Translate

Jumat, 23 September 2016

Makna Kulu Bid'ah Dalam Tinjauan Ilmu Balaghoh

Banyak orang yang salah faham akan makna bid’ah yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mengatakan bahwa semua bid’ah adalah kesesatan. Mereka menganggap bahwa dengan memahami hadits  ‘kullu bid’atin dholalah, wa kullu dholalatin finnaar’ secara tekstual, maka semua orang akan masuk neraka, sebab kehidupan kita dipenuhi dengan bid’ah. Cara berpakaian, berbagai jenis perabotan rumah tangga, sarana transportasi, pengeras suara, permadani yang terhampar di masjid-masjid, lantai masjid yang terbuat dari batu marmer, penggunaan sendok dan garpu, hingga berbagai kemajuan teknologi lainnya, semua itu merupakan hal baru yang tidak pernah ada di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. Semuanya adalah bid’ah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat dan semua yang sesat tempatnya di neraka.‎

Pemahaman yang rancu semacam ini muncul dari ketidaktahuan mereka akan uslub (gaya bahasa) Al Qur’an, Hadits, atau ucapan para ulama yang senantiasa membedakan pengertian suatu kata dari segi etimologis (bahasa) dan terminologis (istilah/syar’i). Kerancuan tadi juga disebabkan oleh ketidak fahaman orang tersebut akan konteks suatu nash (ayat/hadits), atau karena pemahaman parsial — yang memegangi satu nash dan mengabaikan nash-nash lainnya–, atau akibat mencomot nash tersebut dari konteks selengkapnya. Dan yang terakhir ini cukup fatal akibatnya, sebagaimana yang akan kami jelaskan nanti.

Pentingnya membedakan antara definisi lughawi (bahasa) dan syar’i

Sebagai contoh, kata ‘ash-shalah’ (الصَّلاَة) merupakan mashdar (bentukan/noun) dari kata صَلَّى- يُصَلِّي, yang dalam bahasa Arab memiliki tak kurang dari lima makna. Al Fairuz abadi ‎mengatakan:

وَالصَّلاَةُ: الدُّعَاءُ, وَالرَّحْمَةُ, وَالاِسْتِغْفَارُ, وَحُسْنُ الثَّنَاءِ مِنَ اللهِ   عَلىَ رَسُولِهِ, وَعِبَادَةٌ فِيْهَا رُكُوعٌ وَسُجُودٌ.

‘ash shalaah’ artinya: (1)doa, (2)rahmat, (3)istighfar, (4) pujian yang baik dari Allah  terhadap Rasul-Nya, dan (5)ibadah yang mengandung ruku’ dan sujud).

Ketika menemukan definisi (الصلاة) semacam ini, seseorang harus menentukan terlebih dahulu mana yang merupakan definisi lughawi dan mana yang syar’i. Lalu ketika hendak mengartikan suatu hadits atau ayat tertentu, ia harus memperhatikan konteks ayat/hadits di mana istilah ini berada, kemudian menentukan apakah shalat di sini yang dimaksud ialah shalat secara ‎lughawi ataukah syar’i. Kalau secara bahasa ia memiliki lebih dari satu makna, maka ia harus meneliti makna apa yang diinginkan dalam konteks ini.

Bagaimana jika ia hanya memahami satu makna saja dari kata shalat tadi, lantas menerapkannya dalam seluruh konteks kalimat….? Jelas, cara seperti ini pasti mengacaukan pemahaman yang sebenarnya. Cobalah Anda simak jika shalat dalam ayat berikut diartikan secara lughawi sebagai doa umpamanya:

“Dirikanlah doa dari sejak matahari tergelincir hingga malam gelap…” (Al Isra’: 78). Tentu aneh kedengarannya, karena (الصلاة) disini maksudnya ialah shalat secara syar’i yang pakai ruku’ dan sujud, bukannya sekedar doa. Demikian pula kalau ia hanya mengartikannya dengan pengertian syar’i tanpa mengindahkan makna lughawinya. Maka ketika mendapati ayat berikut pemahamannya akan kacau:

 “Ambillah sebagian harta mereka sebagai zakat yang membersihkan dan menyucikan mereka; dan ‘shalatlah(?)’ kepada mereka, karena shalatmu menimbulkan ketenangan bagi mereka…(?)” (QS. 9:103). Dengan pola pikir semacam ini, tak menutup kemungkinan kalau suatu saat akan ada yang mengatakan bahwa menyolatkan orang yang masih hidup hukumnya sunnah!! Padahal yang dimaksud dengan (وَصَلِّ عَلَيْهِمْ) di sini artinya: “doakanlah mereka”, karena doa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menimbulkan ketenangan bagi mereka.

Bagaimana pula ia hendak mengartikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ (رواه مسلم 1431).

Apakah akan diartikan: “Kalau salah seorang dari kalian diundang makan hendaklah ia memenuhinya. Jika ia sedang berpuasa maka shalatlah (?), namun jika sedang tidak berpuasa silakan menyantap makanannya” (H.R. Muslim no 1431). Padahal maksudnya agar ia mendoakan orang yang mengundangnya kalau ia sedang berpuasa.

Sama persis dengan masalah bid’ah yang sedang kita bahas. Berangkat dari salah pengertian tentang makna bid’ah yang dianggap sesat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagian orang langsung membid’ahkan setiap hal baru yang terjadi pada diri kita, tanpa memilah-milah antara bid’ah dalam agama dengan bid’ah dalam urusan duniawi. Karenanya, kita harus mendudukkan pengertian bid’ah yang sebenarnya.

Akan tetapi sebelum kita mendefinisikan bid’ah, kita harus mengenal Sunnah terlebih dahulu. Karena sunnah identik dengan apa-apa yang harus dilakukan, sedangkan bid’ah identik dengan apa-apa yang harus ditinggalkan. Dan apa-apa yang harus dilakukan lazimnya dibahas lebih dahulu dari pada apa-apa yang harus ditinggalkan. Insya Allah dengan memahami Sunnah, kita akan memahami bid’ah.

Apa itu Sunnah?

Sunnah menurut bahasa, artinya: cara yang diikuti. Sedang menurut syar’i ialah semua yang disyari’atkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi umatnya atas izin dari Allah Ta’ala; yang berupa jalan-jalan kebaikan, atau adab-adab dan keutamaan yang beliau anjurkan, demi menyempurnakan umat ini dan membahagiakannya. Kalau yang beliau syari’atkan itu berupa perintah untuk melakukan sesuatu dan menekuninya, maka itulah Sunnah waajibah (yang diwajibkan), yang tak boleh ditinggalkan oleh seorang muslim pun. Namun jika bukan seperti itu, berarti itu Sunnah mustahabbah (yang disukai), yang bila dilakukan akan mendapat pahala, namun jika ditinggalkan pelakunya tidak akan disiksa.

Pembaca yang budiman, perlu kita ketahui bahwa sebagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan sunnah tadi lewat sabdanya; beliau juga mengajarkannya lewat perbuatan dan  persetujuannya. Maka ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan sesuatu secara berulang-ulang hingga jadi kebiasaan, jadilah hal itu sunnah bagi umatnya sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa hal tersebut termasuk khususiyyah (kekhususan) beliau, seperti puasa secara bersambung umpamanya (puasa wishal).

Demikian pula ketika beliau mendengar atau melihat sesuatu yang terjadi pada para sahabatnya, kemudian hal itu berulang sekian kali tanpa diingkari oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, jadilah itu sunnah taqririyyah (sunnah karena persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Akan tetapi jika apa yang beliau lakukan, atau yang beliau lihat dan dengarkan tadi tidak terjadi berulang kali, maka tidak termasuk sunnah. Mengapa? Karena kata sunnah  (سَنَّ – يَسُنُّ – سُنَّةً) berasal dari sesuatu yang berulang kali. Seperti kata (سَنَّ السِّكِّيْنَ) yang artinya mengasah pisau, yaitu menggosoknya berulang kali pada asahan sampai tajam.

Contoh apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekali saja dan tak diulangi lagi –hingga tidak dianggap sebagai sunnah– ialah ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak antara shalat dhuhur dan asar, dan antara maghrib dan isya’ tanpa udzur seperti safar, sakit, ataupun hujan (H.R. Muslim dan Tirmidzi) ‎Karenanya, perbuatan Nabi ‎shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi tak menjadi sunnah yang dipraktekkan oleh kaum muslimin. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam At Tirmidzi setelah meriwayatkan hadits ini, beliau berkata:‎

جَمِيعُ مَا فِي هَذَا الْكِتَابِ مِنْ الْحَدِيثِ فَهُوَ مَعْمُولٌ بِهِ وَبِهِ أَخَذَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مَا خَلَا حَدِيثَيْنِ: حَدِيثَ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ  جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ بِالْمَدِينَةِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ وَحَدِيثَ النَّبِيِّ  أَنَّهُ قَالَ إِذَا شَرِبَ الْخَمْرَ فَاجْلِدُوهُ فَإِنْ عَادَ فِي الرَّابِعَةِ فَاقْتُلُوهُ.

Semua hadits yang ada dalam kitab ini (Sunan Tirmidzi) ialah untuk diamalkan, dan menjadi dalil bagi sebagian ulama; kecuali dua hadits: Hadits Ibnu Abbas yang berbunyi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak antara dhuhur, asar, maghrib, dan isya’ di Madinah tanpa alasan takut maupun hujan. Dan hadits Nabi yang mengatakan: “Kalau seseorang ketahuan minum khamer, maka cambuklah. Kalau ia minum lagi keempat kalinya, maka bunuh saja…” (lihat Kitabul ‘Ilal dari Sunan At Tirmidzi).

Sedangkan contoh dari apa yang pernah beliau diamkan dan beliau setujui sekali saja –hingga tidak bisa dianggap sunnah bagi kaum muslimin,– ialah hadits yang mengatakan tentang nadzar seorang wanita yang bila Allah Ta’ala memulangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari safarnya dalam keadaan selamat, ia akan menabuh rebana di hadapan beliau sebagai luapan rasa bahagia atas keselamatannya. ‎Maka wanita tersebut melangsungkan nadzarnya, dan beliau menyetujuinya kali itu saja. Karenanya, hal ini tidak bisa dianggap sebagai sunnah bagi umatnya.

Adapun contoh dari sunnah fi’liyyah ialah kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang selepas shalat berputar ke arah makmum. Hal ini terjadi ratusan kali, karenanya ini merupakan sunnah bagi setiap imam selepas shalat, meskipun beliau tak pernah memerintahkannya. Sedangkan contoh dari sunnah taqririyyah ialah ketika beliau mendiamkan apa yang dilakukan para sahabatnya saat mengiring jenazah. Beliau melihat ada yang berjalan di depan jenazah, ada yang disamping kanan, di kiri, dan ada yang di belakang, akan tetapi beliau mendiamkan mereka; dan hal terjadi berulang kali setiap mereka mengiring jenazah. Maka hal ini dianggap sebagai sunnah taqririyyah.

Demikianlah pengertian sunnah, maka hadirkanlah selalu makna ini dalam benak anda… dan jangan lupa untuk menyertakan pula sunnah-sunnah Khulafa’ur Rasyidin sepeninggal beliau.

Pengertian bid’ah

Adapun bid’ah, maka itulah lawan dari Sunnah. Mengapa? Karena bid’ah hakekatnya ialah segala sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah Ta’ala dalam kitab-Nya, maupun melalui lisan Nabi-Nya; baik berupa keyakinan, ucapan, maupun perbuatan. Atau dengan kata lain, bid’ah ialah: semua yang di zaman Rasulullah dan para sahabatnya tidak dianggap sebagai agama yang dijadikan ritual ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Baik berupa keyakinan, ucapan, maupun perbuatan, meski ia dianggap memiliki nilai sakral luar biasa, atau dijadikan syi’ar agama. ‎Ini definisi bid’ah menurut syar’i secara global, sedang perinciannya sebagai berikut:

Definisi bid’ah secara lughawi

Kata ‘bid’ah’ berasal dari bada‘a – yabda’u – bad’un atau bid’atun, yang secara lughawi artinya sesuatu yang baru. Mengenai hal ini, Imam Al Azhari ‎menukil ucapan Ibnu Sikkiet yang mengatakan:

اَلْبِدْعَةُ: كُلُّ مُحْدَثَةٍ.

“Bid’ah itu segala sesuatu yang baru".

Definisi senada juga dinyatakan oleh Al Khalil bin Ahmad Al Farahiy, yang mengatakan:

البَدْعُ: إِحْدَاثُ شَئْ ٍلَمْ يَكُنْ لَهُ مِنْ قَبْلُ خَلْقٌ وَلاَ ذِكْرٌ وَلاَ مَعْرِفَةٌ

“Al bad’u (bid’ah) ialah mengadakan sesuatu yang tidak pernah diciptakan, atau disebut, atau dikenal sebelumnya”.

Isim fa’il (nama pelaku) dari kata bada’a tadi ialah badie’ (بَدِيْعٌ) atau mubdi’ (مُبْدِعٌ), artinya: pencipta sesuatu tanpa ada contoh terlebih dahulu. Hal ini seperti firman Allah:

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرضِ 

“Dialah pencipta langit dan bumi” (Al Baqarah :117), yaitu tanpa ada contoh (prototip) sebelumnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Az Zajjaj.‎

Korelasi antara definisi bid’ah secara lughawi dan syar’i

Dari nukilan-nukilan di atas, dapat kita fahami bahwa bid’ah secara bahasa ialah segala sesuatu yang baru, entah itu baik atau buruk; berkaitan dengan agama atau tidak. Karenanya Az Zajjaj mengatakan:

وَكُلُّ مَنْ أَنْشَأَ مَالَمْ يُسْبَقْ إِلَيْهِ قِيْلَ لَهُ: أَبْدَعْتَ. وَلِهَذَا قِيْلَ لِمَنْ خَالَفَ السُّـنَّةَ: مُبْتَدِعٌ. لأَِنَّهُ أَحْدَثَ فِي الإِسْلاَمِ مَالَمْ يَسْبِقْهُ إِلَيْهِ السَّلَفُ.

“Setiap orang yang melakukan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya, kita katakan kepadanya: “abda’ta” (anda telah melakukan bid’ah (terobosan baru)). Karenanya, orang yang menyelisihi ajaran (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut sebagai mubtadi’ (pelaku bid’ah), sebab ia mengada-adakan sesuatu dalam Islam yang tidak pernah dikerjakan oleh para salaf sebelumnya”.‎

Jadi, korelasi antara kedua definisi tadi ialah bahwa bid’ah itu intinya sesuatu yang baru dan diada-adakan. Namun bedanya, bid’ah secara syar’i khusus berkaitan dengan agama, sebagaimana yang disebutkan oleh Az Zajjaj di atas. Untuk lebih jelasnya perhatikan definisi bid’ah secara syar’i menurut Al Jurjani berikut:

البِدْعَةُ هِيَ الْفِعْلَةُ الْمُخَالِفَةُ لِلسُّـنَّةِ، سُمِّيَتْ: اَلْبِدْعَةَ، لأَِنَّ قَائِلَهَا ابْتَدَعَهَا مِنْ غَيْرِ مَقَالِ إِمَامٍ، وَهِيَ الأَمْرُ الْمُحْدَثُ الَّذِي لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُوْنَ، وَلَمْ يَكُنْ مِمَّا اقْتَضَاهُ الدَّلِيْلُ الشَّرْعِيُّ.

“Bid’ah ialah perbuatan yang menyelisihi As Sunnah (ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Dinamakan bid’ah karena pelakunya mengada-adakannya tanpa berlandaskan pendapat seorang Imam. Bid’ah juga berarti perkara baru yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in, dan tidak merupakan sesuatu yang selaras dengan dalil syar’i” .‎

Kata-kata di atas amat penting untuk kita fahami maknanya. Sehingga kita tidak mencampuradukkan antara bid’ah dengan maslahat mursalah ‎Atau antara bid’ah secara bahasa dengan bid’ah secara syar’i. Berangkat dari pemahaman ini, Imam Asy Syathiby mendefinisikan bid’ah secara syar’i dengan definisi paling universal sebagai berikut:

الْبِدْعَةُ عِبَارَةٌ عَنْ: طَرِيْقَةٍ فيِ الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٌ, تُضَاهِي الشَّرِيْعَةَ, يُقْصَدُ بِالسُّلُوكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ فيِ التَّعَبُّدِ للهِ سُبْحَانَهُ (الاعتصام 1/50).

Bid’ah adalah sebuah metode baru dalam agama yang bersifat menyaingi syari’at, dan dilakukan dengan tujuan beribadah secara lebih giat kepada Allah Ta’ala.‎
KAJIAN MAKNA KUL DALAM HADITS TENTANG BID’AH



كل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار‎

Artinya “Setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu masuk neraka”

Dengan Membandingkan Hadist Tersebut dengan Surat Al-kahfi Ayat 79

yang Mana Antara Keduanya sama-sama Dihukumkan ke Kullu Majmu’ Maka Akan kita Dapati Pemahaman Sebagai Berikut

Bid’ah itu Kata Benda Tentu Mempunyai Sifat  Tidak Mungkin Ia tidak mempunyai Sifat Mungkin Saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat jelek Sifat tersebut tidak ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits di atas dalam Ilmu Balaghah dikatakan

حذف الصفة على الموصوف

“MEMBUANG SIFAT DALAM MAUSHUF”

Artinya “Membuang sifat dari benda yg bersifat”

Seandainya kita tulis sifat bid’ah maka terjadi dua kemungkinan

A. Kemungkinan pertama :‎

كل بدعة اي حسنة ضلالة وكل ضلالة في النار
“Semua bid’ah (yg baik) sesat, dan semua yg sesat masuk neraka”.

Hal ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat berkumpul dalam satu benda dan dalam waktu dan tempat yg sama, hal itu tentu mustahil

B. Kemungkinan kedua :‎


كل بدعة اي سيئة ضلالة وكل ضلالة في النار‎

“Semua bid’ah (yg jelek) itu sesat, dan semua kesesatan itu masuk neraka”

Jelek dan sesat sejalan tidak Bertentangan

Hal ini terjadi pula dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah Membuang sifat kapal dalam Firman-Nya :

 
وكان وراءهم ملك يأخذ كل سفينة غصبا الأية ألكهف اية ٧٩
 
Artinya : Di belakang mereka ada raja yg akan merampas semua kapal dengan paksa “Al-Kahfi : 79

Keterangan Pelengkap Dalam Tafsir Ash-Showi Juz 3 Hal 28 cetakan Al-Hidayah‎
قوله سفينة اي صالحة وشرحه اي صحيحة

تفسير الصاوي ج ٣ ص ٢٨
Dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyebutkan kapal yg baik adalah KAPAL JELEK karena yg jelek tidak mungkin diambil oleh raja

Maka lafadz  كل سفينة    sama dengan  كل بدعة

Alias sama-sama tidak disebutkan Sifatnya Walaupun pasti punya sifat ialah kapal yg baik‎

قوله سفينة اي صالحة وشرحه اي صحيحة

تفسير الصاوي ج ٣ ص٢٨
 

NGOPI DULU SAMBIL ROKOK AN UNTUK MELANJUTKAN PEMBAHASAN INI BIAR MUDAH DIPAHAM‎I‎


كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار‎

“Kullu muhdatsin bid’ah, wa kullu bid’atin dholalah, wa kullu dholalatin fin naar”

Dalam Hadits tersebut Rancu sekali kalau kita maknai SETIAP Bid’ah dengan makna KESELURUHAN, bukan SEBAGIAN. Untuk membuktikan adanya dua macam makna ‘kullu’ ini, dalam kitab mantiq ‘Sullamul Munauruq’ oleh Imam Al-Akhdhori yg telah diberi syarah oleh Syeikh Ahmad al-Malawi dan diberi Hasyiah oleh Syeikh Muhamad bin Ali as-Shobban  Dan Dalam kitab Nubdzatul Bayan Karangan nya RKH Abdul Majid pamelasan Madura santrimya RKH Kholil Bangkalan Gurunya KH Hasyim ASy’ari Pendiri NU Tertulis.‎


الكل حكمنا على المجموع ٠ ككل ذاك ليس ذا وقوع

وحيثما لكل فرد حكما٠ فإنه كلية قد علما

شرح السلم الملوي ص ٧٨ حتى ٨٠

نبذة البيان ص ٤٩ حتى ٥٠

“Kullu itu kita hukumkan untuk majmu’ (sebagian atau sekelompok) seperti Sebagian itu tidak pernah terjadi, Dan jika kita hukumkan untuk tiap-tiap satuan Maka dia adalah kulliyyah (jami’ atau keseluruhan) yg sudah dimaklumi”

Mari Perhatikan dengan seksama & cermat kalimat hadits tersebut. Jika memang Maksud Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah SELURUH kenapa beliau BERPUTAR-PUTAR dalam haditsnya ?

Kenapa Rosululloh tidak langsung saja “KULLU MUHDITSATIN FINNAR” (setiap yg baru itu di neraka) ?

كل محدثة في النار

Kenapa Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam menentukan yang akhir yakni “kullu dholalatin fin naar” bahwa yang SESAT itulah yang masuk NERAKA ?

Selanjutnya, Kalimat Bid’ah di sini adalah bentuk ISIM (kata benda) bukan FI’IL (kata kerja)

Dalam ilmu nahwu menurut kategorinya Isim terbagi 2 yakni Isim Ma’rifat (tertentu) dan Isim Nakirah (umum)

Nah….. kata BID’AH ini bukanlah

1. Isim dhomir
2. Isim alam
3. Isim isyaroh
4. Isim maushul
5. Ber alif lam

yang merupakan bagian dari isim ma’rifat. Jadi kalimat bid’ah di sini adalah isim Nakiroh Dan KULLU di sana berarti tidak beridhofah (bersandar) kepada salah satu dari yg 5 diatas

Seandainya KULLU beridhofah kepada salah 1 yg 5 diatas, maka ia akan menjadi ma’rifat Tapi pada ‘KULLU BID’AH‘, ia beridhofah kepada nakiroh. Sehingga dalalah -nya adalah bersifat ‘am (umum)

Sedangkan setiap hal yg bersifat umum pastilah menerima pengecualian. Ini sesuai dengan pendapat Imam Nawawi RA‎

قوله وكل بدعة ضلالة هذا عام مخصول والمراد غالب البدع‎

“Sabda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam, “semua bid’ah adalah sesat” ini adalah kata-kata umum yg dibatasi jangkauannya. Maksud “semua bid’ah itu sesat”, adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya” (Syarh Shahih Muslim, juz 6 hal 154).

Lalu apakah SAH di atas itu dikatakan MUBTADA’ (awal kalimat)? Padahal dalam kitab Alfiyah (salah 1 kitab rujukan ilmu nahwu) tertulis :‎

ولا يجوز المبتداء بالنكراة
 
“Mubtada’ Tidak boleh terbuat dari isim nakiroh”‎

KECUALI ada beberapa syarat, di antaranya adalah dengan sifat.

Andai pun mau dipaksakan untuk men-sah-kan mubtada’ dengan ma’rifah agar tidak bersifat UMUM pada ‘kullu bid’atin di atas, maka tetap ada sifat yang di buang (dilihat DARI SISI BALAGHAH)

KITAB-KITAB YANG MEMBAHAS KHUSUS BID’AH

Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi Asy-Syathibi Al-Gharnathi‎

ابتدأ طريقة لم يسبقه إليها سابق فالبدعة إذن عبارة عن طريقه في الدين مختريعة تضاخي الشرعية يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله سبحانه‎

Bid’ah secara (ETIMOLOGI) bahasa berarti mencipta dan mengawali sesuatu

Reff – Kitab Al-‘Itisham Juz 1 Hal 36

Sedangkan Menurut Istilah (TERMINOLOGI) bid’ah berarti cara baru dalam agama, yg belum ada contoh sebelumnya yg menyerupai syariah dan bertujuan untuk dijalankan & berlebihan dalam beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala

Reff – Kitab Al-‘Itisham Juz 1 Hal 37

Imam Syafi’i Membagi Perkara Baru Menjadi dua :

1. Perkara baru yg bertentangan dgn Al-Kitab & As-Sunnah atau atsar sahabat & ijma’ Ini adalah bidah dholalah.

2. Perkara baru yang baik tetapi tidak bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah atau atsar sahabat & ijma’. Ini adalah bidah yang tidak tercela. Inilah yang dimaksud dengan perkataan Imam Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi dua yaitu bid’ah mahmudah terpuji & bid’ah mazmumah tercela/buruk. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah adalah terpuji & baik, sedangkan yang bertentangan dengan sunnah ialah tercela & buruk.
محمد بن إدريس الشافعي يقول البدعة بدعتان بدعة محمودة وبدعة مذمومة فما وفق السنة فهو محمودة وما خالف السنة فهو مذمومة واحتج يقول عمرو بن الخطاب في قيام رمضان نعمة البدعة هي حلية الأولياء وطبقات الأصفياء ج ٩ ص ١١٣ للحافظ ابي نعيم احمد بن عبد الله الأصفهاني وفي الحد ايضا معنى أخر مما ينظر فيه وهو ان البدعة من حيث قيل فيها انها طريقة في الدين مخترعة إلى آخره يدخل في عموم لفظها البدعة التركية كما يدخل فيه البدعة غير التركية فقد يقع الإبتداع بنفس الترك تحريما للمتروك او غير تحريم فان الفعل مثلا قد يكون حلالا بالشرع فيحرمه الإنسان على نفسه او يقصد تركه قصدا فبهذا الترك اما ان يكون لأمر يعتبر مثله شرعا اولا فإن كان لأمر يعتبر فلا حرج فيه إذ معناه انه ترك ما يجوز تركه او ما يطلب بتركه كالذي يحرم على نفسه الطعام الفلاني من جهة انه يضره في جسمه او عقله او دينه وما اشبه ذلك فلا مانع هنا من الترك بل ان قلنا بطلب التدوي للمريض فان الترك هنا مطلوب وإن قلنا بإباحة التداوي فالترك مباح

Reff –

Hilyah al-Auliya’Juz 9 Hal 113

Al-Ba’its ‘Ala Inkar Al-Bida’ hal 15

Batasan Arti Bid’ah

Dalam pembatasan arti bid’ah juga terdapat pengertian lain jika dilihat lebih saksama. yaitu: bid’ah sesuai dengan pengertian yang telah diberikan padanya, bahwa ia adalah tata cara di dalam agama yg baru diciptakan (dibuat-buat) & seterusnya. Termasuk dalam keumuman lafazhnya adalah bid’ah tarkiyyah (meninggalkan perintah agama), demikian halnya dengan bid’ah yang bukan tarkiyyah. Hal2 yg dianggap bid’ah terkadang ditinggalkan karena hukum asalnya adalah haram. Namun terkadang hukum asalnya adalah halal, tetapi karena dianggap bid’ah maka ia ditinggalkan Suatu perbuatan misalnya menjadi halal karena ketentuan syar’i, namun ada juga manusia yg mengharamkannya atas dirinya karena ada tujuan tertentu, atau sengaja ingin meninggalkannya

Meninggalkan suatu hukum; mungkin karena perkara tersebut dianggap telah disyariatkan seperti sebelumnya, karena jika perkaranya telah disyariatkan, maka tidak ada halangan dalam hal tersebut, sebab itu sama halnya dgn meninggalkan perkara yg dibolehkan untuk ditinggalkan atau sesuatu yg diperintahkan untuk ditinggalkan. Jadi di sini tidak ada penghalang untuk meninggalkannya. Namun jika beralasan untuk tujuan pengobatan bagi orang sakit, maka meninggalkan perbuatan hukumnya wajib. Namun jika kita hanya beralasan untuk pengobatan, maka meninggalkannya hukumnya mubah.

Reff – Kitab Al-‘Itisham Juz 1 Hal 42

ITQON ASH-SHUN’AH FI TAHQIQ MA’NA AL-BID’AH‎

Sayyid Al-‘Allamah Abdullah bin Shodiq Al-Ghumari Al-Husaini
قال النووي قوله صلى الله عليه وسلم وكل بدعة ضلالة هذا عام مخصوص والمراد غالب البدع قال اهل اللغة هي كل شيء عمل غير مثال سابق قال العلماء البدعة خمسة اقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة والمباح في حديث العرباض بن سارية قول النبي صلى الله عليه وسلم وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل بدعة ضلالة رواه احمد وابو داود والترمذي وابن ماجه وصححه الترمذي وابن حبان والحاكم قال الحافظ بن رجب في شرحه والمرد بالبدعة ما احدث مما لا اصل له فيالشريعة يدل عليه واما ما كان له اصل من الشرع يد عليه فليس ببدعة شرعا وان كان بدعة لغة انتهى‎

Imam Nawawi berkata : Sabda Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa sallam “Setiap bid’ah itu sesat” ini adalah umum yg dikhususkan & maksudnya pengertian secara umum. Ahli bahasa mengatakan: Bid’ah yaitu segala sesuatu amal perbuatan yg tdk ada contoh sebelumnya. Ulama mengatakan bahwa bid’ah terbagi menjadi lima macam yaitu wajib, sunah, haram, makruh dan mubah.‎

Dalam hadits Uryadh bin Sariyah tentang sabda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Takutlah kamu akan perkara2 baru, maka setiap bid’ah adalah sesat. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Al-Hakim).‎

Al-Hafizh Ibnu Rojab berkata dlm penjelasannya : Yang dimaksud bid’ah adalah sesuatu yg baru yg tdk ada asalnya [contohnya] dlm syari’at yg menunjukkan atasnya. Adapun sesuatu yg ada asalnya dlm syari’at yg menunjukkan atasnya, maka bukan termasuk bid’ah menurut syara’ meski secara bahasa itu adalah bid’ah.‎

وفي صحيح البخاري عن ابن مسعود قال إن أحسن الحديث كتاب الله واحسن الهدى هدى محمد صلى الله عليه وسلم وشر الأمور محدثاتها قال الحافظ بن حجر والمحدثات بفتح الدال جمع محدثة والمراد بها ما احدث وما ليس له اصل في الشرع ويسمى في عرف الشرع ببدعة وما كان له اصل يدل عليه الشرع فليس ببدعة فالبدعة في عرف الشرع مذمومة بخلاف اللغة فإن كل شيء احدث على غير مثال يسمى بدعة سواء كان محمودا او مذموما
Dalam shohih Bukhori dari Ibnu Mas’ud berkata. Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah kitabulloh Al-Qur’an & sebaik2 petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa sallam & sejelek2nya perkara adalah yg baru dlm agama ‎

Lafadz muhdatsat dgn di fathah huruf dal-nya” kata jama’ plural dari Muhdatsah, maksudnya sesuatu yg baru yg tdk ada asal dasarnya dlm syari’at dan diketahui dalam hukum agama sebagai bid’ah.

Dan sesuatu yg memiliki asal landasan yg menunjukkan atasnya maka tdk termasuk bid’ah. Bid’ah sesuai pemahaman syar’i itu tercela sebab berlawanan dgn pemahaman secara bahasa.

Maka jika ada perkara baru yg tdk ada contohnya dinamakan bid’ah, baik bid’ah yg mahmudah maupun yg madzmumah.‎
وروى ابو نعيم عن ابراهيم بن الجنيد قال سمعت الشافعي يقول البدعة بدعتان بدعة محمودة وبدعة مذمومة فما وافق السنة فهو محمود وما خالف السنة فهو مذموم وروى البيهقي في مناقب الشافعي قال عنه قال المحدثات ضربان ما احدث مما يخالف كتابا او سنة او أثرا او إجماعا فهذه بدعة الضلالة وما احدث من الخير لا خلاف فيه في واحد من هذا فهذه محدثة غير مذمومة وقد قال عمر في قيام رمضان نعمة البدعة هذه يعنى انها محدثة لم تكن وإذا كانت ليس فيها رد لما مضى
Diriwayatkan Abu Na’im dari Ibrahim bin Al-Janid berkata : Aku mendengar Imam Syafi’i berkata: “Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah mahmudah & bid’ah madzmumah. Maka perkara baru yg sesuai sunnah, maka itu bid’ah terpuji. Dan perkara baru yang berlawanan dgn sunnah itu…bid’ah..tercela.”

Al-Baihaqi meriwayatkan dlm Manaqib Syafi’i biografi Syafi’i…. Imam Syafi’i berkata : Perkara baru itu ada dua macam, yaitu perkara baru yg bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah atau atsar sahabat & ijma’. Ini adalah bidah dholalah

Perkara baru yang baik tetapi tidak bertentangan dgn Al-Kitab dan As-Sunnah atau atsar Sahabat & ijma’. Ini adalah bidah yg tidak tercela. Dan Umar bin Khathab ra. berkata tentang qiyamu Romadhon sholat tarawih.

Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Yakni sholat tarawih adalah perkara baru yg tdk ada sebelumnya, & ketika ada itu bukan berarti menolak apa yg sdh berlalu.‎

والمراد بقوله كل بدعة ضلالة ما احدث ولا دليل له من الشرع بطريق خاص ولا عام انتهى وقال النووي في تهذيب الأسماء واللغات البدعة بكسر الباء في الشرع هي إحداث مالم يكن في عهد الرسول صلى الله عليه وسلم وهي منقسمه إلى حسنة وقبيحة قال الإمام الشافعي كل ماله مستد من الشرع فليس ببدعة ولولم يعمل به السلف لإن تركهم للعمل به قد يكون لعذر قام لهم في الوقت او لما هو افضل منه او لعله لم يبلغ جميعهم علم به انتهى
Dan yg dimaksud dgn sabda Rosul Setiap bid’ah adalah sesat ” Adalah sesuatu yang baru dalam agama yang tidak ada dalil syar’i Al-Qur’an dan Al-Hadits secara khusus maupun secara umum.‎
Dalam At-Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughot bahwa kalimat  “Al-Bid’ah”  itu dibaca kasror hurup “ba’-nya” di dalam Pemahaman agama yaitu perkara baru yang tidak ada dimasa Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa sallam & dia terbagi menjadi dua baik & buruk.

Setiap sesuatu yang Mempunyai dasar dari dalil2 syara’ maka bukan termasuk bid’ah, meskipun belum pernah dilakukan oleh Ulama’ Salaf Karena sikap mereka meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada uzur yg terjadi saat itu (belum dibutuhkan) atau karena ada amaliah lain yg lebih utama, & atau hal itu barangkali belum diketahui oleh mereka.‎

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

1 komentar:

  1. Assalamualaikum Salam sejahtera untuk kita semua, Sengaja ingin menulis
    sedikit kesaksian untuk berbagi, barangkali ada teman-teman yang sedang
    kesulitan masalah keuangan, Awal mula saya mengamalkan Pesugihan Tanpa
    Tumbal karena usaha saya bangkrut dan saya menanggung hutang sebesar
    1M saya sters hampir bunuh diri tidak tau harus bagaimana agar bisa
    melunasi hutang saya, saya coba buka-buka internet dan saya bertemu
    dengan KYAI SOLEH PATI, awalnya saya ragu dan tidak percaya tapi selama 3 hari
    saya berpikir, saya akhirnya bergabung dan menghubungi KYAI SOLEH PATI
    kata Pak.kyai pesugihan yang cocok untuk saya adalah pesugihan
    penarikan uang gaib 4Milyar dengan tumbal hewan, Semua petunjuk saya ikuti
    dan hanya 1 hari Astagfirullahallazim, Alhamdulilah akhirnya 4M yang saya
    minta benar benar ada di tangan saya semua hutang saya lunas dan sisanya
    buat modal usaha. sekarang rumah sudah punya dan mobil pun sudah ada.
    Maka dari itu, setiap kali ada teman saya yang mengeluhkan nasibnya, saya
    sering menyarankan untuk menghubungi KYAI SOLEH PATI Di Tlp 0852-2589-0869
    agar di berikan arahan. Supaya tidak langsung datang ke jawa timur,
    saya sendiri dulu hanya berkonsultasi jarak jauh. Alhamdulillah, hasilnya sangat baik,
    jika ingin seperti saya coba hubungi KYAI SOLEH PATI pasti akan di bantu Oleh Beliau

    BalasHapus