Translate

Kamis, 08 Januari 2015

Berdirinya Kesultanan Banjar

Kesultanan Banjar merupakan sebuah kesultanan yang terletak di daerah yang sekarang kita kenal dengan nama Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Pengaruh dari Kesultanan Demak, suku Melayu, Banjar, dan Dayak menyatu dalam sebuah kesultanan yang pernah berdiri di nusantara selama 379 tahun (1526-1905) ini.

Sejarah Berdirinya

Kesultanan Banjar adalah nama lain dari Kerajaan Banjarmasin atau Kerajaan Banjar. Kesultanan Banjar yang berkembang sampai abad ke-19 merupakan sebuah kerajaan Islam merdeka dengan nation atau bangsa Banjar sebagai bangsa dari Kesultanan Banjar.

Urang Banjar (orang Banjar) adalah nama untuk penduduk yang mendiami daerah yang sekarang menjadi Provinsi Kalimantan Selatan, meskipun penduduk Kalimantan Selatan itu bukan seluruhnya etnis Banjar asli. Setidak-tidaknya, yang disebut sebagai Urang Banjar terdiri dari etnis Melayu sebagai etnis yang dominan kemudian, ditambah unsur Dayak Bukit, Ngaju, dan Maanyan.

Kata “Banjar” berasal dari kata “Banjarmasin”. Banjarmasin adalah sebuah kampung di muara sungai Kuwin, anak sungai Barito. Muara Kuwin terletak di antara Pulau Kembang dan Pulau Alalak. Banjarmasin berasal dari dua kata, “Banjar” yang berarti kampung dan “Masih” yang berasal dari nama kepala suku Melayu yang oleh suku Dayak Ngaju disebut Oloh Masih yang maksudnya adalah Orang Melayu. Disebut Oloh Masih karena kepala sukunya bernama Patih Masih. Dengan demikian, Patih Masih berarti Patihnya Orang Melayu.

Pada perkembangan kemudian, nama Banjarmasih berubah menjadi Banjarmasin. Perubahan ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Catatan resmi dari Belanda pada tahun 1664 Masehi masih menyebut kata Banjarmasih. Tetapi pada tahun 1733 M, nama daerah ini telah berubah menjadi Banjermasig dan menjadi Banjarmasin pada tahun 1845 M.

Sejarah nama Banjarmasin berawal dari berdirinya Kesultanan Banjar. Sebelum berdirinya Kesultanan Banjar, terlebih dahulu telah berdiri Negara Daha (Kerajaan Daha) di Muara Hulak‎. Kerajaan Daha merupakan sebuah kerajaan lanjutan dari Negara Dipa (Kerajaan Dipa). Cikal bakal Kesultanan Banjarmasin berawal dari suksesi perebutan tahta raja di Kerajaan Daha. Perebutan tahta terjadi antara Raden Samudera dan Pangeran Tumenggung.

Raden Samudera merupakan cucu angkat dari Raden Sukarama, penguasa Kerajaan Daha. Sebelum Raden Sukarama wafat, beliau telah mewasiatkan tahta Kerajaan Daha untuk diserahkan kepada Raden Samudera. Tanpa disadari, wasiat ini menimbulkan bibit konflik karena salah satu anak dari Raden Sukarama yang bernama Pangeran Tumenggung diam-diam tidak sependapat dengan wasiat. sang ayah. Setelah Raden Sukarama meninggal, Pangeran Tumenggung merebut tahta dan mengakibatkan Raden Samudera terusir dari istana Kerajan Daha.

Sebagai pihak yang kalah, Raden Samudera terpaksa menyingkir ke luar dari istana Kerajaan Daha menuju ke hilir sungai Barito. Di sana Raden Samudera mendapat perlindungan dari komunitas suku Melayu yang dipimpin oleh Patih Masih. ‎Dalam komunitas suku Melayu tersebut, Raden Samudera diangkat sebagai raja. Atas usulan Patih Masih, Raden Samudera diminta untuk mencari dukungan ke Jawadwipa, yaitu ke Kesultanan Demak.

Ketika Pangeran Samudera berperang melawan pamannya, Pangeran Tumenggung raja Negara Daha, Pangeran Samudera menghadapi bahaya yang berat, yaitu kelaparan di kalangan pengikutnya. Atas usul Patih Masih, Pangeran Samudera meminta bantuan pada Kesultanan Demak yang saat itu merupakan kesultanan terkuat di pantai utara Jawa. Patih Balit diutus menghadap Sultan Demak dengan disertai 400 pengiring dan 10 buah kapal. Patih Balit menghadap Sultan Trenggono, penguasa di Kesultanan Demak, dengan membawa sepucuk surat dari Pangeran Samudera‎.

Permintaan Raden Samudera dikabulkan oleh Sultan Trenggono, dengan syarat bahwa Raden Samudera beserta para pengikutnya harus menjadikan  agama Islam sebagai Agama Resmi. Selain itu, jika nantinya berdiri kerajaan di bawah kekuasaan Raden Samudera, maka agama Islam harus dijadikan sebagai agama negara. Raden Samudera menyanggupi syarat dari Sultan Trenggono.

Demak mengirim pasukan di bawah pimpinan Khatib Dayan untuk menyerbu Kerajaan Daha. Gabungan kekuatan antara Raden Samudera, Patih Masih dan komunitas suku Melayu, beberapa komunitas dari suku Dayak, serta pasukan dari Demak berhasil menggulingkan tahta Pangeran Tumenggung. Kerajaan Daha akhirnya takluk dan berada di bawah kekuasaan Raden Samudera. Dikarenakan masih mempunyai ikatan kekerabatan, Pangeran Tumenggung tidak dibunuh melainkan diperintahkan untuk berkuasa di Batang Alai.

Syarat dari Kesultanan Demak dipenuhi oleh Raden Samudera dengan mengubah agama negara yang sebelumnya Hindu menjadi Islam. Selain itu, nama Raden Samudera juga berganti menjadi Sultan Suriansyah (Suryanallah). Status kerajaan berubah menjadi Kesultanan Banjar karena pengaruh Islam sedangkan nama rakyatnya disebut sebagai Urang Banjar (Orang Banjar). Sultan Suriansyah menjadikan tempat yang sekarang kita kenal dengan nama Banjarmasin sebagai ibukota kesultanan sekaligus sebagai bandar dagang. Perubahan status kerajaan dan sistem pemerintahan dari Kerajaan Daha menjadi Kesultanan Banjar secara langsung membuat suatu pergeseran politik, dari kerajaan di pedalaman (Muara Hulak) yang bersifat agraris menjadi kesultanan dengan corak maritim.

Akhirnya, pada tanggal 24 September 1526, berdirilah kesultanan baru di Banjarmasin dengan nama Kesultanan Banjar.‎ Sultan pertama dari Kesultanan Banjar bergelar Sultan Suriansyah.

Masuknya Pengaruh Kolonial

Banjarmasin sebagai ibukota Kesultanan Banjar mulai berkembang menjadi bandar perdagangan yang besar. Para pedagang dari berbagai suku datang ke Banjarmasin untuk mencari berbagai barang dagangan seperti lada hitam, rotan, damar, emas, intan, madu, dan kulit binatang. Khusus lada hitam, komoditi yang satu ini saat itu menjadi primadona dalam perdagangan internasional.

Selain berfungsi sebagai bandar perdagangan, penduduk di Banjarmasin (Orang Banjar) juga banyak yang berstatus sebagai pedagang. Mereka juga melakukan perdagangan sampai ke Pulau Jawa, tepatnya ke pelabuhan Bantam (Banten). Lewat perdagangan tersebut, informasi tentang bandar perdagangan diBanjarmasin sampai ke telinga orang Belanda.

Kontak awal antara para pedagang Banjar dengan Belanda terjadi sekitar tahun 1596 M, ketika Orang Banjar berdagang ke Banten. Dari sinilah Belanda tahu bahwa di Banjarmasin terdapat komoditi lada hitam yang mempunyai nilai ekonomi tinggi di pasaran internasional. Pertemuan dengan para pedagang Banjar tersebut kemudian berlanjut dengan pengiriman ekspedisi oleh Belanda ke Kesultanan Banjar pada tahun 1603 M di bawah pimpinan Admiral van Wouwijck.

Tujuan pengiriman ekspedisi tersebut adalah untuk menjalin hubungan perdagangan antara Belanda dan Sultan Mustain Billah. Pada tanggal 14 Februari 1606, Belanda kembali mengirimkan ekspedisi ke Kesultanan Banjar, tetapi ekspedisi kedua ini gagal karena semua orang Belanda yang turut dalam ekspedisi kali ini dibunuh oleh Orang Banjar.

Terbunuhnya orang-orang Belanda oleh Orang Banjar membuat Belanda semakin berambisi untuk memaksakan hubungan dagang, bahkan jika perlu menguasai Kesultanan Banjar. Maka dikirimlah ekspedisi ketiga pada tahun 1612 M. Ekspedisi kali ini diperkuat dengan pengiriman kapal perang, yaitu de Hzewind, de Brack, de Halve Maan, dan Klein van de Veer. Akibat serbuan Belanda, Sultan Mustain Billah terpaksa memindahkan pusat pemerintahan ke Martapura.

Upaya Belanda untuk menjalin hubungan dagang dengan Kesultanan Banjar lewat ekspedisi pada tahun 1612 tidak sepenuhnya berhasil. Sekitar tahun 1635, Belanda memaksa Sultan Ratu Agung bin Marhum Penembahan yang bergelar Sultan Inayatullah (1620 – 1637 M) untuk menandatangani perjanjian monopoli lada hitam dengan harga yang ditetapkan oleh Belanda. Perjanjian tersebut tidak berjalan lancar karena pada tahun 1638 orang-orang Belanda dibunuh dan kapal-kapal perangnya ditenggelamkan oleh Orang Banjar.

Pengaruh Belanda di Kesultanan Banjar

Sulitnya menjalin hubungan dengan Kesultanan Banjar membuat Belanda bersiasat untuk menunggu tanpa mengurangi gairahnya untuk menguasai perdagangan lada hitam di Kesultanan Banjar. Siasat Belanda ini menemukan waktu yang tepat ketika terjadi suksesi kepemimpinan (perebutan tahta) di Kesultanan Banjar, antara Pangeran Muhammad Aminullah, anak dari Sultan Kuning dengan Hamidullah, adik dari Sultan Kuning.

Perebutan tahta diawali ketika Sultan Kuning wafat pada tahun 1734 M dengan meninggalkan seorang putera yang masih berusia sekitar 5 tahun yang bernama Muhammad Aminullah. Sebagai pengampu tahta sementara, ditunjuk adik Sultan Kuning bernama Hamidullah, yang setelah diangkat, bergelar Sultan Tamjidillah I.

Setelah Muhammad Aminullah dewasa dan meminta tahta Kesultanan Banjar, ternyata Sultan Tamjidillah I tidak memberikan hak tersebut kepada Muhammad Aminullah. Muhammad Aminullah bahkan hanya diberikan jabatan mangkubumi dan dikawinkan dengan puteri sulung Sultan Tamjidillah I.

Belanda yang sejak awal berniat untuk menanamkan pengaruh di Kesultanan Banjar melihat peluang untuk mendekati salah satu pihak dalam perebutan tahta. Belanda akhirnya mendekati Sultan Tamjidillah I. Berkat bantuan dari Belanda, Muhammad Aminullah terus dipojokkan dengan cara “ditahan” di istana. Tetapi pada tahun 1753 M, Muhammad Aminullah berhasil melarikan diri ke Tabanio, suatu daerah yang terletak di Tanah Laut, ujung selatan dari Kalimantan Selatan yang menghadap ke barat laut Jawa.

Di tempat tersebut, Muhammad Aminullah berkomplot dengan beberapa bajak laut dan membangun markas perlawanan dengan tujuan awal mengacaukan jalur perdagangan dari dan menuju ke Kesultanan Banjar. Sebagai balasan atas jasanya dalam mendesak Muhammad Aminullah untuk keluar dari istana, Belanda memaksa Sultan Tamjidillah I untuk menandatangani perjanjian perdagangan lada hitam pada tahun 1747 M dan izin untuk mendirikan kota di Tabanio..

Belanda yang telah menanamkan pengaruh di Kesultanan Banjar, melalui siasat politiknya, juga menjalin hubungan dengan Muhamamad Aminullah yang telah bergabung dengan komplotan bajak laut di Tabanio. Belanda melihat kekuatan kelompok Muhammad Aminullah untuk memotong jalur perdagangan di Kesultanan Banjar mempunyai akibat yang cukup besar. Salah satu rencana Belanda untuk menguasai perekonomian lada hitam bisa menjadi kacau jika terus menerus mendapat gangguan dari Muhammad Aminullah. Inilah alasan Belanda untuk mendekati Muhammad Aminullah. Belanda bahkan menawarkan bantuan kepada Muhammad Aminullah untuk kembali meminta haknya sebagai pewaris tahta di Kesultanan Banjar.

Sikap Belanda dengan memihak kedua kubu dibuktikan ketika Belanda yang diwakili oleh J.A. Paraficini membuat surat perjanjian dengan Sultan Tamjidillah I pada tanggal 20 Oktober 1756. Seminggu kemudian, tepatnya pada tanggal 27 Oktober 1756, Paraficini juga membuat perjanjian dengan Muhammad Aminullah di Tabanio (Kayutangi, Tatas). Dalam pernyataannya, Paraficini menjanjikan kepada Sultan Tamjidillah bahwa Belanda akan cenderung memberikan dukungan (bantuan) kepada Sultan Tamjidillah I. Tetapi pada kesempatan lain, Paraficini juga memberikan pernyataan yang sama kepada Muhammad Aminullah.

Siasat Belanda yang didasari oleh kekhawatiran atas kekuatan Muhammad Aminullah, ternyata menemukan jawaban. Dengan laskar yang sangat besar, Muhammad Aminullah menyerang Sultan Tamjidillah I pada tanggal 2 Agustus 1759. Atas dasar serangan inilah, Sultan Tamjidillah terpaksa menyerahkan tahta Kesultanan Banjar kepada Muhammad Aminullah yang akhirnya ditabalkan sebagai sultan pada tanggal 3 Agustus 1759.     

Masa pemerintahan Sultan Muhammad Aminullah berlangsung sangat singkat karena pada tanggal 16 Januari 1971 beliau meninggal dunia. Sebagaimana halnya dengan ayahnya, Sultan Kuning, di akhir hayatnya Sultan Muhammad Aminullah juga meninggalkan dua orang putera yang masih kecil, bernama Pangeran Abdullah dan Pangeran Amir. Dengan alasan belum cukup umur untuk mengampu jabatan sultan, maka jabatan wali sultan di Kesultanan Banjar untuk sementara diserahkan kepada Pangeran Nata Dilaga, anak Sultan Tamjidillah I, yang bergelar Sultan Tahmidillah II.

Seperti ayahnya, Sultan Tahmidillah II juga memutuskan secara sepihak dengan menyatakan bahwa pengganti dirinya kelak sebagai sultan di Kesultanan Banjar bukan Pangeran Abdullah maupun Pangeran Amir, melainkan puteranya yang bernama Sulaiman (Suleman) Saidullah. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Sultan Tahmidillah II selepas sembahyang Jumat pada bulan Januari 1767. Dengan pernyataan tersebut, maka peluang bagi Pangeran Abdullah maupun Pangeran Amir untuk menduduki tahta di Kesultanan Banjar praktis telah tertutup.

Pada usia sekitar 18 tahun (1772 M), bersama seorang Belanda bernama W.A. Palm, Pangeran Abdullah berencana untuk merebut kembali tahta Kesultanan Banjar. Perencanaan tersebut ternyata memerlukan waktu yang cukup lama sampai akhirnya siap untuk dijalankan. Akan tetapi rencana penyerbuan ke Kesultanan Banjar ternyata telah tercium oleh Sultan Tahmidillah II. Dengan berpura-pura mengundang jamuan makan malam, Pangeran Abdullah diracun, dicekik, dan dibunuh oleh kaki-tangan Sultan Tahmidillah II. Kejadian ini berlangsung pada tanggal 16 Maret 1776.

Pembunuhan terhadap Pangeran Abdullah ternyata berimbas langsung terhadap Pangeran Amir. Atas dasar kebijakan agar tidak mengobarkan “pemberontakan” serupa, Sultan Tahmidillah II memaksa “secara halus” kepada Pangeran Amir untuk meninggalkan Kesultanan Banjar (Banjarmasin). Pada tahun 1782 M, Pangeran Amir meninggalkan Banjarmasin menuju ke daerah yang bernama Pasir. Di daerah tersebut terdapat paman beliau, seorang keturunan Bugis bernama Arung Turawe (Torawe). Arung Torawe adalah saudara dari ibu Pangeran Amir yang merupakan seorang puteri berdarah Bugis.

Pangeran Amir menyusun kekuatan di Pasir dengan Arung Turawe untuk merebut tahta di Kesultanan Banjar. Rencana untuk menyerang Kesultanan Banjar akhirnya dilaksanakan pada bulan Oktober 1785 M. Pasukan Pangeran Amir dan Arung Turawe yang terdiri dari sekurangnya 60 kapal mendarat di Tabanio dan mulai merebut benteng-benteng yang termasuk ke dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Banjar.

Di sisi lain, kekuatan Kesultanan Banjar mulai bertambah karena mendapat bantuan dari Belanda. Gabungan kekuatan antara Sultan Tahmidillah II dan Belanda pada akhirnya berhasil mematahkan perlawanan yang dilakukan oleh orang-orang Bugis dan Pangeran Amir dalam suatu perang pada tanggal 14 Maret 1786. Pangeran Amir akhirnya ditangkap dan diasingkan ke Ceylon (Srilanka) pada tahun 1789 M.

Setelah perang, Belanda meminta sejumlah kompensasi kepada Sultan Tahmidillah II berupa lada, emas, permata (intan), serta izin untuk mendirikan kantor di Tabanio, Hulu sungai, Pulau Kaget, dan Tatas. Perjanjian antara Kesultanan Banjar yang diwakili oleh Sultan Tahmidillah II dan Belanda yang diwakili oleh Kapten Christoffel Hoffman ditandatangani pada tanggal 13 Agustus 1787M.

Dalam perjanjian pada tanggal 13 Agustus 1787, salah satu poin penting yang menunjukkan bahwa Belanda telah menanamkan pengaruh yang kuat di Kesultanan Banjar adalah pengalihan kedaulatan atas Kesultanan Banjar kepada Belanda dan penyerahan bagian-bagian penting dari Kesultanan Banjar yang kemudian menjadi wilayah Belanda. Daerah tersebut, menurut Pasal 6 perjanjian 13 Agustus 1787, membentang dari pantai Timur Kalimantan ke barat, termasuk Pasir, Pulau Laut, Tabanio, Mendawai, Sampit, Pembuang, dan Kota Waringin dengan lingkungan sekitar dan daerah taklukannya, serta sebagian dari desa Tatas.

Pada tahun 1801 M, Sultan Tahmidillah II meninggal dunia. Sebagai pengganti kedudukan Sultan Tahmidillah II, pada tahun 1801, putera beliau bernama Sulaiman (Suleman) Saidullah ditabalkan sebagai sultan di Kesultanan Banjar dengan gelar Sultan Suleman Almutamidullah bin SultanTahmidillah II (1801 – 1825)

Pada tahun 1825 M, Sultan Suleman mengundurkan diri sebagai sultan dan digantikan oleh puteranya yang bergelar Sultan Adam Al Wasik Billah (1825-1857). Pada masa pemerintahan Sultan Adam Al Wasik Billah, dikeluarkan suatu undang-undang negara pada tahun 1835 M yang dikenal sebagai Undang-undang Sultan Adam. Di dalam Undang-undang tersebut, terlihat sangat jelas bahwa sumber hukum di dalam Kesultanan Banjar bersumberkan pada hukum Islam. Oleh karena itulah kerajaan Banjar disebut sebagai kerajaan Islam dan Urang Banjar dikenal sebagai orang yang beragama Islam.

Masa Perlawanan terhadap Belanda

Akar permasalahan perlawanan terhadap Belanda dimulai dari perebutan tahta. Perebutan ini diawali dari meninggalnya putera mahkota Kesultanan Banjar, Sultan Muda Abdurrahman, pada tahun 1852 M. Meninggalnya putera mahkota meninggalkan bibit-bibit perpecahan di Kesultanan Banjar.

Pihak-pihak yang bertikai terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu pertama, Pangeran Tamjidillah yang mempunyai kedekatan dengan Belanda. Beliau adalah anak dari hasil perkawinan antara Sultan Muda Abdurrahman dengan seorang selir bernama Nyai Besar Aminah. Kedua, Pangeran Hidayatullah yang mempunyai kedekatan dengan rakyat di Kesultanan Banjar. Beliau adalah anak dari hasil perkawinan kedua antara Sultan Muda Abdurrahman dengan Permaisuri Ratu Siti, puteri Mangkubumi Nata. Perkawinan pertama Sultan Muda Abdurrahman dengan Permaisuri Ratu Antasari, saudara perempuan Pangeran Antasari, tidak menghasilkan putera. Ketiga, Pangeran Prabu Anom, adik dari Sultan Muda Abdurrahman yang mempunyai kedekatan dengan birokrasi istana.

Dari ketiga kelompok tersebut, Pangeran Tamjidillah mempunyai kedudukan yang menguntungkan karena kedekatannya dengan Belanda. Hal ini dimanfaatkan dengan sangat baik oleh Pangeran Tamjidillah untuk menguatkan posisinya dalam menduduki jabatan sebagai sultan. Di sisi lain, Belanda juga mempunyai kepentingan di Kesultanan Banjar. Dengan diangkatnya Pangeran Tamjidillah sebagai sultan, maka secara langsung kepentingan dan pengaruh Belanda di Kesultanan Banjar akan terjamin.

Sikap Belanda dibuktikan dengan mengangkat secara sepihak Pangeran Tamjidillah sebagai putera mahkota pada tanggal 8 Agustus 1852. Sementara itu, pada tanggal 9 Oktober 1856, Pangeran Hidayatullah diangkat sebagai mangkubumi.

Pada tanggal 1 November 1857, Sultan Adam Al Wasik Billah meninggal dunia. Pada tanggal 3 November 1857, secara sepihak, Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah sebagai sultan di Kesultanan Banjar dengan gelar Sultan Tamjidillah II. Di sisi lain, untuk menghindari perebutan tahta, Belanda menangkap Pangeran Anom dan membuangnya ke Jawa .

Terpilihnya Sultan Tamjidillah II tidak secara langsung bisa meredakan ketegangan seputar perebutan tahta. Kedekatan sultan dengan Belanda diartikan sebagai keberpihakan secara total Kesultanan Banjar kepada kekuasaan Belanda. Selain itu, Sultan Tamjidillah II merupakan anak dari seorang selir yang, menurut tradisi Kesultanan Banjar, tidak berhak untuk diangkat sebagai putera mahkota, terlebih lagi menjadi sultan. Hal inilah yang menimbulkan perpecahan di antara pihak sultan, birokrasi istana (khususnya Pangeran Hidayatullah), dan rakyat. Gesekan seputar ketidakpuasan pengangkatan sultan baru akhirnya menimbulkan beberapa gerakan Muning, yaitu gerakan sosial masyarakat tani yang kemudian menjadi motor dalam Perang Banjar (1859-1905).

Pangeran Hidayatullah yang merupakan pewaris tahta yang sah, secara bertahap berusaha merebut pengaruh dari bangsawan, pemimpin daerah di wilayah Kesultanan Banjar, dan rakyat. Dukungan dari kaum bangsawan datang dari orang-orang seperti Nyai Ratu Komala Sari, isteri almarhum Sultan Adam Al Wasik Billah, dan tiga orang puteri beliau, Ratu Kasuma Negara, Ratu Aminah, dan Ratu Keramat, serta Pangeran Antasari. Dukungan dari pemimpin daerah datang dariPanembahan Muda Datu Aling, pemimpin Gerakan Muning di daerah Muning, dan Jalil, pemimpin daerah Banua Lima.

Besarnya dukungan terhadap Pangeran Hidayatullah membuat Sultan Tamjidillah II merasa terdesak. Beliau kurang mendapatkan dukungan dari Belanda karena Belanda menganggap bahwa sengketa perebutan tahta di kalangan para bangsawan di Kesultanan Banjar adalah persoalan internal yang tidak secara langsung berpengaruh terhadap kepentingan Belanda. Akhirnya, karena dilanda ketakutan akan pecahnya kudeta terhadap dirinya, Sultan Tamjidillah II melarikan diri ke Banjarmsin pada bulan April 1859.

Setelah larinya Sultan Tamjidillah II, praktis terjadi kekosongan pemerintahan di Kesultanan Banjar. Untuk mengantisipasinya, Belanda mengambil alih secara langsung pemerintahan Kesultanan Banjar dan meletakkannya di bawah pemerintahan seorang residen yang bernama Residen von Bertheim.

Sepeninggal Sultan Tamjidillah II, musuh utama gerakan Muning, kini perlawanan beralih pada Belanda selaku “dalang” dalam sengketa di Kesultanan Banjar. Dukungan kepada Pangeran Hidayatullah kini lebih ditujukan untuk menghantam Belanda agar angkat kaki dari wilayah Kesultanan Banjar. Belanda yang awalnya tidak terlalu peduli dengan masalah internal Kesultanan Banjar, kini tidak mempunyai pilihan lain karena berhadapan secara langsung dengan kekuatan yang digalang oleh Pangeran Hidayatullah.

Nama Pangeran Antasari mulai dikenal karena perseleisihan ini. Pangeran Antasari dipercaya oleh Pangeran Hidayatullah untuk menjadi penghubung antara istana, pemimpin pergerakan di daerah, dan rakyat. Beliau menghimpun dan menggerakkan para pemimpin daerah beserta pengikutnya, mulai dari Muning, Benua Lima, Tanah Dusun, sampai Pasir. Bisa disimpulkan bahwa otak perlawanan pada Perang Banjar adalah Pangeran Antasari, meskipun pucuk pimpinan tertinggi yang diakui oleh rakyat Kesultanan Banjar kala itu adalah Pangeran Hidayatullah. Keterangan ini merujuk pada pernyataan Residen von Bertheim yang menjuluki Pangeran Antasari sebagai “Pemimpin Pemberontakan”, jauh hari sebelum pertempuran pertama dalam Perang Banjar meletus pada tanggal 28 April 1859.

Pada tanggal 28 April 1859, terjadi serangan pertama yang dipimpin langsung oleh Pangeran Antasari. Dengan kekuatan sekitar 300 orang, Pangeran Antasari memimpin penyerbuan ke benteng Belanda di Pangaron. Setelah pertempuran pertama, beberapa pertempuran lain kemudian meletus, antara lain, pertempuran di benteng Gunung Lawak pada tanggal 29 September 1859, pertempuran di kubu pertahanan Munggu Tayur pada bulan Desember 1859, penenggelaman kapal Onrust di sungai Barito oleh Tumenggung Surapati, seorang tokoh dari suku Dayak Siang, pada tanggal 26 Desember 1859, dan pertempuran di Amawang pada tanggal 31 Maret 1860.

Pada tanggal 28 Januari 1862, Pangeran Hidayatullah menyerah kepada Belanda dengan alasan kesehatan. Tetapi karena Belanda bermaksud untuk membuang Pangeran Hidayatullah ke Jawa, maka beliau akhirnya melarikan diri. Hanya berselang satu bulan, tepatnya pada tanggal 28 Februari 1962, Pangeran Hidayatullah kembali menyerah kepada Belanda. Akhirnya, pada tanggal 3 Maret 1862, dengan menggunakan kapal api Bali, Pangeran Hidayatullah dan keluarga dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Beliau meninggal di tempat pembuangan pada tahun 1904.

Setelah pembuangan Pangeran Hidayatullah, pemimpin tertinggi perlawanan dalam Perang Banjar diambil alih oleh Pangeran Antasari. Pada tanggal 14 Maret 1962, Pangeran Antasari diangkat sebagai pimpinan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar). Beliau menyandang gelar Panembahan Amir Oeddin Khalifatul Mukminin.Upacara penabalan beliau dilakukan di hadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Tanah Dusun Atas, Kapuas, dan Kahayan, yaitu Kiai Adipati Jaya Raja.

Dirunut dari garis keturunan, ayah Pangeran Antasari adalah Pangeran Masohut (Mas‘ud) bin Pangeran Amir bin Muhammad Aminullah bin Sultan Kuning, sehingga jika dilihat dari garis keturunan, sebenarnya Pangeran Antasari adalah pewaris tahta Kesultanan Banjar yang sah, sebelum terjadinya “pengusiran” atas pewaris tahta Kesultanan Banjar yang sah, Muhammad Aminullah, oleh Pangeran Tamjidillah yang bergelar Sultan Tamjidillah I. Akan tetapi kedudukan Pangeran Antasari sebagai pemimpin tertinggi yang diakui oleh rakyat di Kesultanan Banjar ternyata tidak berlangsung lama. Pada tanggal 11 Oktober 1862, Pangeran Antasari dikabarkan telah meninggal dunia karena penyakit cacar dan dimakamkan di Desa Bayan Bengok, di hulu sungai Teweh.

Beliau tidak pernah tertangkap dan tidak pernah menyerah kepada Belanda. Oleh karenanya foto Pangeran Antasari sulit ditemukan. Gambar yang dikenal sekarang merupakan ilustrasi dari ciri-ciri beliau yang dihimpun dari berbagai data dan divisualkan. Salah satunya adalah karya dari sebuah tim yang dibentuk berdasarkan SK Gubernur Kdh. Tkt. I Kalsel No. 0375 Tahun 1994 tanggal 28 Desember 1994. Lukisan tersebut sekarang ditempatkan di Museum Nasional, Jakarta. Atas kegigihannya dalam melawan Belanda, Pangeran Antasari ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Presiden RI Nomor 06/TK/Tahun 1968 tanggal 27 Maret 1968.

Pengganti Pangeran Antasari adalah puteranya yang bernama Muhammad Seman. Di mata rakyat, beliau merupakan sultan Kesultanan Banjar terakhir yang mendapatkan tugas utama untuk menggantikan sang ayah dalam menjaga nyala api perlawanan dalam Perang Banjar. Perlawanan Muhammad Seman terpaksa harus terhenti karena beliau meninggal dunia dalam suatu pertempuran melawan Belanda di sungai Manawing pada tahun 1905. Beliau dimakamkan di puncak gunung di Puruk Cahu.

Dengan meninggalnya Muhammad Seman, berarti riwayat Kesultanan Banjar juga telah berakhir. Setelah Perang Banjar (1859-1905), Belanda membuat beberapa keputusan, antara lain Kesultananan Banjar dihapuskan dan seluruh bekas daerah Kesultanan Banjar dimasukkan ke dalam tatanan baru Residentie Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo. Dengan demikian berakhirlah riwayat Kesultanan Banjar yang telah berlangsung selama 379 tahun (1526-1905).

Silsilah Para Sultan

Berikut ini adalah silsilah para sultan di Kesultanan Banjar. Silsilah para sultan tersebut dirangkum dari beberapa sumber, yaitu Rosyadi et al. (1993, Hikayat Banjar dan Kotaringin), M. Suriansyah Ideham et al. (eds.) (2003, Sejarah Banjar),
Berikut ini adalah silsilah para sultan di Kesultanan Banjar:

Pangeran Samudera (1526 – 1545 M) yang kemudian bergelar Sultan Suriansyah, raja pertama yang memeluk agama Islam
Sultan Rahmatillah (1545 – 1570 M)
Sultan Hidayatillah (1570 – 1595 M)
Sultan Musta‘in Billah atau Marhum Panembahan (1595 – 1620 M) yang dikenal sebagai Pangeran Kacil. Sultan inilah yang memindahkan keraton ke Kayutangi Martapura karena keraton di Kuwin hancur diserang Belanda pada tahun 1612 M.
Ratu Agung bin Marhum Penembahan yang bergelar Sultan Inayatillah (1620 – 1637 M)
Ratu Anum bergelar Sultan Sai‘dullah (1637 – 1642 M)
Adipati Halid (Pangeran Tapesana) (1642 – 1660 M) memegang jabatan sebagai Wali Sultan karena anak Sultan Saidullah, Amirullah Bagus Kesuma, belum dewasa
Amirullah Bagus Kesuma (1660 – 1663 M). Pada tahun 1663 M, Pangeran Adipati Anum (Pangeran Suriansyah) merebut kekuasaan dan memindahkan pusat pemerintahan ke Banjarmasin, sekitar Sungai Pangeran sekarang, sementara pemerintahan di Martapura dipegang kembali oleh Adipati Tuha sampai tahun 1666 M.
Pangeran Adipati Anum (1663 – 1679 M). Beliau naik tahta pada tahun 1663 M setelah merebut kekuasaan dari Amirullah Bagus Kesuma dan memindahkan keraton ke Banjarmasin dan bergelar Sultan Agung
Sultan Tahmidillah I (1679-1700 M)
Sultan Hamidillah bergelar Sultan Kuning (1700 – 1734 M)
Pangeran Tamjid bin Sultan Amirullah Bagus Kesuma bergelar Sultan Tamjidillah I (1734 – 1759 M). Beliau naik tahta untuk menggantikan Pangeran Muhammad Aminullah, anak Sultan Kuning yang belum dewasa.
Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah bin Sultan Kuning (1759 – 1761 M)
Pangeran Nata Dilaga (1761 – 1801 M). Beliau naik tahta sebagai wali putera Sultan Muhammad Aliuddin yang belum dewasa dan memegang pemerintahan dengan gelar Sultan Tahmidillah II.
Sultan Suleman Almutamidullah bin Sultan Tahmidillah II (1801 – 1825)
Sultan Adam Al Wasik Billah bin Sultan Suleman (1825 – 1857)
Pangeran Tamjidillah II (1857 – 1859)
Pangeran Antasari yang bergelar Panembahan Amir Oeddin Khalifatul Mu‘mina (1859-1862)
Sultan Muhammad Seman (1862 – 1905)

Sistem Pemerintahan

Sejak awal didirikan, Kesultanan Banjar telah menjalin ikatan dengan Kesultanan Demak di Jawa. Hubungan tersebut merupakan salah satu sikap politik yang diambil oleh Pangeran Samudera untuk menghadapi berbagai ancaman, misalnya dari penguasa di daerah pedalaman Kalimantan Selatan. Selain itu, sikap untuk menempatkan agama Islam sebagai agama negara juga berfungsi sebagai cara untuk mempermudah Kesultanan Banjar dalam menjalin hubungan dengan berbagai kerajaan Islam di nusantara‎.

Sistem pemerintahan di Kesultanan Banjar tampaknya memiliki kemiripan dengan sistem pemerintahan dalam kerajaan-kerajaan di Jawa, di mana kraton (istana) merupakan miniatur kosmos dengan raja (sultan) sebagai inti. Pemimpin pemerintahan di Kesultanan Banjar adalah raja atau sultan. Di bawahnya terdapat Mangkubumi yang mempunyai pengaruh kekuasaan yang sangat besar karena biasanya adalah saudara raja atau sultan, mertua, dan paman.

Mangkubumi mempunyai wewenang dalam masalah administrasi negara untuk mengurusi seluruh wilayah negara dan menentukan keputusan terakhir tentang seseorang yang dijatuhi hukuman mati. Di samping itu, Mangkubumi juga mempunyai wewenang atas hak penyitaan segala harta benda milik orang yang dijatuhi hukuman. Wewenang seperti ini berlaku sampai permulaan abad ke-17.

Dalam menjalankan tugasnya, Mangkubumi didampingi oleh beberapa menteri (deputi). Menurut Rosyadi, hanya ada dua jabatan yang langsung berada di bawah Mangkubumi, yaitu penganan dan pengiwa. Di bawah penganandan pengiwa, terdapat empat orang jaksa. Di bawah jaksa, terdapat empat orangmenteri bumi. Sementara itu, di bawah menteri bumi, terdapat empat puluh ‎menteri sikap.

Akan tetapi, selain terdapat penganan danpengiwa, di bawah jabatan Mangkubumi juga terdapat gampiran atau gumpiran dan ‎panumping yang jabatannya setara dengan penganan dan pengiwa. Keempat orang tersebut mempunyai wewenang sebagai jaksa dan hakim, tetapi keputusan akhir harus selalu didasarkan pada peraturan hukum yang berlaku saat itu yang terhimpun dalam sebuah kodifikasi hukum yang disebut Kutara. Kutara merupakan pedoman hukum yang dipakai di Kesultanan Banjar, yang disusun oleh Aria Taranggana ketika beliau menjabat sebagai Mangkubumi. Aria Taranggana adalah Mangkubumi ketika Pangeran Tumenggung masih memegang tampuk kekuasaan di Kerajaan Daha dan Kesultanan Banjar belum terbentuk

Sistem pemerintahan Kesultanan Banjar juga mengatur tentang bandar perdagangan di Banjarmasin. Untuk mengatur bandar perdagangan, sultan mengangkat seorang kepala pelabuhan yang bertugas sebagai kepala bea cukai dengan jabatan yang disebut Kiai Pelabuhan. Jabatan Kiai Palabuhan tidak sama dengan syahbandar. Kiai Palabuhan mempunyai tugas hanya sebatas memungut bea cukai dan menjadi orang yang bertanggung jawab sepenuhnya di bandar Banjarmasin. Sementara itu, Syahbandar bisa berfungsi sebagai wakil sultan dalam kegiatan perdagangan dengan pedagang-pedagang dari luar negeri. Dalam hal ini, jabatan syahbandar lebih tinggi daripada Kiai Palabuhan karena syahbandar memainkan fungsi yang sangat besar sebagai duta Kesultanan Banjar.

Menurut Amir Hasan Kiai Bondan ketika Kesultanan Banjar diperintah oleh  Sultan Adam Al Wasik Billah pada permulaan abad ke-19, terjadi perubahan sistem pemerintahan. Perubahan tersebut menghasilkan beberapa jabatan yang meliputi:

Mufti atau hakim tertinggi yang bertugas sebagai pengawas pengadilan umum
Qadi atau kepala urusan hukum agama Islam

Penghulu atau hakim rendah
Lurah yang bertugas secara langsung sebagai pembantu Lalawangan (atau kepala distrik. Kedudukan Lalawangan sama seperti kepala distrik pada masa penjajahan Belanda) dan mengamati pekerajaan beberapa orang Pambakal (Kepala Kampung). Dalam menjalankan tugasnya, Lurah  dibantu oleh ‎khalifah, bilal, dan kaum
Pambakal atau kepala kampung yang menguasai beberapa anak kampung
Mantri merupakan jabatan atau gelar kehormatan yang diberikan bagi orang-orang terkemuka dan berjasa. Jabatan Mantri setara dengan kepala desa dalam wilayah yang sama dengan Lalawangan.
Tatulia Kampung atau orang terkemuka di kampung
Panakawan atau orang yang menjadi suruhan sultan dan diberikan kebebasan dari segala macam pajak dan kewajiban

Wilayah Kekuasaan

Ketika diperintah oleh Pangeran Samudera, wilayah kekuasaan Kesultanan Banjar meliputi wilayah kekuasaaan yang dulu pernah menjadi daerah taklukan Negara Daha, hingga meliputi sebagian besar wilayah Kalimantan Selatan. Pada abad ke 17- pertengahan 18, wilayah kekuasaan Kesultanan Banjar meliputi Kerajaan Berau, Kutai, Pasir, Dayak Besar, Sampit, Kotawarigin, dan Lawai‎.

Pada tahun 1845, diadakan perjanjian antara Belanda dan Kesultanan Banjar yang kala itu diperintah oleh Sultan Adam Al Wasik Billah bin Sultan Suleman (1825 – 1857). Perjanjian tersebut secara tegas membagi wilayah Kesultanan Banjar menjadi 4 bagian yang disebutkan di bawah ini.

Daerah Banjarmasin terletak di sebelah kanan sungai Martapura sampai dengan sungai Kalayan, kemudian pinggir sebelah kanan sungai Kuwin dan sepanjang sungai Barito. Di daerah ini, terletak istana Kesultanan Banjar yang telah hancur karena serangan Belanda pada tahun 1612.

Daerah Martapura meliputi daerah Sungai Riam Kanan dan Sungai Riam Kiwa.
Daerah Banua Ampat yang meliputi daerah Banua Halat, Banua Gadung, Parigi, dan Lawahan-Tambaruntung. Di daerah Lawahan ini, mengalir sungai Muning.
Daerah Banua Lima yang meliputi daerah-daerah Negara, Amuntai, Alabio, Kalua dan sungai Banar.

Dilihat dari pembagian tersebut, wilayah kekuasaan Kesultanan Banjar telah mengalami penyempitan dan hanya memerintah secara langsung di wilayah sebelah kanan sungai Martapura sampai dengan sungai Kalayan, kemudian pinggir sebelah kanan sungai Kuwin dan sepanjang sungai Barito.

Jejak Peninggalan 

Sebagai kerajaan yang besar, Kerajaan Banjar tentunya memiliki peninggalan arsitektural. Sangat disayangkan hingga Saat ini tidak ditemukan serta diketahui dimana lokasi Keraton Banjar dan bagaimana bentuk arsitekturalnya.

Sehubungan dengan hal itulah penelitian ini dilaksanakan, dan melalui kolaborasi antara sejarah, arkeologi dan arsitektur, diharapkan dapat menguak tabir yang selama ini belum ada yang mengangkat dan membicarakannya.

Diakibatkan minimnya tinggalan arkeologis, upaya melacak arsitektur Keraton Banjar sangat sulit dilaksanakan. Walaupun demikian, upaya masih dapat dilaksanakan melalui berbagai sumber, yaitu; sumber sejarah Kerajaan Negara Daha, sumber sejarah Kotawaringin, sumber sejarah Kerajaan Banjar, dan sumber dari relief candi masa kerajaan Majapahit. Berdasar pendekatan tersebut diperoleh sketsa (bersifat spekulatif) bentuk arsitektural Kraton Banjar. 

SEJARAH  KERATON  BANJAR

Berdasarkan pendapat M. Idwar Saleh (1981) menyimpulkan bahwa Kerajaan Banjar didirikan pada tahun 1526 Masehi. Selanjutnya dijelaskan bahwa pusat kerajaan menggunakan rumah Patih Masih yang kemudian dikembangkan dan diperluas menjadi istana yang terdiri dari Pagungan, Sitiluhur, dan Paseban (M. Suriansyah Ideham Dkk., 2003, 68-69).  Sultan Suriansyah dan Patih Masih mampu membangun Kerajaan Banjar menjadi sebuah kerajaan yang besar, aman-tenteram dan perekonomian masyarakatnya cukup makmur karena perdagangan dengan pihak luar dapat dilakukan dengan bebas tanpa adanya monopoli dari pihak manapun. Pengganti Sultan Suriansyah adalah Sultan Rahmatullah. 

Di bawah pemerintahan Sultan Rahmatullah Kerajaan Banjar semakin maju dan berkembang dengan wilayah kekuasaannya hampir mencakup seluruh Kalimantan. Perdagangan dengan para pedagang asing semakin berkembang pesat bahkan ada beberapa perwakilan dagang dari Cina dan Negara-negara Barat yang mendirikan kantor di Banjarmasin. Pusat Kerajaan Banjar di kawasan Kuin ini sekurang-kurangnya dapat berlangsung hingga tahun 1612. Pada tahun 1612 inilah terjadi peristiwa penyerangan yang dilakukan oleh pasukan Belanda yang menghancurkan dan membumihanguskan Keraton Banjar. Saat itu Kerajaan Banjar di bawah pemerintahan Raja Mustaqimbillah (1595 – 1620). Setelah keraton hancur dan habis terbakar, maka pusat kerajaan dipindahkan ke Teluk Selong daerah Martapura. Dalam tulisannya tentang Perang Banjar, H. Gusti Mayur (1979) menjelaskan bahwa pemindahan ibukota kerajaan Banjar ke Kayu Tangi atau Bumi Selamat, daerah Martapura kira-kira tahun 1623. Sejak itulah tidak henti-hentinya terjadi pertempuran secara sporadis antara Belanda dan rakyat Banjar.

ARSITEKTUR KERATON

Keraton, sejauh yang dipahami menunjuk pada kekuasaan raja-raja, khususnya di tanah Jawa. Secara lebih spesifik disimbolkan melalui tempat kediaman raja beserta keluarga, pembantu dekat, dan para pengawalnya. Keraton juga dipahami berdasarkan pemahaman kebahasaan (linguistik). Kata keraton/karaton  (ke-ra-tu-an) diartikan untuk menunjukan tempat kediaman ratu atau raja, atau kedaton (ke-datu-an) yaitu berarti istana/kerajaan. Makna ini serupa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu keraton berarti tempat kediaman ratu atau raja; istana raja; kerajaan. 

Sebagai kediaman raja, keraton biasanya merupakan kompleks bangunan yang dikelilingi batas-batas teritorial yang jelas. Batas-batas ini  merupakan penanda yang secara visual sangat dikenal serta sangat fungsional, antara lain sebagai benteng pertahanan. Dari aspek keruangan, terdapat batas-batas imaginer yang memisahkan peruangan keraton, sehingga membentuk konsep hierarki yang berjenjang sesuai dengan strata sosial-kemasyarakatan ataupun maksud-maksud lainnya. Dalam Kitab Negarakertagama, karangan Mpu Prapanca disebutkan sebagian gambaran istana atau keraton Kerajaan Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk (1350-1389). Disebutkan bahwa pintu gerbang Istana Majapahit berada di sebelah utara dengan dilengkapi menara pengawas, sedangkan didalamnya terdapat alun-alun. Kompleks bangunan dikelilingi tembok batu berwarna merah dan disebelah tenggara terdapat tempat kediaman raja beserta saudaranya. Selain kompleks istana terdapat juga rumah-rumah pemuka agama, tempat-tempat suci (peribadatan), balai pertemuan, lapangan upacara, kediaman pejabat, dan berbagai bangunan lainnya.

MELACAK KERATON BANJAR

Tinggalan Arkeologis Tempat yang diyakini sebagai lokasi Keraton Banjar adalah lokasi yang saat ini terdapat kompleks makam Sultan Suriansyah dan sekitarnya di Kelurahan Kuin Utara, Kota Banjarmasin. Kompleks ini dahulunya sangat tidak terawat akibat kerusakan dan padatnya perumahan penduduk.

Berdasar kondisi tersebut maka pada tahun 1982 oleh Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melaksanakan Sejarah dan Purbakala Kalimantan Selatan. Proyek pemugaran dimulai tahun 1982 hingga 1986. Kondisi situs saat itu (1982) lebih menampakkan gambaran sebagai kompleks makam, daripada gambaran dahulunya adalah bagian dari Keraton Banjar. Hal ini disebabkan sejak tahun 1954 telah dibangun sebuah bangunan cungkup serta lebih dikenal oleh masyarakat sebagai lokasi makam Sultan Suriansyah. Dalam perkembangan selanjutnya kawasan tersebut justru menjadi kompleks pemakaman umum, sehingga pada saat dilaksanakan pemugaran, beberapa kuburan umum yang ada harus dibongkar untuk dipindahkan. Dalam cungkup makam sendiri terdapat 15 buah makam, sedangkan di luar cungkup juga masih terdapat banyak makam lainnya. Ke 15 buah makam tersebut adalah makam-makam para petinggi Kerajaan Banjar. Selain 15 makam, di dalam cungkup makam juga terdapat sumur dengan ukuran diameter ±1m yang dipercaya dapat menyembuhkan penyakit.

Melihat kondisi pada saat sebelum dilakukan pemugaran, hampir tidak ada peninggalan bangunan keraton yang tersisa dan muncul di atas permukaan tanah, kecuali makam dan batu-batu yang berserakan. dilaksanakan pemugaran Dari hasil penggalian situs di tahun  1982 diperoleh adanya sebuah pola bebatuan yang menggambarkan sisa-sisa adanya 2 bagian (bagian barat dan bagian timur)  bangunan batu yang dihubungkan oleh sebuah ruang antara. Konstruksi bangunan batu (pondasi) yang ditemukan dalam kegiatan pemugaran situs Bangunan batu (pondasi) bagian barat merupakan situs makam yang di dalamnya terdapat makam Sultan Suriansyah, sedang bangunan batu bagian timur merupakan situs yang di dalamnya terdapat Makam Rahmatullah dan Makam Hidayatullah. Kedua bagian ini memiliki struktur batuan yang berbeda. 

Bagian barat memiliki struktur batu yang semua batunya menggunakan batu bata merah. Batu bata merah disusun secara bergantian antara panjang-lebar-panjang lebar-dst. Demikian juga pada lapisan-lapisan di atasnya. Batu-batu bata ini disusun tanpa menggunakan spesi. Batu bata merah ini berukuran 35x 23x 9 cm, dengan berat 3-5 Kg/biji. Pola yang membentuk ornamen geometris ini adalah sebagai berikut: dari atas ke bawah: ½ bata, ¾ bata, 1 bata, ¾ bata, ½ bata. Struktur batu pada bagian timur ini sangat berbeda, dimana terdiri dari dua jenis bata, yaitu batu bata merah (sama dengan bagian barat) dan batu bata putih. Karakter batu bata putih berbeda dengan batu bata merah, bata bata putih relatif lebih ringan dan lebih kecil ukurannya.

Kedua batu ini disusun dengan pola: Batu bata merah di bagian bawah dan batu bata putih di bagian atas. Jika ditinjau dari ilmu struktur, penggunaan bata yang lebih ringan pada bagian atas akan meringankan beban pada pondasi di bawahnya. Dan jika ditinjau dari segi ornamentalis, maka penggunaan batu bata putih ini untuk mempermudah proses ukir pada batu bagian barat  bagian timur . Batu bata merah disusun dengan pola: panjang-lebar-panjang-lebar-dst (lapisan di atasnya juga demikian). Sedang batu bata putih disusun menyesuaikan dengan jenis ornamennya. Bagian timur ini terdiri dari 2 bagian, yaitu situs bagian depan (selatan)  dan bagian belakang (utara). 

Masing-masing bagian ini memiliki dinding bagian depan yang ornamentalis. Yang membedakan kedua bagian situs ini adalah tinggi lapisan alas yang terbuat dari batu bata merah dan jenis ornamennya. Dengan kata lain di antara kedua halaman yang ada dalam bagian ini tidak sama tingginya atau terdapat perbedaan elevasi. Pada bagian selatan, lapisan bata merah terdiri dari 5 lapisan, sedang di bagian utara terdiri dari 7 lapis bata merah. Bentuk Batuan. Dari beragamnya bentuk batuan yang ada, dapat diperkirakan bagaimana proses pembuatan konstruksinya. Berdasar informasi, batu merah yang  digunakan sejenis dengan batu yang terdapat di situs Candi Agung.‎

Informasi ini dapat menunjukkan beberapa kemungkinan, (1)situs makam dibangun sejaman dengan situs Candi Agung atau setidaknya sebelum tahun 1612, (2)arsitektur situs makam dipengaruhi oleh kebudayaan Kerajaan Negara Daha (Hindu), (3)material batu bata merah, sebagaimana Candi Agung, diyakini tidak berasal dari daerah setempat, melainkan berasal dari Jawa, (4)teknologi dan keterampilan tenaga pembangunnya berasal dari Negara Daha. ‎ Hal ini sangat mungkin, sebab menurut catatan sejarah setelah Sultan Suriansyah menjadi raja, sebagian besar penduduk Daha dipindah kedaerah Kuin. 

Tidak terlihat adanya pola tetap (ikatan) dalam penyusunan batu sebagaimana lazim dikenal saat ini. Batu disusun dari potongan-potongan yang volumenya relatif sama, selanjutnya baru dibentuk (dipahat) sesuai keinginan. Potongan-potongan batu yang ada, memiliki keseragaman dalam dimensi ketebalan (tinggi), khususnya untuk bagian yang sama, namun berbeda dalam hal dimensi lebarnya (panjang dan lebar). Beberapa ikatan batu bahkan membentuk patahan yang hampir segaris, hal ini berarti konstruksi batu tidak dimaksudkan untuk menahan beban yang besar. Terlihat bahwa batu putih yang diukir dengan berbagai bentuk hanya berada di sekeliling bagian timur yang menyerupai pelataran (sisi selatan). 

Mungkin sekali bagian ini memang sebuah pelataran, yang memiliki ketinggian (elevasi) lantai lebih rendah dari lantai utama yang berada di sebelah utaranya. Beberapa bentuk batuan yang tersusun di bagian ini sangat mengindikasikan bahwa bentuk batuan yang ada merupakan sebuah bagian bawah dari konstruksi pagar keliling. Hal lain yang menunjukkan pada bagian ini terdapat pagar adalah adanya bentuk batuan yang menyerupai kaki kolom dan tersusun secara beraturan pada tiap jarak 1,5 m. Bentuk kaki kolom ini berjumlah masing-masing 5 buah pada sisi kiri dan kanan dari sumbu as. Selain di bagian selatan, bentuk kaki kolom ini juga terdapat di sisi barat dan timur. Dan di bagian tengah dari dinding selatan terdapat undakan dengan penonjolan di bagian sisi kiri dan kanannya. 

Analisis Arsitektural Keraton. 

Upaya melacak arsitektur Keraton Banjar yang ada di situs makam ini sangat sulit dilaksanakan. Bukti-bukti peninggalan berupa bagian-bagian bangunan hampir tidak ditemukan, kecuali sisa-sisa struktur bangunan batu (pondasi) dari batu bata dan batu putih yang sudah dibahas sebelumnya. Walaupun demikian, terdapat beberapa sumber di luar situs yang dapat  memberi gambaran, yaitu; sumber sejarah Kerajaan Negara Daha, sumber sejarah Kotawaringin, sumber sejarah Kerajaan Banjar, dan sumber dari relief candi masa kerajaan Majapahit. Jika dikaitkan dengan sejarah periode Kerajaan Negara Daha (sebagai pendahulu Kerajaan Banjar) kemungkinan yang dapat membantu memberi gambaran tentang Keraton Banjar adalah fakta bahwa periode Negara Daha ini sejaman dengan masa akhir kejayaan kerajaan Majapahit. 

Hal ini berarti kemungkinan bentukan bangunan keratonnya juga serupa. Jika asumsi ini benar maka kita dapat mempergunakan informasi bangunan-bangunan pada jaman Majapahit, khususnya yang terdapat pada relief candi-candi dari masa Majapahit. Dari informasi relief tersebut dapat membantu untuk merekonstruksi bentukan Keraton Banjar. Juga melalui informasi tata kota kerajaan Majapahit (pola Mandala) dapat membantu menggambarkan lingkungan Keraton Banjar. Selain itu mungkin yang lebih pasti adalah kebudayaan (khususnya tata pemerintahan) Kerajaan Negara Daha yang sangat dipengaruhi tata pemerintahan di kerajaan Jawa (Majapahit). 

Dengan melihat tata pemerintahan Kerajaan Negara Daha, maka dapat diperkirakan bentuk tata kota Keraton Banjar berdasar struktur pemerintahan. Sejarah Kotawaringin diyakini dibangun oleh keturunan raja-raja Banjar. Jika asumsi ini yang dipakai maka gambaran Keraton Banjar lebih jelas, sebab peninggalan Istana Raja Kotawaringin masih terpelihara hingga kini. Dilihat dari masanya, pembangunan Istana Kotawaringin nampaknya pada periode dimana Kerajaan Banjar telah berpindah dari Kuin. Sebagaimana bangunan Kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan, maka bangunan istana raja keraton ini dibangun pada kondisi politik kolonialis Belanda. 

Ada kemungkinan bangunan Istana Kotawaringin ini sangat berbeda jika dibandingkan keraton pada periode aman, seperti Keraton Kerajaan Negara Daha. Memang disebutkan dalam sebuah syair, bahwa Rumah Bubungan Tinggi adalah wadah (kediaman) raja-raja, dan Istana Raja Kotawaringin memiliki bentukan arsitektural yang mirip dengan rumah Bubungan Tinggi. Sumber lain yang dapat memberi gambaran adalah ilustrasi Keraton Banjar di Kayu Tangi (Martapura) dan berbagai bangunan lainnya pada masa lalu. Ilustrasi-ilustrasi tersebut bersumber dari buku-buku penulis Belanda yang juga dijadikan sumber informasi di Museum Negeri Lambung Mangkurat Banjarbaru. 

Dalam setiap ilustrasi terlihat adanya pagar tinggi yang terbuat dari batang pohon mengelilingi kompleks istana. Atap bangunan terlihat di balik pagar, dan memiliki bentuk limas persegi empat panjang. Walaupun ilustrasi tidak langsung menggambarkan Keraton Banjar di Kuin, namun dari gambaran Keraton Banjar di Kayu Tangi sudah memberi indikasi adanya kesamaan. Keraton Kayutangi merupakan Keraton Banjar yang dibangun setelah Keraton di Kuin di hancurkan Belanda. Dari semua informasi yang ada, jika dibandingkan dengan peninggalan situs  bangunan batu dimakam Sultan Suriansyah sangat berbeda sekali. Pada situs makam tidak terlihat sama sekali tanda-tanda bekas bangunan kerajaan atau rumah tinggal, juga dilingkungan sekitar kawasan Kuin dan daerah Kalimantan Selatan pada umumnya. 

Di beberapa kota seperti di Martapura terdapat sebuah kampung yang bernama Kampung Keraton, namun belum pernah dilaksanakan penelitian untuk menjelaskan hubungannya dengan keberadaan kerajaan atau Keraton Banjar. Kembali ke situs Makam Sultan Suriansyah yang ada, di masing-masing bagian pondasi/dinding batu putih yang berada di bagian selatan terdapat sejenis undakan yang diapit oleh dua bagian yang simetris. Kedua bagian tersebut, jika diamati dengan seksama menggambarkan adanya gambaran seperti sebuah gerbang. Adanya undakan (tangga) dilengkapi kaki kolom di kiri dan kanannya memperkuat dugaan ini. Selanjutnya dihubungkan dengan tipologi susunan batu yang telah diuraikan sebelumnya, dimana diyakini bahwa susunan batu putih yang ada di sisi selatan merupakan bagian bawah dari konstruksi pagar. 

Keyakinan bahwa bagian undakan ini adalah gapura dapat dilihat dari perubahan bentuk profil di sisi (kiri dan kanan) dengan di bagian tengahnya. Di bagian tengah terlihat tidak ada profil, dan hanya batas garis lurus saja, seperti batas elevasi untuk sebuah undakan (tangga). Walaupun saat ini di bagian tersebut terdapat tumpukan batu merah, namun tidak menghalangi asumsi ini. Adanya bentuk susunan batu yang merupakan bagian kaki sebuah pagar dan membentuk tekukan ke dalam menunjukkan bahwa bagian ini merupakan akses utama. 

Sebagai satu-satunya peninggalan yang masih ada di situs Kuin, keberadaan akses yang langsung menghadap ke Sungai Kuin ini memberi petunjuk bahwa sungai merupakan sarana transportasi yang penting pada masa itu. Berdasarkan hasil analisis  terhadap struktur batu yang ditemukan, dapat diperkirakan susunan batu diatas merupakan sebuah kaki gapura. 

Apabila perkiraan tersebut benar, maka dapat dipastikan bahwa struktur tersebut merupakan bagian dari sebuah pintu gerbang  sebagaimana yang ditemukan pada gerbang pertama di bagian selatan.  Jika bagian yang berundak ini merupakan gerbang atau setidaknya menyerupai sebuah jalan masuk, maka tentunya ada pagar dibagian kiri dan kanannya seperti lazimnya kompleks bangunan dari masa Hindu-Budha hingga masa awal masuknya agama Islam ke Indonesia Salah satu yang masih menjadi pertanyaan adalah apakah bangunan di pengaruhi kebudayaan Hindu (Negara Daha) ataukah sudah dipengaruhi oleh ajaran agama Islam. Hal ini disebabkan dalam penelitian ini sempat diperoleh temuan batu yang bertuliskan huruf arab, namun masih perlu bukti lain. Pengaruh dari budaya Hindu-Budha jelas, terutama dari masa Majapahit. 

Hasil budaya materi seperti bangunan dan perkakas rumah tangga dari suatu periode biasanya secara kontinuitas dilestarikan pada masa-masa berikutnya dengan perubahan-perubahan yang menyesuaikan pada budaya baru. Proses seperti ini dikenal dengan istilah akulturasi budaya. Oleh karena itu, kompleks kraton Kerajaan Banjar tersebut jelas merupakan perpaduan antara budaya Islam dan budaya sebelumnya. Kemungkinan yang lain, kompleks yang diduga sebagai Kraton Kerajaan Banjar tersebut pada masa kejayaan Negara Daha sudah berfungsi sebagai daerah perwakilan dari Kerajaan Daha, setelah Sultan Suriansyah bertahta, maka kompleks tersebut dirubah dan difungsikan sebagai istana.   

Dari berbagai data sejarah, sisa peninggalan arkeologis (baik yang terdapat dilingkungan situs makam, maupun tersebar di berbagai lokasi bekas Kraton Banjar) yang selanjutnya dianalisis sebagaimana di jelaskan sebelumnya, maka dicoba untuk membuat sebuah rekayasa bentuk Kraton Banjar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar