Kesultanan Jambi adalah kerajaan Islam yang berkedudukan di provinsi Jambi sekarang. Kerajaan ini berbatasan dengan Kerajaan Indragiri dan kerajaan-kerajaan Minangkabau seperti Siguntur dan Lima Kota di utara. Di selatan kerajaan ini berbatasan dengan Kesultanan Palembang(kemudian Keresidenan Palembang). Jambi juga mengendalikan lembah Kerinci, meskipun pada akhir masa kekuasaannya kekuasaan nominal ini tidak lagi dipedulikan.
Ibukota Kesultanan Jambi terletak di kota Jambi, yang terletak di pinggir sungai Batang Hari.
Jambi merupakan wilayah yang terkenal dalam literatur kuno. Nama negeri ini sering disebut dalam prasasti-prasasti dan juga berita-berita China. Ini merupakan bukti bahwa, orang Cina telah lama memiliki hubungan dengan Jambi, yang mereka sebut dengan nama Chan-pei. Diperkirakan, telah berdiri tiga kerajaan Melayu Kuno di Jambi, yaitu Koying (abad ke-3 M), Tupo (abad ke-3 M) dan Kantoli (abad ke-5). Seiring perkembangan sejarah, kerajaan-kerajan ini lenyap tanpa banyak meninggalkan jejak sejarah.
Dalam sejarahnya, negeri ini pernah dikuasai oleh beberapa kekuatan besar, mulai dari Sriwijaya, Singosari, Majapahit, Malaka hingga Johor-Riau. Terkenal dan selalu menjadi rebutan merupakan tanda bahwa Jambi sangat penting pada masa dulu. Bahkan, berdasarkan temuan beberapa benda purbakala, Jambi pernah menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya.
Setelah Koying, Tupo dan Kantoli runtuh, kemudian berdiri Kerajaan Melayu Jambi. Berita tertua mengenai kerajaan ini berasal dari T’ang-hui-yao yang disusun oleh Wang-p’u pada tahun 961 M, di masa pemerintahan dinasti T’ang dan Hsin T’ang Shu yang disusun pada awal abad ke-7, M di masa pemerintahan dinasti Sung.
Diperkirakan, Kerajaan Melayu Jambi telah berdiri sekitar tahun 644/645 M, lebih awal sekitar 25 tahun dari Sriwijaya yang berdiri tahun 670. Harus diakui bahwa, sejarah tentang Melayu kuno ini masih gelap. Sampai sekarang, data utamanya masih didasarkan pada berita-berita dari negeri Cina, yang terkadang sulit sekali ditafsirkan. Namun, dibandingkan daerah lainnya di Sumatera, data arkeologis yang ditemukan di Jambi merupakan yang terlengkap.
Data-data arkeologis tersebut terutama berasal dari abad ke-9 hingga 14 M. Untuk keluar dari kegelapan sejarah tersebut, maka, sejarah mengenai Kerajaan Melayu Jambi berikut ini akan lebih terfokus pada fase pasca abad ke-9, terutama ketika Aditywarman mendirikan Kerajaan Swarnabhumi di daerah ini pada pertengahan abad ke-14 M.
Sebelum bercerita lebih banyak mengenai Aditywarman, ada baiknya tulisan ini diawali dengan pemaparan sejarah leluhur Adityawarman di tanah Melayu ini. Ketika Sriwijaya berdiri, Kerajaan Melayu Jambi menjadi daerah taklukannya. Kemudian, ketika Sriwijaya runtuh akibat serangan Kerajaan Cola dari India pada tahun 1025 M, para bangsawan Sriwijaya banyak yang melarikan diri ke hulu Sungai Batang Hari, dan bergabung dengan Kerajaan Melayu yang memang sudah lebih dulu berdiri, tapi saat itu menjadi daerah taklukannya. Lebih kurang setengah abad kemudian, sekitar tahun 1088 M, keadaan berbalik, Kerajaan Melayu Jambi menaklukkan Sriwijaya yang memang sudah di ambang kehancuran.
Kerajaan Melayu Jambi mulai berkembang lagi, saat itu, namanya adalah Dharmasraya. Sayang sekali, hanya sedikit catatan sejarah mengenai Dharmasraya ini. Rajanya yang bernama Shri Tribhuana Raja Mauliwarmadhewa (1270-1297) menikah dengan Puti Reno Mandi. Dari pernikahan ini, kemudian lahir dua orang putri: Dara Jingga dan Dara Petak
Menjelang akhir abad ke-13, Kartanegara mengirim dua kali ekspedisi, yang kemudian dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu I dan II. Dalam ekspedisi pertama, Kartanegara berhasil menaklukkan Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang memang sudah lemah. Berdasarkan Babad Jawa versi Mangkunegaran disebutkan bahwa, Kartanegara menaklukkan Jambi pada tahun 1275 M.
Pada tahun 1286 M, Kartanegara mengirimkan sebuah arca Amogapacha ke Kerajaan Dharmasraya.
Raja dan rakyat Dharmasraya sangat gembira menerima persembahan dari Kartanegara ini. Sebagai tanda terimakasih Raja Dharmasraya pada Prabu Kartanegara, ia kemudian mengirimkan dua orang putrinya, Dara Jingga dan Dara Petak untuk dibawa ke Singosari. Dara Jingga kemudian menikah dengan Mahesa Anabrang dan melahirkan Aditywarman.
Ketika utusan Kartanegara ini kembali ke tanah Jawa, mereka mendapatkan Kerajaan Singosari telah hancur akibat serangan Jayakatwang dan pasukan Kubilai Khan. Sebagai penerus Singosari, muncul Kerajaan Majapahit dengan raja pertama Raden Wijaya. Dara Petak kemudian dipersembahkan kepada Raden Wijaya untuk diperistri. Dari perkawinan ini, kemudian lahir Raden Kalagemet. Ketika Kalagemet menjadi Raja Majapahit menggantikan ayahnya, ia memakai gelar Sri Jayanegara.
Demikianlah, keturunan Dara Petak menjadi Raja, sementara keturunan Dara Jingga, yaitu Aditywarman, menjadi salah seorang pejabat di istana Majapahit. Hingga suatu ketika, tahun 1340 M, Adityawarman dikirim kembali ke Sumatera, negeri leluhurnya, untuk mengurus daerah taklukan Majapahit, Dharmasraya. Namun, sesampainya di Sumatera, ia bukannya menjaga keutuhan wilayah taklukan Majapahit, malah kemudian berusaha untuk melepaskan diri dan mendirikan Kerajaan Swarnabhumi.
Wilayahnya adalah daerah warisan Dharmasraya, meliputi wilayah Kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya. Dengan ini, berarti eksistensi Dharmasraya telah diteruskan oleh kerajaan baru: Swarnabhumi. Pusat kerajaan diperkirakan berada di wilayah Jambi saat ini. Dalam perkembangannya, pusat kerajaan yang dipimpin Aditywarman ini kemudian berpindah ke Pagaruyung, hingga nama kerajaannya kemudian berubah menjadi Kerajaan Pagaruyung, atau dikenal juga dengan Kerajaan Minangkabau. Akibat perpindahan pusat kerajaan ini, Jambi kemudian menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau). Kejadian ini terjadi sekitar pertengahan abad ke-14.
Ketika Kerajaan Malaka muncul sebagai kekuatan baru di perairan Malaka pada awal abad ke-15, Jambi menjadi bagian wilayah kerajaan ini. Saat itu, Jambi merupakan salah satu bandar dagang yang ramai. Hingga keruntuhan Malaka pada tahun 1511 M di tangan Portugis, Jambi masih menjadi bagian dari Malaka. Tak lama kemudian, muncul Kerajaan Johor-Riau di perairan
Malaka sebagai ahli waris Kerajaan Malaka. Lagi-lagi, Jambi menjadi bagian dari kerajaan yang baru berdiri ini.
Malaka sebagai ahli waris Kerajaan Malaka. Lagi-lagi, Jambi menjadi bagian dari kerajaan yang baru berdiri ini.
Jambi memainkan peranan yang sangat penting dalam membantu Johor berperang melawan Portugis di Malaka. Kemudian, memanfaatkan situasi yang sedang tidak stabil di Johor akibat berperang dengan Portugis, Jambi mencoba untuk melepaskan diri. Dalam usaha untuk melepaskan diri ini, sejak tahun 1666 hingga 1673 M, telah terjadi beberapa kali peperangan antara Jambi melawan Johor. Dalam beberapa kali pertempuran tersebut, angkatan perang Jambi selalu mendapat kemenangan. Bahkan, Jambi berhasil menghancurkan ibukota Johor, Batu Sawar. Jambi terbebas dari kekuasaan Johor.
Namun, ini ternyata tidak berlangsung lama. Johor kemudian meminta bantuan orang-orang Bugis untuk mengalahkan Jambi. Akhirnya, atas bantuan orang-orang Bugis, Jambi berhasil dikalahkan Johor.
Di masa Kerajaan Dharmasraya, raja yang dikenal hanyalah Shri Tribhuana Raja Mauliwarmadhewa (1270-1297). Sementara raja-raja yang lain, belum didapat data yang lengkap. Di masa Kerajaan Swarnabhumi, rajanya yang paling terkenal adalah Aditywarman. Namun, ketika bergabung dengan Minangkabau, maka silsilah raja yang ada merupakan silsilah raja-raja Minangkabau.
Agak rumit memaparkan bagaimana periode pemerintahan berlangsung di Jambi, jika pemerintahan tersebut diandaikan sebuah kerajaan merdeka yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain. Berdasarkan sedikit data sejarah yang tersedia, tampaknya Jambi menikmati masa bebas dari pengaruh kerajaan lain hanya di masa Kerajaan Melayu Kuno. Selanjutnya, ketika Sriwijaya berdiri, Jambi menjadi daerah taklukan Sriwijaya, bahkan, menurut beberapa sumber yang, tentu saja masih diperdebatkan, Jambi pernah menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya.
Ketika Sriwijaya runtuh dan muncul kekuatan Singosari di Jawa, Jambi menjadi daerah taklukan Singosari. Ketika Singosari runtuh dan muncul kemudian Majapahit, Jambi menjadi wilayah taklukan Majapahit.
Dalam perkembangan selanjutnya, Jambi menjadi pusat Kerajaan Swarnabhumi yang didirikan Aditywarman.
Ketika pusat kerajaan Adityawarman berpindah ke Pagaruyung, Jambi menjadi bagian dari Kerajaan Minangkabau di Pagaruyung. Ketika Malaka muncul sebagai sebuah kekuatan baru di Selat Malaka, Jambi menjadi bagian dari wilayah Malaka. Malaka runtuh, kemudian muncul Johor. Lagi-lagi, Jambi menjadi bagian dari Kerajaan Johor. Demikianlah, Jambi telah menjadi target ekspansi setiap kerajaan besar yang berdiri di Nusantara ini.
Wilayah Kerajaan Jambi meliputi daerah sepanjang aliran Sungai Batang Hari yang sekarang menjadi wilayah Propinsi Jambi, yang berbatasan dengan wilayah Sumatera Barat, Riau dan Sumatera Selatan.
Di masa Jambi masih menjadi kerajaan merdeka, kerajaan dipimpin oleh seorang raja. Namun, belum ada kejelasan, apa status pemimpin daerah-daerah di Jambi, selama negeri ini menjadi bagian dari wilayah kerajaan lain.
Beberapa benda arkeologis yang ditemukan di daerah Jambi menunjukkan bahwa, di daerah ini telah berlangsung suatu aktifitas ekonomi yang berpusat di daerah Sungai Batang Hari. Temuan benda-benda keramik juga membuktikan bahwa, di daerah ini, penduduknya telah hidup dengan tingkat budaya yang tinggi. Temuan arca-arca Budha dan candi juga menunjukkan bahwa, orang-orang Jambi merupakan masyarakat yang religius. Ini hanyalah sedikit gambaran mengenai kehidupan di Jambi. Bagaimana sisi sosial budaya masyarakat secara keseluruhan? Sangat sulit untuk menggambarkan secara detil, bagaimana kehidupan sosial budaya ini berlangsung, mengingat data arkeologis yang sangat minim.
Dinamika perkembangan kerajaan Melayu di Jambi dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama, kerajaan Melayu I yang mulai berkembang kira-kira sebelum tahun 680 M. Dalam berita Dinasti Tang disebutkan bahwa pada tahun 644 dan 645 M utusan dagang dari Kerajaan Mo-lo-yu datang ke negeri Cina. Kedua, Kerajaan Melayu II yang menurut J.G. de Casparis, berkembang sekitar abad XI sampai sekitar tahun 1400. Pada masa tersebut kerajaan Melayu II telah mengadakan kontak dengan Jawa yang dibuktikan lewat adanya Ekspedisi Pamalayu pada 1275 dan pengiriman arca Amoghapasa Lokeswara pada 1286 ke Padang Roco (Jambi Hulu). Besar kemungkinan kerajaan yang dimaksud oleh Casparis adalah Kerajaan Darmasraya. Ketiga, kerajaan Melayu III yang telah terpengaruh oleh unsur Islam. Pengaruh ini dibuktikan dengan pemberian gelar sultan serta nama-nama Islam pada raja-raja yang memerintah, seperti Sultan Taha Saifuddin, Sultan Nazaruddin, dan lain-lain.
Kerajaan Melayu III atau disebut pula Kesultanan Jambi mulai dapat terekam perkembangannya sekitar akhir abad ke-19. Kerajaan ini muncul ketika pengaruh kekuasaan Kerajaan Darmasraya mulai melemah. Kerajaan Darmasraya sendiri mulai kehilangan pengaruh sejak adanya Ekspedisi Pamalayu pada 1275. Ekspedisi Pamalayu merupakan sebuah ekspedisi untuk menaklukkan Melayu dengan pusat Kerajaan Darmasraya di Swarnnabhumi (Sumatera). Ekspedisi ini merupakan buah pemikiran dari Raja Kertanegara dari Kerajaan Singasari yang naik tahta pada 1254.
Secara politik, sejak 1275 Kerajaan Darmasraya telah berada di bawah pengaruh Kerajaan Singasari. Pengaruh ini kembali dikukuhkan ketika Ekspedisi Pamalayu jilid 2 kembali dilakukan. Kali ini bukan di bawah panji Kerajaan Singasari, melainkan dibawah panji Kerajaan Majapahit. Adityawarman sebagai utusan sekaligus pemimpin pasukan dari Majapahit, sukses mendapatkan kembali pengaruh di Kerajaan Darmasraya yang sebelumnya direbut oleh Kesultanan Aru Barumun yang mendirikan Kesultanan Kuntu Kampar. Pada 1347 Adityawarman menyatakan diri sebagai raja dari kerajaan di Swarnnabhumi (Sumatera) yang meliputi kawasan Sungai Langsat-Sungai Dareh-Rambahan-Padang Roco yang merupakan kawasan di Minangkabau Timur yang dekat dengan Batanghari.
Suksesnya misi Ekspedisi Pamalayu jilid 2 membuat kedudukan Adityawarman semakin kuat sebagai penguasa di tanah Melayu. Daerah kekuasaannya kini meliputi seluruh Alam Minangkabau, bahkan sampai ke Riau Daratan. Pusat pemerintahan dipindahkan lebih masuk ke daerah pedalaman Alam Minangkabau, tidak lagi di Rantau Minangkabau, sampai akhirnya Luhak Tanah Datar menjadi pilihan untuk membangun pusat pemerintahan. Dengan demikian, Kerajaan Darmasraya di Jambi lambat laun berubah menjadi Kerajaan Pagaruyung Minangkabau, bahkan tidak salah jika dikatakan berubah menjadi “Kerajaan Minangkabau” Dari sinilah terjadi perpindahan pusat kerajaan, yaitu dari di Muaro Jambi kemudian Darmasraya lalu ke Saruaso.
Jika dilihat dari garis keturunan, Adityawarman sebenarnya adalah cucu dari Raja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa (Raja Kerajaan Darmasraya ketika Ekspedisi Pamalayu dilakukan oleh Kerajaan Singasari pada 1275). Akan tetapi kenyataan ini ternyata tidak menjadikan Adityawarman secara otomatis dapat menduduki tahta di Kerajaan Darmasraya. Besar kemungkinan karena alasan inilah, Adityawarman kemudian mendirikan kerajaan baru yang bernama Kerajaan Pagaruyung di Nagari Bukit Gombak, Saruaso, Luhak Tanah Datar, Sumatera Barat.
Kerajaan Darmasraya sendiri tetap berdiri di Jambi dengan Maharaja Mauli, yaitu keturunan Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa sebagai rajanya. Hanya saja secara politis Kerajaan Darmasraya di Jambi tetap menjadi daerah taklukan yang berada di bawah pengaruh Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau. Pengaruh Kerajaan Pagaruyung terhadap Kerajaan Darmasraya mulai melemah ketika Kerajaan Pagaruyung yang telah menjadi kesultanan karena pengaruh Islam mengalami pergolakan akibat perseteruan antara Kaum Paderi dan Kaum Adat. Perseteruan mencapai puncaknya ketika terjadi pembunuhan keluarga Kesultanan Pagaruyung yang dilakukan oleh Kaum Paderi di bawah pimpinan Tuanku Lelo, bawahan dari Tuanku Rao pada 1809.
Akibat pembunuhan ini tercerai-berailah anggota keluarga Kesultanan Pagaruyung yang saat itu diperintah oleh Sultan Arifin Muning Alamsyah (Sultan Bagagar Alamsyah). Perseteruan yang tidak berkesudahan membuat anggota Kesultanan Pagaruyung yang masih tersisa meminta bantuan Belanda untuk mengusir Kaum Paderi. Belanda menyanggupinya dengan kompensasi bahwa Kesultanan Pagaruyung berada di bawah pengaruh Belanda. Akan tetapi setelah kesepakatan antara pihak Belanda dan Kesultanan Pagaruyung telah tercapai, justru kini Kaum Adat berbalik bekerjasama dengan Kaum Paderi untuk memerangi Belanda. Akibatnya pada 2 Mei 1833 Yang Dipertuan Minangkabau Sultan Bagagar Alamsyah, raja terakhir Kesultanan Pagaruyung, ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Sultan dibuang ke Betawi, dan akhirnya dimakamkan di pekuburan Mangga Dua.
Sepeninggal Sultan Bagagar Alamsyah, perlawanan secara gerilya masih dilakukan oleh Sultan Sembahyang III. Akan tetapi perlawanan ini hanya terjadi sesaat karena pada 1870 Sultan Sembahyang III meninggal dunia di Muara Lembu. Dengan meninggalnya Sultan Sembahyang III, maka berakhir pula sejarah Kerajaan Pagaruyung yang didirikan oleh Adityawarman pada 1347.
Runtuhnya Kesultanan Pagaruyung membuat kendali pengaruh atas Kerajaan Darmasraya menjadi hilang. Kerajaan Darmasraya kemudian muncul kembali ke permukaan sebagai kerajaan baru yang dikenal dengan Kesultanan Jambi. Kesultanan menjadi bentuk baru kerajaan karena pengaruh Islam yang didapat ketika Kerajaan Darmasraya berada di bawah taklukan Kesultanan Pagaruyung.
Sejarah awal Kesultanan Jambi cukup sulit untuk ditelusuri. Hanya satu patokan yang cukup jelas bahwa sejarah awal berdirinya Kesultanan Jambi bersamaan dengan kebangkitan Islam. Sedangkan Islamisasi di Sumatera umumnya diyakini bermula pada abad ke-15. Sumber yang mengungkapkan sejarah awal Kesultanan Jambi pasca Kerajaan Darmasraya juga masih sedikit. Beberapa sumber tidak membicarakan secara spesifik tentang sejarah awal Kesultanan Jambi, namun berbicara tentang keadaan Jambi pada masa tersebut. Misalnya saja, pada abad ke-17, Kesultanan Jambi masih mengontrol daerah subur Kerinci di sebelah Tenggara. Akan tetapi sejak pertengahan abad ke-18 daerah tersebut tidak lagi mempedulikan kedaulatan kekuasaan Kesultanan Jambi. Sultan Jambi yang memerintah saat itu tidak bisa memberlakukan kewenangannya di daerah-daerah tenggara yang lain seperti Serampas dan Sungai Tenang. Sumber tersebut tidak menyebutkan secara terperinci tentang siapa sultan yang memerintah saat itu atau tindakan apa yang diambil sehubungan dengan sikap pembangkangan dari daerah Kerinci, Serampang, ataupun Sungai Tenang.
Sedikit keterangan lainnya tentang sejarah awal Kesultanan Jambi dapat dilihat ketika Kesultanan Jambi mengalami kejayaan di sektor perdagangan sekitar abad ke-16 sampai 17. Sekitar pertengahan tahun 1550-an hingga akhir abad ke-17, sektor perekonomian (perdagangan) di Kesultanan Jambi mengalami masa keemasan. Perdagangan yang dilakukan antara Kesultanan Jambi dengan Portugis, Inggris, dan Hindia Timur Belanda, sangat menguntungkan Kesultanan Jambi. Bahkan pada 1616, ibu kota Jambi sudah dipandang sebagai pelabuhan terkaya kedua di Sumatera setelah Aceh. Akan tetapi situasi ini mulai berubah sekitar tahun 1680-an. Pada tahun tersebut Jambi mulai kehilangan posisinya sebagai pelabuhan lada utama di pesisir timur Sumatera pasca perseteruan dengan Johor, disusul kemudian dengan pergolakan internal. Inggris yang melihat hilangnya prospek yang menguntungkan atas kerjasama perdagangan dengan Jambi, akhirnya meninggalkan pos dagangnya pada 1679. Situasi ini dimanfaatkan oleh VOC untuk menanamkan pengaruh lebih kuat, meskipun waktu itu VOC hanya memperoleh keuntungan yang sangat kecil. Pada 1688, Belanda menangkap Sultan Jambi dan membuangnya ke Batavia. Tindakan ini mengakibatkan terbelahnya Kesultanan Jambi menjadi dua kesultanan, hulu dan hilir.
Sejak terbelahnya Kesultanan Jambi, kejayaan akan perdagangan yang sempat dirasakan sekitar pertengahan tahun 1550-an hingga akhir abad ke-17, tidak pernah lagi diperoleh oleh Kesultanan Jambi. Bahkan setelah penyatuan kembali Kesultanan Jambi pada 1720-an, kejayaan di sektor perdagangan ini tidak pernah kembali dirasakan oleh Kesultanan Jambi. Penyebab utama karena pada akhir abad ke-18, terjadi pergeseran seputar komoditi utama dari Kesultanan Jambi. Jika sebelumnya lada menjadi komoditi utama, maka kini berubah menjadi emas. Dalam perdagangan emas ini, Kesultanan Jambi hanya memperoleh untung sedikit karena penambang emas yang didominasi orang dari Minangkabau mengekspor komoditi emas mereka ke tempat di manapun yang menjanjikan keuntungan tinggi, sehingga tidak selalu melalui ibukota Jambi. Ditambah lagi pihak Kesultanan Jambi tidak mempunyai otoritas efektif atas tindakan para pedagang ini, karena telah kehilangan pengaruh. Pihak Kesultanan Jambi tidak bisa mengambil tindakan sepihak karena menjadi negara vasal di bawah Kesultanan Minangkabau (Kesultanan Pagaruyung). Segala keputusan yang diambil oleh Kesultanan Jambi harus mendapat persetujuan dari Kesultanan Pagaruyung, bahkan hingga urusan pemilihan sultan. Keadaan ini memaksa pihak Kesultanan Jambi tidak bisa leluasa mengambil tindakan atas apa yang telah dilakukan oleh para pedagang Minangkabau, karena para pedagang ini mendapat perlindungan langsung dari Kesultanan Pagaruyung.
Sejarah awal Kesultanan Jambi mulai sedikit terbuka ketika diperintah oleh Sultan Mohildin yang memerintah sekitar tahun 1811. Salah satu bagian penting dari sejarah Kesultanan Jambi masa pemerintahan Sultan Mohildin adalah dilakukannya kontak awal dengan Pemerintah Hindia Belanda. Pada 1818, seorang utusan dari Pemerintah Hindia Belanda mendatangi Sultan Jambi berkenaan dengan konflik di Palembang dan Rawas. Dalam kontak awal ini, pihak Kesultanan Jambi menyatakan bahwa Sultan Mohildin mengungkapkan persahabatan dan menyatakan bahwa dia maupun rakyatnya tidak akan pernah mendukung Sultan Palembang. Catatan lain dari sejarah Kesultanan Jambi masa pemerintahan Sultan Mohildin adalah sejarah perang saudara yang melanda Kesultanan Jambi.
Keterangan lain ketika Kesultanan Jambi diperintah oleh Sultan Mohildin adalah keterangan tentang konflik internal (perang saudara). Pada 1811 penduduk ibukota yang dipimpin oleh para saudagar Arab dan suku Raja Empat Puluh bangkit melawan Sultan Mohildin karena dugaan terjadinya pembunuhan yang dilakukan oleh istri Sultan Mohildin terhadap beberapa anak perempuan keluarga kaya raya. Pemberontakan ini memaksa Sultan Mohildin untuk meminta bantuan saudaranya agar melindungi keluarga sultan. Saudara Sultan Mohildin setuju dengan syarat bahwa anaknya, Raden Tabun, dipermaklumkan sebagai pangeran ratu (putra mahkota) setelah Sultan Mohildin mangkat.
Pergolakan internal lainnya terjadi pada 1817-1818 yang terjadi antara Sultan Mohildin dengan sepupunya. Pergolakan ini berakibat pada kekalahan Sultan Mohildin, meskipun beberapa waktu kemudian sang sepupu tewas. Ketegangan berlanjut ketika putra Sultan Mohildin, Mohammad Fachruddin naik tahta pada 1821 atau 1829-1841. Naiknya Sultan Mohammad Fachruddin sebagai penguasa tertinggi di Kesultanan Jambi berarti mengesampingkan perjanjian antara Sultan Mohildin dan sepupunya melalui pengangkatan Raden Tabun selaku putra mahkota. Dengan demikian tujuan pengangkatan Raden Tabun sebagai putra mahkota yang selanjutnya diproyeksikan sebagai sultan, praktis tertutup dengan naiknya Mohammad Fachruddin sebagai sultan di Kesultanan Jambi. Bahkan Sultan Mohammad Fachruddin menunjuk saudaranya sebagai pangeran ratu untuk menggantikan kedudukan Raden Tabun. Pergolakan antara Sultan Mohammad Fachruddin dan Raden Tabun terus terjadi hingga tahun 1840-an. Sultan Mohammad Fachruddin sendiri pada dasarnya tidak dinobatkan secara adat dan baru menempati istana Kesultanan Jambi pada 1833. Sebelumnya, selama pergolakan terjadi beliau menempati daerah dataran tinggi padat penghuni, atau kadangkala di Muara Tebo dan di Sarolangun, Tembesi Hulu.
Sultan Mohammad Fachruddin yang naik menggantikan Sultan Mohildin, tetap melanjutkan kebijakan ayahnya untuk bersikap kooperatif dengan Pemerintah Hindia Belanda. Sikap ini dibuktikan ketika pada 3Agustus dan Oktober 1829, Residen Palembang F.C.E. Praetorius mengirimkan seorang utusan untuk menghadap Sultan Mohammad Fachruddin untuk memerangi perompak dan melacak kapal Belanda yang telah dirompak pada Mei 1829. Belanda sebenarnya tidak banyak berharap akan bantuan yang besar dari Kesultanan Jambi, mengingat Sultan Mohammad Fachruddin sendiri kala itu tidak tinggal di istana, melainkan tinggal di perbatasan Minangkabau untuk membantu Kesultanan Pagaruyung memerangi Kaum Paderi. Hanya saja sebagai cara untuk membangun kepercayaan dan mengawali hubungan baik, kontak dengan Kesultanan Jambi tetap harus dilakukan. Hal ini dikukuhkan dengan sebuah perundingan antara Sultan Mohammad Fachruddin dengan Residen Praetorius pada 1830.
Pada 14 November 1833 disepakati kontrak sementara antara Sultan Mohammad Fachruddin dengan Pemerintah Hindia Belanda yang ditandatangani di Sungai Bawang (sebuah dusun kecil di Rawa), di mana Sultan Mohammad Fachruddin menempatkan dirinya dan Kesultanan Jambi di bawah perlindungan dan otoritas tertinggi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Kontrak sementara ini akhirnya berubah menjadi kontrak permanen yang ditandatangani pada 1834. Bagi Belanda penandatanganan kontrak pada 1833 dan akhirnya dipermanenkan pada 1834, merupakan sebuah langkah yang sesuai dengan tujuan Pemerintah Kolonial, yaitu meluaskan otoritas Belanda di Sumatera, mengisolasi Minangkabau, dan berusaha membasmi Perompak.
Pemerintahan Sultan Mohammad Fachruddin berakhir dengan kemangkatannya pada Januari 1841 dan digantikan oleh Sultan Abdulrachman Nazaruddin. Ketika Sultan Abdulrachman Nazaruddin memerintah, terjadi serangkaian pemberontakan. Pada 1842, salah satu daerah di Jambi memberontak menentang Sultan Abdulrachman Nazaruddin. Pada 1845 ancaman akan adanya perang saudara semakin besar. Akan tetapi pada 1846 pertikaian ini berakhir. Seperti sultan pendahulunya, Sultan Abdulrachman Nazaruddin sangat menggantungkan kelangsungan kekuasaannya pada Belanda. Otoritas Kesultanan Jambi yang sangat lemah untuk menanggulangi adanya pergolakan bahkan sebatas mengatur rakyat, membuat perlindungan dari Belanda menjadi jalan keluar satu-satunya.
Pada Oktober 1855 Sultan Taha Saifuddin naik tahta untuk Sultan Abdulrachman Nazaruddin yang mangkat pada 18 Oktober 1855. Pemerintahan Sultan Taha Saifuddin ditandai dengan perseteruan antara Kesultanan Jambi dengan Belanda. Perseteruan tersebut merupakan efek dari penolakan Sultan Taha Saifuddin terhadap perjanjian dengan Belanda. Tidak seperti para sultan pendahulunya, Sultan Taha Saifuddin memilih untuk tidak menjalin kerjasama dengan Belanda. Akibat dari perseteruan ini, Sultan Taha Saifuddin terdesak dan keluar dari istana pada 1858.
Meskipun keluar dari istana, perlawanan terhadap Belanda tetap dilakukan sampai beliau gugur pada 1904. Selama perlawanan terjadi, Belanda yang menduduki istana Kesultanan Jambi mengangkat sultan pengganti meskipun Sultan Taha Saifuddin masih hidup. Sultan lain yang naik tahta untuk menggantikan kedudukan Sultan Taha Saifuddin yang menyingkir keluar keraton, merupakan sultan yang diangkat oleh Belanda dan dianggap sebagai Sultan Bayang (tidur) Di kemudian hari, atas perlawanan gigihnya terhadap Belanda, Sultan Taha Saifuddin mendapat anugerah sebagai sebagai pahlawan nasional Indonesia pada 1977.
Sultan pertama yang naik tahta sebagai Sultan Bayang adalah Sultan Ahmad Nazaruddin (1855-1881). Beliau adalah paman dari Sultan Taha Saifuddin dan adik dari Sultan Abdulrachman Nazaruddin. Sultan Bayang kedua adalah Sultan Mahmud Mahiddin (1881-1866). Sedangkan Sultan Bayang yang terakhir adalah Sultan Ahmad Zainuddin (1866-1901). Sultan ini merupakan Sultan Bayang yang ketiga dan terakhir yang diangkat oleh Belanda, karena sesudah Sultan Ahmad Zainuddin turun tahta, tidak terjalin kesepakatan antara para pembesar Kesultanan Jambi dengan Belanda untuk mengangkat calon sultan pengganti. Ketika Sultan Ahmad Zainuddin memerintah, beliau mengangkat putra ketiga Sultan Taha Saifuddin yang bernama Raden Anom Kesumoyudo yang masih berumur empat tahun sebagai pangeran ratu (putra mahkota). Sedangkan untuk kuasa pangeran ratu diangkatlah Raden Abdurrachman, putra Sultan Mahmud Mahiddin dan Pangeran Ario Jayakusumo yang kemudian digantikan oleh Pangeran Marto Jayakusumo, Putra Sultan Abdulrachman Nazaruddin.
Faktor pemicu pergolakan yang terjadi di Kesultanan Jambi, khususnya keinginan Belanda untuk menguasai Jambi, salah satunya disebabkan karena wilayah Kesultanan Jambi sangat baik sebagai bandar perdagangan. Kesultanan Jambi merupakan sebuah negeri yang kuat dalam bidang maritim. Kekuatan Kesultanan Jambi di bidang maritim bisa dilihat dari faktor wilayah yang ada di Kesultanan Jambi.
Daerah Jambi, Palembang, Indragiri, Kualo Tungkal, dan lain-lain termasuk ke dalam daerah yang dinamakanthe favoured commercial coast. Pelayaran tempo dulu yang sangat bergantung pada angin muson yang bergerak berlainan arah setiap tahunnya, menjadikan kawasan pantai timur sebagai tempat peristirahatan menanti angin untuk melanjutkan pelayaran. Tempat-tempat ini berperan sebagai penghubung antara “negeri di atas angin,” yaitu India, Persia, dan Arab, dengan “negeri di bawah angin” seperti Jawa, dan pulau-pulau lain di sebelah timur seperti Muangthai, Vietnam, serta Asia Timur di sebelah Utara. Hal itu berkaitan dengan prinsip yang dianut oleh masyarakat di kawasan ini, menyangkut pelayaran niaga, yang dalam bahasa Edwar L. Poelinggomang dalam bukunya Perdagangan Maritim: Sumberdaya Ekonomi Manusia di Kawasan Indonesia Timur (1996) disebut sebagai prinsip laut bebas atau mare liberium.
Menurut teori kebaharian setidaknya terdapat 6 faktor yang menentukan sebuah negara dapat menjadi kekuatan laut, yaitu letak geografis, bentuk tanah dan pantai, luas wilayah, jumlah penduduk, karakter penduduk, sifat pemerintahan beserta lembaga-lembaga pendukungnya. Keadaan geografis di Jambi sangat mendukung bagi negeri tersebut untuk menjadi negara maritim. Hal ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa daerah Jambi merupakan titik pertemuan antara hulu dan hilir atau hinterland dengan foreland. Keadaan garis pantai purba wilayah Jambi bagian timur yang menghadap Teluk Wen dengan dukungan Sungai Batanghari dengan anak-anak sungainya merupakan bukti geografis yang sangat strategis.
Ditinjau dari bentuk tanah dan pantainya, Jambi merupakan daerah yang cocok untuk dijadikan lokasi pelabuhan. Tanah liat dengan kadar 72% tidak membahayakan bagi kapal yang merapat, serta wilayah pulau-pulau karang kecil-kecil sebagai tempat strategis kapal dalam perlindungan terhadap ombak. Dalam hal jumlah penduduk, berdasarkan temuan arkeologis, dapat diketahui bahwa kota-kota/pemukiman di sepanjang Sungai Bantanghari serta anak-anak sungainya merupakan daerah pemukiman penduduk yang padat, misalnya: Kualo Tungkal, Muaro Sabak, Simpang, Muaro Jambi, Muaro Tembesi, Muaro Tebo, Sungai Langsat, dan sebagainya. Untuk faktor penguasaan penduduk dalam menguasai sumber laut, Jambi mempunyai suku Bajau yang sangat familier dengan kehidupan laut. Suku Bajau merupakan kelompok suku bangsa yang hidup berpindah-pindah di perairan laut sebelah timur Jambi. Suku ini bertempat tinggal di perahu beratap dan bermata pencaharian mencari ikan. Sedangkan dalam hal sistem pemerintahan, Kesultanan Jambi menjalin hubungan baik dengan masyarakat pantai ataupun wilayah perairan sungainya sebagai faktor yang dominan dibandingkan masyarakat lainnya. Jadi ada hubungan ketergantungan antara masyarakat maritim dengan penguasanya, misalnya masyarakat Simpang dengan Jambi. Berbagai faktor pendukung tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh Kesultanan Jambi terutama sebagai kekuatan ekonomi, politik, maupun militer. Sebaliknya faktor inilah yang membuat pihak kolonial Hindia Belanda sangat menginginkan Kesultanan Jambi menjadi salah satu daerah jajahan di Sumatera.
Silsilah
Menurut buku Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1997) dari data yang berhasil dihimpun tentang silsilah para sultan yang memerintah di Kesultanan Jambi adalah sebagai berikut:
1. Sultan Mohildin (± 1811)
2. Sultan Mohammad Fachruddin (antara 1821 dan 1829-1841)
3. Sultan Abdulrachman Nazaruddin (1841-1855).
Silsilah para sultan ini ditambah dengan sumber lain dari buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi (1978/1979), yang menyebutkan bahwa setelah Sultan Abdulrachman Nazaruddin turun tahta, pengganti beliau adalah:
4. Sultan Taha Saifuddin (1855-1904)
5. Sultan Ahmad Nazaruddin (1855-1881)
6. Sultan Mahmud Mahiddin (1881-1866)
7. Sultan Ahmad Zainuddin (1866-1901).
Sistem Pemerintahan
Struktur negara Jambi (sistem pemerintahan Kesultanan Jambi) sama dengan sistem pemerintahan di banyak kerajaan Melayu klasik lainnya. Raja atau sultan dilekati dengan kekuatan mistik dan bertanggungjawab untuk menjaga keseimbangan kosmis antara langit dan bumi. Sultan memimpin rakyatnya dalam hubungan luar negeri dan secara internal bertindak sebagai penengah dan otoritas yudisial tertinggi, setidak-tidaknya bagi warga Jambi. Sultan dan pangeran ratu (putra mahkota) dipilih oleh perwakilan empat keluarga bangsawan Jambi atau suku: Kraton, Kedipan, Perban, dan Raja Empat Puluh. Jika menghendaki, sultan bisa menunjuk seorang penasehat khusus sebagai duta besar, mewakili dirinya dalam hubungan dengan pihak-pihak asing seperti otoritas kolonial. Sultan berkuasa bukan atas populasi homogen Melayu dengan asal usul Melayu yang sama, tetapi atas banyak kelompok etnis yang berbeda-beda (batin, Minangkabau, penghulu, suku-pindah, dan Kubu). Istana sendiri lebih bercorak Jawa ketimbang Melayu, sebagaimana tercermin dalam gelar-gelar Jawa yang dipakai. Sultan berfungsi sebagai pemegang kekuasaan yudisial tertinggi hanya pada orang-orang Jambi (yang berasal usul Melayu) yang hidup di sepanjang Sungai Bantanghari dan sebagian Tembesi.
Pemerintahan di pusat Kesultanan Jambi dipimpin oleh seorang sultan yang dibantu oleh pangeran ratu (putra mahkota) yang memimpin Rapat Dua Belas. Rapat Dua Belas terdiri atas dua bagian:
1. Kerapatan Patih Dalam (Dewan Menteri Dalam)
2. Kerapatan Patih Luar (Dewan Menteri Luar)
Masing-masing kerapatan terdiri dari 6 orang, 1 orang ketua dan 5 orang anggota.
Kerapatan Patih Dalam diketuai oleh Putra Mahkota yang bergelar Pangeran Ratu dengan para anggota yang diberi gelar :
1. Pangeran Adipati
2. Pangeran Suryo Notokusumo
3. Pangeran Jayadiningrat
4. Pangeran Aryo Jayakusumo
5. Pangeran Notomenggolo atau Pangeran Werokusumo
Kerapatan Patih Dalam pada hakekatnya merupakan Majelis Kerajaan (Rijksraad) yang berfungsi sebagai lembaga legislatif (DPR) pada masa sekarang.
Sedangkan Kerapatan Patih Luar dipimpin oleh seorang pangeran yang tertua dan diberi gelar Pangeran Diponegoro dengan para anggota yang diberi gelar:
1. Pangeran Mangkunegoro
2. Pangeran Purbo
3. Pangeran Marto Joyokusumo
4. Pangeran Kromodilogo
5. Pangeran Kusumodilogo
Kerapatan Patih Luar pada hakekatnya merupakan dewan kabinet atau lembaga eksekutif pada masa sekarang. Para anggota, baik dalam Kerapatan Patih Dalam maupun Luar berasal dari kalangan bangsawan tinggi atau bangsawan keraton dan atau dari sultan yang dipilih dan diangkat oleh sultan.
Alur pemerintahan dimulai dari sultan yang memberikan perintah kepada Kerapatan Patih Dalam yang meneruskannya kepada Kerapatan Patih Luar. Perintah dari Kerapatan Patih Luar kemudian diteruskan kepada kepala bagian Rapat Dua Belas, terus kepada para jenang, lalu kepada para batin dalam daerah-daerah perantauan (rantau gebied).
Perubahan yang cukup signifikan terjadi ketika Kesultanan Jambi diperintah oleh Sultan Taha Saifuddin. Sultan Taha Saifuddin tidak hanya mengangkat para anggota Kerapatan Patih Dalam dan Luar yang berasal dari kalangan bangsawan tinggi, tetapi juga mengangkat anggota dari kalangan bangsawan rendah. Para anggota tersebut yaitu:
Kerapatan Patih Dalam
1. Said Idrus bin Hasan Aljufri bergelar Pangeran Wirokusumo
2. Said Ali bin Alwi Aljufri bergelar Pangeran Syarif Ali
3. Said Husin Barakba bergelar Pangeran Mangkunegoro
4. Kemas Suko bergelar Pangeran Kusumoyudo
Kerapatan Patih Luar
1. Ki Demang Gemuk, dari Kampung Tengah, seberang Kota Jambi
2. Ki Demang Dullah Capuk, dari Kampung Jelmu, seberang Kota Jambi
3. Kemas Temenggung Puspowijoyo (Haji Muhammad Yasin), dari Kampung Tanjung Pasir, seberang Kota Jambi
4. Temenggung Surodilogo (Temenggung Tari), dari Kampung Baru, seberang Kota Jambi
5. Temenggung Tando, dari Kampung Tanjung Johor, seberang Kota Jambi.
Di samping Kerapatan Patih Dalam dan Luar, di dalam sistem pemerintahan Kesultanan Jambi juga dibentuk Dewan Kalbu dengan para anggota yang terdiri dari para hulubalang, ulama, tua tengganai, dan cerdik pandai. Dewan Kalbu ini pada hakekatnya merupakan Dewan Pertimbangan Agung pada masa sekarang
Secara struktural sistem pemerintahan di Kesultanan Jambi dari tingkat paling atas sampai tingkat paling bawah dapat dipetakan sebagai berikut:
1. Kesultanan dipimpin oleh sultan
2. Rantau dipimpin oleh jenang
3. Negeri dipimpin oleh batin
4. Luhak dipimpin oleh penghulu
5. Kampung atau dusun dipimpin oleh tuo-tuo
6. Rumah dipimpin oleh Tengganai.
Para jenang, batin, penghulu, dan tuo-tuo dengan daerahnya masing-masing ditetapkan oleh sultan dengan suatu surat perjanjian yang secara tertulis menyebutkan pula daerah hukum (rechtsgebied), hak untuk mempunyai pemerintahan sendiri (rechtgemeenschap, landschap) dengan disebutkan pula secara lengkap gelar-gelar yang diangkat, seperti:
1. Adipati
2. Rio Muncak
3. Temenggung
4. Ki Demang
5. Lurah
6. Mangku dan seterusnya
Adalah dusun yang mempunyai kekayaan sendiri akan tetapi tidak mempunyai hak penuh untuk bertindak karena berada di bawah perlindungan daerah yang kedudukannya lebih tinggi seperi luhak, negeri, atau rantau. Demikian juga hak untuk memperluas daerah bagi dusun tidak diperbolehkan, kecuali ada persetujuan dari daerah perlindungan yang bersangkutan.
Ketika Belanda menaklukkan Kesultanan Jambi, terjadi perubahan dalam sistem pemerintahan. Perubahan secara signifikan adalah menjadikan Jambi dan Kerinci dalam satu gewest (daerah) di bawah perintah seorang Residen. Dalam hal ini berarti pemegang kekuasaan tertinggi tidak lagi berada di tangan sultan, akan tetapi berada di tangan seorang residen yang merupakan kepanjangan tangan dari Pemerintah Hindia Belanda.
Wilayah Kekuasaan
Pada permulaan abad ke-19 wilayah selatan Jambi berbatasan dengan Karesidenan Palembang yang dibentuk sejak tahun 1819. Kesultanan Jambi sendiri mempunyai hubungan dengan karesidenan ini melalui Bengkulu dan Rawas (sebuah daerah di Palembang). Di sebelah utara berbatasan dengan Kesultanan Indragiri dan sejumlah kerajaan merdeka Minangkabau seperti Siguntur dan Lima Kota. Di sebelah barat, di Pegunungan Bukit Barisan, Jambi berbatasan dengan Dataran Tinggi Padang di Minangkabau, sebuah karesidenan sejak 1816.
Batas wilayah administrasi pemerintahan (batas wilayah kekuasaan) Kesultanan Jambi meliputi daerah-deerah yang tertuang dalam adagium adat “Pucuk Jambi sembilan lurah, Batangnyo Alam Rajo”. Adagium ini jika diterjemahkan kurang lebih artinya sebagai berikut:
a. Pucuk, yaitu Ulu, dataran tinggi.
b. Sembilan lurah, yaitu sembilan negeri atau wilayah.
c. Batangnyo Alam Rajo, yaitu daerah teras kerajaan yang terdiri atas dua belas suku atau daerah
Khusus untuk adagium “sembilan lurah” yang diartikan dengan sembilan negeri, menurut pepatah adat, ditambahkan pula dengan “empat di atas, tiga ditaruh di bawah, dan dua di Bangko bawah”. Tambahan adagium tersebut jika diterjemahkan kurang lebih artinya sebagai berikut:
a. Empat di atas, meliputi daerah Kerinci, di mana pemerintahannya diselenggarakan oleh empat depati, yaitu:
1. Depati Rencong Talang yang berpusat di Pulau Sangkar dengan daerah kekuasaan meliputi tanah di sebelah barat dan selatan Danau Kerinci.
2. Depati Muara Langkap Tanjung Langkap Sekian yang mempunyai pusat kekuasaan di Tamiang.
3. Depati Biang Sari dengan daerah kekuasaan yang meliputi tanah di sebelah tenggara dan timur Danau Kerinci.
5. Depati Atur Bumi yang menempatkan pusat kekuasaan di Hiang. Daerah kekuasaannya meliputi tanah di sebelah barat laut dan tenggara Danau Kerinci sampai daerah Gunung Kerinci
b. Tiga ditaruh di bawah, meliputi daerah Bangko atas, di mana pemerintahannya diselenggarakan oleh tiga depati, yaitu:
1. Depati Setio Rajo dengan daerah kekuasaan meliputi Lubuk Gaung.
2. Depati Setio Nyato dengan daerah kekuasaan meliput daerah Sungai Manau.
3. Depati Setio Beti dengan daerah kekuasaan meliputi Tantan
c. Dua di Bangko bawah, meliputi:
1. Daerah Batin IX, yang terdiri pula atas Batin IX Ulu dan Batin IX Ilir.
2. Daerah yang disebut Induk Enam anak sepuluh dan lebih dikenal dengan sebutan Luhak XVI, meliputi daerah-daerah :
1. Tiang Pumpung
2. Dusun Tuo
3. Sanggerahan
4. Sungai Tenang
5. Serampas
6. Pembarap
Selain adagium dari pepatah adat yang ditambahkan tersebut, adapula yang menganalogikan bahwa “sembilan lurah” dianalogikan dengan sembilan sungai yang mengalir di daerah Jambi, yaitu:
1. Batang Merangin
2. Batang Masumai
3. Batang Tabir
4. Batang Pelepat
5. Batang Senamat
6. Batang Tebo
7. Batang Bungo
8. Batang Jujuhan
9. Batang Abuan Tungkal
Adapun “Batangnyo Alam Rajo”, diartikan dengan daerah teras kerajaan yang terdiri dari 12 daerah atau suku, yaitu:
1. Jebus, meliputi negeri-negeri Sabak dan Dendang, Simpang, Aur Gading, Tanjung, dan Landrang.
2. Pemayung, meliputi negeri-negeri Teluk sebelah Ulu, Pudak Kumpeh, dan Berembang.
3. Maro Sebo, meliputi negeri-negeri Sungai Buluh, Pelayang, Sengketi Kecil, Sungai Ruan, Buluh Kasap, Kembang Seri, Rangas Sembilan, Sungai Aur, Teluk Lebar, Sungai Bengkal, Mengupeh, Remaji, Rantau Api, Rambutan Masam, dan Kubu Kandang.
4. Petajin, meliputi negeri-negeri Betung Bedarah, Penapalan, Sungai Keruh, Teluk Rendah, Dusun Tuo, Peninjauan, Tambun Arang, dan Pemunduran Kumpeh.
5. VII Koto disebut juga Kembang Peseban, meliputi negeri-negeri Teluk Ketapang, Muara Tabun, Nirah, Sungai Abang, Teluk Kayu Putih, Kuamang, dan Tanjung.
6. Awin, meliputi negeri Pulau Kayu Aro dan Dusun Tengah
7. Penagan, meliputi negeri Sudun Kuap
8. Mestong, meliputi negeri-negeri Tarekan, Lopak-Alas, Kota Karang, dan Sarang Burung.
9. Serdadu, meliputi negeri Sungai Terap.
10. Kebalen, meliputi negeri Terusan
11. Aur Hitam, meliputi negeri-negeri Durian Ijo, Tebing Tinggi, Padang Kelapa, Sungai Seluang, Pematang Buluh, dan Kejasung.
12. Pinokawan Tengah, meliputi negeri-negeri Dusun Dure Lupak Aur, Pulau Betung, dan Sungai Durian.
Secara geografis, paparan wilayah Kesultanan Jambi di atas dapat dirangkum menjadi dua bagian, yaitu:
1. Daerah Hulu Jambi yang meliputi:
1. Daerah Aliran Sungai Tungkal Ulu
2. Daerah Aliran Sungai Jujuhan
3. Daerah Aliran Sungai Batang Tebo
4. Daerah Aliran Sungai Tabir
5. Daerah Aliran Sungai Merangin dan Pangkalan Jambi.
2. Daerah Hilir Jambi, meliputi daerah yang dibatasi oleh Tungkal Ilir sampai Rantau Benar ke Danau Ambat, yaitu pertemuan antara Sungau Batanghari dan Batang Tembesi, sampai perbatasan dengan daerah Palembang.
Dari paparan luas wilayah secara geografis ini, menurut catatan tentara Belanda, luas keseluruhan wilayah Kesultanan Jambi adalah 884 Gm (Geografis mil) atau 1¼ kali luas negeri Belanda.
Sejalan dengan wilayah daerah administrasi Kesultanan Jambi, pepatah adat Jambi juga menyebutkan tentang batas-batas wilayah Kesultanan Jambi sebagai berikut:
“Dari ujung Jabung sampai Durian Takuk Rajo. Dan Sialang belantak besi sampai Bukit Tambun Tulang”.
Terjemahan dari pepatah adat tersebut kurang lebih diartikan sebagai berikut:
1. Ujung Jabung, yaitu daerah pantai Jambi (daerah Tungkal)
2. Durian Takuk Rajo, yaitu daerah Tanjung Samalidu.
3. Sialang belantak besi, yaitu daerah Sitinjau Laut.
4. Bukit Tambun Tulang, yaitu Bukit Tiga (Singkut)
Berdasarkan paparan wilayah kekuasaan Kesultanan Jambi serta batas-batas daerah kekuasaannya, maka dapat dikatakan bahwa wilayah Provinsi Jambi sekarang ini merupakan bekas wilayah kekuasaan Kesultanan Jambi.
Kehidupan Sosial-Budaya
Sifat hubungan hulu dan hilir atau gerak horisontal barat ke timur sangat mendominasi pertumbuhan dan perkembangan berbagai aspek kehidupan dalam politik, ekonomi, ataupun kebudayaan di wilayah Jambi. Hal ini dapat dilihat dari erat dan dinamisnya hubungan antara kota-kota hulu, misalnya Padang Roco, Muaro Tebo, Muaro Bungo, Muaro Tembesi, Muaro Bulian, Jambi, Muaro Jambi, Simpang, Muaro Zabak, Kualo Tungkal, perairan Riau, Selat Malaka, Jawa, Asia Timur, dan Asia Selatan khususnya India. Kebutuhan hulu dan hilir dilaksanakan dengan barter, misalnya kain sutera, keramik, tekstil dari Cina atau India, dengan hasil dari Kepulauan Indonesia berupa rempah-rempah, kayu wangi, dan lain-lain sehingga menimbulkan sistem perdagangan dari yang tradisional sampai modern. Potensi hulu dimanfaatkan oleh Kesultanan Jambi untuk membangun mitra perdagangan. Tercatat pada pertengahan tahun 1550-an hingga akhir abad ke-17, Kesultanan Jambi melakukan perdagangan lada yang menguntungkan. Pada mulanya perdagangan dilakukan dengan orang-orang Portugis dan sejak 1615 dengan perusahaan dagang Inggris dan Hindia Timur Belanda. Sebuah perdagangan di mana orang-orang Cina, Melayu, Makassar, dan Jawa juga terlibat. Lewat perdagangan ini para Sultan Jambi memperoleh keuntungan yang sangat berlimpah.
Selain itu tipologi daerah di Kesultanan Jambi ditandai dengan dukungan sungai besar Batanghari dengan anak-anak sungainya, yaitu Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang Asai, Batang Tabir, Batang Tebo, Batang Bungo, Batang Ule (Alai), Batang Jujuhan, dan Batang Siau. Kesembilan sungai ini juga mempunyai nama lain, yaitu: Batang Merangin, Batang Masumai, Batang Tabir, Batang Pelepat, Batang Senamat, Batang Tebo, Batang Bungo, Batang Jujuhan, dan Batang Abuan Tungkal. Kesembilan daerah aliran sungai ini disebut dengan ”sembilan lurah“ (negeri). Oleh karena itu daerah Kesultanan Jambi disebut juga dengan ”Pucuk Jambi Sembilan Lurah“. Di kawasan “sembilan lurah” ini telah terjadi aktivitas sosial-ekonomi yang didukung oleh potensi dari daerah pedalaman. Dukungan para kepala elite lokal yang menguasai tiap lurah dengan sebutan depati, membuat terbukanya potensi perdagangan antara Jambi dengan pihak luar. Perairan yang lebar dengan sungai yang dalam menciptakan daerah pemukiman padat di sepanjang aliran sungai dan meninggalkan temuan-temuan arkeologis berupa lebih dari 149 bekas pemukiman kuno maupun 70 situs purbakala.
Di sisi lain, mata pencaharian penduduk di wilayah Kesultanan Jambi adalah bertani. Di dataran rendah padi ditanam dengan cara membabat dan membakar hutan; sedang di dataran yang lebih subur seperti Tembesi dan Tebo, padi ditanam di sawah yang tidak jarang sampai surplus produksi dan dikirim ke dataran rendah. Di daerah Tebo dan Tembesi hulu, peternakan juga menjadi mata pencaharian penduduk.
Di luar dari kehidupan perekonomian di daerah Kesultanan Jambi berkembang pula kehidupan seni budaya. Perkembangan seni budaya di wilayah Kesultanan Jambi pada umumnya merupakan kelanjutan dari masa sebelumnya. Hanya saja untuk beberapa hal terdapat kreasi baru seperti dalam seni musik dan tari. Sedangkan jenis seni budaya di Kesultanan Jambi dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Seni ukir yang termanifestasi dalam bentuk :
a. Ukiran bunga tampuk manggis
b. Ukiran akar Cina
c. Ukiran tawang
2. Seni tari dan lagu, antar lain terdiri dari :
a. Tari Tauh atau lebih dikenal dengan istilah ”Betauh“
b. Tari nan Belambai
3. Seni kriya, yaitu anyam-anyaman yang terbuat dari bambu, rotan, dan pandan untuk kebutuhan rumah tangga sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar