Translate

Selasa, 20 September 2016

Kewajiban Mencari Guru Mursyid Sejati

Adapun Hadis yang dijadikan sebagai dalil bahwa Ali telah menerima Tarekat dari Nabi adalah didasarkan pada Hadis ketika Nabi membai’at Ali ibn Abi Thalib sebagaimana yang diriwayatkan oleh Thabrani dan Baihaqi :

وَعَنْ عَلِىٍّ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ: قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ أَيُّ الطَّرِيْقَةِ أَقْرَبُ إِلَى اللهِ وَأَسْهَلُهَا عَلَى عِبَادِ اللهِ وَأَفْضَلُهَا عِنْدَاللهِ تَعَالَى؟ فَقَالَ: يَاعَلِىُّ عَلَيْكَ بِدَوَامِ ذِكْرِاللهِ فَقَالَ عَلِىُّ كُلُّ النَّاسِ يَذْكُرُونَ اللهَ فَقَالَ ص م: يَاعَلِىُّ لاَتَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى لاَيَبْقَى عَلَى وَجْهِ اْلأَرْضِ مَنْ يَقُولُ, اللهُ اللهُ. فَقَالَ لَهُ عَلِىُّ كَيْفَ أَذْكُرُ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ فَقَالَ ص م: غَمِّضْ عَيْنَيْكَ  وَاَلْصِقْ شَفَتَيْكَ وَاَعْلَى لِسَانَكَ وَقُلْ اللهُ اللهُ .

Artinya: “Dan dari Sayyidina Ali Karramahullahu wajhahu, beliau berkata: Aku katakana, Ya Rasulallah, manakah jalan/tarekat yang sedekat-dekatnya kepada Allah dan semudah-mudahnya atas hamba Allah dan semulia-mulianya di sisi Allah? Maka sabda Rasulullah, ya Ali, penting atas kamu berkekalan/senantiasa berzikir kepada Allah. Maka berkatalah Ali, tiap orang berzikir kepada Allah. Maka Rasulullah bersabda: Ya Ali, tidak akan terjadi kiamat sehingga tiada tinggal lagi atas permukaan bumi ini, orang-orang yang mengucapkan Allah, Allah, maka sahut Ali kepada Rasulullah, bagaimana caranya aku berzikir ya Rasulullah? Maka Rasulullah bersabda: coba pejamkan kedua matamu dan rapatkan/katubkanlah kedua bibirmu dan naikkanlah lidahmu ke atas dan berkatalah engkau, Allah-Allah.

Lidah Ali telah tertungkat ke atas, tentulah lisannya tidak dapat menyebut Allah, Allah. Maka pada saat itu juga Ali ibn Abi Thalib mengalami fana fillah. Setelah Ali sadar, maka Nabi bertanya kepada Ali mengenai perjumpaannya dengan Allah, maka Ali berkata :

رَأَيْتُ رَبِّى بِعَيْنِ قَلْبِى, فَقُلْتُ لاَشَكَّ أَنْتَ أَنْتَ اللهُ

“Kulihat Tuhanku dengan mata hatiku dan akupun berkata: tidak aku ragu, engkau, engkaulah Allah”.

      Setelah Ali menceritakan perjumpaannya dengan Allah, maka kemudian Nabi membawa Ali di hadapan para umat dan berkata :

اَنَا مَدِيْنَةُ الْعِلْمِ وَعَلِى بَابُهَا

“Aku adalah gudangnya ilmu dan Ali adalah pintunya”.
            
Dari beberapa Hadis di atas mengindikasikan bahwa Ali ibn Abi Thalib adalah sahabat Nabi dan sekaligus sahabat yang diberi izin untuk mengajarkan Ilmu Tarekat ini dengan gelar “Karamullah Wajhahu” (karam/fana memandang wajah Allah) yaitu suatu gelar yang hanya diberikan kepada Ali ibn Abi Thalib karena ia telah karam/fana dalam memandang wajah Allah. 

Jadi syarat utama untuk menjadi seorang guru atau pemimpin Tarekat adalah harus mencapai maqam fana fillah dan tradisi ini tetap dipegang teguh di kalangan ahli-ahli Tarekat hingga kini.Demikianlah ketatnya para Sufi dalam memelihara keotentikan ilmu yang mereka peroleh dari Rasulullah; sehingga bila ada Tarekat yang silsilahnya tidak dari Nabi ke Ali ibn Abi Thalib maka Tarekat tersebut tidak dapat diterima.‎

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan Ilmu Tarekat adalah untuk mengenal Allah, sedangkan Tasawuf bertujuan untuk mengarahkan orang untuk mempelajari Ilmu Tarekat. Sebagai contoh, di dalam Tasauf terdapat ajaran bahwa belajar Tasawuf harus melalui guru sebagaimana dikatakan Abu Yazid al-Bisthami : ”Barang siapa yang menuntut ilmu tanpa berguru, maka wajib syetan gurunya”. Adapun maksud dari ungkapan tersebut bahwa belajar Tasawuf harus melalui guru adalah bahwa Tasawuf sebagai suatu disiplin ilmu tidak dapat dipelajari tanpa terlebih dahulu mempelajari Ilmu Tarekat, dan mustahil Ilmu Tarekat dapat dipelajari tanpa melalui guru. Sebab Ilmu Tarekat adalah ilmu yang bersifat praktek sedangkan Ilmu Tasawuf bersifat teori. Oleh sebab itu Tasawuf sebagai suatu disiplin ilmu tidak dapat berdiri sendiri tanpa didukung oleh Ilmu Tarekat. Artinya kita tidak akan dapat memahami Ilmu Tasawuf tanpa bantuan guru, sebab tujuan dipelajarinya Ilmu Tasawuf adalah untuk mengenal Allah. Untuk dapat mencapai pengenalan kepada Allah tidak dapat dipelajari lewat teori, akan tetapi harus berguru atau belajar secara langsung kepada orang yang telah dapat serta Allah sebagaimana Hadis Nabi SAW :

عن دود عن ابن مسعود قال رسول الله ص م : كُنْ مَعَ اللهِ وَاِنْ لَمْ تَكُنْ مَعَ اللهِ فَكُنْ مَعَ مَنْ كَانَ مَعَ اللهِ فَإِنَّهُ يُوْصِلُكَ اِلَى اللهِ

Artinya: “Sertakan dirimu kepada Allah, jika kamu belum dapat menyertakan dirimu kepada Allah, maka sertakanlah dirimu kepada orang yang telah serta Allah, maka ia akan menyampaikan kepada kamu pengenalan kepada Allah.” (H.R. Abu Dawud)
            
Berdasarkan keterangan Hadis di atas bahwa kita harus menyertakan diri kepada orang yang serta Allah, artinya kita harus belajar secara langsung kepada orang yang telah dapat serta Allah yang lazim disebut mursyid atau guru atau Syekh. Maka tidaklah berlebihan jika Abu Yazid al-Bisthami berpendapat bahwa: ”Barang siapa yang menuntut ilmu tanpa berguru, maka wajib syetan gurunya”, pendapat tersebut didasarkan pada Hadis Nabi SAW :

مَنْ لاَشَيْخٌ مُرْشِدٌ لَهُ فَمُرْشِدُهُ الشَّيْطَانُ

Artinya: “Barangsiapa yang tiada Syekh Mursyid (guru) yang memimpinnya ke jalan Allah, maka syetanlah yang menjadi gurunya”.

Maksudnya adalah mustahil mereka dapat memahami ajaran Tasawuf tanpa melalui guru, apalagi untuk dapat mengenal Allah yang ghaib. Maka sudah barang tentu gurunya adalah syetan, artinya tanpa bantuan guru mustahil Allah dapat dikenal.
            
Disinilah pentingnya kita mempunyai Guru Pembimbing, yang sudah mencapai tahap makrifatullah, seorang Guru yang Arifbillah, sudah sangat berpengalaman melewati jalan kepada Tuhan sehingga bisa memberikan kepada kita petunjuk agar bisa selamat sampai ke tujuan. Dengan bimbingan dari seorang mursyid/guru guna menunjukkan jalan yang aman dan selamat untuk menuju Allah (ma’rifatullah), maka posisi guru di sini adalah seperti seorang guide yang hafal jalan dan pernah melalui jalan itu sehingga jika kita dibimbingnya akan dipastikan kita tidak akan tersesat jalan dan sebaliknya jika kita berjalan sendiri dalam sebuah tujuan yang belum diketahui, maka kemungkinan besar kita akan tersesat, apalagi jika kita tidak membawa peta petunjuk. Namun mursyid dalam Tarekat tidak hanya membimbing secara lahiriah saja, tapi juga secara batiniah bahkan juga berfungsi sebagai mediasi antara seorang murid/salik dengan Rasulullah SAW dan Allah SWT. Dengan bahasa yang lebih mudah, bila diibaratkan sebagai sebuah kendaraan baik berupa bis, kapal laut atau pesawat terbang yang disopiri oleh seseorang yang telah punya izin mengemudi dan berpengalaman untuk membawa kendaraannya dengan beberapa penumpang di dalamnya untuk mencapai tujuan.

Oleh karena itu, untuk dapat mengenal Allah tidak cukup hanya dengan pembuktian melalui dalil Naqli (Ayat-ayat dan Hadis) dan dalil Aqli (Akal) semata, akan tetapi untuk memperoleh pengenalan kepada Allah anda memerlukan pembimbing rohani yang akan membimbing anda agar anda mengenal Tuhan yang anda sembah sampai kepada tingkat makrifat yaitu dapat menyaksikan Allah SWT.
            
Itulah sebabnya kenapa orang yang hanya belajar dari bacaan akan memperoleh hasil bacaan pula. Sementara orang yang belajar dari seorang Guru yang Ahli akan memperoleh hasil yang berwujud. Jangankan ilmu makrifat kepada Allah, yang sangat halus dan tak terhingga hebatnya, ilmu biasapun anda harus mempunyai Guru yang ahli. Anda bisa mempelajari ilmu ekonomi dari bacaan akan tetapi anda tidak akan bisa menjadi seorang sarjana ekonomi hanya dengan membaca. Anda memerlukan Guru (Dosen) yang akan membimbing, menguji, sehingga anda diakui sebagai seorang sarjana. Begitu juga dengan ilmu kedokteran, anda bisa memperoleh ilmu-ilmu tentang kedokteran dengan cara membaca buku-buku yang diajarkan di Fakultas Kedokteran, akan tetapi anda tidak akan pernah bisa menjadi dokter atau diakui sebagai dokter jika anda tidak mempunyai Guru (Dosen) yang akan membimbing dan menguji anda. Kalau anda memaksakan diri menjadi dokter (tanpa menuntut ilmu dari yang ahli), maka anda akan menjadi dokter gadungan yang akan menyusahkan banyak orang.
            
Orang yang mengaku bisa mengenal Allah hanya dengan mengandalkan Ilmu Kalam dan membaca tentang agama dari bahan bacaan saja, serta kemudian mengingkari posisi penting Guru tidak lain karena kesombongan semata. Memang anda akan mengetahui banyak ilmu tentang ayat-ayat, dalil-dalil, teori-teori akan tetapi anda tidak akan bisa mengenal Allah dengan hanya sekedar membaca. Guru yang akan membimbing anda adalah orang yang telah memperoleh pengakuan dari dari Guru sebelumnya, dan Guru sebelumnya telah memperoleh pengakuan juga dari Guru sebelumnya, secara sambung-menyambung sampai kepada Rasulullah SAW.
            
Apabila jalan kaum Sufi dapat dicapai dengan pemahaman tanpa bimbingan seorang Syekh, niscaya orang seperti Imam Al-Ghazali dan syekh Izuddin ibn Abdussalam tidak perlu berguru kepada seorang Syekh. Sebelum memasuki dunia Tasawuf, keduanya pernah berkata, “Setiap orang yang mengatakan bahwa ada jalan memperoleh ilmu selain apa yang ada pada kami, maka dia telah berbuat kebohongan kepada Allah”. Akan tetapi, setelah Imam Al-Ghazali dan Syekh Izuddin ibn Abdussalam yang tadinya hanya belajar Syari’at kemudian memasuki dunia Tasawuf keduanya berkata,“Sungguh kami telah menyia-nyiakan umur kami dalam kesia-siaan dan hijab (tabir penghalang antara hamba dan Tuhan)”.
            
Orang yang bisa menemukan kebenaran bukanlah orang yang banyak membaca buku karena terkadang semakin banyak yang dipelajari justru tanpa sadar menjadi hijab antara kita dengan Allah. Hanya kerendahan hati dan sikap mau belajar dan mencari yang menyebabkan seseorang mengenal Allah SWT., sebagaimana ucapan rendah hati Musa kepada Khaidir,“Bolehkah aku mengikutimu, agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”(Q.S. al-Kahfi : 66).

Iman Al-Ghazali juga mencari seorang Syekh yang menunjukkan ke jalan Tasawuf/Tarekat, padahal ia adalah Hujjatul Islam. Begitu juga, Syekh Izuddin ibn Abdussalam berkata, “Aku tidak mengetahui Islam sempurna kecuali setelah aku bergabung dengan Syekh Abu Hasan Asy Syadzili”. Abdul Wahab Asy Sya’rani berkata,“Apabila kedua ulama besar ini, yakni Al-Ghazali dan Syekh Izuddin ibn Abdussalam, padahal keduanya adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan luas tentang Syari’at, maka orang selain mereka tentu lebih membutuhkan lagi.”
            
Jadi tidaklah berlebihan jika para Sufi mengatakan bahawa mempelajari Ilmu Tarekat itu wajib hukumnya sekalipun sebesar-besar ulama :

طَلِبُ الشَّيْخُ وَجِبٍ عَلَى كُلِّ مُرِيْدٍ وَلَوْ مِنْ اَكْبَرِالْعُلَمَاءِ

“Bermula belajar kepada Syaikh (menuntut ilmu Tarekat) itu wajib hukumnya walau sebesar-besar ulama.”
            
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa wajib hukumnya mempelajari Ilmu Tarekat. Makna wajib di sini yaitu tidak boleh tidak, sebab tanpa bertarekat mustahil kita dapat mengenal Allah dan orang yang tidak kenal Allah sudah barang tentu “sesat” sebab ia tidak mengenal yang disembahnya, maka seluruh amal ibadahnya sia-sia dan tak akan dapat melepaskan azab Allah sebagaimana Hadis Nabi :

لاَتَصِحُّ الْعِيْبَدَةُ اِلاَّ بِمَعْرِفَةُ اللهِ

Artinya : “Tidak sah amal ibadah tanpa pengenalan kepada Allah

Oleh sebab itu siapa saja orang yang mengaku beragama Islam dan beriman kepada Allah, maka ia harus memiliki guru yang dapat mengenalkan ia kepada Allah, atau dengan kata lain, ia harus bertarekat atau bertasawuf. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Imam Malik :

مَنْ تَفَقَّهَ بِغَيْرِ تَصَوُّفٍ فَقَدْ تَفَسَّقَ وَمَنْ تَصَوُّفَ بِغَيْرِ تَفَقُّهٍ فَقَدْ تَزَنْدَقَ وَمَنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ تَحَقَّقَ   

Artinya: Barangsiapa mempelajari fiqih saja tanpa mempelajari tasawuf maka dihukumkan fasiq, dan barangsiapa mempelajari tasawuf saja tanpa mempelajari fiqih maka dihukumkan zindiq (menyimpang dari ajaran agama). Dan barangsiapa yang mempelajari kedua-duanya niscaya ia menjadi golongan Islam yang sesungguhnya.
            
Imam Malik berpendapat demikian karena dilatarbelakangi oleh Sabda Nabi SAW:

الشَّرِيْعَةُ بِلاَ حَقِيْقَةُ عَاطِلَةُ وَالْحَقِيْقَةُ بِلاَ شَرِيْعَةٍ بَاطِلَةٌ

Artinya: “Bersyariat tanpa berhakikat sia-sia (kosong/hampa) dan berhakikat tanpa bersyariat batal (tidak sah).
            
Maka i’tibar yang kita ambil dari keterangan Imam Malik tersebut, bahwa siapapun diantara orang Islam yang tidak bertasawuf dengan melakukan aqidah dan syariah, hukumnya ialah fasik.
            
Setiap larangan untuk meninggalkannya, berarti perintah untuk melakukannya. Pokok pengertian tentang perintah, hukumnya wajib. Dalam hal ini Imam Ali Addaqqaq mengambil kesimpulan sebagaimana yang tertulis di dalam kitab Risalah al-Qusyairiah:

وَاعْلَمْ أَنَّ الشَّرِيْعَةَ حَقِيْقَةٌ مِنْ حَيْثُ أَنَّهَا وَجَبَتْ بِأَمْرِهِ وَالْحَقِيْقَةُ أَيْضًاشَرِيْعَةٌ مِنْ حَيْثُ أَنَّ الْمَعَارِفَ بِهِ سُبْحَانَهُ أَيْضًا وَجَبَتْ بِأَمْرِهِ.

Artinya: Perlu diketahui, bahwa sesungguhnya Syariat itu adalah Hakekat. Bahwa sesungguhnya Syariat itu wajib hukumnya, karena ia adalah perintah Allah. Demikian juga Hakekat adalah wajib hukumnya dan bahwa sesungguhnya terhadap mengenal Allah swt. adalah wajib hukumnya dikarenakan  perintah Allah.
            
Maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mencari Guru Pembimbing (Mursyid) yang siap menuntun dan membimbing kita untuk mencapai pengenalan kepada Allah SWT. carilah Guru yang  benar-benar kammil-mukammil, yang tidak hanya pandai berbicara tentang teori ketuhanan, tetapi juga ahli di dalam praktek bertauhid yang dapat mengenalkan anda kepada Allah yang ghaib, sehingga anda dapat beribadah secara khusyuk karena anda telah mengenal Tuhan yang anda sembah. Abu Atha’ilah as-Sakandari dalam Latha’if al-Minan, berkata, “Engkau tidak akan kekurangan Mursyid yang dapat menunjukkanmu ke jalan Allah. Tapi yang sulit bagimu adalah mewujudkan kesungguhan dalam mencari mereka”.        
            
Berdasarkan penjelasan di atas cukup jelas bagi kita bahwa mempelajari Tarekat hukumnya adalah wajib. Namun mayoritas umat Islam saat ini tidak mengetahuinya, dan kalau pun mereka mengetahuinya, mereka akan tetap enggan untuk mempelajarinya.

Kata mursyid berasal dari bahasa Arab dan merupakan ism fa’il (Ingg. Present participle) kata kerja arsyada – yursyidu yang berarti “membimbing, menunjuki (jalan yang lurus)”, terambil dari kata rasyad ‘hal memperoleh petunjuk/kebenaran’ atau rusyd dan rasyada ‘hal mengikuti jalan yang benar/lurus’ [Lisan al-Arab, juz III: 175-176].

Dengan demikian, makna mursyid adalah “(orang) yang membimbing atau menunjuki jalan yang lurus” Dalam wacana tasawuf/tarekat mursyid sering digunakan dengan kata Arab Syaikh; kedua-duanya dapat diterjemahkan dengan “guru”.

Dalam al-Quran kata mursyid muncul dalam konteks hidayah (petunjuk) yang dioposisikan dengan dhalalah (kesesatan), dan ditampilkan untuk menyipati seorang wali yang oleh Tuhan dijadikan sebagai khalifah-Nya untuk memberikan petunjuk kepada manusia:

Salah satu fungsi dan sifat guru adalah menyebarluaskan bimbingan batin kepada manusia. Ini bukanlah sekedar bimbingan lahir dalam persoalan-persoalan hukum dan syariat, ini adalah posisi (maqom) yang agung dan mulia, yang telah dilimpahkan oleh Allah kepada orang-orang pilihan diantara makhluk-Nya, orang-orang pilihan ini dapat mempengaruhi pemikiran dan kehidupan batin manusia. Mereka menerangi ummat dengan pengetahuan batin dan membantu mereka untuk memperhalus jiwa dan perjalanan batinnya, maka menjadi kewajiban manusia untuk mengikuti dan menyatukan dirinya dengan mereka melalui bimbingan yang disediakannya, sehingga mencegah manusia agar tidak terjerumus kedalam lubang keinginan-keinginan intuitif dan kecenderungan terhadap penyelewengan-penyelewengan batin.

Mursyid adalah orang yang menduduki posisi tertinggi dalam kehidupan spiritual, dan dipercaya untuk mengemban tugas pembimbingan spiritual,   ia adalah saluran kasih sayang Allah yang mengalir kepadanya berkat pancaran suprasensible (diatas jangkauan indera). Al-quran mengkhususkan kondisi jabatan imam dengan pernyataan;

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآَيَاتِنَا يُوقِنُونَ

Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami. (As-Sajdah; 24)

وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ

Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah,(Al Anbiya; 73)

يَوْمَ نَدْعُوا كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ فَمَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَأُولَئِكَ يَقْرَءُونَ كِتَابَهُمْ وَلَا يُظْلَمُونَ فَتِيلًا
 
(ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya; dan Barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya Maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun. (Al-Isra ; 71)

وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim". (Al Baqarah; 124)

Kesimpulannya ayat-ayat tersebut mengidentifikasikan bahwa imamah/khalifah adalah ikatan ilahiyah yang hanya diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki oleh Allah yang dalam hal ini keturunan Ibrahim as. Tidak diragukan lagi bahwa hamba Allah yang paling sempurna diantara keturunan Ibrahim as. adalah Nabi Muhammad saw., dan para imam yang ma’sum/mahfudz,  sehingga mereka dianggap sebagai imam yang diberi kepercayaan dengan tugas bimbingan batin dan pengetahuan Ladunny.

Syekh Abu Yazid Bustomi memberikan pandangannya tentang kewajiban berguru

قَالَ أَبُو يَزِيْدِ البُسْطَامِى مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ فَشَيْخُهُ الشَّيْطَانُ (وَقَالَ) أَبُو سَعِيْدٍ مُحَمَّدٍ الْخَادَمِى مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ فَيَكُوْنُ مُسَخَّرَةً لِلشَّيْطَانِ(خزينة الأسرار ص 189)

"Abu Yazid Al Bustomi berkata: barang siapa yang tidak memiliki guru, maka gurunya adalah syetan. Dan berkata Abu Sa'id Muhammad Al Khodami: barang siapa yang tidak memiliki guru maka ia akan di tundukkan oleh syetan."

Didalam Al-quran pun diceritakan bahwa Nabi Musa berguru kepada Nabi Hidir As., hal ini memberikan pelajaran kepada kita tentang pentingnya berguru dengan patuh dan taat atas apa yang diperintahkan oleh guru, sabar dan istiqamah dalam mengikutinya.

قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا

Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"(Al-Kahfi 66).

Rabithah

Rabithah dalam pengertian bahasa(lughat) artinya bertali, berkait atau berhubungan. Sedangkan dalam pengertian istilah thareqat, rabithah adalah menghubungkan ruhaniah murid dengan ruhaniah guru,Guna mendapatkan wasilah dalam rangka perjalanan menuju Allah. Syaikh Mursyid adalah Khalifah Allah dan Khalifah Rasulullah. Mereka adalah wasilah atau pengantar menuju Allah. Jadi tujuan murobith adalah memperoleh wasilah.Rabithah antara murid dengan guru biasa adalah transfer of knowledge , yakni mentransfer ilmu pengetahuan, maka rabithah antara murid dengan guru mursyid adalah transfer of spiritual, yakni mentransfer masalah-masalah keruhanian. Di sinilah letak perbedaannya. Kalau transfer of knowledge tidak bisa sempurna tanpa guru, apalagi transfer of spiritual yang jauh lebih halus dan tinggi perkaranya, maka tidak akan bisa terjadi tanpa guru mursyid. 

Dasar-dasar utamanya adalah penunjukan yang dilakukan oleh Tuhan lewat guru mursyid atau ilham dari Allah Swt Karena itu tidak semua orang bisa menjadi guru mursyid. Seorang mursyid adalah seorang yang ruhaninya sudah bertemu Allah dan berpangkat waliyan mursyida, yakni kekasih Allah yang layak menunjuki umat sesuai dengan hidayah Allah yang diterimanya. Hal ini seperti dijelaskan dalam surat al Kahfi ayat 17.

وَتَرَى الشَّمْسَ إِذَا طَلَعَتْ تَزَاوَرُ عَنْ كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَإِذَا غَرَبَتْ تَقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ وَهُمْ فِي فَجْوَةٍ مِنْهُ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ۗ مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ ۖ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا

Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang Luas dalam gua itu. itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, Maka Dialah yang mendapat petunjuk; dan Barang siapa yang disesatkan-Nya, Maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. (QS. al Kahfi : 17) 

Jadi jelas fungsi guru mursyid adalah sebagai pembimbing ruhani, di samping itu juga sebagai orang tua yang harus dipatuhi segala perintahnya dan dijauhi segala yang dilarangnya. Dengan demikian seorang murid merasa takut manakala meninggalkan perintah agama dan atau melanggar larangan agama, karena waktu itu akan terbayanglah bagaimana marahnya wajah guru mursyid manakala dia berbuat demikian. 

Hal yang demikian ini pulalah yang menyebabkan nabi Yusuf merasa takut dan enggan ketika hendak diajak berzina oleh Siti Zulaikha. Terbayanglah oleh nabi Yusuf as wajah ayahnya (nabi Ya’kub) atau wajah suami Zulaikha (Qithfir) manakala ayahnya atau suami Zulaikha mengetahui apa yang akan diperbuatnya.

وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ ۖ وَهَمَّ بِهَا لَوْلَا أَنْ رَأَىٰ بُرْهَانَ رَبِّهِ ۚ كَذَٰلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ ۚ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ

Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata Dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. (QS. Yusuf : 24) 

Dasar-Dasar Rabithah Mursyid 
Dasar-dasar hukum yang digunakan sebagai dalil terhadap rabithah adalah firman Allah Swt.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersikap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kamu kepada Allah Swt supaya kamu beruntung (sukses). (QS. Ali Imran : 200). 

Kata warabithu dalam ayat ini adalah diambil arti hakikinya, lebih dalam dari sekedar makna lahiriahnya yaitu mengadakan penjagaan di pos-pos penting dalam situasi peperangan, agar musuh tidak menerobos. Kalau perang fisik, seseorang menjaga pertahanan wilayah dari serbuan musuh-musuh dari orang kafir, maka dalam perang metafisik, orang mengadakan rabithah di wilayah hati agar syetan tidak menyusup ke wilayah hati sanubari tersebut. Itulah yang menjadi dasar-dasar rabithah bagi para pakar tawasuf / thareqat. Menurut mereka rabithah mursyid adalah salah satu memperoleh wasilah menuju Allah. Firman Allah Swt.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah / jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya dan berjihatlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. al Maidah : 35) 

Menurut pendapat ahli thareqat, mafhum al-wasilah dalam ayat ini bersifat umum. Wasilah dapat diartikan dengan amal-amal kebajikan Berkumpul dan bergandengan dengan guru mursyid secara lahir atau batin termasuk amal yang baik dan terpuji. Berkumpul dan bergabung itulah oleh kalangan ahli thareqat disebut dengan rabithah mursyid. Jika diperintah mencari wasilah, maka rabithah adalah wasilah yang terbaik diantara jenis wasilah yang lain. Firman Allah

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah : jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kamu. Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran : 31) 

Ayat di atas menurut kalangan thareqat, isyarat kepada rabithah, sebab “mengikut” فَاتَّبِعُونِي itu menghendaki melihat yang diikuti. Dan melihat yang diikuti ada kalanya melihat tubuhnya secara nyata (konkret) dan ada kalanya melihatnya secar hayal (abstrak). Melihat dalam hayal itulah yang dimaksud dengan rabithah. Jika tidak demikian, tentu tidak dapat dinamakan mengikut. Allah Swt berfirman: 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah Swt dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (QS. at Taubah : 119) 

Asy Syekh Ubaidillah Ahrar menafsirkan kebersamaan dengan orang-orang yang benar, yang diperintahkan oleh Allah Swt dalam ayat itu terbagi dua: 

· Bersama-sama jasmaniah, yaitu semajelis, sehingga kita mendapatkan keberuntungan dari orang-orang yang shiddiq. 

· Bersama-sama maknawi, yaitu bersama-sama ruhaniah yang diartikan dengan rabithah. 

Dalam hadist qudsi Sabda Rasulullah SAW, 

Artinya : “Tidak dapat bumi dan langit-Ku menjangkau/ memuat akan zat-Ku (yang membawa Asma-Ku / Kalimah-Ku), melainkan yang dapat menjangkaunya / memuatnya ialah Hati Hamba-Ku Yang Mukmin / suci, lunak dan tenang.” (Hadis Qudsi R. Ahmad dari Wahab bin Munabbih). 

Dalam Sebuah Hadist Rasulullah SAW Bersabda :

كُنْ مَعَ الله فَ اِلَى مْتَكُنْ مَعَ الله فَكُنْ مَعَ مَنْ مَعَ الله فَ اِنَّهُ يُوْاصِلُكَ اِلَّاَ الله

" Kun ma'allah faiilam takun ma'allah fakun ma'a man ma'allah fainnahu yuushiluka ilallah " ( HR. Abu daud ) 

“Jadilah ( Ruhani ) kalian Bersama Allah , Jika ( ruhani ) Kalian Belum Bisa Bersama Allah, Maka Jadilah Kalian Bersama Dengan Orang Yang ( Ruhaninya ) telah Bersama ALLAH, Sesungguhnya Mereka Akan menghantarkan ( Ruhani ) kamu Kepada Allah.” ‎

Asy Syekh Muhammad Amin al Kurdi menyatakan wajibnya seorang murid terus-menerus me-rabithah-kan ruhaniahnya kepada ruhaniah Syekh gurunya yang mursyid, guna mendapatkan karunia dari Allah Swt. Karunia yang didapati itu bukanlah karunia dari mursyid, sebab mursyid tidak memberi bekas. Yang memberi bekas sesungguhnya hanya Allah Swt, sebab di tangan Allah Swt sajalah seluruh perbendaharaan yang ada di langit dan di bumi, dan tidak ada yang dapat berbuat untuk men-tasaruf-kannya kecuali Allah Swt. Hanya saja Allah Swt men-tasaruf-kannya itu, melalui pintu-pintu atau corong-corong yang telah ditetapkan-Nya, antara lain melalui para kekasih-Nya, para wali-wali Allah Swt yang memberikan syafaat dengan izin-Nya (Amin al Kurdi: 1994, hlm. 448). 
Syekh Muhammad Amin Al-Kurdi Al-Irdibiy Rhm. mengatakan: 

“Sesungguhnya rasa dekat dengan Syekh Mursyid bukan dikarenakan dekat zatnya, dan bukan pula karena mencari sesuatu dari pribadinya, tetapi karena mencari hal-hal yang dikaruniakan oleh Allah kepadanya (kedudukan yang telah dilimpahkan Allah atasnya) dengan mengi’tiqadkan (meyakini) bahwa yang membuat dan yang berbekas hanya semata-mata karena Allah Ta’ala seperti orang faqir berdiri di depan pintu orang kaya dengan tujuan meminta sesuatu yang dimilikinya sambil mengi’tiqadkan bahwa yang mengasihi dan memberi nikmat hanya Allah yang mempunyai gudang langit dan bumi, serta tidak ada yang menciptakan selain dari-Nya. Alasan ia berdiri di depan pintu rumah orang kaya itu karena ia meyakini bahwa di sana ada salah satu pintu nikmat Allah yang mungkin Allah memberikan nikmat itu melalui sebab orang kaya itu”. (Tanwirul Qulub : 527) 

Dalam kitab Mafaahiim Yajiibu an Tus-haha karangan Syekh Muhammad ‘Alawi Al-Maliki Al-Hasani bahwa Al-Hafizh Ibnu Katsir menyebutkan: 

“Sesungguhnya syi’ar kaum muslimin dalam peperangan Yamamah adalah: ‘Wahai Muhammad! (tolonglah kami)”. 

Rasulullah SAW bersabda: 

“Jika telah menyesatkan akan kamu sesuatu atau ingin minta pertolongan, sedangkan dia berada di satu bumi yang tidak ada padanya kawan, maka hendaklah dia berkata: ‘Wahai hamba Allah, tolonglah aku!’ Maka sesungguhnya bagi Allah itu ada hamba-hamba yang tidak dapat dilihat. Dan sungguh terbuktilah yang demikian itu”. (HR. Thabrani) 

Dan lagi sabda Rasulullah SAW: 

“Sesungguhnya Allah memiliki malaikat selain Hafazhah yang menulis apa-apa yang jatuh dari pohon. Maka apabila menimpa kepincangan di bumi yang luas, hendaklah dia menyeru: ‘Tolong aku, wahai hamba Allah”. (HR. Thabrani) 

Dikisahkan ketika anak-anak Ya’qub As. merasa bersalah (karena berusaha mencelakakan Yusuf As.), mereka semua menghadap orang tuanya, dan memohon kepada Ya’qub As.

قَالُوا يَا أَبَانَا اسْتَغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا إِنَّا كُنَّا خَاطِئِينَ

قَالَ سَوْفَ أَسْتَغْفِرُ لَكُمْ رَبِّي ۖ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيم

“Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)”. Ya’qub berkata, “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dialah Yang Pengampun lagi Penyayang (kepada seluruh hamba-Nya)”. (QS. Yusuf[12]: 96-98). 

Inilah salah satu bukti bahwa permohonan do’a ampunan tidak hanya dilakukan si pemohon, tapi dapat dimintakan tolong kepada seseorang yang dianggap shaleh atau dekat kepada Allah SWT. ‎

Adapun dalil sunah tentang rabithah antara lain tertera dibawah ini 

Hadits Bukhari menyatakan:

أَنَّ اَبَا بَكْرِ الصِّدِّيْق رَضِىَ الله عَنْهُ شكا لِلنَّبِىِّ عَدَمَ انْفِكاَكِهِ. عَنْهُ حَتىَّ فِى الْخَلاَءِ

Bahwa Abu Bakar as Shiddik mengadukan halnya kepada Rasulullah Saw bahwa ia tidak pernah lekang (terpisah ruhaninya) dari Nabi Saw sampai ke dalam WC. ‎

Sedangkan Sayyid Bakri berpendapat antara lain berbunyi sebagai berikut

وَيُضِمُّ أَيْضَا إِلىَ ذَلِكَ اسْتِمَضَارَشَيْخِهِ الْمُرْشِدِ لِيَكُوْنَ رَفِيْقَهُ فىِ السَّيِر إِلىَ الله تَعَالَى


Dan menyertakan pula kepada (dzikir Allah Allah) itu, akan hadirnya Gurunya yang memberi petunjuk, agar supaya menjadi teman dalam perjalan menuju kepada Allah Ta’ala. (Sayyid al Bakri dalam kitab Kifayatul atqiya, hlm. 107). 

Ciri ciri Mursyid Sejati 

ALLOH berfirman dalam Al-quranulkarim surat Al-kahfi ayat 17 ‎

وَتَرَى الشَّمْسَ إِذَا طَلَعَتْ تَزَاوَرُ عَنْ كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَإِذَا غَرَبَتْ تَقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ وَهُمْ فِي فَجْوَةٍ مِنْهُ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ۗ مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ ۖ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا

Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang Luas dalam gua itu. itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, Maka Dialah yang mendapat mursyid; dan Barang siapa yang disesatkan-Nya, Maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. (QS. al Kahfi : 17) ‎

Didasari dari Ayat diatas sudah barang tentu kita sebagai seorang hamba yang ingin selalu benar dalam nenapak jalan suci menuju kebahagiaan & keselamatan hakiki dunia wal akhirat dengan jalan taqorrub & mengenalan/makrifat kepada Alloh sang kholik pencipta langit bumi beserta isinya, untuk mencari guru mursid atau guru pembimbing yang mampu membimbing,menuntun dan menghantarkan kita wusul/makrifat/mengenal Alloh,,

Walaupun pada akhir zaman ini semakin sulit dijumpai guru pembimbing mursid kamil sejati,sampai diibaratkan bagaikan mencari burung gagak berwarna putih,Namun tidak usah kawatir karena Alloh tetap akan menyiapkan sampai hari kiamat, walaupun kwalitasnya dibawah ulamak guru mursid terdahulu,,pasti ada ditiap daerah kita atau tiap kota, tergantung kita saja mau tidak mencarinya,,kalau kita benar-benar merasa membutuhkan dokter untuk mengobati hati kita maka Alloh akan menunjuki jalan kepadanya,namun terkadang rasa egoisme kitalah yang sering menutupi jalan kita sendiri,merasa sudah Alim sariatnya,pintar,padahal hati kita masih gelap gulita,namun biasanya kita tak merasa,

Semoga kita digolongkan hamba yang menemukan guru mursid kamil/sejati,,Amin,,bagaimana ciri-cirinya?,,Nah pada kesempatan kali ini kami akan menulis ciri atau tanda-tanda guru mursid kamil yang kami kutip dari berbagai kitab tasawwuf diantaranya kitab Alhikam,khozinarul asror dan yang lainya serta berdasarkan pengalaman kami selama ini, insa'alloh ,semoga ada manfaatnya bagi kami sendiri kususnya dan bagi Sobat pembaca semuanya,

Luas ilmu dan amalnya
Tabahur fil 'ilmi wal 'amal atau luas ilmu dan amalnya termasuk sarat atau tanda-tanda seorang mursid pembimbing ruhani yang bahasa orang sekarang guru spritual,tentunya Ilmu yang dimaksud ilmu sari'at keislaman dan itu juga mencakup ilmu tasawwuf/pembersihan hati menuju hakikat makrifat,,mengapa harus kuat ilmu sari'atnya?,,iya karena hakikat tanpa sariat jadi batal,,mengapa harus kuat hakikatnya?,iya karena sariat tanpa hakikat kosong hanya wadah tanpa isinya,,dengan imbang keduanya seorang mursid tidak mudah terpeleset pada aqidah-aqidah sesat yang banyak beterbaran pada zaman akhir ini,

Sudah selesai mendidik nafsu diri
Orang jawa bilang wis mungkur topo brotone,,Selesai mendidik nafsu diri dari nafsu terendah ammaroh bissuk sampai menjadi nafsu yang mutmainnah,rodhiyah mardiyah„hingga beliau menjadi sosok pribadi yang 'Amilin,,'Arifin/makrifat,,muttaqin/takwa/takut kepada Alloh,ini adalah termasuk sarat atau tanda seorang pembimbing ruhani,dengan modal pengalamanya itulah beliau akan bersama-sama mendidik murid-muridnya untuk mujahadah memerangi nafsu untuk menuju derajat wusul/mengenal Alloh,,tentunya juga dengan selalu minta pertolongan Alloh,

Dikuatkan dengan cahaya basiroh
Almuayyadu binnurilbasiroh,,Seorang guru mursid yang bertugas mendidik ruhani para umat,pastilah oleh Alloh dianugerahai Nur basiroh/cahaya mata hati atau ilmu laduni hikmah yang untuk bagaimana menyiasati agar para murid atau salik bisa menjalani suluk mujahadah dengan benar untuk menuju wusul/makrifat kepada Alloh taala,,yang antara murid yang satu dan lainya berbeda-beda karena watak, sifat dan penyakit hati yang beda-beda pula,,maka disinilah fungsil ilmu hikmah siasat laduni,,Guru mursid sejati tetap akan mendidik dan mengawasi murid walaupun beliau sudah meninggal dunia secara jasadnya,,

Waskita tau cacat muridnya
Mengetahui cacat dari sifat murid-muridnya namun untuk diperbaiki bukan untuk disebar luaskan,dia mendidik muridnya dengan isarah yang sangat halus,terkadang muridnya tidak langsung merasa,ini juga salah satu ciri atau tanda guru mursid sejati,,bukan model orang yang waskitha tapi gemar membuka aib orang lain  untuk mencela dan memperlihatkan kehebatan penerawanganya,model ini bukan model guru mursid tapi guru fasid/rusak yang tidak pantas digurui sebaiknya malah kita jauhi,sebab dia dengan keawasanya/kewaskitaanya malah jauh dari Alloh,karomahnya menjadi penglulu semakin ia tau keburukan rahasia orang maka dia akan mengungkapnya didepan umum demi membesarkan namanya,akhirnya tanpa disadari dosanya semakin bertambah-tambah,

Sangat sabar & berahlak mulia
Sobruntowilun atau kesabaran yang tyada batas termasuk tanda atau ciri guru mursid,sabar dalam musibah dan dari orang yang menyakiti dan menghalangi perjuanganya,,Guru mursid juga berakhalak mulia lainya seperti sifat dermawan,pemaaf,rendah hati,tawakkal dan sifat-sifat mulia lainya,,memang mereka pewaris ahklak Rosulululoh sayyiduna muhamad saw,banyak kisah-kisah tentang kesabaran & kemuliaan ahklaknya,

Belas kasih kepada mukmin dhoif
Sifat kasih sayang kepada orang-orang yang masih dhoif/tipis imanya adalah suatu sifat yang paling menonjol sebagai guru mursid yang mendidik umat,,seperti para wali songo penyebar islam kurun pertama dipulau jawa ini,,dia mendekati masyarakat dengan cara halus dengan menyelami kultur budayanya ,,akhirnya coba lihat hasilnya sekarang umat islam dijawa dan umumnya indonesia sudah dimana-mana berkat perjuangan beliau,,Bukan seperti cara orang-orang akhir zaman ini yang seringkali senang membid ah bid ahkan dan mengkafirkan orang dengan mudahnya,,padahal hatinya masih gelap gulita, walaupun mereka mengaku islam dan banyak yang memakai jubah dan surban yang besar,astagfirulloh,,

Zuhud terhadap dunia
Azzuhdu 'aniddunuya,,zuhud terhadap dunia ,atau dengan artian lain tidak mencintai dunia,,dunia hanya dianggap alat saja untuk mencapai akhirat,dunia hanya ditangan tidak sampai memenuhi hati,,addunya masro'atul akhiroh, dunia adalah ladang untuk akhirot,hanyalah titipan saja,walaupun mereka oleh Alloh dititipi banyak dunia, beliau menginfakkan semuanya kejalan Alloh,mereka tidak takut akan miskin,karena hati mereka hanya bersandar kepada Alloh yang maha kaya,,banyak kisah kisah guri mursid yang sangat dermawan diantara Sayikhuna Almarhum Kiayi Haji Abdul Jalil Bin Mustaqim Pengasuh pondok pesulukan PETA Tulungagung sekaligus guru mursid toriqoh shadiliyah,Beliau hampir setiap harinya menjamin makanan ratusan para tamu & santrinya juga tiap beberapa bulan menyantuni fakir miskin,para janda dan lainya dengan sembako pakain dan lainya,,,Dan ada juga kisah Almarhum Habibana Mundir Almusawa yang sudah sangat terkenal diindonesia yang punya Majlis Rosulluloh,,beliau sangat dermawan saya sempat dengar dipengajian bahwa ada seseorang kiayi yang bertamu kerumah beliau Habib Mundir,tamu itu diberi uang  Ratusan Juta untuk pembangunan pondok dan untuk tamunya sendiri,,beliau juga sering membelikan rumah orang lain ,padahal rumah beliau sendiri masih kontrakan,,Subhanalloh sungguh luar biasa Ahlak para pewaris Rosululloh saw yang menjadi teladan umat diseluruh dunia,,

Apabila ke 7 sifat mulia diatas tidak kita jumpai pada satu Orang,,setidaknya ada beberapa sebagian sifat yang masuk dalam kriteria diatas,,karena tiyada gading yang tak retak,,tapi insa'alloh masih ada sampai yaumulkiamah, krana memang sudah disiapkan Alloh,,tergantung kita dalam mencarinya,,


Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

6 komentar:

  1. Assalamualaikum Salam sejahtera untuk kita semua, Sengaja ingin menulis
    sedikit kesaksian untuk berbagi, barangkali ada teman-teman yang sedang
    kesulitan masalah keuangan, Awal mula saya mengamalkan Pesugihan Tanpa
    Tumbal karena usaha saya bangkrut dan saya menanggung hutang sebesar
    1M saya sters hampir bunuh diri tidak tau harus bagaimana agar bisa
    melunasi hutang saya, saya coba buka-buka internet dan saya bertemu
    dengan KYAI SOLEH PATI, awalnya saya ragu dan tidak percaya tapi selama 3 hari
    saya berpikir, saya akhirnya bergabung dan menghubungi KYAI SOLEH PATI
    kata Pak.kyai pesugihan yang cocok untuk saya adalah pesugihan
    penarikan uang gaib 4Milyar dengan tumbal hewan, Semua petunjuk saya ikuti
    dan hanya 1 hari Astagfirullahallazim, Alhamdulilah akhirnya 4M yang saya
    minta benar benar ada di tangan saya semua hutang saya lunas dan sisanya
    buat modal usaha. sekarang rumah sudah punya dan mobil pun sudah ada.
    Maka dari itu, setiap kali ada teman saya yang mengeluhkan nasibnya, saya
    sering menyarankan untuk menghubungi KYAI SOLEH PATI Di Tlp 0852-2589-0869
    agar di berikan arahan. Supaya tidak langsung datang ke jawa timur,
    saya sendiri dulu hanya berkonsultasi jarak jauh. Alhamdulillah, hasilnya sangat baik,
    jika ingin seperti saya coba hubungi KYAI SOLEH PATI pasti akan di bantu Oleh Beliau

    BalasHapus
  2. Assalamualaikum
    Terima kasih di atas penjelasan diberi.
    Sekurang-kurangnya saya memahami maksud mendapatkan guru mursyid. Alhamdulillah.
    Jika ada apa-apa maklumat berkaitan, sila hubungi: yazid9963@gmail.com

    BalasHapus
  3. Penjelasan tentang Guru Mursyid Sejati... SETUJU... Jaman NOW siapa Guru Mursyid Sejati yang masih hidup..?

    BalasHapus
  4. Setiap 100 thn sekali, Allah mengirimkan khalifah(mujaddid)Guru sejati. Berbaik sangka l
    ah kepada Allah dan makhluknya serta semua ciptaanNya

    BalasHapus
  5. banyak kajian yang telah saya dengar dan ikuti terkait mencari guru mursyid ini, namun belum terbuka jalan untuk menujunya?

    BalasHapus
  6. Saya yakin Habib luthfi salah satu guru mursyid

    BalasHapus