Translate

Minggu, 25 Januari 2015

Sejarah Kaliwiro Dan Wonosobo

Kaliwiro adalah salah satu kecamatan di bagian selatan dari kabupaten Wonosobo. Kaliwiro memiliki luas 100,08 km2. Di mana secara geografis Kaliwiro terletak ditengah  sebuah lembah pada ketinggian 250 meter – 300 meter dpl. Diapit gunung Lawang di selatan dan bukit Dempes di sebelah utara. Dengan titik koordinat S7°27.510′ lintang selatan dan E109°51.380′ bujur timur.

Hanya mencoba untuk mengungkap tabir gelap yang menyelimuti cikal bakal dan sejarah tentang Kaliwiro. Di mana selama ini, dikalangan masyarakat Kaliwiro pada khususnya, belum pernah terungkap atau mengetahui secara pasti siapa pendiri maupun jejak sejarah Kaliwiro di masa lampau.

Adapun tujuan penulisan ini dimaksudkan agar generasi yang akan datang tidak kehilangan jejak mengenai sejarah Kaliwiro. Karena Kaliwiro memiliki sejarah panjang yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan sejarah perjuangan dan perlawanan terhadap penjajah Belanda..

Disamping itu, penulisan ini dimaksudkan agar jejak sejarah mengenai Kaliwiro tidak berlandaskan pada mitos dan legenda seperti yang selama ini diyakini sebagian besar masyarakat Kaliwiro. Karena mitos maupun legenda tidak bisa dibuktikan secara ilmiah dan kebenarannya tidak bisa dipertanggung jawabkan.

Penulisan ini mencoba mencari fakta dengan merunut jejak sejarah, manuskrip maupun arsip-arsip kuno yang bersinggungan dengan keberadaan Kaliwiro..

MITOS DAN LEGENDA TENTANG KALIWIRO

Bahwasanya seperti yang sudah diketahui secara umum. Kebanyakan masyarakat Kaliwiro meyakini bahwa nama Kaliwiro berasal dari dua suku kata “Kali dan Wiro” yang merupakan nama dua sesepuh atau tokoh yang pertama kali mendiami suatu lembah yang sekarang bernama kecamatan Kaliwiro. Yaitu “Kyai Kali dan Nyai Wiro.”

Tapi keyakinan tersebut tidak memiliki fakta dan argumen yang kuat. Karena keyakinan tersebut hanya berdasar pada dongeng dari mulut ke mulut tanpa disertai penjelasan mengenai latar belakang dan asal muasal kedua tokoh yang dimaksud. Satu-satunya keyakinan yang dipercayai masyarakat Kaliwiro mengenai kedua tokoh cikal bakal Kaliwiro, adalah keberadaan dua nisan tanpa nama yang berada di TPU Manisjangan. Hanya bukti dua nisan tanpa nama tentu tidak bisa menjelaskan secara pasti mengenai sejarah awal Kaliwiro.

Jika kita mengamati dan mempelajari sastra Jawa maupun Arab, maka kita tidak akan menemukan kelaziman nama-nama orang maupun tokoh zaman dahulu yang menggunakan nama “kali” untuk nama seorang laki-laki. Dan juga tidak pernah dijumpai nama “wiro” dipakai untuk nama seorang wanita.

Biasanya nama seorang tokoh masyarakat zaman dahulu bila laki-laki maka akan lazim disebut “Kyai Ageng” dan “Nyai Ageng” untuk seorang wanita. Jadi keyakinan mengenai kedua tokoh tersebut perlu direvisi kebenarannya. Agar tidak terjadi kerancuan sejarah pada generasi mendatang. Namun bila pembaca mempunyai bukti ataupun manuskrip yang mendukung tentang keberadaan kedua tokoh tersebut ( Kyai Kali & Nyai Wiro ). 

Silahkan saudara membuat penulisan sejarah mengenai biografi kedua tokoh tersebut. Agar penulisan sejarah Kaliwiro mempunyai kajian yuridis kebenarannya. Karena semua ini bertujuan meluruskan dan membekali generasi yang akan datang dengan materi sejarah yang bisa dilacak kebenarannya. Karena semakin jauh generasi yang lahir maka akan semakin gelap pula sejarah, bila tidak segera diotentifikasi. Namun keberadaan mitos maupun legenda tentu akan semakin memperkaya nilai histories suatu daerah bila berjalan beriringan dengan fakta sejarah. Contoh : legenda Nyai Roro Kidul selalu beriringan dengan fakta sejarah berdirinya kerajaan Mataram olehPanembahan Senopati. Biarlah mitos menjadi khasanah budaya yang memperkaya budaya suatu daerah asalkan tidak melupakan fakta sejarah mengenai cikal bakal sebuah tempat bersejarah.

KETERKAITAN KADIPATEN SELOMANIK DENGAN KALIWIRO

Tidak bisa dipungkiri bahwasanya zaman dahulu pernah ada sebuah kadipaten di suatu wilayah ( sekarang Selomanik ) yang merupakan bagian dari pemerintahan kerajaan Mataram pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono V. 

Kadipaten Selomanik (sebelum dipindahkan ke Wonosobo) tidak bisa dilepaskan dari sejarah perang Jawa atau yang lebih dikenal sebagai perang Diponegoro. Karena wilayah Selomanik adalah salah satu basis perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap penjajahan Belanda melalui perang gerilya. Mengingat tekstur geografis/topografis Selomanik dan sekitarnya yang merupakan kawasan hutan lebat berbukit-bukit, maka sangat cocok untuk tempat persembunyian menghindari kejaran tentara Belanda. Untuk lebih jelas, maka di bawah ini akan kita bahas sejarah yang melatar belakangi berdirinya kadipaten Selomanik dan Kaliwiro.

A. SEJARAH KADIPATEN SELOMANIK

Selomanik berasal dari dua suku kata,  ‘Selo & Manik’. Selo berati batu dan Manik berarti permata. Dinamakan demikian karena di wilayah Selomanik terdapat dua buah batu besar yang konon menjadi pertapaan seorang tokoh Selomanik yang akan kita bahas di bawah ini. Dalam sejarah berdirinya Kadipaten Wonosobo tertulis bahwa cikal bakal Wonosobo bermula dari suatu kadipaten di wilayah Selomanik. 

Dimana bahwa pimpinan daerah Selomanik adalah Kanjeng Raden Tumenggung ( KRT ) Selomanik ke 3 yang masih tlah KRT Kertowaseso adalah seorang pengikut Pangeran Diponegoro yang setia ikut dalam perang gerilya. 

Untuk lebih jelas mengetahui sejarah siapa KRT Selomanik mari kita menelusuri latar belakang beliau. KRT Selomanik adalah seorang Tumenggung di dalam struktur pemerintahan keraton Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada saat dalam intern keraton terjadi kemelut, akibat kebijakan Patih Danurejo yang lebih condong berpihak pada VOC. KRT Selomanik menempatkan dirinya pada kubu Pangeran Diponegoro. Kemelut semakin meruncing dengan kesewenang-wenangan VOC/Belanda mencampuri urusan internal keraton, menghentikan aturan sewa tanah para bangsawan kepada pengusaha-pengusaha Belanda, mengenakan pajak tinggi terhadap rakyat. Dan yang terakhir, pembuatan jalan tembus Magelang – Jogja yang melewati dengan membuat patok-patok di atas tanah makam leluhur tanpa seizin pangeran Diponegoro. 

Pangeran Diponegoro beserta keluarga dan pengikutnya yang marah kemudian membongkar patok-patok yang melewati makam leluhur Diponegoro. Akibat tindakan Pangeran Diponegoro dan pengikutnya maka pada tanggal 20 Juli 1825 pada sore hari, VOC dan bala tentaranya menyerbu puri kediaman pangeran Diponegoro. Maka terjadilah peperangan di komplek sekitar puri, sang pangeran beserta prajurit-prajuritnya yang setia berhasil meloloskan diri dari blokade tentara Belanda. 

Selanjutnya Diponegoro menyingkir ke arah selatan, dan menyusun kekuatan di sebuah goa, yang kemudian terkenal dengan goa Selarong. Sejak saat itu Pangeran Diponegoro menyerukan perang sabil atau perang suci melawan kaum kafir Belanda. Ternyata seruan Diponegoro mendapat simpati dari banyak pangeran, bangsawan maupun rakyat Mataram yang selama ini sudah muak dengan kesewenang-wenangan Belanda yang membuat rakyat menderita. 

Seruan pangeran Diponegoro ternyata juga mendapat sambutan hangat dari kalangan ulama dan santri. Hal ini bisa mengerti, mengingat pangeran Diponegoro adalah seorang pangeran yang sejak kecil lebih menyukai kehidupan religius di pesantren, daripada hidup mewah didalam keraton. Beranjak dewasa sang pangeran banyak mempunyai sahabat dan menjalin hubungan akrab dengan kalangan ulama-ulama yang tersebar di penjuru Jawa. Jadi wajar jika seruan perang Diponegoro banyak mendapat sambutan hangat dan melibatkan laskar-laskar santri di seluruh wilayah Jawa.

Kembali kepada sejarah KRT Selomanik …. Setelah menyusun kekuatan dari goa Selarong, Pangeran Diponegoro segera memerintahkan para pengikutnya. Terutama para pangeran yang mahir dan mengetahui ilmu berperang untuk menyebar ke seluruh pedalaman Jawa. Tujuannya untuk menghimpun kekuatan dan menggalang dukungan dari para ulama/kyai di seluruh Jawa agar bangkit melawan kezaliman Belanda. 

Termasuk diantaranya kepada KRT Selomanik Pangeran Diponegoro memerintahkan kepada beliau untuk menghubungi Kyai Alwi atau Ali sahabatnya ( pada waktu itu orang Jawa biasa memanggil dan menyebut dengan “Kyai Ngalwi” ) di sebuah pesantren di lembah yang sekarang di namakan Kaliwiro. 

Kyai Alwi adalah seorang ulama yang diperkirakan berasal dari daerah Jawa Timur. Beliau datang untuk berdakwah mengajarkan dan menyebarkan agama Islam di daerah ini. Mengenai latar belakang beliau, tidak bisa diketahui secara pasti. Karena memang sangat sedikit, bahkan bisa di katakan tidak ada sejarah dan literatur yang mengetahui latar belakang sejarah Kyai Alwi. Jejak sejarah Kyai Alwi hanya tertulis sejak beliau berhubungan dengan KRT Selomanik 

Dengan segera KRT Selomanik berangkat menghubungi Kyai Alwi untuk memberitahukan seruan Diponegoro. Sampai di pesantren Kyai Alwi,beliau  mendapat dukungan untuk menghimpun dan membentuk laskar perang yang terdiri dari santri-santri Kyai Alwi. Laskar-laskar ini sangat penting dan strategis untuk menunjang perang semesta rakyat Jawa. Disamping itu KRT Selomanik juga menempatkan daerah ini sebagai basis perlawanan dan rute gerilya Diponegoro. Mengingat kondisi alam daerah ini yang berupa hutan lebat berbukit-bukit penuh lembah lembah curam sangat menunjang untuk medan gerilya. 

Sehingga akhirnya pangeran Diponegoro pun juga bergerilya dan membuat basis perlawanan di daerah ini. Kemudian untuk menjaga eksistensi pesantren dari serbuan tentara Belanda, maka Beliau membuat markas prajurit di sebuah desa di lereng gunung Lawang.  

Mengingat betapa pentingnya peran pesantren dalam pendidikan agama maupun untuk kaderisasi laskar. Maka perlu dihindarkan keterlibatan pesantren dalam konflik secara langsung, di dalam perang melawan Belanda. Penempatan markas laskar di desa lereng gunung Lawang ini kemudian menjadikan Beliau terkenal dengan sebutan Ki Ageng Selomanik. Sehingga daerah ini kemudian hari terkenal dan di namakan Selomanik. Hingga pada akhirnya atas perintah Diponegoro, KRT Selomanik  membentuk sebuah kadipaten untuk mempermudah menghimpun laskar rakyat. 

Dalam perjalanan sejarahnya, kadipaten Selomanik kemudian menjadi cikal bakal berdirinya kadipaten Wonosobo. Sampai pada akhir hayatnya KRT Selomanik  atau Ki Ageng Selomanik tetap menetap di daerah tersebut dan di makamkan di desa tersebut. Tidak diketahui secara pasti sebab musabab meninggalnya Ki Ageng Selomanik. Meninggal karena sakit atau terbunuh dalam perang..? Tidak ada sejarah yang menuliskan peristiwa itu. Makam beliau hingga sekarang masih terawat dengan baik dan menjadi salah satu agenda ziarah di setiap hari ulang tahun Wonosobo.

Makam Tumenggung Selomanik berada di desa Selomanik Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo.  Jarak dari ibukota Kecamatan + 6 km. Makam ini pertama kali dibangun oleh Jendral Poniman pada tahun 1970, kemudian direhabilitasi oleh Bupati Wonosobo Drs. Sukamto pada tahun 1982. Pada Tahun 2007, makam ini dipugar oleh Menteri Peranan Wanita Republik Indonesia Min Sugandi dengan menelan biaya tak kurang dari Rp 500.000.000,00.

Luas area makam sekitar 500 m2, sementara luas bangunan makam itu sendiri berkisar 120 m2 (lebar 10 m, panjang 12 m). Tokoh-tokoh yang berada dalam makam itu antara lain

* Ki Ageng Tumenggung Selomanik
* Ki Ageng Tumenggung Branjang Kawat
* Ki Ageng Tumenggung Udan Mimis
* Ki Ageng Tumenggung Udan Toko

Menurut juru kunci makam Tumenggung Selomanik (Khaerudin) para pejabat Negara yang pernah berkunjung ke makam Tumenggung Selomanik adalah:

* Jendral Poniman
* Harmoko (Menteri Penerangan era Pemerintahan Presiden Soeharto)
* Suparjo Rustam (Mantan Gubernur Jawa Tengah)
* Bupati Wonosobo (setiap hari jadi Wonosobo/24 Juli)

Kendati makam ini tersohor bagi para pejabat Negara, namun masyarakat umum belum banyak yang berkunjung kesana. Padahal akses jalan menuju lokasi makam cukup baik karena makam tersebut berada pada ruas jalan yang menghubungkan dua kecamatan, yakni Kecamatan Kaliwiro dan Kecamatan Kalibawang Kabupaten Wonosobo.

B. SEJARAH ASAL NAMA KALIWIRO

Dalam kurun waktu lima tahun sejak 1825 hingga 1830. Pasukan Selomanik beserta santri-santri Kyai Alwi banyak memperoleh kemenangan dalam perang gerilya. Sehingga laskar-laskar Kyai Alwi ini begitu disegani dan ditakuti tentara Belanda.

Karena begitu terkenal kehebatan dan keberanian semangat  juang laskar santri rakyat di daerah ini dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda, maka daerah ini kemudian terkenal dengan para perwira-perwira angkatan perangnya. Sehingga lambat laun daerah ini banyak disebut orang dengan sebutan daerah yang ditempati Kyai Alwi dan para santri-santrinya yang sangat Perwira.

Asal kata Kaliwiro sendiri tersusun dari kata,  “Kali dan Wiro.” Kali berasal dari kalimat nama Kyai Alwi atau Ali atau Ngalwi. Sedangkan Wiro berasal dari suku kata bahasa Jawa “Prawiro”. Yang berarti Perwiro atau Perwira. Sehingga bila digabungkan menjadi kalimat “Ngaliwiro. Karena kebiasaan orang Jawa yang sering menamakan suatu tempat dengan sebutan “kali” ( contoh : Kalibenda, Kalimantan, Kalibawang, Kalikajar, Kaliputih dll ). Maka orang Jawa pun lambat laun terbiasa menyebut Ngaliwiro berubah menjadi Kaliwiro.

Mengenai kisah perjuangan kyai Alwi atau Ali atau Ngalwi tidak ada literature yang mengisahkan atau meriwayatkan kehidupan beliau secara jelas. Itu semua mungkin karena beliau hanyalah seorang pendukung dan penasihat spritual Ki Ageng Selomanik yang berperan dari balik layar dalam memimpin laskar santri melawan penjajah Belanda. Nama dan peran beliau tenggelam dalam nama besar Ki Ageng Selomanik.

Sampai akhir hayat Kyai Ngalwi, tidak pernah ada sejarah yang menulis kehidupan beliau dan kapan beliau wafat. Satu-satunya jejak beliau hanya ada keterangan turun-temurun yang menerangkan bahwa beliau wafat dan di makamkan di Kaliwiro. Makam beliau yang bersebelahan dengan istri beliau berada di sebelah selatan ruas jalan yang menghubungkan kecamatan Kaliwiro dan kecamatan Kalibawang di sebuah bukit kecil yang sudah di bongkar  dan di ratakan pada sekitar tahun 1966 untuk dijadikan komplek perkantoran 
( sekarang BRI Unit Kaliwiro ). Selanjutnya makam beliau dipindahkan ke komplek TPU Manisjangan di selatan SDN 1 Kaliwiro sampai sekarang.

KESIMPULAN AKHIR

Setelah merunut dan membaca penulisan ini, Insya Allah semua menjadi terang. Bahwa sesungguhnya mitos legenda Kyai Kali dan Nyai Wiro sudah sedemikian jauh menyimpang dari kenyataan sejarah. Dengan mencermati nama Kyai Kali dan Nyai Wiro saja sudah terlalu janggal untuk diyakini kebenarannya.

Pertama, tidak lazim penamaan nama seseorang dalam budaya Jawa maupun Arab menggunakan kata “Kali”. Apalagi beliau adalah seorang ulama, yang pada umumnya  menggunakan nama bernafaskan Islam/Arab.

Kedua, tidak lazim dalam budaya Jawa seorang perempuan bernama “Wiro”. Kecuali si perempuan tersebut bersuamikan seorang bernama Wiro. Maka bisa di panggil ‘bu Wiro”.

Demikianlah sekelumit sejarah yang saya paparkan dengan cara meneliti melalui literatur-literatur dan menuskrip sejarah yang saya baca. Dengan cara mengkait-kaitkan keberadaan sejarah perang Diponegoro dan Ki Ageng Selomanik yang sudah tertulis dan diakui kebenaranya oleh para pakar sejarah.

 Semoga apa yang saya paparkan di atas dapat bermanfaat untuk pengetahuan generasi yang akan datang. Sehingga generasi Kaliwiro pada khususnya tidak kehilangan jati diri sejarah Kaliwiro. Dan generasi muda Kaliwiro bisa berbangga diri dan meneladani sejarah leluhur mereka yang telah berjihad dengan darah dan air mata melawan penjajahan Belanda.

Apabila penulisan yang saya paparkan di atas ini telah keliru atau kurang lengkap, maka sudi kiranya anda mengirim atau menjelaskan koreksinya. 

Ini semua bertujuan  untuk meluruskan pengetahuan sejarah anak cucu kita. Agar penulisan sejarah bisa lurus sesuai fakta dan tidak terjadi penyimpangan sejarah. Apalagi sampai kehilangan jejak sejarah penting suatu daerah… Jangan sampai hal itu terjadi pada anak cucu kita. Sebab bangsa besar adalah bangsa yang tidak melupakan dan menghargai jerih payah pahlawan bangsanya…. Wallahualam bishowab…. Kebenaran hanya milik Allah SWT.

Asal usul Wonosobo 

Wonosobo berasal dari bahasa sansekerta “ WAUNA” dan “SEBA”. WAUNA yang artinya sebuah tempat /Dusun/Desa yang derajadnya lebih tinggi daripada SIMA, dan sima sendiri merupakan dataran tertinggi daripada Desa, boleh dikata kalau sekarang sebuah Kabupaten. Seba adalah tempat bertemunya para pandita. 

Pendapat lain mengatakan Wono (hutan) sobo (jamah) secara harfiah bermakna hutan yang di jamah manusia untuk di jadikan pemukiman. 

Pada zaman dulu Dieng merupakan tempat bertemunya para pandita dari berbagai penjuru Dunia melalui pantai utara Pulau Jawa, kapal yang ditumpangi oleh para pandita merapat melalui dermaga di wilayah Kabupeten Batang, lalu menuju ke Dieng hal tersebut dibuktikan dengan adanya peninggalan purbakala antara lain: Anda Budha, Candi-candi, tingkat bawanda dan barang-barang perhiasan dari emas juga yang menuturkan bahwa Dieng merupakan pusat kebudayaan, Hindhu tertua yang bersejarah perlu sekali dilestarikan dan menurut beliau juga, kepustakaan tentang Dieng ada Leiden Belanda.

Permulaan sejarah Wonosobo ditengarai dengan datangnya 3 tokoh pada awal abad ke 17 atas dawuh Panembahan Senopati, yaitu Kyai Kolodete, Kyai Walik, Kyai Karim. Ketiganya datang ke Wonosobo dengan sanak keluarganya. Sesaat itu kondisi Wonosobo masih merupakan hamparan hutan belantara yang amat menakutkan, 2 gunung pengayom mengawasi dari timur, gunung sumbing dan Gunung sindoro, singkat kata jarang orang berani mengarungi hutan kawasan Wonosobo, bebasan “ SATO MARA KEPLAYU, JANMA MARA JATI”.


Tiga tokoh di atas diyakini keberaniannya telah berhasil mendirikan kota Wonosobo dengan peran masing-masing ialah: Kyai Walik (putra Tumenggung Kertowaseso/ Reden Burhanuddin Senepan) sebagai tokoh perancang kota, Kyai Karim (Panembahan Kasih Kramat) sebagai tokoh yang mampu meletakkan sendi-sendi dasar pemerintahan, sementara itu Kyai Kolodete ahli dalam ilmu kedigdayaan dan urusan lelembut. Namun Kyai Kolodete dikenal sebagai pennguasa di daerah Dataran Tinggi dieng.

Tonggak sejarah Kabupaten Wonosobo dimulai dengan pemerintahan yang dipimpin oleh Raden Muh. Ngarpah (محمد عرفة) sebagai Bupati pertama dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung(KRT) Setjonegoro.
Wonosobo merupakan Kabupaten yang berbatasan dengan Kabupaten Purworejo, Kabupaten Batang, Kabupaten Banjar, dan Kabupaten Kebumen.

PENETAPAN HARI JADI WONSOBO


A. Memepertimbangkan bahwa :Hari Jadi” pada hakekatnya merupakan awal daripada sejarah suatu bangsa/Negara dan sejarah itu sendiri merupakan guru abadi bagi suatu Bangsa/Negara/Daerah yang sedang membangun. Disamping itu dengan ditetapkannya Hari Jadi Kabupaten Wonosobo maka diharapkan semangat membangun darahnya dalam rangkaian satu kesatuan dengan pembangunan Negara Republik Indonesia.


B. Tanggal 24 Juli tahun 1825 merupakan hari jadi Wonosobo., berdasarkan hasil penelitian dari fakultas Sastra Indonesia UGM Yogyakarta yang dipimpin oleh Dr. Joko Surya serta hasil seminar tahun 1994 yang diikuti oleh para ahli yang terkait dan para tokoh masyarakat Wonosobo.

TITI MANGSA
Hari jadi Kabupaten wonosobo ditandai dengan Surya Sengkala “PANDHAWA MULAT HASTA NYAWIJI: yang bermakna sebagai berikut:
PANDHAWA bermakna 5
MULAT bermakna 2
HSTA bermakna 8
NYAWIJI bermakna 1
Jadi Pandawa Mulat Hasta Nyawiji (1825) bermakna menyatunya pemimpin daerah kabupaten Wonosobo disimbulkan dengan Muspika Plus ( Bupati, Kodim, Polres, Kejaksaan dan Ketua Pengadilan) merupakan satu kesatuan yang tidak bias dipisahkan dalam membangun Wonosobo.

BUPATI DARI MASA KEMASA
1. KRT SETJONEGORO PERIODE 1825 – 1832
2. Tumenggung R. MANGOENKOESOEMO PERIODE 1832 – 1857
3. Tumenggung R. KERTONEGORO PERIODE 1857 – 1863
4. Tumenggung TJOKROHADISOERDJO PEERODE 1863 – 1869
5. Tumenggung SOERJOHADIKOESOEMO PERIODE 1869 – 1898
6. R. Tumenggung SOERJOHADINEGORO PERIODE 1898 – 1919
7. Adipati R.A SOSROHADIPRODJO PERIODE 1920 – 1944
8. Bupati R. SINGGIH HADIPOERO PERIODE 1944 – 1946
9. Bupati R. SOEMINDRO PERIODE 1946 – 1950
10. Bupati R. KADRI PERIODE 1950 – 1954
11. Bupati R. OENAR SOERJOKOESOEMO PERIODE 1055 –
12. Bupati R. SANGIDI HADISOETIRTO PERIODE 1955 – 1957
13. Kepala Daerah RAPINGOEN WIMBIHADI S PERIODE 1957 – 1959
14. Bupati R. WIBOWO HELLY PERIODE 1960 – 1967
15. Bupati Kepala Daerah Drs. DARIDJAT A.N.S PERIODE 1967 – 1974
16. Pj. Bupati Kepala Daerah R. MARJABAN PERIODE 1974 – 1975
17. Bupati Kepala Daerah Drs. SOEKANTO PERIODE 1975 – 1985
18. Bupati Kepala Daerah Drs. POEDJIHARDJO PERIODE 1985 – 1990
19. Bupati Kepala Daerah H. SOEMADI PERIODE 1990 – 1995
20. Bupati Kepala Daerah Drs. H. MARGONO PERIODE 1995 – 2000
21. Bupati Drs. TRIMAWAN NUGROHADI PERIODE 2000 – 2005
22. Bupat Drs. KHOLIQ ARIF PERIODE 2005- sekarang 

2 komentar:

  1. Salam kenal kang mas . panjenenganipun asli kaliwiro nggeh??

    BalasHapus
  2. serius ini membuka wawasan saya sebagai orang asli kaliwiro. Terimakasih atas penjelasannya yang sangat-sangat bermanfaat.

    BalasHapus