Syeikh As_Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Al-Hasani.
Selama ini banyak orang mendengar nama besar beliau, cerita – cerita heroik yang terkait dengan kiprah perjuangannya yang cukup legendaries,
tulisan – tulisan yang telah dibukukan, tesis – tesis yang dibuat oleh para mahasiswa untuk sekripsi kesarjanaannya, dll akan tetapi ketika kita cermati diantara sekian tulisan atau cerita – cerita yang mengemuka tersebut sepertinya belum pernah ada yang menyentuh biografi beliau secara utuh.
Yang muncul baru pada sisi pro – kontra terhadap nilai perjuangan AOI (Angkatan Oemat Islam) Indonesia,
yaitu suatu organisasi kelaskaran perjuangan mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang pernah beliau pimpin, terlebih khusus diakhir kancah tahun 1950-an.
Saya menganggap hal seperti diatas itu tidaklah seimbang. Karena ketidaktahuan dan ketidak mengertian terhadap kepribadian Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani tentu akan dapat menjadi penyebab salah persepsi pada pola fikir dan pemahaman langkah dakwah yang diambil beliau. Mudah – mudahan walau dalam ruang yang terbatas, tulisan ini akan dapat menjadi bagian pembuka dari pengungkapan kesejarahan beliau secara utuh di masa – masa selanjutnya.
Karena membahas tentang tokoh legendaries Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani ini bak tak mengenal musim. Nama beliau cukup harum serta senantiasa hidup dihati sanubari para santri serta kaum muslimin di sepanjang belahan bumi Nusantara ini, setidak – tidaknya sampai saat kurun masa kini.
Nama dan Kelahirannya
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani adalah putera tertua dari pasangan suami istri Syeikh As_Sayid Abdurrahman bin Ibrahim Al-Hasani dengan Ummi Lathifah binti Muhammad Faqih bin Abdullah Faqih bin Iman ‘Ali bin Nur ‘Ali.
Dari abahnya mengalir darah Rasulullah Saw melalui Syeikh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani (pendiri Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu) yang merupakan keturunan ke-10 dari Syeikh As_Sayid Abdul Qadir Al-Jilani Al-Hasani.
Adapun lengkap nasabnya yang sampai ke pendiri Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu adalah ; Syeikh As_Sayid Mahfudz bin Abdurrahman bin Ibrahim (Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani) bin Muhammad bin Zaenal ‘Abidin bin Yusuf bin Abdul Hannan bin Zakariya bin Abdul Mannan bin Hasan bin Yusuf bin Jawahir bin Muhtarom bin Syeikh As_Sayid Muhammad ‘Ishom Al-Hasani (Syeikh Abdul Kahfi Al-Awwal).
Ketika lahir, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani diberi nama “Mahfudz” oleh abahnya. Sesudah mengasuh Pesantren Al-Kahfi Somalangu beliau dikenal pula dengan laqob “Romo Pusat” dan “Kyai Somalangu”. Istilah Romo adalah merupakan ungkapan bahasa Jawa halus kromo inggil yang sama artinya dengan Abuya atau Walidi dalam bahasa Arab. Adapun adanya imbuhan Pusat dibelakangnya adalah karena pada masa tersebut beliau merupakan sosok figur ulama harismatik yang menjadi pusat rujukan (Al-Imam) dari para ulama – ulama lain setidak – tidaknya untuk wilayah kabupaten Kebumen dan sekitarnya.
Sebutan itu muncul dengan sendirinya yang bermula dari kalangan masyarakat lapis bawah karena hormat mereka pada beliau. Maklum saja karena pada kurun waktu sebelum kemerdekaan RI wilayah kabupaten Kebumen adalah daerah yang masyarakatnya berada dalam socia sistem keraton Yogyakarta dan Solo.
Sementara kalangan santri sendiri memanggil beliau semenjak masih muda dengan sebutan “Syeikh Mahfudz”.
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dilahirkan di komplek Pesantren Al-Kahfi Somalangu pada malam 27 Rajab 1319 H bertepatan dengan 9 November 1901 M atau 27 Rejeb 1831 – Dal jatuh Mongso Kanem. Sebagian sesepuh Jawa ketika beliau lahir ada yang memprediksikan bahwa kelak setelah berusia diatas 30-an tahun, beliau akan jadi orang terhormat, mempunyai jiwa rela berkorban, penampilannya cukup kharismatik (simpati), mempunyai jiwa optimis, kuat dalam berprinsip, pandai bergaul, membenci kepalsuan, akan mendapat ujian berat, namun dengan kedewasaan dalam berfikir serta ketabahannya ia akan tetap mulia dicintai kawan serta disegani lawan.
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani mempunyai 3 orang saudara kandung, yaitu Syeikh As_Sayid Thoefur Al-Hasani dan Syarifah Ghonimah Al-Hasani serta 6 saudara seayah lain ibu. Adapun keenamnya tersebut ialah Sayid Quraisyin (di perjuangan AOI lebih dikenal namanya dengan sebutan KH Nur Shodiq), Sayid Qumdari, Sayid Qomari, Sayid Qushashi, Sayid Quthubi dan Syarifah ‘Aqidah.
Masa kanak – kanak dan Pendidikannya sampai usia remaja
Pada saat setelah dilahirkan, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani sudah menampakkan hal – hal yang terbilang luar biasa daripada bayi kecil pada umumnya. Wajahnya tampan dan menampakkan sinar cahaya terang. Kulitnya putih kemerah – merahan. Matanya tajam dan bercahaya kemilauan. Abahnya memohon pada Allah Swt agar kelak ia terbebas dari perbuatan – perbuatan radziiah (jelek). Oleh karenanya beliau diberi nama “Mahfudz”.
Ada ungkapan sederhana dari seoarang Habaib Ba’alawi keturunan Al-Haddad yang tinggal di Kebumen. Beliau adalah Al-Habib Ali bin Abdullah Al-Haddad. “Ketika kecil, saya sering diajak oleh abah saya ke Somalangu. Lalu saya melihat wajah Syeikh Mahfudz tidaklah seperti para Kyai pada umumnya. Sayapun bertanya kepada abah saya ; Bah, kok Syeikh Mahfudz wajahnya seperti Jama’ah (istilah yg biasa dipakai keturunan Hadhramaut apabila menyebut sesama ahlubaitin nabi Saw)?” kata Al-Habib ‘Ali bin Abdullah Al-Haddad, “Abah saya pun lalu menjawab ; Syeikh Mahfudz itu memang Jama’ah. Sama seperti kita. Kalau dia dari Al-Hasani. Sedangkan kita dari Al-Huseini”. Demikian penuturan Al-Habib ‘Ali bin Abdulah Al-Haddad
Kisah sederhana ini mengungkapkan bahwa kesaksian terhadap harismatik Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani bukanlah hanya dongeng belaka. Kenyataan itu bisa ditangkap oleh berbagai kalangan, baik kecil, muda ataupun dewasa.
Diusia dini, ia telah amat menyukai belajar ilmu – ilmu agama islam. Teman – teman yang sebayanya senantiasa diajaknya untuk mengikuti shalat berjamaah dan mengaji. Beliau sangat fasih. Ia menamatkan pelajaran Al-Qur’an dan jenis – jenis qiraahnya secara fasih dari abahnya sendiri.
Dalam usia 7 tahun, beliau telah khatam Al-Qur’an dan hafal berbagai suratan penting yang ada didalamnya. Ada yang bilang beliau setengah hafal Al-Qur’an. Berbagai dalil – dalil naqli yang terkait dengan fiqh ‘ubudiah telah banyak dihafalnya dengan baik.
Tidak hanya Al-Qur’an, hadits Al-Arba’in Lin Nawawi-pun juga telah beliau hafal. Kemana beliau pergi atau bermain, diriwayatkan Mahfudz kecil senantiasa membawa catatan – catatan kecil atau korasan kitab untuk dibaca diwaktu dia sempat.
Sehingga dikatakan, kawan – kawan sebayanya telah merasa sungkan ketika bergaul dengan Mahfudz kecil. Namun mereka tetap menyukainya karena selain menyenangkan dalam bertutur kata, Mahfudz kecil juga tidak sombong dan amat dermawan.
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani tidak pernah mengenyam pendidikan formal sekolah. Karena pada masa itu pendidikan formal hanya dimiliki oleh kalangan kaum feodalis serta neo-Belanda. Untuk mengayakan dirinya dalam hal pengetahuan umum, ia belajar kepada abahnya, mendengarkan radio serta membaca koran yang dikisahkan dapat ia peroleh seminggu sampai sebulan sekali.
Abahnya dapat pula menjadi guru pengetahuan umum selain pengetahuan agama karena sang abah juga bertempat tinggal di tanah Hejaz (sekarang Saudi Arabia). Sehingga ditingkat pergaulan beliau memang telah mempunyai wawasan pengetahuan yang cukup luas bertaraf internasional.
Ketika usianya beranjak mencapai 16 tahun, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani mulai diizinkan oleh abahnya untuk menambah bekal ilmu pengetahuan agamanya di Pondok Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur yang waktu itu diasuh oleh KH Dimyathi.
Ada beberapa kisah unik yang sempat melegenda mengiringi keberadaan Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani di pesantren Tremas. Diantaranya, ketika awal Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani masuk ke pesantren ini, ia sempat jadi bahan gunjingan dan tertawaan para santri lainnya. Pasalnya, karena Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani datang dengan mengenakan pakaian Gamis. Dan satu dua hari tinggal disana juga masih tetap memakai Gamis. Padahal kebanyakan para santri waktu itu tidak ada yang memakai baju Gamis. Bahan gunjingan ini maklum terjadi karena mereka tidak mengetahui jika Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani itu masih ahli baitin nabi Saw. Dimana tradisi mengenakan Gamis bagi ahlibait adalah dipandang sebagai mengikuti sunnah rasul. Pemakaian Gamis ini memang telah menjadi kesukaan Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani semenjak dari kecil, dirumah atau pergi bermain kemana saja.
Ceritanya, ketika beliau hendak pulang ke asrama dari berjamaah di masjid, tiba – tiba kawan – kawan santri yang juga baru lepas jamaah seperti paduan suara mentertawakan beliau. Akibat ini perasaan tidak enak hati muncul pada Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani. Beliau kemudian menuju Bencet (alat untuk menentukan waktu shalat) di depan samping masjid yang terbangun berbentuk tugu segi enam dengan tinggi kurang lebih 1,5 meter dan berdiameter 1 meter. Dibedolnya bangunan itu dengan sekali rengkuh serta dipanggulnya dan beliau letakkan sendiri persis ditengah – tengah halaman masjid.
Kemudian apa yang terjadi? Para santri yang semula sempat mentertawakan beliau tiba – tiba terdiam sehingga suasana menjadi senyap seperti tak ada suara sedikitpun. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani pun bertanya pada kawan – kawan santri, “Kenapa kalian hentikan tertawanya??” “Ayo teruskan!!”. Ternyata tak ada sebutir katapun mampu keluar dari kawan – kawan santri. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani pun ahirnya membawa kembali Bencet tadi ketempat semula dimana ia membedolnya.
Ketika Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani telah kembali keasrama, para santri yang semula berkerumun kemudian mendatangi Bencet yang telah dikembalikan ketempat asal. Ajaibnya, ternyata tugu Bencet itu terpasang seperti seolah – olah tidak pernah terjadi apa – apa padanya. Subhanallah.
Kesaksian peristiwa ini sempat direkam oleh beberapa alumni Tremas yang mengalami masa beliau di pesantren tersebut, seperti misalnya KH Asy’ari, Damesan, Magelang, KH ‘Ali Ma’shum, Krapyak, Yogyakarta, KH Hamid, Pasuruan dll.
Di Pesantren Tremas, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani tinggal selama kurang lebih 1,5 tahun. Disini beliau sempat menyusun dua buah kitab yang diberi judul : Al-Fawaidus Sharfiyah (kitab sharaf) dan Al-Burhanul Qathi’ (fiqh ‘ala madzhab As-Syafi’i). Dua buah kitab ini beliau selesaikan pada bulan Ramadhan 1336 H (Juni 1918 M). Oleh KH Dimyathi, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani juga sempat diminta untuk mengajar rekan – rekannya di serambi masjid walau beliau baru sebentar keberadaannya di pesantren tersebut.
Dari Tremas, beliau sempat singgah di Jamsaren, Solo selama beberapa hari dan kemudian singgah di Pesantren Darussalam, Watu Congol, Muntilan, Magelang. Di Watucongol, semula niat Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani hendak berguru menambah ilmu agamanya pada mbah Kyai Dalhar. Akan tetapi mbah Kyai Dalhar menolak untuk mengajar beliau. Alasannya karena mbah Kyai Dalhar merasa ilmunya masih sedikit.
Mungkin yang seperti ini hanya sikap tawadhu’nya mbah Kyai Dalhar saja pada Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani. Karena mbah Kyai Dalhar sempat berguru kepada kakek Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani selama 8 tahun.
Mbah Kyai Dalhar malah meminta Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani agar berkenan mengajar kitab yang telah disusunnya di Tremas. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani pun sempat terkejut ketika mbah Kyai Dalhar mengetahui hal ini. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani akhirnya bersedia dengan catatan mbah Kyai Dalhar berkenan untuk mendoakan beliau dan keturunannya.
Dan tak dinyana kemudian selang pada generasi cucu keduanya akhirnya terjadi pernikahan. Apakah ini hasil diantara doa keduanya? Wallahu’alam bis shawab.
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani tinggal di Watucongol kurang lebih sekitar 3 bulan. Setelah selesai mengajarkan kitab Fawaidus Sharfiyah susunannya, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani pun sempat terkejut ketika mbah Kyai Dalhar mengetahui hal ini. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani akhirnya bersedia dengan catatan mbah Kyai Dalhar berkenan untuk mendoakan beliau dan keturunannya.
Dan tak dinyana kemudian selang pada generasi cucu keduanya akhirnya terjadi pernikahan. Apakah ini hasil diantara doa keduanya? Wallahu’alam bis shawab.
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani tinggal di Watucongol kurang lebih sekitar 3 bulan. Setelah selesai mengajarkan kitab Fawaidus Sharfiyah susunannya, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani kemudian pulang kembali ke Somalangu.
Menurut keterangan KH Ahmad Abdul Haq putra mbah Kyai Dalhar, pelajaran Sharaf yang berasal dari kitab Fawaidus Sharfiyah karya Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani tersebut ahirnya menjadi pokok pelajaran sharaf di Pesantren Watu Congol dari semenjak mbah Kyai Dalhar sampai dengan saat beliau mulai mengampu pesantren.
Bahkan menurut beberapa orang murid mbah Kyai Dalhar seperti Mbah Kyai Udin, Nglamat, Muntilan, Kyai Bakrin dan Kyai Hamim Muntilan, pelajaran sharaf kitab Fawaidus Sharfiyah ini juga diajarkan di Pesantren Tegalrejo, Magelang saat KH Khudhori mulai diperintahkan mbah Kyai Dalhar untuk membuka pesantren tersebut.
Sayangnya kitab Fawaidus Sharfiyah dan Al-Burhanul Qathi’, keduanya belum masuk cetak dari semenjak dibuat oleh Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani. Dalam pembelajaran, beberapa murid mbah Kyai Dalhar, metodenya masih dengan cara menurun tulisan. Mudah – mudahan dalam tempo yang tidak terlalu lama, insyaallah kitab – kitab tersebut dapat dihadirkan kembali dihadapan para santri sudah dalam bentuk edisi cetak.
Jika dibandingkan dengan kitab Amtsilatut Tashrifiyah, Jombang karya KH Ma’shum bin Ali Maskumambang, kitab Fawaidus Sharfiyah ini terdapat sedikit perbedaan. Hanya pada beberapa bagian nampak ada kesamaan metodologi. Penulis belum mengetahui persis mana yang lebih dahulu disusun diantara keduanya. Hanya saja menurut murid – murid mbah Kyai Dalhar, saat kitab Fawaidus Sharfiyah dipakai di pesantren Watu Congol, kitab Amtsilatut Tashrifiyah belum memasyarakat dan beredar di pesantren – pesantren Dulangmas
(KH ‘Ali Ma’shum Krapyak, Yogyakarta berkata, “Mencari figure sekaliber Syeikh Mahfudz bin Abdurrahman pada zamannya sangatlah sulit. Beliau adalah orang yang – komplit – dan mempunyai Himmatun ‘Aliyah. Saya sering menghadap dan meminta taushiah pada beliau”)
Diangkat Mursyid Thariqah As-Syadziliyyah
Ayah dari Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani yaitu Syeikh As_Sayid Abdurrahman bin Ibrahim bin Muhammad bin Zaenal ‘Abidin Al-Hasani adalah seorang yang ‘alim ‘allamah dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam bidang tauhid beliau berpegang pada faham aqidah ahlussunnah wal jama’ah (Asy’ariyah wal Maturidiyyah). Dalam bidang fiqh beliau menganut madzhab Malikyah. Sedang dalam tasawuf beliau mengikuti Thariqah As-Syadziliyah.
Madzhab fiqh Malikiyah dipilih oleh Syeikh As_Sayid Abdurrahman Al-Hasani karena semenjak usia muda beliau lebih sering tinggal di Saudi Arabia (waktu itu masih bernama Hejaz). Di Indonesia beliau sering tinggal secara temporer, seimbang dengan tinggalnya beliau di Saudi. Kadang selama 6 bulan. Terkadang pula mencapai masa 1 tahun dan berangkat kembali ke Hejaz bersamaan dengan waktu berangkatnya orang – orang Indonesia menunaikan ibadah haji.
Sekalipun demikian, Syeikh As_Sayid Abdurrahman Al-Hasani menyarankan puteranya, yaitu Syeikh As_Sayid Mahfudz untuk mengambil madzhab Syafi’iyyah sebagai acuan madzhab fiqhnya. Sepertinya karena madzhab tersebut adalah madzhab yang dipakai oleh mayoritas masyarakat muslim Indonesia.
Kisah seperti ini menunjukkan bahwa dalam persoaan fiqh, ulama Somalangu cukup toleran dan dapat memahami perbedaan kerangka istinbat. Yang terpenting adalah dalam persoalan tauhid harus satu. Karena didalam fiqh fihi qaulani adalah hal biasa. Sementara itu tidak demikian halnya dalam soal aqidah.
Keadaan diatas sepertinya mempengaruhi pertimbangan sikap Syeikh As_Sayid Abdurrahman untuk mengangkat Mahfudz muda menjadi mursyid Thariqah As-Syadziliyah penerus beliau.
Tepatnya di usia yang masih 17 tahun, sepulangnya Syeikh As_Sayid Mahfudz pulang dari Pesantren Watucongol, Muntilan beliau diangkat oleh ayahnya menjadi mursyid Thariqah As-Syadziliyyah (1336 H/1918 M). Untuk mengenang peristiwa ini, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani menyusun sebuah kitab berjudul “Sirajul Qulub” (1337 H). Yaitu sebuah kitab yang berisikan sejarah Syeikh As_Sayid Abil Hasan As-Syadzili ra dan faham tasawufnya sampai dengan sanad silsilah ijazah kemursyidan yang sampai kepada beliau.
Berangkat ke tanah Haram
Kemauan besar yang terdapat dalam diri Syeikh As_Sayid Mahfudz untuk menimba ilmu sedalam mungkin sepertinya tak tercegah oleh kendala usia dan prestasi yang telah dicapainya. Pada tahun 1337 H, Syeikh As_Sayid Mahfudz berangkat ke tanah Haram (Makkah) untuk lebih memperdalam keilmuan agamanya. Beliau beramal dengan hadits Rasulullah Saw ;
Artinya, “Dari Jabir, ia berkata ; bersabda Rasulullah Saw : – Sebagian dari sumber ketaqwaan ialah belajarmu pada sesuatu yang engkau benar – benar mengetahui bahwa engkau belum mengetahui -”. (Lih, Al-Mu’jamul Kabir Lit Thabrani, bab Man Ismuhu Ibrahim, juz 6 hal 48).
Ditanah haram, beliau tinggal dirumah Syeikh As_Sayid Sa’id bin Muhammad Babashol didaerah Misfalah. Dari Syeikh As_Sayid Sa’id bin Muhammad Babashol, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani memperoleh ijazah “Sirrul Maulid”. Yaitu, suatu ijazah yang biasa berlaku di kalangan ahlulbait dimana salah satu faedahnya adalah apabila “prosesi” tersebut dilakukan sewaktu membaca maulid rasul (apapun bentuk maulidnya seperti Al-Barzanji, Ad-Diba’i, Simtuth Duror dll) maka “Nur” Rasulullah Saw akan memancar dalam majlis tersebut. Sehingga hadhirin yang mengikuti pembacaan maulid dapat merasakan kekhusukan serta mahabbah yang mendalam kepada Habibanal Musthafa Saw.
Itulah penjelasan yang penulis dapatkan dari abah penulis tentang apakah ijazah sirrul maulid tersebut. Sayid 'afifuddin (cucu Syaikh Machfudh) sendiri untuk pertama kalinya mendapat ijazah sirrul maulid dari guru beliau yang bernama Syeikh As_Sayid Masyhud bin Muhammad Al-Hasani, dimana Syeikh As_Sayid Masyhud Al-Hasani mendapatkannya dari Syeikh As_Sayid Abdurrahman bin Ibrahim Al-Hasani yaitu abah dari Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani.
Sewaktu keberangkatan pertama kalinya ketanah Haram ini, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani sempat pula bertemu dengan Syeikh Mahfudz At-Turmusi. Seorang tokoh ulama Indonesia yang sempat menjadi pengajar dan imam di Masjidil Haram. Pada beliau, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani sempat sorogan kitab syarah Bafadhol sampai khatam.
Bai’atul Wilayah
Sudah menjadi kebiasaan Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani, beiau membagi waktu malamnya menjadi dua bagian. Yang sebagian digunakan untuk tadarus serta muthala’ah kitab. Sedangkan sebagian lagi digunakan untuk berkhalwat serta mujahadah kepada Allah Swt hingga fajar menyingsing. Sahrallayal (tidak tidur malam) merupakan kebiasaan beliau. Waktu istirahat diambilnya saat qulailah, yaitu setelah shalat dzuhur sampai dengan asar.
Kisahnya, ketika beliau tengah bermujahadah di masjidil Haram sesudah menyelesaikan ibadah thawaf, tiba – tiba beliau dijumpai oleh seseorang yang mengenalkan dirinya bernama “Ibnu ‘Alwan”. Begitu berjabat tangan, tahulah Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dengan siapa beliau berhadapan. Dialah nabiyullah Khidhr as. Seorang nabiyullah yang bermohon kepada Allah Swt agar diperkenankan menjadi umat nabi Muhammad Saw. Dan oleh Allah Swt doa beliau dikabulkan.
Sesudah wafatnya Rasulullah Saw Khatamul Anbiya, maka sebagai umat Muhammad Saw yang terpilih, beliau atas izin Rasulullah Saw ditugaskan oleh Allah Swt untuk membai’at para auliya pewaris dan penerus perjuangan Habibina Muhammad Saw.
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani kemudian pergi bersama Al-Khidr dalam waktu yang cukup lama sehingga oleh teman – temannya tidak diketahui kemana dan dimana beliau menempat. Menurut Syeikh As_Sayid Masyhud bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani mendapat tarbiyah dari Al-Khidhr yang diakhiri dengan bai’atul wilayah itu lama masanya 101 hari. Sesudah tarbiyah dan bai’atul wilayah itu selesai, beliau diperintahkan oleh Al-Khidr untuk segera pulang ke Jawa, karena wilayahnya ditetapkan di Jawa (Somalangu).
Ini adalah suatu perjalanan serta pengalaman spiritual yang tak pernah dirancang serta tergambarkan oleh beliau sebelumnya. Kisah ini penulis ungkapkan dalam bentuk sederhana dengan tujuan bukan untuk kultus individu namun lebih terarah agar pembaca kedepan dapat memahami beberapa sikap yang mempengaruhi Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dalam mengambil suatu keputusan.
Menikah
Sesudah kepulangannya dari tanah Haram, yaitu mulai tahun 1338 H, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani membantu abahnya mengasuh Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu. Ketika usianya menginjak 33 tahun, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani menikah dengan Syarifah Maidatul Mardhiyah binti Abdullah Al-Muqri bin Al-Habib Muhammad bin Muhammad bin Muhsin Al-Huseini. Nasab isteri beliau ini bersambung pada sadah Ba’alawi yang tinggal di India melalui Al-Habib Burhan bin Nur ‘Alam bin Abdullah Khan, Gujarat.
Jadi masih saudara (satu nasab)dengan Sunan Ampel.
Dari pernikahan tersebut, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dikaruniai 9 orang putera – puteri. Tiga diantaranya laki – laki. Dan 6 lainnya adalah perempuan. Dari ketiga putera laki – laki hanya ada satu orang puteranya yang menyambung keturunan beliau yaitu Sayid Chanifudin.
Lima tahun sesudah menikah, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani kembali berangkat ke tanah Haram. Kurang lebih sembilan bulan lamanya beliau tinggal disana. Jalinan persahabatan dengan jama’ah ahlulbait baik yang berasal dari Yaman, Suriah, Iran, Irak, India, Pakistan dan Hadhramaut beliau rangkai waktu itu. Demikian pula yang berasal dari kawasan Asia Tenggara seperti Pattani (Thailand), Tumasik (Singapura, merdeka th 1965) dan Malaya (Malaysia, merdeka th 1957). Oleh karenanya tidak mengherankan jika sewaktu setelah beliau kembali lagi ke Somalangu banyak sekali santri – santri yang berasal dari luar negeri datang dan belajar di Pondok Pesantren Al Kahfi Somolangu
Dalam memimpin Pondok Pesantren Metode klasikal telah diterapkan pada masa kepemimpinan beliau. Ada sebuah kisah yang mungkin dapat dijadikan sebagai sebuah bagian dari cermin penerapan metodologi pendidikan ketika beliau mengasuh pesantren. Dalam memimpin Pondok Pesantren Metode klasikal telah diterapkan pada masa kepemimpinan beliau. Ada sebuah kisah yang mungkin dapat dijadikan sebagai sebuah bagian dari cermin penerapan metodologi pendidikan ketika beliau mengasuh pesantren.
Yaitu, kisah yang diceritakan oleh salah seorang warga masyarakat bernama Subahwi (75 th). “Pada masa Syeikh Mahfudz, saya belajar di madrasah pesantren tingkat ibtidaiyyah. Tempatnya di serambi masjid. Yang diajarkan, selain dari ilmu – ilmu agama, saya juga telah menerima pelajaran bahasa Belanda dan bahasa Arab. Bahasa pengantarnya memakai bahasa Melayu yang kadang diselingi dengan bahasa Jawa.
Kurang lebih 3 bulan sebelum Jepang masuk ke Jawa, beliau mengumumkan pada kami untuk belajar mata pelajaran tambahan yaitu bahasa Jepun (Jepang, pen). Yang mengajar langsung beliau sendiri. Sehingga ketika tentara Jepun datang ke Somalangu, kami dikumpulkan oleh beliau didepan masjid untuk dipertemukan dengan tentara Jepun. Dan kami dapat menjawab pertanyaan mereka dengan bahasa mereka. Akhirnya tentara Jepun itu pergi dari Somalangu dan mereka merasa senang karena anak – anak sebaya saya sudah bisa berbahasa Jepun sebelum mereka datang. Mereka tak pernah menjajah Somalangu”.
Kisah diatas menunjukkan bahwa Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani benar – benar mempunyai wawasan yang luas. Beliau bukan hanya mendalam dalam bidang agama akan tetapi juga faham ilmu politik, strategi dan penguasaan berbagai bahasa. Beberapa orang dekat beliau menceritakan, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani itu mampu menguasi bahasa asing seperti Arab, Belanda, English, Persi, Jepang dan Urdu dengan baik serta fasih.
Dalam segi pengabdian ke masyarakat serta untuk mengefektifkan penerapan ajaran islam dalam kehidupan sehari – hari, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani memberikan waktunya dua kali seminggu mengajar masyarakat awam. Mereka dibekali tuntunan aqidah ‘ala ahlissunnah wal jama’ah, fiqh dan juga tasawuf. Kegiatan ini berlangsung tiap hari Selasa dan Jum’ah Pagi. Untuk menyampaikan taushiahnya agar mudah diterima oleh masyarakat, beliau juga sangat akomodatif terhadap budaya – budaya yang tidak merusak sendi – sendi ajaran islam. Syeikh As_Sayid Mahfudz tak sungkan – sungkan menyampaikan taushiahnya dalam bentuk irama kidung macapatan Jawa. Karena nuansa psychologi masyarakat sebelum tahun 1945 adalah nuansa kultur keraton. Dan dengan cara itulah, pemahaman menjadi mudah diserap oleh masyarakat.
Untuk menyemangatkan orang agar senang beribadah dan mengaji biasanya beliau melagukan kidung – kidung pangkur. Jika meriwayatkan tarikh rasul beliau melagukan irama Dandang gula. Dan apabila mengarahkan orang untuk mencintai Allah Swt, Rasulullah Saw dan para Shalihin beliau mengalunkan irama Asmaradana.
Jadi tidak benar pemberitaan yang menyebutkan bila Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani membenci kebudayaan Jawa.
Apabila ada suatu kasus pernah terjadi beliau tidak setuju terhadap suatu tontonan tertentu, semestinya harus dianalisa dulu apa penyebabnya. Bisa saja ketidak setujuan itu terjadi karena sang pelakon membawakan suatu kisah yang dapat membahayakan pada aqidah umat. Jadi sifatnya kasuistis. Tidak dapat digeneralisasi. Karena banyak bukti, banyak sekali karya – karya beliau yang dimasukan dalam akulturasi budaya Jawa. Insyaallah kelengkapan ini akan dirilis dalam edisi buku biografi beliau secara lengkap yang dikeluarkan oleh Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu.
Membangun kultur dan perekonomian santri
Selain sebagai figure ulama, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani juga seorang tokoh produktif yang dapat menjadi suri tauladan santri untuk dapat survive dimanapun bilamana santri menempatkan diri.
Kebumen di tahun 1940-an adalah sebuah daerah yang masih cukup statis dibidang perekonomian. Tingkat pendapatan perkapita masyarakatnya masih teramat rendah. Apalagi jerat – jerat feodalisme sungguh masih membelenggu kemajuan diperbagai sektor. Standar kemampuan seseorang dibidang ekonomi masih diukur dengan seberapa besar jumlah luas lahan baik kering atau basah (pertanian) serta hewan peliharaan yang mereka miliki.
Ditengah – tengah situasi demikian Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani maju memberikan suri tauladan pada para santri, bagaimana mengatasi stagnasi ekonomi dan membangun kultur budaya yang positif dalam nuansa islami di masyarakat. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani memulai dengan menjalankan potensi – potensi ekonomi masyarakat yang belum terangkat secara maximal di Kebumen pada masa itu. Diantaranya ialah pengolahan kopra, industri minyak goreng, pemintalan benang, produksi madu, pabrik rokok, perdagangan kayu jati baik dalam sekup regional maupun ekspor (ke Malaya, Tumasik dan India) dan lain – lain. Jika salah satu roda usaha penggerak perekonomian ini telah jalan serta ada orang lain dari kalangan masyarakat yang mampu dan berkenan meniru beliau maka Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani akan memilih mengalihkan diri pada bidang lain yang belum tersentuh.
Dari sini menjadikan banyak orang semakin bersimpati pada sosok figure beliau. Karena pada endingnya, hampir para ekonom dan saudagar – saudagar ternama di Kebumen yang berada di perbagai penjuru sentra ekonomi Kebumen dipastikan punya hubungan psychology dan sociology yang baik dengan Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani. Landasan kekuatan dan pengembangan ekonomi yang dijiwai oleh semangat nasionalisme dan dibangun secara bersama – sama oleh beliau dengan tokoh – tokoh ekonom lainnya di Kebumen menyebabkan setiap pan kapitalis non pribumi gagal menjajah ekonomi masyarakat Kebumen. Oleh karena itu bukanlah hal yang mengada – ada serta sangat logis jika dikemudian hari pengaruh Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani ini dapat masuk ke seluruh pelosok desa yang ada di wilayah Kebumen. Beliau sepertinya menjadi figure fenomenal pemersatu dan kebangkitan dari masyarakat Kebumen era tahun 1940 – 1945-an.
Pelopor Iptek Santri
Kalau pembaca mau lihat – lihat majalah “Keboemen Berdjoeang” sebelum tahun 1950-an, maka pembaca akan menemukan sebuah data stastistik, di Kabupaten Kebumen waktu itu baru ada satu buah pemilik mesin penggilingan padi. Siapakah pemiliknya? Tiada ain yaitu Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani. Ya, mesin penggilingan padi yang beliau miliki saat itu bukanlah berbentuk sebagaimana mesin penggilingan padi model sekarang yang telah sarat dengan kemajuan teknologi. Mesin penggilingan padi yang dimiliki oleh Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani, beliau ciptakan sendiri teknologinya. Generator listriknya beliau peroleh dengan memakai penampang lingkaran yang digerakkan oleh tekanan pegas melalui pengolahan tenaga air. Mesin ini bila pada zaman sekarang dapat digambarkan adalah sebuah jenis mesin teknologi tepat guna yang bekerja dengan tanpa menggunakan bahan bakar minyak namun menggunakan air sumur.
Selain mampu menciptakan mesin penggilingan padi sebagai suatu cara dari Syeikh As_Sayid Mahfudz A-Hasani untuk memotivasi santri agar dapat berkarya dalam hal – hal yang bermanfaat bagi masyarakat luas, beliau juga mampu menelorkan karya – karya teknologi yang sampai sekarang belum diangkat untuk diketahui umum. Diantaranya yang penulis ketahui yaitu seperti Mesin penjernih air (semacam Water Purefier namun dapat memilah kandungan air, minyak, besi dan kuman secara tersendri), Lensa pembaca hiroglif serta data arkeologi, Alat ketik dan komunikasi (semacam Notebook namun keyboardnya terbuat dari jenis batuan) dengan menggunakan Batery listrik alam dan lain – lain.
Aktif menyusun strategi kemerdekaan
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani selain mengasuh pesantren beliau juga aktif berperan serta menyusun strategi kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah. Keadaan ini timbul tak lepas dari hubungan akrab persahabatan yang dijalin beliau dengan para ulama dan keprihatinannya terhadap keadaan bangsa.
Tokoh yang sering berhubungan dengan beliau dalam masalah perjuangan kemerdekaan ini adalah KH Hasyim Asy’ari, Tebu Ireng, Jombang sekaligus pendiri organisasi Nahdhatul ‘Ulama. Antara keduanya sering saling mengunjungi dan berkirim surat. Dalam pustaka di Ndalem terdapat beberapa naskah surat – surat asli yang berasal dari KH Hasyim Asy’ari kepada Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani.
Insyaallah dalam buku sejarah biografi beliau yang dikeluarkan oleh Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu akan diungkap serta diuraikan secara lengkap. Jadi hubungan baik antara Tebu Ireng dengan Somalangu itu terjalin bukan dimulai dari Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dengan KH Wahid Hasyim (mantan Menag) akan tetapi justru dari beliau dengan KH Hasyim Asy’ari.
Bahwasanya antara KH Wahid Hasyim berhubungan baik dengan Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani memang benar. Akan tetapi jalinan persahabatan itu dimulai dari ayah KH Wahid Hasyim. Bukan karena KH Wahid Hasyim pernah bersama satu kurun Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani di Pesantren Tremas. Sebab Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani mondok di Tremas tahun 1335 H/1917 M – 1336 H/1918 M, sementara KH Wahid Hasyim dilahirkan pada 1 Juni 1914 M.
Jadi pada saat Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani telah pulang dari Tremas, KH Wahid Hasyim baru berusia 4 tahun. Jelas mereka tidak pernah satu kurun di Tremas, walau keduanya adalah sama – sama alumnus pesantren tersebut. Mudah – mudahan tulisan saya ini dapat menjadi koreksi pada tulisan – tulisan yang mengulas hubungan keduanya.
Perkenalan antara Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dengan KH Hasyim Asy’ari dimulai saat ada pertemuan akbar antara para alim ulama di Ampel, Surabaya menjelang tercetusnya resolusi Jihad pertama. Beliau adalah orang pertama yang mengusulkan agar KH Hasyim Asy’ari ditunjuk sebagai pemimpin dan deklarator resolusi jihad. Hujah – hujah yang beliau kemukakan sangat menarik perhatian peserta pertemuan.
Sehingga sesudah itu antara Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dengan KH Hasyim Asy’ari terjalin hubungan yang cukup akrab. Setelah selesai pertemuan Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani diminta oleh KH Hasyim Asy’ari untuk menemani beliau berkhalwat selama 40 hari di masjid Ampel, Surabaya untuk memohon petunjuk pada Allah Swt terhadap langkah – langkah tehnis yang sebaiknya dikerjakan.
Mendirikan badan kelasykaran AOI
AOI adalah singkatan dari Angkatan Oemat Islam Indonesia. Merupakan sebuah badan kelasykaran perjuangan yang dibentuk dan didirikan dengan tujuan untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Badan kelasykaran ini beranggotakan berbagai elemen umat islam yang ada diwilayah Indonesia.
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, penjajah Belanda yang dibackup oleh Sekutu ingin tetap menguasai Indonesia. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani sebagai seorang tokoh ulama berpengaruh didaerah wilayah Dulangmas (Kedu, Magelang dan Banyumas) waktu itu diminta oleh berbagai pihak untuk berkenan memimpin sebuah badan kelasykaran perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI. Dimana pada saat tersebut telah beredar khabar secara luas bahwa Belanda akan datang kembali ke Indonesia bersama Sekutu sebagai pengganti pendudukan Jepang. Atas permintaan ini, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani kemudian melakukan istikharah dan meminta pertimbangan pada para sesepuh ulama. Kesimpulan selanjutnya, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani akhirnya berkenan memenuhi permintaan para tokoh masyarakat tersebut dengan catatan setelah selesai perjuangan beliau akan kembali lagi ke pesantren dan tidak akan campur tangan dalam urusan birokrasi kenegaraan.
Tepat pada hari Selasa, 27 Ramadhan 1364 H atau 4 September 1945, diresmikanlah berdirinya suatu badan kelasykaran perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI yang diberi nama AOI sebagai sebuah singkatan dari Angkatan Oemat Islam Indonesia. Badan kelasykaran ini dibentuk dan didirikan hanya bersifat untuk antisipasi situasi kritis semata dan sebagai respon baik pada anjuran pemerintah RI (Soekarno – Hatta). Sebab pada situasi pasca proklamasi, kesatuan tentara nasional belumlah mencukupi kebutuhan untuk dapat mempertahankan teritori negara secara menyeluruh dari kemungkinan serangan kembali pihak penjajah. Oleh karenanya, maka struktur organisasi AOI-pun dibuat dengan amat sangat sederhana. Demikian pula Anggaran Dasar organisasinya.
Anggaran Dasar AOI hanya memuat 2 bab. Masing – masing ialah Bab I berisikan tujuan dibentuknya AOI dan Bab II berisikan sikap dari badan kelasykaran AOI.
Sikap organisasi AOI dituangkan dalam Anggaran Dasar, karena bagi AOI sikap kelembagaan itu penting untuk dimengerti oleh setiap orang agar mereka mengetahui bagaimanakah prinsip AOI sebenarnya dalam menanggapi kemerdekaan RI.
Bagi AOI Kemerdekaan RI dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan UUD’45 sebagai dasar negaranya adalah harga mati (silahkan lihat dan perhatikan dengan baik Anggaran Dasar AOI). AOI tidak dapat berkompromi dengan para penjajah atau pembuat makar terhadap NKRI. Oleh karenanya jelas sekali antara AOI dengan DI/TII terdapat perbedaan yang mendasar. Dan tidak benar ada hubungan atau korelasi structural antara organisasi AOI dengan DI/TII.
Benarkah AOI pemberontak?
Jika hendak mengulas bagian ini secara terperinci memang dibutuhkan ruang yang tidak sedikit. Padahal tulisan ini fokus utamanya adalah biografi ringkas dari Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani. Namun karena bagian ini sering menjadi wacana dari perbagi pihak, maka penulis akan ungkapkan secara implisit saja bagaimana sudut pandang yang penulis ketahui mengenai wacana tersebut.
Untuk mengetahui apakah sebuah organisasi itu memberontak atau tidak terhadap sebuah negara semestinya yang pertama – tama harus dilihat dahulu adalah haluan atau tujuan organisasi tersebut. Dengan kata lain, harus dilihat dahulu seperti apakah dan bagaimanakah Anggaran Dasar serta Anggaran Rumah Tangga-nya. Dari berbagai buku yang pernah beredar dan menulis tentang organisasi AOI, belum satupun buku yang penulis temukan didalamnya ada yang memuat seperti apakah Anggaran Dasar AOI apalagi sampai pada Anggaran Rumah Tangganya. Oleh karena itu peng”hakiman” yang mereka buat menurut penulis secara ilmiah mengandung cacat sejarah dan kurang proporsional. Sehingga objektivitas hasil tulisannya bagi kalangan yang berfikir jadi amat diragukan.
Menurut Anggaran Dasarnya, AOI didirikan dengan tujuan untuk mengusir penjajah serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan senantiasa berada dibelakang pemerintah Republik Indonesia dengan Undang – Undang Dasarnya yaitu UUD’45. Oleh karenanya tuduhan bahwa AOI melakukan pemberontakan dan hendak mendirikan Negara Islam adalah fitnah politis semata.
Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani pernah ditanya oleh beberapa murid beliau tentang pandangan islam dan negara. Beliau menjawab, “Islam tidak harus berbentuk negara, akan tetapi islam harus hidup dalam setiap negara”. Yang dimaksud adalah, bagi pandangan beliau ajaran islam tidak mengharuskan suatu negara berlebel Islam. Namun para pemeluk islam (kaum muslimin) wajib mewarnai kehidupan bernegara dengan menjalankan ajaran agamanya secara baik dan benar dimanapun mereka berada.
Masih menurut Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani, “Setiap umat islam wajib secara ikhlas membela negaranya sendiri – sendiri dari penjajahan bangsa lain”. Oleh karenanya untuk menunjukkan peran wajib umat islam terhadap usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia maka beliau lalu memberi nama badan kelasykaran yang didirikannya dengan nama Angkatan Oemat Islam Indonesia yang masyhur disingkat dengan AOI.
Peran AOI dalam pengusiran penjajah di wilayah Dulangmas sangatlah besar dibanding badan – badan kelasykaran lain. Pamor AOI naik dibanding yang lain karena dukungan dan kepercayaan masyarakat yang luar biasa.
Dalam berbagai medan pertempuran anggota AOI senantiasa gagah berani berada di garda terdepan. Saat peristiwa 10 November di Surabaya, AOI juga mengirimkan pasukannya. Ketika peristiwa 10 November Surabaya inilah salah seorang adik beliau lain ibu yang bernama Sayid Qushashi Al-Hasani gugur menjadi Syuhada. Lasyakar AOI seperti tak mengenal takut dan senantiasa pulang banyak membawa kemenangan dari medan laga. Yang membuat semakin simpatinya masyarakat terhadap AOI, bukan hanya peran kelasykaran saja yang dilakukan.
AOI juga melakukan perjuangan sosial dengan mengirimkan bantuan pangan yang diatas namakan rakyat serta pemerintah RI ke India disaat negara tersebut tengah mengalami krisis pangan. Oleh karenanya disisi lain kecemburuan sosial terhadap AOI juga mulai muncul dari kalangan militer. Puncaknya terjadi ketika setelah Belanda dan pemerintah RI melakukan perjanjian Renvile serta perundingan konfrensi meja bundar, Den Hag yang menghasilkan negara RI dirubah menjadi RIS serta UUD’45 diganti menjadi UUD’50 dan TNI berubah menjadi APRIS.
Perserikatan dengan Belanda bagi AOI berarti penghianatan terhadap NKRI. Dan juga amat bertentangan dengan Anggaran Dasarnya. Walaupun demikian Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani menyadari bahwa itu adalah bagian dari proses politik. Oleh karenanya ketika pemerintah mengumumkan untuk pembubaran badan – badan kelasykaran serta penggabungan kedalam APRIS, Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani walau dengan berat hati mengambil langkah – langkah sbb :
Mengizinkan satu bataliyonnya (Bataliyon Lemah Lanang) yang dipimpin oleh Sayid Quraisyin (KH Nur Shodiq) untuk bergabung dengan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Bataliyon Lemah Lanang ini setelah bergabung dengan APRIS berganti nama menjadi Bataliyon X yang bermako di Kebumen.
Membubarkan sebagian besar anggota Bataliyon Himayatul Islam untuk kembali lagi ke masyarakat. Dan sebagian kecilnya masih berada di lingkungan asrama dengan maksud untuk menjaga keamanan masyarakat bilamana dibutuhkan.
Sebenarnya Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani sempat keberatan ketika adik lain ibu beliau yaitu Sayid Quraisyin menyatakan niatnya bergabung ke APRIS. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani menyarankan agar beliau tetap bersamanya saja kembali ke pesantren dan melepaskan diri dari urusan kemiliteran atau birokrasi kepemerintahan.
Karena pandangan Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani pada masa – masa transisi seperti saat tersebut, kalangan tokoh umat islam Indonesia banyak yang belum siap menghadapi pergulatan politik kekuasaan dikarenakan tingkat pengetahuan serta kematangan berfikir yang masih lemah dibanding kaum neoliberalis yang sempat mengenyam pendidikan dari bangsa penjajah. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani mengingatkan kepada adiknya, “Apakah kamu telah siap dengan resikonya? Ketahuilah! Aku melihat akan ada kejadian besar jika kamu nekad melakukannya”. Namun peringatan ini tidak diindahkan oleh Sayid Quraisyin.
Apa yang menjadi kekhawatiran Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani ahirnya terbukti. Bermula ketika terjadi rasionalisasi dalam tubuh APRIS yang menghendaki penggabungan anggota antara Bataliyon X APRIS dengan anggota Bataliyon Lain yang berbeda fahamnya, Sayid Quraisyin sebagai komandan Bataliyon X APRIS menolak keputusan tersebut. Penolakan ini sepertinya menjadi entri point politik dari sebuah scenario besar yang telah direncanakan oleh rival – rival politik para tokoh pejuang islam untuk mengebiri jasa – jasa peranan mereka dalam kemerdekaan RI.
Suasana tegang menjadi semakin panas ketika ada seorang anggota Bataliyon X dibunuh oleh Bataliyon Kuda Putih. Upaya permintaan dari Bataliyon X agar anggotanya yang dibunuh dikembalikan, menjadi sebuah isu besar yang diblow-up dan dikaitkan dengan AOI. Padahal secara resmi AOI telah menginstruksikan kepada seluruh anggotanya untuk kembali ke masyarakat. Dan hanya sisa sedikit orang saja yang berada di asrama karena permintaan masyarakat untuk membantu keamanan warga dari tindak kejahatan yang dapat ditimbulkan oleh suasana masih belum kondunsifnya negara ketika itu. Dengan kata lain kejadian yang menimpa anggota Bataliyon X APRIS dengan Bataliyon Kuda Putih bagi AOI sebenarnya tidaklah ada kaitan yang mengikat.
Ditingkat pusat issu berkembang bahwa AOI akan memberontak kepada negara. Pasalnya yang mengemuka karena Bataliyon X yang dikomandani oleh Sayid Quraisyin (lebih dikenal dengan nama KH Nur Shodiq ketika itu) berasal dari AOI. Dan pembangkangan yang dilakukan oleh Bataliyon X dianalogkan sebagai hal yang tidak mungkin terjadi jika tidak dikomando oleh bekas induk pasukannya yaitu AOI. Padahal antara Bataliyon X APRIS dengan AOI secara structural telah terpisah, serta pula antara Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dengan Sayid Quraisyin terdapat pandangan yang berbeda.
Ketika issu ini mengemuka tajam, pemerintah pusat mengirim dua orang utusannya yaitu Jaksa Agung Mr Kasman Singodimejo dan Menteri Agama KH Wahid Hasyim untuk mengklarifikasi kebenaran khabar berita tersebut. Keduanya menemui Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani di Somalangu. Sesampainya di Somalangu kedua pejabat diterima dengan baik oleh Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani. Mereka berdua disambut dengan kebesaran umbul – umbul bendera merah putih. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani mengajak keduanya untuk melihat orang – orang yang berada di asrama sambil berkata, “Masa orang – orang desa seperti ini mau memberontak negara.??”.
Hasil klarifikasi dua pejabat negara tersebut kemudian diumumkan melalui jumpa pers yang diantara beritanya dimuat oleh surat kabar nasional tanggal 12 Agustus 1950, dengan bahasa bahwa Menteri Agama KH Wahid Hasyim menyatakan telah terjadi kesalah pahaman anatara AOI dan APRIS. AOI tidak sama dengan DI. Menteri Agama menjamin bahwa AOI tidak akan memberontak kepada negara.
Namun apa daya, klarifikasi dan jaminan yang dinyatakan oleh Menteri Agama serta Jaksa Agung ternyata tidak digubris oleh junta militer APRIS. Tak lama berselang, Bataliyon X APRIS diserang oleh beberapa Bataliyon lainnya dari sesama APRIS. Ketika peristiwa ini terjadi Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani masih melarang sisa – sisa anggota AOI dari Bataliyon Himayatul Islam yang ada di Somalangu untuk terlibat dalam pertempuran tersebut. Dan masih terngiang pula dalam telinga orang – orang yang mengalami peristiwa itu, beliau berkata, “Itu yang bertempur antara APRIS dengan APRIS”. Orang – orang yang dari luar Somalangu sekalipun ia adalah mantan anggota Bataliyon Himayatul Isalam AOI oleh beliau juga dilarang masuk Somalangu. Hal itu dilakukan demi untuk menjaga jangan sampai terjadi penyusupan.
Pertempuran tidak seimbang antara Bataliyon X APRIS dengan beberapa Bataliyon lainnya memaksa Bataliyon X mundur terdesak. Dalam situasi demikian, meneroboslah masuk Sayid Quraisyin menghadap beliau. Padahal para penjaga telah diperintahkan untuk menolak siapa saja yang datang dan keluar dalam situasi demikian. Namun karena yang datang adalah adik beliau maka tentu saja para penjaga menjadi sungkan karenanya. Sayid Quraisyin minta bantuan kepada Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani agar berkenan membela orang – orang islam yang hendak dibunuh. “Menyerah atau tidak mereka tetap saja akan dihabisi”, mengadu Sayid Quraisyin. “Sebentar lagi mereka akan masuk Somalangu karena terdesak. Mohon diizinkan dan dibantu”.
Pepatah Jawa mengatakan, “Tega larane ora tega patine”. Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani ahirnya luluh hati melihat sang adik yang seperti kebingungan. Beliau kemudian memanggil orang – orang yang masih bersamanya didepan masjid. Syeikh As_Sayid Mahfudz berkhutbah yang intinya, bahwa sekarang ada orang – orang islam didekat kita yang tengah dikejar – kejar hendak dibunuh. Hukumnya wajib berjihad membantu menyelamatkan mereka serta menjaga muruah umat islam. Karena yang tengah dihadapi adalah bangsa sendiri dan diantara mereka juga banyak yang muslim maka beliau serukan haram hukumnya menembak atau membunuh mereka lebih dahulu. Untuk itu, kepada siapa saja yang memegang senjata dan hendak menembakkan atau mengayunkan senjatanya wajib membaca kalimah syahadatain lebih dahulu. Jika lawan menjawab dengan bacaan syahadat maka haram untuk menembak atau mengayunkan senjatanya dan wajib bagi kita untuk mundur menghindari. Namun jika lawan ternyata tidak menjawab syahadatain kita maka dibolehkan untuk menembak atau mengayunkan senjata. Inilah kehati – hatian Syeikh As_Sayid Mahfudz Al-Hasani dalam persoalan hukum.
Sungguh kental nian nuansa politisnya, orang yang membela dan berjuang sepenuh hati demi tegaknya kemerdekaan RI dituduh sebagai pemberontak, sedangkan yang berserikat dengan penjajah dianggap sebagai pahlawan. Dimana keadilannya? Mungkin benarlah orang yang berkata dinegeri ini apapun bisa didapat dan dicari. Hanya satu yang sulit ditemukan dan dicari, yaitu keadilan. Tapi sebagai muslim yang baik kita harus yakin, bahwa Allah Swt Maha Melihat dan Maha Mengetahui. Ia punya rencana. Dan rencana-Nya adalah rencana yang sangat Adil.
Terjadinya perang Baratayuda
Sebenarnya terjadi dengan gerakan Angkatan Oemat Islam (AOI) sejauh ini belum terekspos ke publik. Di bangku sekolah menengah, dalam IPS Sejarah maupun PSPB, kita 'dicekoki' AOI tak lebih dari sekedar pemberontakan, 'cabang' DI/TII untuk kawasan Jawa Tengah bagian selatan.
Pemahaman sejenis juga bisa dilihat pada para peneliti yang pernah menggeluti persoalan AOI, misalnya alm. Kuntowijoyo (1970) ataupun tesis Danar Widayanta di UI (judulnya Angkatan Oemat Islam 1945 - 1950 : Studi Tentang Gerakan Sosial di Kebumen).
Pusat Penerangan TNI -sebagai lembaga resmi yang menghabisi AOI- bahkan memberikan simplifikasi menggelikan.
Dalam Diorama Museum Waspada Purbawisesa
Disebutkan,
AOI mulai melakukan rapat-rapat rahasia pada Mei 1950 sebagai persiapan perlawanan terhadap pemerintah RIS (Republik Indonesia Serikat) yang dianggap sudah dipengaruhi tokoh-tokoh komunis.
Dari rapat itulah kemudian Batalyon Lemah Lanang, Batalyon 423 dan Batalyon 426 (ketiga batalyon ini awal mulanya berasal dari Laskar Hizbullah Sabilillah) mulai mengganggu keamanan di Kedu Selatan.
Tentu saja ini rancu dan menggelikan, mengingat sebagian besar tokoh komunis sudah dihabisi pasca kudeta setengah hati di Madiun, September 1948. Dari cerita perjalanan hidup Letkol. Untung a.k.a Kusman (yang pernah saya paparkan di sini), ataupun kisah Dipa Nusantara Aidit, kita tahu tokoh2 komunis baru mulai bermunculan pasca 1950.
KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) menyebut pemberontakan AOI muncul akibat kebijakan pimpinan militer (APRIS) pasca pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949 yang menghendaki peleburan laskar-laskar perlawanan ke dalam APRIS setelah usainya Perang Kemerdekaan.
Namun, peleburan itu disertai embel2, hanya orang2 yang mendapat pendidikan "Sekolah Umum Belanda" saja yang bisa menduduki jabatan komandan batalyon.
Dalam fitnahan mereka Syekh Mahfudz Abdurrahman Alhasany dikatakan berminat terhadap kedudukan komandan batalyon ini, yang akan dibentuk dan bermarkas di Purworejo.
Namun Syekh Makhfudz terhadang oleh ketiadaan ijazah yang dipunyainya dan karena itu beliau memilih mengobarkan pemberontakan, terlebih ketika jabatan yang diincarnya jatuh ke anak muda ingusan bernama Ahmad Yani.
Dalam uraian berikut, akan kita lihat bahwa alasan semacam ini juga simplistik.
Merujuk penuturan KH Afifuddin Chanif al-Hasani dan KH Musyaffa Ali -masing-masing cucu dan menantu Syekh Mahfudz- akar masalah AOI sejatinya terletak pada kebijakan Rera (restrukturisasi dan rasionalisasi) yang dikumandangkan kabinet Hatta pada 1948 atas usulan Wakil Panglima Besar AH Nasution.
Dalam program Rera ini, laskar-laskar perlawanan akan digabungkan menjadi satu ke dalam TNI dan diciutkan personalianya hingga tinggal setengah dari semula. Prioritas ditujukan pada mereka yang mendapatkan pendidikan militer zaman Hindia Belanda maupun Jepang.
Sebagai pimpinan badan kelasykaran terbesar di Jawa Tengah, dengan massa +/- 10.000 orang dan punya potensi massa tambahan 30.000 orang,
Syekh Mahfudz risau dengan kebijakan diskriminatif ini mengingat mayoritas massa AOI memiliki tingkat pendidikan formal rendah dan berbasis pesantren sehingga berpotensi tereliminir karena tak punya ijazah.
Meski sebagian besar massa AOI semula merupakan petani, tak pelak bahwa perjalanan Perang Kemerdekaan telah menarik sebagian diantaranya untuk bermobilitas vertikal menjalani karir militer.
Keresahan bertambah mengingat pada 1948 itu Indonesia justru masih berhadapan dengan ancaman kekuatan NICA, yang bagi Syekh Mahfudz sangat nyata, mengingat sebagai ketua PPRK (Panitia Pertahanan Rakyat Kebumen) yang berkedudukan langsung di bawah Bupati Kebumen,
Beliau langsung berhadapan dengan pasukan NICA di garis demarkasi Sungai Kemit, Gombong timur. Sehingga menurut beliau tidaklah bijak menggagas Rera justru ketika ancaman nyata menghadang di depan mata.
Di diagonal yang berseberangan, keresahan yang sama juga dihadapi faksi sosialis-komunis yang tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) pimpinan Amir Syarifuddin di Madiun.
Namun FDR memilih menyelesaikannya dengan mengobarkan kudeta setengah hati Madiun Affair yang gagal pada September 1948, peristiwa yang menguras energi lasykar-lasykar rakyat dan TNI terlalu banyak untuk menumpasnya.
Penumpasan FDR ini membuat Syekh Makhfudz dan PPRK semakin yakin NICA tinggal menunggu waktu saja untuk menjebol garis demarkasi Sungai Kemit dan menyerbu jauh ke Yogyakarta sebagai ibukota RI.
Keresahan Syekh Mahfudz terbukti ketika NICA menggelar kampanye militer Doorstot naar Djokdja pada 18 Desember 1948, yang berhasil menawan Soekarno-Hatta, menghancurkan kabinet Hatta dan membuat TNI serta lasykar-lasykar tercerai berai.
Ini menginisiasi masa Perang Kemerdekaan II yang sekaligus membenamkan ide Rera ala Nasution. Dalam periode inilah peranan AOI kian menanjak dalam percaturan politik dan militer di Jawa Tengah.
Perang usai seiring penandatanganan pengakuan kedaulatan di Istana Rijswik, 27 Desember 1949, sebagai realisasi Konferensi Meja Bundar.
Ini sekaligus menandai berdirinya RIS (Republik Indonesia Serikat) dengan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) sebagai tentara nasionalnya.
Pembentukan APRIS membawa konsekuensi tersendiri bagi AOI seiring kembali mencuatnya isu Rera. Dalam pandangan Danang Widayanta, tawaran APRIS agar AOI bergabung kedalamnya melalui Rera yang diskriminatif berpotensi menghasilkan sedikitnya empat ancaman :
Ancaman eksistensi organisasi, ancaman kehilangan posisi sosial ekonomis, ancaman kehilangan posisi politis dan ancaman kehilangan posisi budaya.
Ini menghasilkan kondisi AOI tidak lagi otonom, tidak lagi merasa aman dalam posisinya dan frustrasi dengan masa depannya. Ini yang membuat Syekh Mahfudz menolak bergabung.
Namun dari penuturan KH Afifuddin dan KH Musyaffa, atas bujukan KH Nursodik dan KH Sururudin (keduanya pimpinan AOI) sebenarnya Syekh Mahfudz telah bersedia berunding dengan APRIS untuk membicarakan kemana AOI hendak diarahkan, mengingat jasanya yang demikian besar.
Perundingan mengerucut pada kompromi dengan pembentukan Batalyon Lemah Lanang, yang khusus menampung massa AOI yang diseleksi sendiri oleh Syekh Mahfudz. Syekh Mahfudz sendiri, dengan usianya yang telah mencapai 49 tahun, tidak berminat mengejar posisi komandan batalyon, mengingat dengan kedudukannya sebagai "Rama Pusat", dengan massa AOI dan Thoriqoh Syadzaliyah yang diampunya, beliau sudah menempati posisi natural leader yang kharismanya melampaui batas-batas kabupaten, mengingat pesona AOI juga terasakan hingga Wonosobo, Banjarnegara, Banyumas, Cilacap dan Purworejo, melebihi formal leader Bupati Kebumen yang waktu itu dijabat R.M. Istikno Sosrobusono. Meski demikian, Kuntowijoyo menyebut Syekh Mahfudz memiliki pandangan apolitis, karena itu tak heran beliau membenci partai politik, termasuk Masyumi.
Tapi persoalan tak usai meski Batalyon Lemah Lanang sudah dibentuk. Sebagai batalyon yang beranggotakan para santri, yang dalam perang kemerdekaan mengumandangkan perang suci (jihad) kepada NICA yang dilabeli kafir,
Batalyon Lemah Lanang mengalami gegar budaya ketika harus berbaur dengan unit2 lain dalam APRIS yang notabene sebagian besar berisi perwira hasil didikan Militaire Academie Hindia Belanda.
Lebih lagi perwira2 itu umumnya berasal dari kelas bangsawan Jawa, yang sejak kecil dijejali pandangan "Islam adalah problem" warisan Sultan2 dan Sunan2 Mataram.
Batalyon Lemah Lanang dianggap kaku dalam berprinsip, radikal dan memiliki sudut pandang selalu hitam putih, sementara Batalyon Lemah Lanang sendiri menganggap unit2 di tubuh APRIS banyak mengadopsi kebiasaan kaum kafir Belanda dan banyak faksi didalamnya yang atheis. Beberapa unit yang dianggap atheis adalah Batalyon Sudarsono dan Ahmad Yani di Purworejo, disamping Brigade X / Garuda Mataram yang dipimpin Soeharto di Yogyakarta.
Gegar budaya ini makin melebar dan meluas hingga keluar dari skup Batalyon Lemah Lanang. Sampai akhirnya terjadi ejek2an berujung tawuran antara pemuda2 AOI dengan anggota Batalyon Sudarsono, yang menyebabkan 1 pemuda AOI terbunuh. Akibatnya AOI bereaksi dan inilah yang ditanggapi Kol. M. Sarbini di Magelang sebagai indikasi AOI hendak memberontak, sehingga diperintahkanlah Batalyon Sudarsono dan Ahmad Yani menggempur Somalangu.
Tidak tepat jika AOI disebut memberontak.
Dalam penuturan KH Afifuddin, KH Musyaffa dan Ibu Zubaidah (keponakan Syekh Mahfudz,), hingga menjelang 1 Agustus 1950 tersebut Syekh Mahfudz sama sekali tidak menyiapkan konsep2 untuk mendirikan negara tersendiri sebagaimana dilakukan SM Kartosuwiryo di Jawa Barat.
Meski pernah membicarakan wacana wilayah "Kapoetihan" -semacam Kauman yang diperluas, tempat kediaman orang-orang saleh yang digambarkan menempati daratan sebelah timur Sungai Luk ulo hingga perbatasan Purworejo- namun tak ada pembicaraan lebih lanjut,
Apalagi yang bersifat operasional semacam menyiapkan proklamasi, konstitusi dan angkatan perang tersendiri.
Syekh Mahfudz sendiri juga tidak menyiapkan suatu perangkat kaderisasi ataupun suatu exile government andaikata Somalangu sewaktu-waktu diserbu.
Beberapa pertemuan memang berlangsung dengan pimpinan Batalyon 423 dan 426 (keduanya sama-sama berasal dari lasykar Hizbullah Sabilillah), namun itu lebih ditujukan pada bagaimana mengantisipasi persoalan di antara sesama lasykar Hizbullah Sabilillah akibat kebijakan Rera yang diskriminatif. Tidak ada pertemuan dengan utusan DI/TII, baik dari Kartosuwiryo sendiri maupun dari wakilnya di Jawa Tengah : Abdul Fattah.
Sedikit mengulas sejarah
Ketika Perang Dunia I berkecamuk, Somolangu mengambil inisiatif berpartisipasi dengan membantu Kesultanan Utsmaniyah Turki (Turki Ottoman). Dalam peperangan di Turki.
Namun panggung sejarah Somolangu dalam konteks Indonesia Modern, lebih terpapart ketika terjadi peristiwa Angkatan Oemat Islam (AOI) yang menggetarkan pada 1950.
AOI ini badan kelasykaran terbesar di Jawa Tengah, didirikan tahun 1945, beranggotakan ± 10.000 orang dari Kebumen timur, Purbalingga, Wonosobo dan Purworejo yang menjadi anggota jaringan tarekat Syadzaliyah yang berpusat di pesantren al-Kahfi Somolangu.
Koordinasi dilakukan oleh Syekh Mahfudz Abdurrahman Alhasany pengasuh ponpes saat itu, yang digelari "Rama Pusat", dengan pelaksana teknisnya KH Sururudin. KH Sururudin ini bapake K.H. Nashiruddin al-Manshur (mantan bupati kebumen)
Badan ini lalu bergabung dalam pasukan Hizbullah-Sabilillah yang dibentuk ulama-ulama Indonesia dalam upaya mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945 dan sempat bertempur habis2an melawan tentara Inggris dan NICA dalam Palagan Ambarawa dan Peristiwa 10 November 1945 Surabaya.
Ketangguhannya teruji ketika AOI (sebagai badan terbesar) berhasil mencegah Agresi Militer Belanda I 21 Juli 1947 bergerak ke Yogya sehingga memaksa Panglima NICA, Jendral Spoor dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru, Dr. H.J van Mook, membikin garis demarkasi di Sungai Kemit - Gombong, guna menghindari jatuhnya korban tentara NICA lebih besar.
Memang garis van Mook ini bobol dalam kampanye militer Doorstot naar Djokdja alias Agresi Militer II 18 Desember 1948, namun pasukan khusus NICA menghadapi perlawanan sangat gigih pejuang Hizbullah-Sabilillah bersama TNI, yang jejak2nya muncul sebagai Palagan Sidobunder, Monumen Kemit dan juga Monumen Jembatan KA Luk Ulo (di barat RSU Kebumen).
Meski berhasil menguasai Kebumen dengan bermarkas di Gedung Gembira (dekat Stasiun KA Kebumen), pasukan elit Gajah Merah dan Anjing Hitam NICA tidak pernah bisa menganeksasi Somolangu, walaupun pondok itu hanya berjarak 2 km dari jalan utama Kebumen - Purworejo. Demikian juga tentara kolonial Hindia Belanda, seabad sebelumnya, yang tak pernah bisa mengontrol Somolangu meski telah mendirikan Benteng Wonosari (sebagai bagian dari sistem benteng stelsel ala de-Kock) di era Perang Diponegoro, yang letaknya bahkan hanya berseberangan sungai terhadap pesantren al-Kahfi.
Meski bertempur bersama, pada periode 1947 - 1948 ini bibit2 pertengkaran AOI dan TNI mulai muncul. TNI - yang didominasi priyayi2 Jawa abangan - menganggap AOI lebih sering menimbulkan masalah, pandangan yang mungkin diturunkan dari Amangkurat I (yang pernah membantai ± 6.000 ulama Kajoran di alun-alun Plered pasca konflik dengan Pangeran Pekik).
Yel2 "Allahu Akbar" yang diteriakkan AOI kala melakukan serangan dianggap membuat tentara NICA lebih mudah mengenali sasarannya.
Sementara AOI - yang puritan dan mencoba melakukan purifikasi meski tidak seradikal Wahhabi - menganggap perilaku anggota TNI itu 'tidak Islami.' Ada isu pula, pasca Perang Kemerdekaan, AOI dianggap hendak mendirikan suatu "Keputihan", yakni wilayah orang2 saleh yang lokasinya mulai dari Sungai Lukulo hingga batas Kebumen - Purworejo. Namun, walo bermasalah dengan TNI, AOI -khususnya Syekh Mahfudz- menjadi pendukung bahkan berhubungan sangat erat dengan Presiden Soekarno. Soekarno sendiri pula yang menjanjikan AOI "tidak akan diapa-apakan. "
Pertengkaran makin menjurus parah pasca Konferensi Meja Bundar, dimana TNI dan badan2 kelasykaran harus dilebur ke dalam APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat).
TNI menghendaki AOI diseleksi sebelum memasuki APRIS, sementara Syekh Mahfudz menghendaki AOI langsung masuk. Sebagai kompromi dibentuklah Batalyon Lemah Lanang untuk mengakomodasi pemuda2 AOI yang berminat masuk APRIS.
Namun Batalyon ini terasing, terisolir dan tidak disukai di kalangan APRIS yang mayoritas berasal dari TNI.
Namun pertengkaran dengan TNI berubah menjadi permusuhan terbuka di akhir Juli 1950 kala beberapa personel TNI menggebuki anggota Batalyon Lemah Lanang sampai tewas.
Aksi itu dibalas pada 31 Juli saat pemuda2 AOI gantian menggebuk personel TNI yang sedang lewat dengan jipnya, juga sampai tewas.
Peristiwa ini dianggap sebagai perlawanan, sehingga sore itu juga Syekh Mahfudz diminta datang menghadap Kol. Sarbini di Markas APRIS Magelang. Syekh berjanji esok paginya akan datang menghadap, mengingat hari itu sudah sore dan transportasi sulit. Namun APRIS menganggapnya sebagai pembangkangan sehingga pagi 1 Agustus 1950 itu juga APRIS sudah mengepung Somolangu dan Syekh Mahfudz diultimatum untuk menyerah.
Maka bisa dibayangkan bagaimana kagetnya Syekh Mahfudz ketika Somalangu dikepung rapat pada pagi hari 1 Agustus 1950 dan tanpa ba-bi-bu langsung digempur ala manuver blitzkrieg, tanpa sempat menyiapkan diri.
Baratayuda pun terjadi
Akibatnya tak ada lagi bangunan di Somalangu dan desa2 disekitarnya menjadi merah berkuah darah, hancur lebur digempur bangsa sendiri.
APRIS mengerahkan pasukan besar bersandi "Kuda Putih" (kelak menjadi Yon 404 /Para Banteng Raiders) dibawah pimpinan Kol. Achmad Yani dengan tugas melakukan stelling,
menghancurkan segala jenis bangunan yang berdiri di Somolangu dan sekitarnya tanpa peduli apapun isinya. 1.000-an orang tewas hanya di hari itu, dengan total korban keseluruhan 2.000-an jiwa selama perang saudara berkobar 3 bulan.
M. Sarbini dan Achmad Yani mengumumkan AOI terkait dengan DI/TII-nya Kartosuwiryo di Jawa Barat,
Hal yang tak masuk di akal mengingat Syekh Mahfudz tidak kenal dan tidak pernah berhubungan dengan Kartosuwiryo, baik secara langsung ataupun lewat wakilnya di Jawa Tengah (Abdul Fattah, yang mengobarkan perlawanan di Brebes - Tegal - Pemalang). M. Sarbini juga memindahkan ibukota kabupaten ke Karanganyar dan mengorganisir ulama2 Kebumen barat, sehingga muncul nama K.H. Umar Nasir Candi dan K.H. Makmur Tejasari yang "memberikan" legitimasi menggempur Somalangu.
Batalyon Lemah Lanang dan Pasukan Kuda Putih terlibat baku tembak jarak dekat nan dahsyat di sekitar lokasi Mapolres Kebumen sekarang. Konon demikian brutal aksi pasukan Kuda Putih, sehingga Syekh Makhfudz mengucapkan 'kata kutuk' : kelak Achmad Yani bakalan mati menyedihkan.
Bahkan masjid kuno berusia lebih 500 tahun (sekarang) peninggalan Syekh Abdul Kahfi Awwal pun ikut rusak.
Tak ada tempat yang tak terbakar, hingga segala macam jejak tertulis mulai dari arsip2 AOI hingga kitab2 dan kitab suci al-Qur'an pun hangus.
Tak ada kata yang cocok untuk mendeskipsikan keadaan demikian selain pembantaian teramat keji, yang bisa disetarakan dengan Pembantaian Srebrenica 1995 di Bosnia-Herzegovina.
Akibat kebrutalan ini dan demi menghindari korban lebih besar, Syekh Makhfudz memutuskan menyingkir dari Kebumen dan berhijrah ke barat, tempat dimana Bandayudha leluhurnya merantau. Namun pada kontak senjata di Gunung Selok (Srandil) Cilacap, Syekh tertembak, meninggal dan dimakamkan di tempat itu.
Menjadi ironi bahwa di kemudian hari Gunung Selok ini justru menjadi tempat pertapaan favorit politisi dan petinggi2 militer, termasuk sang big-boss - Soeharto, yang sampe2 membangun helipad khusus.
Jika kemudian sisa-sisa Batalyon Lemah Lanang memilih untuk bergabung dengan sisa-sisa DI/TII Abdul Fattah, sisa-sisa Batalyon 426 dan 423 MMC (Merapi Merbabu Complex) di kaki Gunung Slamet, pilihan ini diambil pasca tertembak dan wafatnya Syekh Mahfudz di Gunung Selok, Cilacap. Karena sudah kepalang tanggung difitnah.
Dengan kondisi organisasi AOI berantakan, pemimpin tertingginya wafat dan tak ada yang kader bisa menggantikan kharismanya, dengan Somalangu dan Kebumen timur sudah diobrak-abrik amunisi APRIS, tanpa ada tawaran rekonsiliasi dan amnesti agar bisa kembali ke masyarakat sebagai orang baik-baik, serta jikalau menyerah pun akan masuk Nusakambangan tanpa diadili (seperti dialami ratusan massa AOI yang memilih menyerah), maka dalam pandangan saya tak ada pilihan lain yang logis rasional kecuali menyelamatkan diri, bergabung dengan saudara senasib sepenanggungan dan terus bertempur, meski tak jelas lagi bertempur untuk apa.
Pembantaian Somalangu menandai satu babak baru di kalangan pemerintah RIS / NKRI tentang bagaimana menyikapi dan menyelesaikan perbedaan pendapat dengan cara hantam kromo (main pukul rata).
Pasca AOI, di Jawa Tengah, giliran MMC digempur. Di Jawa Timur, satu Batalyon pimpinan KH Yusuf Hasyim (saat itu berpangkat Lettu) pun turut diberangus dengan tuduhan DI/TII dan komandannya ditahan berbulan-bulan tanpa diajukan ke pengadilan. Di Kalimantan Selatan, Ibnu Hadjar dengan KRJT-nya (Kesatoean Rakjat Jang Tertindas) dilucuti dan dituduh DI/TII pula.
Sementara di Sulawesi Selatan, usulan Abdul Qahhar Muzakar agar lasykar-lasykar asal Sulawesi Selatan yang telah dihimpun menjadi satu dalam KGSS (Keluarga Gerilja Soelawesi Selatan) direkrut ke dalam APRIS dengan nama Brigade Hasanuddin ditolak dan digempur seperti AOI.
Ini menyisakan trauma dan dendam berkepanjangan. Maka tidak heran jika Dr. Tgk Muhammad Hasan di Tiro, ketika mendirikan Gerakan Atjeh Merdeka pada 1976, merujuk terjadinya "pembantaian oleh bangsa sendiri" sebagai latar belakang.
Yang jelas, pasca AOI, aparat administrasi Kebumen maupun Jawa Tengah tidak belajar lebih jauh dari peristiwa AOI dan lebih memilih melakukan isolasi sosiologis-politis dengan labelisasi "ekstrim kanan" dan "bagian DI/TII" kepada sisa-sisa AOI, garis keturunan Syekh Mahfudz, maupun penduduk Somalangu dan sekitarnya, tanpa tawaran rekonsiliasi.
Dengan bupati2 yang mayoritas militer aktif, berasal dari luar Kebumen, tidak belajar lebih lanjut tentang sosiologi masyarakat setempat, terkooptasi dengan pola pemikiran Orde lama dan Orde baru yang berpandangan kaku dan main hantam kromo, ini berpuncak pada munculnya peristiwa kelam selanjutnya : Kerusuhan 7 September 1998. Sisa-sisa AOI memang tidak terlibat dalam peristiwa ini, bahkan barisan ulama yang dulu berafiliasi ke AOI justru menjadi penengah yang berhasil meminimalisir jumlah korban.
Namun AOI masih menjadi isu sensitif hingga dekade 1970-an. dari cerita (alm) K.H. Durmuji Ibrohim -pengasuh ponpes Lirap hingga 1989- di awal dekade 1970-an itu beliau bersama-sama ulama-ulama kritis Kebumen lainnya sempat diamankan di Makodim selama beberapa bulan.
Karena isu AOI kembali menghangat dan dikelompokkan ke dalam kutub "ekstrem kanan". Ada juga upaya pengingkaran, yang berlangsung secara sistematis hingga masa kepemimpinan Amin Sudibyo di Kebumen. sebagai contoh, hari lahir Kebumen ditetapkan 1 Januari karena masalah ini, meski banyak bukti menunjukkan sebaiknya menggunakan tanggal berdirinya kadipaten Sruni atau Somolangu sebagai acuan waktu berdirinya Kebumen, karena merujuk runtutan (time-seriesnya) memang seharusnya demikian.
Kejadian itu jika diamati karena kecemburuan pihak tentara militer pada waktu itu.. mengingat laskar santri kebanyakan ahli agama yang berpegang teguh pada ideologi ahlu sunah wal jamaah
Dari sekian banyak laskar santri yang di fitnah dan di Bumi hanguskan itu semua orang Nahdhiyyin yang pada masa merebut kemerdekaan gigih melawan penjajah.
Sekiranya semua itu kita jadikan pelajaran
Allahu Akbar .....
BalasHapusSejarah yg ada peninggalan belanda.
BalasHapusPikiran pemimpinyapun tak lebih sama..
Kisah ini sama persis yang diceritakan oleh orang tua kami. Bapak kami adalah anggota pasukan KH. Yusuf Hasyim. BaarakaAllah sejarah makin terungkap. Kami tunggu dalam bentuk bukunya.
BalasHapusSaya baru dengar ada kisah seperti ini,semoga tidak pernah terulang lagi
BalasHapusMasa si , maaf aslinya mana ya mas apa mbak ni
HapusSaya jg pernah diceritain kisah heroiknya AOI mempertahankan kemerdekaan indonesia, jd bwnteng pertahanan terdepan mwnghdp penjajah kafir...tp mwmbaca tulisan d atas, jd semaki lengkap memahmi heroiknya peejuangan AOI...Allahu Akbar...
BalasHapusAlmarhum Kakek saya adl pelaku sejarah beliau adl anggota AOI bukan DI TII...beliau pernah crita bagaimana bertahan hidup di zaman itu dan di anggap pemberontak di kejar2 pasukan kuda putih
BalasHapusMemang layak kalau Kebumen memiliki slogan BERIMAN, ada filosofi luhur di dalamnya.
BalasHapusJooss mantap
HapusSubhanalloh terkenang Eyang Kasan (Tambakagung Klirong) dengan Mbahku Mbah Sastrowinoto (TNI) sama-sama bercerita tentang pertempuran melawan Belanda
BalasHapusIyang Khasan merupakan Milisi AOI yang tangguh pada dekade 70 menerima penghargaan Veteran Perang Kemerdekaan
BalasHapusMerujuk/terkenang juga Cerita Kisah Kyai Tahlil di (jerukagung kakak Kyai Maskhur Yusuf Jerukagung) putra Romo Kyai Abu Tolkah Bin Romo Kyai Mbah Madrum Kyai Tahlil di dimakamkan di Cipari Cilacap dikenal dengan nama Kyai Abu Bakar
BalasHapusTes
BalasHapusYa Alloh jd sedih saya setelah baca sejarah yg sebenarnya tentang Pak Kiyai Somalangu Kebumen , selama ini saya hanya tau cerita dari Kakekku tentang AOI , Yg menyedihkan pembantaian massalnya sungguh keji , apalagi yg di bantai orang muslim waktu Jaman itu, yg sekarang nama Desanya,Desa: Sumberadi Kebumen Jawa Tengah,kalau dari dekasu ke Desa Sumberadi Kira2 5 kilo ,
BalasHapus