim 2278)

Oleh Karena itu, kita wajib mengimani bahwa beliau adalah sayyiduna (pemimpin kita), sebagai ujud kita memuliakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hakikat Gelar Sayyid

Kemudian, gelar ‘sayyid’ tidak hanya dikhususkan untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kata sayyid bisa diberikan kepada para tokoh agama, diantaranya adalah para sahabat. Karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebut beberapa sahabatnya dengan ‘sayyid’. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang Hasan bin Ali bin Abi Thalib:

إِنَّ ابنِي هَذَا سَيِّدٌ

“Sesungguhnya anakku ini adalah seorang sayyid (pemimpin).” (HR. Bukhari 2704)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda kepada orang Anshar, untuk menghormati pemimpinnya, Sa’d bin Muadz radhiyallahu ‘anhu, ketika Sa’d datang, beliau menyuruh orang Anshar:

قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُم

“Sambutlah pemimpin (sayyid) kalian.” (HR. Bukhari 3073 & Muslim 1768)

Kemudian, para sahabat juga menyebut sahabat lainnya dengan sayyid. Umar bin Khatab pernah mengatakan tentang Abu Bakr dan Bilal:

أَبُو بَكرٍ سَيِّدُنَا وَأَعتَقَ سَيِّدَنَا : يعني بلال بن رباح

“Abu Bakr sayyiduna, dan telah memerdekakan sayyidana, maksud beliau adalah Bilal bin Rabah.” (HR. Bukhari 3754)

jika demikian, sangat layak bagi kita untuk menyebut manusia yang paling mulia dengan ‘sayyiduna’.

Hadis Abdullah bin Syikkhir
Sahabat Abdullah bin Syikkhir mengatakan,

انطَلَقتُ فِي وَفدِ بَنِي عَامِرٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقُلنَا : أَنتَ سَيِّدُنَا . فَقَالَ : السَّيِّدُ اللَّهُ . قُلنَا : وَأَفضَلُنَا فَضلًا ، وَأَعظَمُنَا طَوْلًا ( أَي شَرَفًا وَغِنًى ) . فَقَالَ : قُولُوا بِقَولِكُم أَو بَعضِ قَولِكُم ، وَلَا يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيطَانُ

Saya pernah menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan Bani Amir. Kami sanjung beliau dengan mengatakan: “Anda adalah sayyiduna (pemimpin kami).” Spontan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda: “Assayidu Allah (Sang Pemimpin adalah Allah).” Lalu aku sampaikan: “Anda adalah yang paling mulia dan paling utama di antara kami.” Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan: “Sampaikan perkataan kalian, dan jangan sampai setan membuat kalian menyimpang.” (HR. Abu Daud, 4806)

Hadis ini tidaklah menunjukkan larangan menggunakan gelar ‘sayyidina’ untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena konteks ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang sahabat Abdullah bin Syikkhir adalah kekhawatiran beliau ketika pujian Abdullah bisa berlebihan, sehingga mengangkat beliau sebagaimana layaknya Allah. Karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan kata ‘sayyid’ untuk Allah. Dalam rangka mengingatkan mereka bahwa ‘as-sayid’ (pemimpin) mutlak hanyalah Allah Ta’ala. Oleh karena itu, janganlah kalian berlebihan dalam memujiku, sehingga kalian mengkultuskanku sebagai layaknya Tuhan.

Penggunaaan kata sayidinina

Yang dimaksud penggunaan sayidina adalah menambahkan lafadz ‘sayidina  (سَيِّدُنَا) pada bacaan shalawat baik di dalam shalat maupun diluar shalat. Contohnya lafadz shalawat riwayat imam Muslim yang enjadi bacaan dalam tahiyyat shalat.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِى الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ. 

Menjadi :      


اَللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَرَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ فِى الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

Hukumnya

Ulama berbeda pendapat dalam masalah hukum menambahkan lafadz sayyidina dalam shalawat, baik di dalam maupun diluar shalat. Secara umum terbagi menjadi tiga pendapat ulama : (1)Yang tidak membolehkan secara mutlak, baik di dalam maupun diluar shalat, (2) Yang tidak boleh menambahkan di dalam shalat tapi boleh diluar shalat, (3) Yang membolehkan diluar maupun di dalam shalat.

1.      Yang tidak membolehkan secara mutlak.

Sebagian kecil ulama ada yang berpendapat tidak boleh secara mutlak menambahkan kata ‘sayyidina’ ketika membaca  shalawat kepada Nabi shalallahu’alaihi wassalam. Hal didasarkan kepada dzahir riwayat yang mana Nabi tidak menyukai dan mengingkari panggilan sayyid kepada beliau. Diantaranya :

Hadits dari Anas bin Malik, ia berkata :

أن رجلا قال يا محمد يا سيدنا وبن سيدنا وخيرنا وبن خيرنا فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : يا أيها الناس عليكم بتقواكم ولا يستهوينكم الشيطان أنا محمد بن عبد الله عبد الله ورسوله والله ما أحب أن ترفعوني فوق منزلتي التي أنزلني الله عز و جل

“Seorang lelaki telah datang kepada RAsulullah  seraya berkata:”Ya Muhammad! Ya Sayyidina, Ya anak Sayyidina! ,wahai yang terbaik di kalangan kami dan anak orang terbaik di kalangan kami !” Rasulullah menjawab:”Wahai manusia, hendaklah kalian bertaqwa dan jangan membiarkan syaitan mempermainkan engkau. Sesungguhnya aku adalah Muhammad bin Abdillah, hamba Allah dan Rasul-Nya dan Demi Allah bahwasanya aku tidak suka sesiapa mengangkat kedudukan aku melebihi apa yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tentukan bagiku. (HR. Ahmad)

Dan sebuah hadits lainnya,

 لاَ تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلاَةِ

”Janganlah kalian mengucapkan kalimat “sayyid” kepadaku dalam shalat.”

2.      Boleh diluar shalat tidak di dalam shalat.

Jumhur ulama berpendapat bahwa menambahkan lafadz sayidina adalah mustahab (disukai) sebagai bentuk pengagungan dan pemuliaan kepada beliau. Berdasarkan dalil berikut ini :


أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ

“saya penghulu anak adam pada hari kiamat dan bukan karena sombong.” (HR. Muslim dan Tirimidzi)

Kalangan ini membantah pendalilan kelompok yang menolak penggunaan kata sayidina dalam shalawat dengan menyatakan bahwa hadits riwayat imam Ahmad diatas bukanlah larangan menyebut Nabi shalallahu’alaihi wassalam dengan sayyid,  tapi keengganan beliau untuk dipuji berlebihan, sebagai bentuk sifat ketawadhuan.

Sedangkan bila dalam shalat, kelompok pendapat ini berpendapat lafadz sayyidina tidak digunakan shalat, karena shalat adalah ibadah mahdhah yang bersifat tawqifi (aturan dan tatacaranya harus mengikuti praktek Rasulullah). Manusia tidak diperkenankan untuk menambah bentuk bacaan dan aktivitas apapun yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu‘alaihi wasallam. Berdasarkan penegasan makna hadits :

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِى أُصَلِّى          

“Shalatlah kalian sebagaimana kamu sekalian melihat aku shalat.” (HR. al-Bukhari)

Sementara itu, tidak ada satu keterangan pun yang menyebutkan bahwa Rasulullah pernah memerintahkan untuk membaca salawat kepadanya dalam salat dengan menambahkan kata “sayyidina”.

Pendapat kedua ini yang lazim dipegang dan dinisbahkan kepada mayoritas ulama empat mazhab.

3.      Yang membolehkan diluar maupun di dalam shalat.

Sebagian ulama mutaakhirin dari mazhab Syafi’iyyah diantaranya al Imam Izz abdussalam, Ramli, Syarqawi, Qulyubi, dan sebagian ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa menambahkan kata sayyidina adalah sebuah hal yang baik ketika membaca shalawat, baik di dalam maupun di luar shalat.

Kalangan ini berdalil bahwa penambahan Sayidina adalah bentuk adab dan bukan penambahan yang dilarang dalam shalat. Berkata Ibnu Hajar al Haitami, “Dan tidak mengapa menambahkan kata “Sayyidina” sebelum lafadz Muhammad. Sedangkan hadits yang berbunyi “La Tusyyiduni Fi ash-Shalat” adalah hadits dla'if bahkan tidak memiliki dasar (hadits maudlu/palsu).”

Penjelasan dari sahabat Ibnu Mas'ud Radhiyallaahu 'Anhu. Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu mengatakan kepada orang-orang yang menuntut ilmu kepadanya:“Apabila kalian mengucapkan shalawat Nabi hendaklah kalian mengucapkan shalawat dengan sebaik-baiknya. Kalian tidak tahu bahwa sholawat itu akan disampaikan kepada beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam, karena itu ucapkanlah : ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat-Mu, rahmat-Mu dan berkah-Mu kepada Sayyidul-Mursalin (pemimpin para Nabi dan Rasulullah) dan Imamul-Muttaqin (Panutan orang-orang bertakwa)”

Pendapat Imam Ramli dalam kitab Syarhu al-Minhaj. Sebagaimana dijelaskan dalam Afdhalush Shalawat, beliau menjelaskan sebagai berikut:

قال الإمام الشمس الرملي في شرح المنهاج الأفضل الإتيان بلفظ السيادة لأن فيه الإتيان بما أمرنا به وزيادة الأخبار بالواقع الذي هو الأدب فهو أفضل من تركه. وأما حديث لا تسيدوني في الصلاة فباطل لا أصل له. كما قاله بعض متأخري الحفاظ

Artinya: "Imam Ramli dalam kitab Syarhu al-Minhaj berkata, "Yang lebih utama adalah menyertakan lafadz siyadah, karena di dalamnya terkandung pemenuhan terhadap apa yang diperintahkan dan menambah penjelasan sesuai kenyataan yang merupakan tatakrama, dan tatakrama lebih baik dilakukan daripada ditinggalkan. Adapun hadits yang menyatakan, "Janganlah menambahkan lafadz sayyidina untuk (menyebut nama)ku di dalam shalat, adlah hadist palsu, karena tidak ada dasarnya. Demikianlah para ulama ahli hadits mutaakhirin memberikan pernyataannya."

Diterangkan dalam kitab “nihayatul muhtaj” karangan ulama besar syeikh Syamsuddin ar- Ramli, yaitu suatu kitab fiqih yang mu’tamad yang dipegang teguh dalam mazhab imam syafi’I, sebagai berikut :

والافضل الاتيان بلفظ السيادة كما قاله ابن ظهيرة وصرح به جمع وبه أفتى الشارح لان فيه الاتيان بما امرنا به وزيادة الاخبار بالواقع الذي هو 
ادب فهو افضل من تركه نهاية المحتاج

Artinya : “dan yang lebih afdhal menambah lafadh “sayidina” sebagai dikatakan ibnu zahirah, dan yang dikatakan sejelas-jelasnya oleh sekumpulan ulama, dan juga yang difatwakan oleh pengarang kitab ini, karena menambahkan “sayidina” itu dalam shalawat, kita telah mengerjakan perintah nabi dan pula telah mengucapkan yang benar, yaitu berbicara secara sopan dan beradab. Membaca “saiyidina” lebih afdhal daripada tidak membaca (nihayatul muhtaj, juzu’ I, hal 509).

Pendapat Imam Ahmad Ibn Hajar. Sebagaimana dijelaskan dalam Afdhalush Shalawat bahwasanya Imam Ahmad Ibn Hajar memberikan penjelasan terkait penggunaan lafal sayyidina dalam kitabnya al-Jauhar al-Munazhzham sebagai berikut:

وقال الإمام أحمد بن حجر في الجوهر المنظم وزيادة سيدنا قبل محمد لا بأس به بل هي الأدب في حقه صلى الله عليه وسلم ولو في الصلاة أي الفريضة

Artinya: "Imam Ahmad ibn Hajar telah menyatakan dalam kitabnya yang berjudul Al-Jauhar al-Munazhzham bahwasanya menambahkan lafadz sayyidina sebelum lafadz Muhammad tidak ada salahnya, bahkan itu merupakan tatakrama memperlakukan Rasulullah shallallahu 'Alaihi wa Sallam sekalipun di dalam shalat fardhu."

Pendapat Imam Ibn Athaillah. Ibnu ‘Athaillah dalam kitabnya, Miftahul-Falah mengenai pembicaraannya soal sholawat Nabi mewanti-wanti pembacanya sebagai berikut: “Hendak- nya anda berhati-hati jangan sampai meninggalkan lafadz sayyidina dalam bersholawat, karena didalam lafadz itu terdapat rahasia yang tampak jelas bagi orang yang selalu mengamalkannya”.

Pendapat Al-Allamah Al-Bajuri. Asy-Syaikh al-‘Allamah al-Bajuri dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, menuliskan sebagai berikut:
 
الأوْلَى ذِكْرُ السِّيَادَةِ لأَنّ الأفْضَلَ سُلُوْكُ الأدَبِ، خِلاَفًا لِمَنْ قَالَ الأوْلَى تَرْكُ السّيَادَةِ إقْتِصَارًا عَلَى الوَارِدِ، وَالمُعْتَمَدُ الأوَّلُ، وَحَدِيْثُ لاَ تُسَوِّدُوْنِي فِي صَلاتِكُمْ بِالوَاوِ لاَ بِاليَاءِ بَاطِلٌ

Artinya:

“Yang lebih utama adalah mengucapkan kata “Sayyid”, karena yang lebih afdlal adalah menjalankan adab. Hal ini berbeda dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa lebih utama meninggalkan kata “Sayyid” dengan alasan mencukupkan di atas yang warid saja. Dan pendapat mu’tamad adalah pendapat yang pertama. Adapun hadits “La Tusawwiduni Fi Shalatikum”, yang seharusnya dengan “waw” (Tusawwiduni) bukan dengan “ya” (Tusayyiduni) adalah hadits yang batil”(Hasyiah al-Bajuri, jilid 1, halaman 156).

Pendapat Ibnu Hajar Al-Haitami. Asy-Syaikh al’Allamah Ibn Hajar al-Haitami dalam kitab al-Minhaj al-Qawim, halaman 160, menuliskan sebagai berikut:

وَلاَ بَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّدٍ، وَخَبَرُ"لاَ تُسَيِّدُوْنِي فِيْ الصَّلاَةِ" ضَعِيْفٌ بَلْ لاَ أَصْلَ لَهُ


Artinya:

“Dan tidak mengapa menambahkan kata “Sayyidina” sebelum Muhammad. Sedangkan hadits yang berbunyi “La Tusyyiduni Fi ash-Shalat” adalah hadits dla'if bahkan tidak memiliki dasar (hadits maudlu/palsu)”.

Hadits “La Tusayyiduni Fi ash-Shalat” secara tegas digolongkan sebagai hadits palsu atau hadits Maudlu’ karena di dalamnya terdapat kesalahan kaidah kebahasaan yang seringkali distilahkan dengan al-Lahn yang artinya, terdapat kalimat yang ditinjau dari gramatika bahasa Arab adalah sesuatu yang aneh dan asing. Perhatikan kata “Tusayyiduni”. Di dalam bahasa Arab, dasar kata “Sayyid” adalah berasal dari kata “Saada, Yasuudu”, bukan “Saada, Yasiidu”. Dengan demikian bentuk fi’il Muta'addi atau kata kerja yang membutuhkan kepada objek dari “Saada, Yasuudu” ini adalah “Sawwada, Yusawwidu”, dan bukan “Sayyada, Yusayyidu”. Dengan kata lain, -seandainya hadits di atas benar adanya-, maka bukan dengan kata “La Tasayyiduni”, tapi harus dengan kata “La Tusawwiduni”. Inilah yang dimaksud dengan al-Lahn. Sudah barang tentu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tidak akan pernah menggunakan al-Lahn semacam ini, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan seorang Arab yang sangat fasih (Afshah al-‘Arab).  Bahkan dalam pendapat sebagian ulama, mengucapkan kata “Sayyidina” di depan nama Rasulullah, baik di dalam shalat maupun di luar shalat lebih utama dari pada tidak memakainya. Karena tambahan kata tersebut termasuk penghormatan dan adab terhadap Rasulullah. Dan pendapat ini dinilai sebagai pendapat mu’tamad. 

Berkata syeikh Muhammad al-Fasi pengarang kitab “syarah dalailul khairat”, begini :

الصحيح جواز الاتيان بلفظ السيد والمولى ونحوهما مما يقتضى التشريف والتوقير والتعظيم فى الصلاة على سيدنا محمد صلى الله عليه وسلم وايثار ذالك على تركه

Artinya : “fatwa yang sahih adalah boleh menambahkan “sayidina” dan “maulana”, dan lain-lain perkataan yang menyatakan menghormati, memuliakan serta membesarkan nabi dalam mengucapkan shalawat untuk penghulu kita nabi Muhammad saw, mengucapkan lebih baik daripada meninggalkannya (sa’datut durain, hal 11).

Berkata syeikh syihabuddin al qaliyubi, pengarang dan pensyarah kitab minhaj imam nawawi, begini :

نعم ! لا يضر زيادة هيم فى عليك ولا يا نداء قبل ايها ولا وحده لا شريك له بعد اشهد ان لا اله الا الله, لورودها فى رواية كما قاله شيخنا ولا زيادة عبده مع رسوله ولا زيادة سيدنا قبل محمد. هنا وفى الصلاة عليه الاتية بل هو افضل لان فيه مع سلوك الادب امتثال الامر قليوبى

Artinya :”ya ! tidak merusakkan (dalam tasyahud) menambahkan huruf “mim” pada “’alaika”, begitu juga menambahkan “ya” sebelum “ayyuha”, begitu juga membaca “wahdahu la syarikalah” sesudah “asyhadu an la ilaha illallah”, begitu juga menambahkan “’abduhu” sebelum lafadh “warasuluhu”, begitu juga menambah “sayidina” sebelum nama “Muhammad” (dalam tasyahud atau dalam shalawat), tetapi membaca sayidina lebih afdhal karena dalam membaca “sayidina” itu kita sudah menjalankan perintah nabi serentak dengan memuliakan dan menghormati nabi. (Qaliyubi I, hal 167).

Jadi, membaca “sayidina” menurut syeikh Qalyubi adalah ibarat orang mendayung sampan, sekali mendayung sampan, dua tiga pulau terlampau, yaitu :
1)      Bershalawat menurut yang diperintahkan nabi.
2)      Menghormati dan memuliakan nabi.

Tersebut di dalam kitab Hasyiah Tuhfah karangan ‘Allamah Ibnu Qashim Al-‘Ubbadi, begini :

واعتمد الجلال المحلى اي فى غير شرحه ان الافضل زيادتها واطال فى ذالك وقال : ان حديث لا تسيدونى فى الصلاة باطل

Artinya :”dan memegang teguh Syeikh Jalaluddin Al-Mahalli akan fatwa yang menyatakan bahwasanya yang lebih afdhal adalah menambahkan “sayidina”, fatwa ini diuraikan panjang lebar oleh beliau, tetapi bukan dalam kitabnya syarah minhaj. Adapun hadist yang menyatakan :”janganlah kamu bersayidina kepadaku dalam sembahyang” adalah hadist munkar yang dibuat-buat, ya’ni hadist maudhu’ (Hasyiah Tuhfah I, hal 368).

Dari keterangan Al-‘Ubbadi ini ternyata bahwa syeikh Jalaluddin Al-Mahalli menfatwakan membaca “sayidina” adalah afdhal, dan hadist yang mengatakan “jangan bersayidina kepadaku dalam sembahyang” adalh hadist maudhu’, yaitu hadist yang dibuat-buat oleh pembohong.

Tersebut dalam kitab Hasyiyah Tuhfah juga, karangan Al-Abbadi :

واشتهرت زيادة سيدنا قبل محمد

Artinya :”dan telah masyhur fatwa yang mengatakan bahwa baik sekali ditambah perkataan “sayidina” sebelum menyebut nama nabi Muhammad. (Hasyiah Tuhfah I, hal 268).

Jelaslah bahwa fatwa membaca “sayidina” itu adalah fatwa yang sudah terkenal dikalangan ulama-ulama islam.

 Tersebut dalam kitab I’anatut thalibin :

الاولى ذكر السيادة لان الافضل سلوك الادب اعانة الطالبين

Artinya :” dan adalah yang lebih baik mengucapkan “sayidina” sebelum nama nabi, karena yang afdhal adalah bersopan terhadap nabi. (I’anatut Thalibin I, hal 169).

Kitab I’anatut Thalibin adalah suatu kitab fiqih dalam mazhab syafi’I karangan Abu Bakar Syatha, yaitu kitab syarah daripada kitab Fathul Mu’in karangan Syeikh Al-Malibari. Kitab ini dipakai dalam pelajaran fiqih pada madrasah-madrasah di Indonesia.

Nah,,, demikianlah sekelumit nash ulama-ulama dalam kitab fiqih yang mu’tamad yang dipegang teguh oleh ummat islam, baik dalam melaksanakan ibadat kepada tuhan atau dalam menjalankan hokum pengadilan.

Boleh dikatakan bahwa seluruh kitab-kitab fiqih dalam mazhab Syafi’I senada dalam masalah ini, yaitu dalam fatwa-fatwa :
a.  Yang lebih afdhal (yang lebih baik) membaca sayidina dalam shalawat.
b. Membaca sayidina itu dengan maksud menghormatidan memuliakan nabi Saw.
c.  Bersopan dan beradap terhadap Nabi Saw, adalah suatu hal yang pokok dalam agama Islam.

Para ulama dari awalnya  telah berbeda pendapat mengenai pemasalahan ini.  Sedangkan para ulama dengan pendapt berbeda-beda itu tentu dari segi kedalaman ilmu, tidak perlu diragukan lagi. Kalau kemudian kita tidak setuju dengan salah satu pendapat mereka, bukan berarti kita harus mencaci maki orang yang memiliki pilihan pendapat yag berbeda dari kita. Sebab orang-orang  hanya hanya mengikuti fatwa para ulama, selama fatwa itu lahir dari ijtihad para ulama mazhab, tidak sepantasnya kita melecehkan apalagi menvonis sebagai perbuatan bid’ah yang berujung ke neraka.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar