Asal-usul Kerajaan Sintang bermula dari kedatangan seorang tokoh penyebar agama Hindu bernama Aji Melayu yang datang ke Nanga Sepauk (Sekarang Kecamatan Sepauk) pada abad ke-4. Bukti-bukti kedatangan Aji Melayu dapat dilihat dari temuan arkeologis berupa Arca Putung Kempat dan batu berbentuk phallus yang oleh masyarakat setempat disebut Batu Kelebut Aji Melayu.
Putung Kempat adalah istri Aji Melayu yang kemudian menurunkan raja-raja di Sintang. Di daerah ini juga ditemukan batu yang menyerupai lembu serta makam Aji Melayu.
Pendirian Kerajaan Sintang dilakukan Demong Irawan, keturunan kesembilan Aji Melayu, pada sekitar abad ke-13. Demong Irawan mendirikan keraton di daerah pertemuan Sungai Melawi dan Sungai Kapuas yaitu di Kampung Kapuas Kiri Hilir sekarang. Mulanya daerah ini diberi nama Senetang, yaitu kerajaan yang diapit oleh beberapa sungai.
Lambat laun penyebutan Senentang berubah menjadi Sintang. Sebagai lambang berdirinya kerajaan itu, Demong Irawan yang memakai gelar Jubair Irawan I menanam sebuah batu yang menyerupai buah kundur. Batu itu kini berada di halaman Istana Sintang.
Sampai saat ini, kompleks Istana Sintang masih terawat dengan baik. Bahkan menjadi kediaman Sultan Sintang, yaitu Pangeran Ratu Sri Negara H.R.M Ikhsan Perdana.
Dari teras bangunan utama, wisatawan dapat memandang taman rumput yang cukup luas di halaman depan istana, juga dermaga kecil, serta pertemuan aliran Sungai Kapuas dan Sungai Melawi yang lazim masyarakat di Sebut Saka Tiga.
Dengan menunjungi Istana Kesultanan Sintang, pengunjung akan melihat berbagai benda sejarah. Seperti gundukan tanah yang berasal dari kerajaan Majapahit, Meriam Raja Suka, Meriam Anak Raja Suka sebanyak 7 buah, Meriam Raja Beruk, Kampak Batu, Alat Musik Suku Dayak yaitu Kecapi dan lain-lain.
Selain itu, pengunjung juga dapat menyaksikan berbagai macam benda-benda bersejarah di istana ini. Di halaman istana, Anda dapat menyaksikan sebuah meriam dan situs batu kundur, yaitu sebuah batu peninggalan Demong Irawan sebagai lambang berdirinya Kerajaan Sintang.
Di serambi depan istana, para turis dapat melihat salinan Undang-undang Adat Kerajaan Sintang, serta silsilah raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Sintang. Ada pula koleksi meriam dalam berbagai ukuran, peralatan-perlatan dari logam seperti talam, kempu, dan bokor, koleksi senjata seperti tameng dan tombak, naskah Al-Quran tulisan tangan pada masa Sultan Nata, berbagai macam stempel dan surat-surat kerajaan, serta foto-foto dan lukisan Raja-raja Sintang.
Istana ini juga masih menyimpan barang-barang hantaran Patih Logender (seorang perwira dari Majapahit) ketika meminang Putri Dara Juanti (putri Demong Irawan—pendiri Kerajaan Sintang), antara lain seperangkat gamelan, patung garuda dari kayu, serta gundukan tanah dari Majapahit.
Untuk mencapai istana pengunjung dapat menggunakan bus atau mobil sewaan dari Kota Pontianak (Ibukota Provinsi Kalbar) menuju Kota Sintang yang jarak tempuhnya sekitar 8 jam. Dari Kota Sintang, tepatnya di Terminal Pasar Durian, wisatawan dapat menumpang perahu motor untuk menyeberang Sungai Kapuas menuju istana. Selain itu, bisa langsung menggunakan kendaran darat melewati jembatan Sungai Kapuas dengan menggunakan sepeda motor dan nanti akan menemukan Tulisan ” Selamat Datang di Komplek Kraton Al Mukarramah Sintang”.
Sejarah tentang Dara Juanti berlayar ke tanah Jawa bukanlah hal yang baru. Tatkala ditelusuri akanmembawa kita kepada kilas balik sejarah di awal tahun 1400 M. Betapa tidak? Kita tidak mungkin menafikan, atau menghilangkan begitu saja nama kerajaan besar di tanah Jawa. Kaitannya sangat erat dengan cikal bakal raja-raja Sintang selanjutnya, dan tidak bisa terlepas dari keberadaan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Sebab nama Patih Lohgender tercantum dalam sejarah Majapahit, sebagai seorang patih pada masa pemerintahan Dewi Suhita yang bergelar Ratu Kencana Wungu turunan ke 6 dari Raden Wijaya pendiri Kerajaan Majapahit tahun 1292.
Dalam perjalanan mencari abangnya Demong Nutup yang konon ditawan oleh kerajaan Majapahit. Saat tiba di tanah Jawa terjadi pertemuan yang singkat antara Patih Lohgender dengan Dara Juanti, situasi di kerajaan Majapahit semakin memanas, seakan-akan menunggu kehancuran karena perebutan tahta kekuasaan yang mengakibatkan perang saudara, dimana Bhre Wirabumi (dikenal sebagai Minak Jinggo) Raja Belambangan memberontak.
Ia tidak setuju dengan pengangkatan Dewi Suhita sebagai raja, Sebab ia merasa lebih berhak duduk di tahta Kerajaan Majapahit. Pararatonmencatat, Perang Paregreg (perang yang berangsur-angsur) yang berlangsung tahun 1401 – 1406 M antara Wikramawardhana-Bhre Wirabhumi terjadi pada tahun Saka naga-loro-anahut-wulan atau 1328 Saka (1406 M).
Kembali kepada pertemuan antara Patih Lohgender dengan Putri Dara Juanti di tanah Jawa, tersirat beberapa ujian yang diberikan oleh Patih Lohgender kepada Putri Dara Juanti sebagai bukti apakah Demong Nutup itu benar abangnya atau bukan. Ujian pertama adalah Dara Juanti dan Demong Nutup diminta untuk berbaring diatas satu buah pelepah daun pisang. Artinya apabila pelepah daun pisang itu pecah, maka mereka bukanlah saudara. Setelah melakukan ujian itu ternyata pelepah daun pisang sebagai alas untuk keduanya berbaring tidak pecah. Artinya mereka berdua benar-benar saudara.
Setelah melewati ujian pertama, Patih Lohgender masih belum puas, dia ingin membuktikan siapa sosok ksatria yang penampilannya mirip perempuan. Patih Lohgender menguji lagi untuk melompat sebuah sungai, karena menurut kepercayaan masyarakat di Majapahit saat itu apabila yang melangkahi sungai itu betul-betul seorang perempuan, maka dengan seketika dia akan datang menstrusai/haid akan keluar.
Dara Juanti terdiam sejenak karena takut penyamarannya diketahui oleh Patih Lohgender. Tetapi tiba-tiba datang seekor burung elang yang selalu menemani Putri Dara Juanti menghampirinya seolah-olah berkata segera untuk melakukan ujian itu. Dengan penuh percaya diri Dara Juanti melakukannya tiba-tiba burung kesayangannya itu langsung menabrak dada Dara Juanti dan burung itu mengoyak dadanya sendiri sehingga darah segarpun bercucuran. Dengan melihat darah yang itu Patih Lohgender begitu yakin bahwa dalam penyamaran itu adalah seorang perempuan.
Tetapi betapa kagetnya Patih Lohgender ketika Dara Juanti mengatakan bahwa darah itu adalah darah burung sembari menunjukan burung yang ada ditangannya. Namun saat itu Putri Dara Juanti kembali melompati sungai itu untuk menghampiri Patih Lohgender lagi, dan tanpa disadaripenutup kepala Putri Dara Juanti terlepas. Dan pada akhirnya Putri Dara Juanti membuka semua tutup kepalanya dan menguraikan rambutnya yang panjang. Betapa kagetnya Patih Lohgender ketika melihat wajah cantik yang dihadapannya memiliki ilmu kenuragaan yang tinggi, yang ternyata kecurigaannya memang benar terjawab bahwa itu sosok wajah perempuan yang menyamar sebagai laki-laki.
Setelah dua ujian itu mampu dilewati oleh Putri Dara Juanti dan Patih Lohgender mengakui kehebatan dan keberanian Putri Dara Juanti. Sikap pemberani Putri Dara Juanti itu membuat seorang Patih dari kerajaan Majapahit terkagum-kagum. Tetapi apa yang dikatakan oleh Patih Lohgender pada saat itu ?.... Wahai Tuan Putri… ketahuilah..! jangankan untuk membawa abangmu pulang ke negeri asal mu, satu genggam tanah di majapahit pun tidak aku ijinkan untuk dibawa. Dara Juanti terus berusaha untuk memohon kepada Patih Lohgender, dan pada akhirnya iapun menjawab, saya siap membebaskan abang-mu dan mengijinkan untuk dibawa pulang ke negeri-mu, tetapi ada persyaratannya. Dara Juanti kaget dan bertanya… Apa persyaratannya tuan..? Dengan enteng Patih Lohgender menjawab “ Abang mu akan bebas asalkan tuan putri bersedia menikah dengan ku”.
Betapa terkejutnya Dara Juanti mendengar persyaratan yang diminta oleh Patih Lohgender dan sejenak terdiam seribu bahasa, dan pada akhirnya terjawab juga. Baiklah Tuan… saya bersedia, tetapi tuan harus memenuhi persyaratan ku juga yaitu “Tuan harus datang ke negeri dimana tempat ku berada”. Setelah keduanya sama-sama sepakat dan masing-masing menerima dan setuju dengan persyaratan, Dara Juanti segera membawa abangnya pulang ke negeri Sintang.
Singkat sejarah, setelah perang usai, Dewi Suhita (Ratu Kencana Wungu) memerintahkan kepada Temenggung Arya Kembar untuk mengasingkan kedua putra Patih Lohgender dan melepaskan semua jabatan dari struktur pemerintahan majapahit. Sejak kedua putranya diasingkan oleh Dewi Suhita, sebagai seorang ayah Patih Lohgender merasa malu dengan perbuatan kedua putranya, Patih Logender pun mengundurkan diri dan melepaskan semua jabatannya dari struktur pemerintahan kerajaan Majapahit. Dan pada akhirnya Patih Logender memutuskan untuk pergi ke Borneo tepatnya di negeri Sintang dimana tempat Puteri Dara Juanti memerintah sebagai seorang raja/ratu.
Kedatangan Patih Lohgender di Negeri Sintang memang benar-benar memenuhi persyaratan yang diminta oleh Dara Juanti. Tidak hanya itu, tetapi kecantikan Putri Dara Juanti itu sendiri yang membuat hati seorang Patih dari Majapahit rela melepaskan semua jabatanya untuk mencari jalan bagaimana caranya untuk dapat bertemu. Dengan menempuh perjalanan yang begitu jauh serta melelahkan, pada akhirnya Patih Lohgender tiba juga di negeri Sintang. Setibanya di negeri Sintang, betapa kagetnya Patih Lohgender, ternyata ksatria yang dia jumpai di pelabuhan Tuban itu adalah seorang raja muda yang arif dan bijaksana.
Singkat sejarah, akhir dari semua itu keduanya saling menyukai. Dalam waktu yang tidak terlalu lama Patih Logender meminang Puteri Dara Juanti kepada abangnya Demong Nutup. Namun pinangan itu ditolak oleh Demong Nutup dengan syarat pinangan itu akan diterima apabila Patih Lohgender sanggup mengeluarkan 40 orang kepala dan 20 orang gadis yang masih suci, keris elok tujuh berkepala naga serta barang lainya. Mendengar persyaratan itu Patih Logender kembali ke Jawa untuk menyiapkan persyaratan yang diminta oleh Demong Nutup untuk meminang adiknya Dara Juanti.
Kesempatan yang baik tidak disia-siakan oleh Patih Lohgender, berbekal pengalaman sebagai seorang patih di Majapahit dan juga sebagai seorang seniman, Patih Lohgender memanfaatkan waktu di desa kelahirannya yaitu desa Loh untuk mempersiapkan semua persyaratan pinangannya kepada Putri Dara Juanti. Yang lebih istimewa sebagai hasil karyanya adalah tiang penyangga gong besar yang diukir dengan bentuk ular naga sebagai penguasa sungai / laut yang di puncaknya terdapat burung Garuda bermahkota sebagai penguasa dunia atas.
Selain itu juga terdapat sebongkah tanah yang disebut tanah Majapahit, Seperangkat Alat Musik Gamelan, Sebuah keris elok tujuh yang merupakan salah satu senjata pusaka Majaphit yang bernama Keris Naga Serinti, 40 orang kepala dan 20 orang gadis yang masih suci, serta busana cindai disebut Gerising Wayang yang merupakan kelengkapan pakaian mulai dari mahkota seperti yang terdapat dipuncak gantungan gong yang disebut juga dengan Jamang Mustika. Dengan membawa persyaratan yang diminta dan semuanya telah disiapkan barulah Patih Lohgender kembali lagi ke negeri Sintang untuk diserahkan kepada Putri Dara Juanti.
Peristiwa Tanah Tanjung merupakan sebuah tempat yang sangat berharga pada pusat pemerintahan di kerajaan Sintang. Akibat dari masuknya pemerintah Belanda yang menjadikan Tanah Tanjung sebagai tempat mendirikan benteng pertahanan, dari itu mulainya sejarah perjuangan Pangeran Kuning yang selalu membela kebenaran dan keadilan.
Pangeran Kuning adalah seorang yang bijaksana serta tepat menjadi pemimpin dan tidak benar jika memandang pangeran ini sebagai seorang pemberontak. Keteguhan dan keberanian rupanya sangat membantu perjuangannya melawan kolonialisme dan akhirnya membuahkan hasil. Prinsip yang dipegang teguh oleh Pangeran Kuning adalah seorang yang budi pekertinya jujur, menepati janji dan seorang pangeran yang meduduki posisi sebagai wazir II di kerajaan Sintang pada masa pemerintahan Pangeran Adipati Surya Negara Muhammad Djamaluddin sebagai raja.
Ketokohan Pangeran Kuning bukan saja memiliki pengetahuan mendalam tentang seluk-beluk hukum agama tetapi sangat terampil pula dalam hukum Adat.
Seperti yang sudah dikatakan diatas, bahwa Pangeran Kuning adalah seorang pahlawan besar, yang sejak didalam pemerintahan kerajaan Sintang sebagai orang yang tidak menerima kehadiran kolonial Belanda di Sintang sudah diakui, baik oleh rakyat Sintang sendiri, maupun oleh musuh-musuh (kolonial Belanda).
Kenyataan ini dapat dibuktikan pada perlawanan-perlawanan beliau. Sejak Pangeran Kuning meninggalkan istana untuk melawan kolonial Belanda. Dengan demikian, tentulah beliau tidak akan bisa melupakan tentang kejadian-kejadian yang menyebabkan politik pemerintah di kerajaan Sintang diambil alih pemerintah kolonial Belanda.
Perang perlawanan terhadap kolonial yang dilakukan oleh laskar perlawanan di wilayah Sintang dibawah pimpinan Pangeran Kuning berlangsung ± 35 tahun (1822-1857). Bukti-bukti peninggalan sejarah sebagian besar telah musnah, para pelaku sejarah sudah kembali kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang tersisa hanyalah catatan (manuscrips) dan tempat bersejarah sebagai saksi bisu yang mampu mengungkapkan peristiwa perlawanan ke permukaan yang patriotik dan heroik pada zamannya.
Tentang perlawanan dimaksudkan itu, pihak kolonial Belanda sendiri telah mengakuinya sebagaimana termuat di dalam laporannya:pertama, Historische Aanteekeningen, Jaar 1889”,kedua, “Chronologish-Ta Bellarisch Overz Icht Gesciedenis Garniz Oens-Bataljon De Westera Deeling Van Borneo. (Opgericht Ingevolge Gouvts. Besluit ddo. 8 Mei 1856) No. 10 (Kon. Nesluit dd. 2 Augustus 1853 Letter E.14). Mutaties, Veldtochten. Uitstekende Daden, Byzondere Verrichtingen En Ontvangen Beloeningan”.
Dengan adanya pengakuan dari pemerintah kolonial Belanda tersebut, berarti ada bukti tertulis yang tak terbantahkan tentang kebenaran, keberadaan dan keabsahan perang melawan kolonialisme Belanda di wilayah Sintang. Disamping itu memang tidak ada pemberontakan lain sebagai aksi perlawanan yang dimaksud yang terjadi pada kurun waktu dari tahun 1822 (saat pemerintah kolonial Belanda tiba di Sintang), dan pada tahun 1825 meletuslah gerakan perlawanan pertama kalinya yang dipimpin oleh Pangeran Kuning di Sintang yang pada akhirnya sampai beliau wafat ditahun 1857 perang terus berkecamuk, sehingga keputusan Gubernur Jendral Belanda dengan mengeluarkan pernyataan bahwa bagian Sintang pada tanggal 20 Desember 1856 berada dalam keadaan Perang (Darurat). Setelah beliau wafat aksi perlawanan tetap semarak, berkobar, dan berlanjut.
izin untuk mnjadi salah satu literatur .
BalasHapusdan sy akan tuliskan sumbernya makash