Translate

Selasa, 20 September 2016

Penjelasan Tentang Thoriqoh

Sebagian kita mungkin sudah sering mendengar tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang yang mengaku paling “islami” bahwa Tasawuf dan Tarekat adalah ilmu di luar Islam, pembuat bid’ah, syirik dan lain sebagainya dan karena yang menyampaikan pendapat ini adalah orang yang berlatar belakang pendidikan agama yang lumayan (baca: syari’at), alumni Arab Saudi atau Mesir dengan sekian banyak gelar sehingga masyarakat awam dengan mudah langsung percaya. Sebagian mereka tidak tahu bahwa Arab Saudi bukan lagi menjadi tempat berkumpulnya berbagai macam mazhab, akan tetapi telah menjadi corong bagi mazhab tunggal yang baru muncul di abad ke 17 yaitu mazhab Wahabi.

Banyak orang belum begitu paham tentang apa itu Tasawuf dan apa itu Tarekat. Konsekwensinya, kalau anda ingin mengambil Tasawuf, pasti anda mengambil Tarekat, sebab pengamalan Tasawuf ada dalam Tarekat. Belajar Tasawuf ada dua jenis, yaitu secara teori dan praktek. Secara teori telah diajarkan di IAIN melalui pengajaran mata kuliah Ilmu Tasawuf, bahkan anda bisa menjadi seorang profesor Tasawuf tanpa harus bertarekat di bawah bimbingan mursyid. Namanya juga teori, tentu yang didapatkan hanya teori saja. Oleh karena itu, agar kita dapat mengenal Allah, maka kita harus mempunyai pembimbing rohani atau mursyid.

Thariqah atau tarekat adalah metode, jalan atau cara yang ditempuh manusia  dan jin dalam menjalani hidup berdasar suatu filosofi menurut iman dan disiplin ilmunya. Karena itu tarekat bisa benar bisa salah, tergantung dari keimanan dan disiplin ilmu yang menjadi filosofinya.  Bila iman mereka bercampur dengan kekafiran dan kezaliman maka tarekat mereka adalah sesat dan tidak akan mendapat ampunan Allah SWT sebagaimana FirmanNya :

إِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَظَلَمُوْا لَمْ يَكُنِ اللهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَ لاَ لِيَهْدِيَهُمْ طَرِيْقًا (168) إِلاَّ طَرِيْقَ جَهَنَّمَ خَالِدِيْنَ فِيْهَا أَبَدًا وَكَانَ ذَالِكَ عَلَى اللهِ يَسِيْرًا (169)

Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allah sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula) akan menunjukkan jalan kepada mereka.  Kecuali jalan ke neraka jahannam; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Surat An Nisa 168-169)

Bila iman dan disiplin ilmu  mereka tidak bercampur dengan yang zhalim dan kekafiran maka tarekat itu adalah jalan yang benar dan lurus ( tarekat mustaqim), sebagaimana tersebut dalam surat Al Ahqaaf ayat 30:

قَالُوْا يَا قَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا أُنْزِلَ مِنْ بَعْدِ مُوْسَى مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِيْ إِلَى الْحَقِّ وَإِلَى طَرِيْقٍ مُسْتَقِيْمٍ (30)

Mereka berkata: “Hai kaum kami, Sesungguhnya kami Telah mendengarkan Kitab (Al Quran) yang Telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.

Ayat diatas adalah ucapan pemimpin jin yang benar, ketika mengajak kaumnya untuk menempuh jalan/tarekat yang lurus, sehingga Allah mengabadikan ucapannya yang benar itu menjadi bagian dari Al Quran.

Tarekat yang lurus melaksanakan amalan-amalan berdasarkan dalil yang nyata dan ilmunya dapat difahami bukan suatu hal yang  janggal atau menimbulkan pertentangan, karena semua amal itu akan dipertanggung  jawabkan di hari  kiamat di hadapan Allah SWT, sebagaimana FirmanNya :

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. ( Surat Al Isra : 36).

Tarekat yang lurus pada prinsipnya adalah menyempurnakan  ibadah dengan menjaga dan mengamalkan amalan sunnah secara intensif untuk mencapai maqam keimanan dan ketaqwaan yang lebih baik dan dekat kepada Allah SWT. Orang orang yang mampu menempuh tarekat yang lurus inilah yang disebut sebagai waliyullah, dimana Allah memberikan  jaminan perlindungan, pertolongan dan kedudukan yang mulia di sisiNya.   Diriwayatkan oleh Ibrahim bin Muhammad bin Hamzah, dari Abu Ubaidah Muhammad bin Ahmad bin Raja’, dari Ibrahim bin Abdullah, dari Muhammad bin Ishaq As Siraj, dari Muhammad bin bin Ishaq bin Karamah, dari Khalid bin Mukhallid, dari Sulaiman bin Bilal, dari Syarik bin Abdullah bin Abi Namr, dari Abu Hurairah ra dia – mengatakan: Rasulullah – saw – telah bersabda:

إن الله عز وجل قال من آذى لي وليا فقد آذنته بالحرب ، وما تقرب إلي عبدي بشيء أفضل من أداء ما افترضت عليه ، وما يزال عبدي يتقرب إلي بالنوافل حتى أحبه ، فإذا أحببته كنت سمعه الذي يسمع به ، وبصره الذي يبصر به ، ويده التي يبطش بها ، ورجله التي يمشي بها ، فلئن سألني عبدي أعطيته ، ولئن استعاذني لأعذته ، وما ترددت عن شيء أنا فاعله ترددي عن نفس المؤمن يكره الموت وأكره إساءته أو مساءته .

Sesungguhnya Allah ’Azza wa Jalla berfirman: Barangsiapa memusuhi wali-waliKu maka sungguh Aku nyatakan perang kepadanya, dan tidaklah hambaku mendekatkan diri kepadaKu dengan suatu amal yang terbaik yang telah ditentukan baginya dan ia selalu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan sunnat hingga Aku mencintainya, maka bila Aku mencintainya Akulah yang menjadi pendengaran yang untuk mendengarnya, dan penglihatan yang untuk melihat, dan tangannya yang untuk memukul, dan kakinya yang untuk berjalan, bila hambaKu itu memintaKu maka Aku memberinya, bila minta perlindungan Aku melindunginya, bila ia menolak sesuatu yang dibenci oleh dirinya Akulah yang malakukannya dan seorang mukmin itu benci kematian yang jelek atau menjelekkannya, maka Akulah yang menghindarkannya. ( Hilyatul Auliya  hal 5 Syekh Imam Al-Hafiz Abu Naeem Ahmad bin Ahmad )

Dikatakan oleh Hakim Abu Ahmad Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim, mengatakan kepada kami Hasan bin Ali bin Nasr berkata: bercerita  Abu Muhammad bin Mutsanna, mengatakan kepada kami Hasan bin Salamah bin Abi Kabsyah dari Abu Amer Al ‘Aqidi: Dikisahkan oleh Abdul Wahid dari ‘Urwah dari Aisyah yang mengatakan : Rasulullah – saw – meriwayatkan dari Tuhannya, bahwa Yang Mahakuasa berkata:

من آذى لي وليا فقد استحل محاربتي

“Barang siapa menyakiti wali-Ku halal Aku memeranginya.”

Para waliyullah itu sangat menjaga kebersihan iman dari segala hal yang merusakkannya seperti syirik, nifak, riya, takabbur, ujub, hasad/dengki dan lain lainnya. Diceritakan oleh Sulaiman bin Ahmad dari Yahya bin Ayyub dari Abi Said bin AbiMaryam dari Nafi bin Yazeed bin ‘Ayyasy bin ‘Ayyasy dari Isa Bin Abdul Rahman, dari bin Zaid bin Aslam dari ayahnya, dari Ibnu Umar ia berkata:

وجد عمر بن الخطاب معاذ بن جبل – رضي الله عنه – قاعدا عند قبر رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يبكي ، فقال : ما يبكيك ؟ قال : يبكيني شيء سمعته من رسول الله – صلى الله عليه وسلم – سمعت رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يقول : إن يسير الرياء شرك ، وإن من عادى أولياء الله فقد بارز الله بالمحاربة


Diceritakan bahwa Umar bin Al-Khattab bertemu Muadz bin Jabal – ra  – duduk di makam Rasulullah – saw – sambil menangis, ia bertanya: “Apa yang membuatmu menangis? Dia menjawab:  karena Saya pernah mendengar Rasulullah – saw – bersabda: “sesungguhnya kemunafikan itu syirik dan sungguh siapa yang memusuhi  wali-Ku,  Allah menyatakan perang kepadanya.” ( Hilyatul Auliya hal 6)

Waliyullah itu menuntut kemulyaan derajad dihadapan Allah SWT dengan berlomba lomba memperbaharui dan memperteguh iman dan taqwanya  dimana maqam itu memungkinkan mereka capai karena maqam kenabian sudah tertutup dan tidak mungkin dapat dicapai, tetapi maqam waliyullah adalah maqam yang terbuka lebar bagi semua orang beriman yang memungkinkan untuk dicapai dengan harapan memperoleh kedudukan mulia di sisi Allah SWT .‎

Diceritakan oleh Muhammad bin Ja’far bin Ibrahim dari Ja’far bin Muhammad As Shaigh dari Malik bin Isma’il dan ‘Ashim bin ‘Aliy keduanya berkata, berkata Qais bin Ar Rabi’ dari ‘Imarah bin Qa’qa’ dari Abi Zar’ah dari ‘Amru bin Jarir dari  ‘Umar bin Khathab ra  bahwa Rasulullah saw       

إن من عباد الله لأناسا ما هم بأنبياء ولا شهداء ، يغبطهم الأنبياء والشهداء يوم القيامة بمكانهم من الله عز وجل . فقال رجل : من هم وما أعمالهم ؟ لعلنا نحبهم . قال : قوم يتحابون بروح الله عز وجل من غير أرحام بينهم ، ولا أموال يتعاطونها بينهم ، والله إن وجوههم لنور ، وإنهم لعلى منابر من نور ، لا يخافون إذا خاف الناس ، ولا يحزنون إذا حزن الناس . ثم قرأ): ألا إن أولياء الله لا خوف عليهم ولا هم يحزنون(


“Sesungguhnya diantara hamba-hambaku itu ada manusia manusia yang bukan  termasuk golongan para Nabi, bukan pula syuhada tetapi pada hari kiamat Allah ‘Azza wa Jalla menempatkan maqam mereka itu adalah maqam  para Nabi dan syuhada.”Seorang laki-laki bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan mereka?”mudah-mudahan kami menyukainya. Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang saling menyayangi karena Allah ‘Azza wa Jalla walaupun mereka tidak bertalian darah, dan mereka itu saling menyayangi bukan karena hartanya, dan demi Allah sungguh wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat mereka itu dari cahaya, dan mereka itu tidak takut seperti yang ditakuti manusia, dan tidak susah seperti yang disusahkan manusia,”kemudian beliau membaca ayat : (Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada rasa takut dan mereka itu tidak bersedih hati). ( Jami’us Shaghir)  

Karakteristik tarekat ini adalah bahwa majlis mereka itu selalu dihiasi dengan dzikir dimana dzikir itu mereka amalkan baik dalam majlis secara bersama-sama maupun diluar majlis. Diriwayatkan oleh Sulaiman bin Ahmad, dari Ahmad bin Ali Al Abar, dari Al Haitsim bin Kharijah, dari Rasyidin bin Sa’ad dari Abdullah bin Al Walid Al Tajibi dari Abi Manshur managernya Al Anshar, bahwasanya ia mendengar Amru bin Jumuh mengatakan: saya mendengar Rasulullah saw bersabda:

قال الله عز وجل : إن أوليائي من عبادي ، وأحبائي من خلقي ، الذين يذكرون بذكري ، وأذكر بذكرهم

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman : Sesungguhnya para-wali-Ku itu dari hamba-Ku dan kesayangan-Ku dari hamba-Ku, yaitu orang-orang yang berdzikir dengan menyebut-Ku, dan Aku berdzikir dengan menyebut mereka.(Hilyatul Auliya hal 6 )

Diriwayatkan oleh Ahmad bin Ya’qub Al Mu’dal dari Hasan bin Alwiyah dari Ismail bin Isa dari Al Hiyaj bin Bistham dari Musa’ar bin Kidam dari Bakir bin Akhnas dari Sa’id ra ia berkata : Rasulullah saw ditanya: “Siapakah wali-wali Allah itu” ? beliau bersabda: ”yaitu orang-orang yang bila kamu lihat mereka itu selalu berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (Hilyatul Auliya hal 7 )

Diriwayatkan oleh Ja’far bin Muhammad bin Umar dari Abu Hashin al Qadhi dari Yahya bin Abdul Hamid dari Dawud al Athar dari Abdullah bin Utsman bin Khatsim dari Syahri bin Khusyub dari Asma binti Yazid ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda:

ألا أخبركم بخياركم ؟ ” قالوا : بلى . قال : ” الذين إذا رؤوا ذكر الله عز وجل ”

“Maukah kalian saya beritahu orang yang terbaik di antara kalian?”  mereka menjawab: “mau wahai Rasulullah” beliau bersabda: “ yaitu orang-orang yang bila kalian melihatnya, mereka itu selalu berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”

Wali Allah itu menghadapi fitnah kehidupan yang penuh dengan kemaksiyatan dan kemungkaran tetapi mereka dapat menjaga kemurnian imannya tanpa terkontaminasi sedikitpun, sebagaimana sabda Rasulullah yang di riwayatkan oleh Hakim Abu Ahmad Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim dari Muhammad bin al Qasim bin Hujjaj dari Al Hakam bin Musa, dari Ismail bin ‘Iyasy dari Muslim bin Ubaidillah dari Nafi’ Dri Ibnu Umar dari Nabi saw bahwasanya beliau bersabda:

” إن لله عز وجل ضنائن من عباده ، يغذيهم في رحمته ، ويحييهم في عافيته ، إذا توفاهم إلى جنته ، أولئك الذين تمر عليهم الفتن كقطع الليل المظلم وهم منها في عافية”

“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla menanggung dari hamba-hambaNya dengan mencurahkan rahmatNya, dan menghidupkannya dalam keselamatan, bila mereka mati ditempatkan di surga, itulah orang-orang yang diterpa badai fitnah yang gelap bagaikan gelapnya malam tetapi mereka tidak tergoda dan selamat dalam fitnah itu.”

Wali Allah itu lebih mengutamakan perhiasan bathin dari pada perhiasan lahiriyah, sehingga kenampakan mereka tidak seperti penampilan orang orang elit, bahkan hanya dengan pakaian yang sederhana tetapi bila mereka bersumpah atas nama Allah akan terjadilah apa yang diucapkannya. Nabi saw bersabda:

كم من ضعيف متضعف ذي طمرين لو أقسم على الله لأبره (عن عقيل ، عن ابن شهاب ، عن أنس بن مالك)

“Beberapa banyaknya orang yang lemah dan sangat lemah yang di anggap hina tetapi andaikan bersumpah atas nama Allah tentu akan terjadi.”

Diantara shahabat Nabi ini adalah Al Bara bin Malik yang bertemu sekelompok orang musyrik yang merampok umat Islam. Mereka berkata kepadanya:” Hai Bara sesungguhnya  Nabi – saw – berkata: jika engkau bersumpah atas nama Tuhanmu pasti terjadi , karena itu bersumpahlah atas nama Tuhanmu.  Dia berkata.: “Aku bersumpah padaMu  ya Tuhan, untuk memberikan perbuatan mereka,   kemudian mereka pergi  untuk merampok kaum Muslimin, kemudian bertemu Bara dan  berkata: “bersumpahlah Bara kepada Tuhanmu yang  Maha Kuasa”, maka ia berkata berkata:” Aku bersumpah padamu, ya Tuhan, untuk memberikan perbuatan  mereka, bila aku bertemu Nabi  saw”– kemudian  mereka membunuh Bara dan dan ia mati sebagai syuhada.
 
Tasawuf dan Tarekat adalah dua hal yang tak terpisahkan bagaikan dua sisi mata uang. Sedemikian eratnya pertalian tersebut sehingga antara Tasawuf dan Tarekat tak bisa dipisahkan antara yang satu dan yang lainnya.
            
Menurut Alfaqir yang miskin ilmu ini eratnya pertalian antara keduanya disebabkan karena Tasawuf sebagai suatu disiplin ilmu merupakan anak kandung dari Tarekat itu sendiri. Artinya tarekat sebagai suatu disiplin ilmu telah lebih dahulu ada sebelum munculnya Tasawuf itu sendiri.Dan bahwasanya antara Tasawuf dan Tarekat, keduanya memiliki perbedaan. Menurutnya, Tasawuf adalah ilmu yang bersifat teori, sedangkan Tarekat adalah ilmu yang bersifat praktek. Tasawuf merupakan petunjuk atau keterangan yang menunjukkan jalan bagaimana cara mengenal kepada Allah. Namun bagaimana tatacara pelaksanaannya dalam Tasawuf tidak diperoleh penjelasannya dalam Tasawuf, sebab segala sesuatu yang berkaitan dengan praktek merupakan bagian atau pun lahan dari pada Ilmu Tarekat. Ilmu Tarekat tidak disiarkan dan tidak ditulis di dalam buku-buku dan tidak boleh disampaikan oleh orang yang bukan ahlinya. Oleh karena itu Ilmu Tarekat bersifat rahasia karena ilmu ini berhubungan dengan yang ghaib, yaitu Allah. Oleh karena Allah itu ghaib, maka untuk mengenal-Nya terlebih dahulu harus mempelajari yang ghaib yaitu Ilmu Tarekat. Oleh sebab itu Ilmu Tarekat tidak boleh disampaikan kepada sembarang orang dan ilmu ini harus dirahasiakan, kecuali bagi mereka yang mau mempelajarinya. 

Adapun larangan untuk menyampaikan yang ghaib tersebut didasarkan pada firman Allah dalam surat al-Jin ayat 26 :


عَلِمُ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا.

Artinya : Ilmu yang ghaib itu jangan dijelaskan kepada siapapun.
            
Larangan untuk menyampaikan ilmu yang ghaib ini juga disampaikan oleh Nabi yang didasarkan pada Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari pada Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda :


وَعَائِيْنِ مِنَ الْعِلْمِ اَمَّا اَحَدُ هُمَا فَبَشَتْتُهُ لَكُمْ وَاَمَّااْلأَخِرُ فَلَوْبَثَتْتُ شَيْئًا مِنْهُ قَطَعَ هَذَالْعُلُوْمَ يَشِيْرُ اِلَى حَلْقِهِ   

Artinya: “Telah memberikan kepadaku oleh Rasulullah SAW dua cangkir yang berisikan ilmu pengetahuan, satu daripadanya akan saya tebarkan kepada kamu. Akan tetapi yang lainnya bila saya tebarkan akan terputuslah sekalian ilmu pengetahuan dengan memberikan isyarat kepada lehernya.

 
اَفَاتُ الْعِلْمِ النِّسْيَانُ وَاِضَاعَتُهُ اَنْ تَحَدَّثْ بِهِ غَيْرِ اَهْلِهِ 

Artinya : “Kerusakan dari ilmu pengetahuan ialah dengan lupa, dan menyebabkan hilangnya ialah bila anda ajarkan kepada yang bukan ahlinya.”
            
Berdasarkan ayat dan Hadis di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa Allah dan Nabi melarang menyampaikan ilmu yang ghaib ini kepada sembarang orang, sebab apabila ilmu ini disampaikan secara terang-terangan sebagaimana halnya Ilmu Syari’at, dikhawatirkan akan ada sebagian orang yang akan menyia-nyiakan ilmu ini atau bahkan menyalahgunakannya, terlebih lagi bila ilmu yang ghaib ini disampaikan oleh orang yang bukan ahlinya, maka akan terjadi kesalahpahaman bagi yang menerimanya bahkan bukan tidak mungkin malah justru menyesatkan.
            
Oleh sebab itu ilmu ini hanya diberikan kepada orang yang datang memintanya, sebab ilmu ini adalah ilmu yang sangat berharga, karena dengan ilmu inilah manusia dapat mengenal Allah. Memberikan ilmu ini kepada sembarang orang atau kepada orang yang tidak memintanya, itu sama artinya dengan mengalungkan emas ke leher kerbau atau babi yang pada akhirnya akan dibawanya berkubang.

Arti Thoriqoh menurut bahasa adalah jalan atau bisa disebut Madzhab mengetahui adanya jalan, perlu pula mengetahui "cara" melintasi jalan itu agar tidak kesasar/tersesat. Tujuan Thoriqoh adalah mencari kebenaran, maka cara melinta­sinya jalan itu juga harus dengan cara yang benar. Untuk itu harus sudah ada persiapan batin, yakni sikap yang benar. Sikap hati yang demikian tidak akan tampil dengan sendirinya, maka perlu latihan-latihan batin tertentu dengan cara-cara yang tertentu pula.

Adapun dalail tentang wajibnya bertarekat/bertasawuf adalah sebagai berikut :

Firman Allah (Q.S. Al-Jin: 16)


وَأَنْ لَوِاسْتَقَامُوْا عَلَى الطَّرِيْقَةِ لأَسْقَنَاهُمْ مَآءً غَدَقًا

Artinya: “Sekiranya mereka itu tetap berjalan (bertarekat) di atas jalan yang benar (Tarekat yang benar) niscaya Aku (Allah) akan memberikan kepada mereka meniman yang menghilangkan haus (petunjuk/Tarekat yang menghilangkan kesesatan)”‎

فَاسْلُكِى سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلاً

Artinya: “Tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan bagimu (bersuluklah kamu)”.
Firman Allah:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعَ طَرَائِقَ وَمَا كُنَّا عَنِ الْخَلْقِ غَافِلِينَ

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu TUJUH THORIQOH; dan Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan Kami.(Surah Al Mu'minuun 17)

Petunjuk Hadis tentang Tasawuf/Tarekat, sebagaimana sabda Rasulullah:
 ‎
وَعَنْ عَلِىٍّ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ: قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ أَيُّ الطَّرِيْقَةِ أَقْرَبُ إِلَى اللهِ وَأَسْهَلُهَا عَلَى عِبَادِ اللهِ وَأَفْضَلُهَا عِنْدَاللهِ تَعَالَى؟ فَقَالَ: يَاعَلِىُّ عَلَيْكَ بِدَوَامِ ذِكْرِاللهِ فَقَالَ عَلِىُّ كُلُّ النَّاسِ يَذْكُرُونَ اللهَ فَقَالَ ص م: يَاعَلِىُّ لاَتَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى لاَيَبْقَى عَلَى وَجْهِ اْلأَرْضِ مَنْ يَقُولُ, اللهُ اللهُ. فَقَالَ لَهُ عَلِىُّ كَيْفَ أَذْكُرُ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ فَقَالَ ص م: غَمِّضْ عَيْنَيْكَ وَاَلْصِقْ شَفَتَيْكَ وَاَعْلَى لِسَانَكَ وَقُلْ اللهُ اللهُ .

Artinya: “Dan dari Sayyidina Ali Karramahullahu wajhahu, beliau berkata: Aku katakana, Ya Rasulallah, manakah jalan/tarekat yang sedekat-dekatnya kepada Allah dan semudah-mudahnya atas hamba Allah dan semulia-mulianya di sisi Allah? Maka sabda Rasulullah, ya Ali, penting atas kamu berkekalan/senantiasa berzikir kepada Allah. Maka berkatalah Ali, tiap orang berzikir kepada Allah. Maka Rasulullah bersabda: Ya Ali, tidak akan terjadi kiamat sehingga tiada tinggal lagi atas permukaan bumi ini, orang-orang yang mengucapkan Allah, Allah, maka sahut Ali kepada Rasulullah, bagaimana caranya aku berzikir ya Rasulullah? Maka Rasulullah bersabda: coba pejamkan kedua matamu dan rapatkan/katubkanlah kedua bibirmu dan naikkanlah lidahmu ke atas dan berkatalah engkau, Allah-Allah.( Thabrani dan Baihaqi)

Lidah Ali telah tertungkat ke atas, tentulah lisannya tidak dapat menyebut Allah, Allah. Maka pada saat itu juga Ali ibn Abi Thalib mengalami fana fillah. Setelah Ali sadar, maka Nabi bertanya kepada Ali mengenai perjumpaannya dengan Allah, maka Ali berkata : 

رَأَيْتُ رَبِّى بِعَيْنِ قَلْبِى, فَقُلْتُ لاَشَكَّ أَنْتَ أَنْتَ اللهُ“

Kulihat Tuhanku dengan mata hatiku dan akupun berkata: tidak aku ragu, engkau, engkaulah Allah”.

Setelah Ali menceritakan perjumpaannya dengan Allah, maka kemudian Nabi membawa Ali di hadapan para umat dan berkata : 

اَنَا مَدِيْنَةُ الْعِلْمِ وَعَلِى بَابُهَا

“Aku adalah gudangnya ilmu dan Ali adalah pintunya”.

Dari beberapa Hadis di atas mengindikasikan bahwa Ali ibn Abi Thalib adalah sahabat Nabi dan sekaligus sahabat yang diberi izin untuk mengajarkan Ilmu Tarekat ini dengan gelar “Karamullah Wajhahu” (karam/fana memandang wajah Allah) yaitu suatu gelar yang hanya diberikan kepada Ali ibn Abi Thalib karena ia telah karam/fana dalam memandang wajah Allah.

Apa yang dilaksanakan Rasulullah S.A.W. di gua Hira itulah sebenarnya haqiqat suluk (riyadhoh) yang dijalankan oleh para ahli sufi thariqatullah (Tarekat Mu'thabarah).
Siapa gerangan yang dapat membantah hal ini ?


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ


Ya ayyhuhallazina amanuttaqullaha wabtaghu ilaihil washilata wajahidu fi sabililihi laallakum tuflihun.Y aayyuhallazina amanuzkurullah dzikrankatsira laallakum tuflihun.

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, carilah wasilah (penghantar/yang mengantar)  untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan, Qs. Al-Maidah: ayat 35.

Jadi suliq bukanlah hal yang dibuat buat oleh para sufi. Beranjak dari awaluddin makrifatullah ( awal agama adalah mengenal Allah ). Maka suluk adalah sarana untuk mengenal allah tersebut.

Di dalam suluk tersebut dilatihlah wuquf qalbi atau hati/qalbu yang terhenti dari hal hal yang bersifat duniawi tetapi dikonsentrasikan munajat kehadirat Allah swt.  Tentu saja dalam hal ini diperlukan pembimbing ( sang mursyid) yang menjadi wasilah bukan perantara.

Dalam teori elektisitas (kelistrikan) kita mengenal adanya kabel yang yang menjadi penghantar jalannya arus listrik. Maka nurun ala nurin ( nur Ilahi ) yanh terpancar dari zat dan fiil ilahi rabbi itu di dalam suluq dikonsentrasikan didalam latifatul qalbi. Sang mursyid sebagai mediator yang maha baik menghantarkan langsung kehadirat Ilahi Rabbi. Tidak ada yang sampai ke matahari kecuali cahaya matahari itu sendiri. 

Begitulah sang mursyid yang menjadi channel KETUHANAN yang dapat menghantarkan sang mukmin yang bersuluk menuju hadirat Ilahi rabbi. Dunia ini hanyalah panggung sandiwara tetapi zat Allah lah yang kekal abadi yang akan menyelamatkan umat manusia ini sampai ke alam baqa. Nah, darimanakah manusia itu bisa mengenal sesuatu tanpa ada guru yang membimbingnya.

Suluk hanya dapat dilaksanakan oleh mereka yang telah menerima amalan thariqah. Rasulullah S.A.W. telah memberikan amanah  kepada para sahabat sampai kepada para tabiin dan sampai kepada para ulama warisatulmbiyai wal mursalin termasuk para waliyullah  sebagai pemegang tampuk pusaka dari Rasulullah S.A.W.  di akhir zaman ini. 
Apabila kita kelak meninggalkan dunia yang fana ini maka yang berjalan menuju hadirat ilahi adalah ruh kita .

يآيُّهَاالنَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ. ارْجِعِىْ اِلىَ رَبِّكَ رَاضِيَّةً مَّرْضِيَّةً.فادخلي في عبادي وادخلي جنتي

 Ya aayatuhannafsul muthmainnah irjii ila rasbbili radhiyatam mardiyah fadkhuli fi ibadi wadkhuli jannati.

Artinya: Hai jiwa yang tenang kembalilah Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.(QS. al-Fajr,ayat 27-28)
Perjalan ruh yang seba metafisika ini tidak dapat berjalan begitu saja tanpa indikator , indikator inilah yang disebut sang Mursyid. Beliaulah yang menyalurkan nurun ala nurin (Cahaya di atas Cahaya) itu kedalam ruh para muridnya untuk dapat melasanakan zikir sebanyak banyaknya secara intensif pula. Seperti halnya rasul didalam gua Hira dibimbing oleh Jibril Alaihissalam. Begitu dahsyatnya pandangan bathin sang Mursyid yang memimpin murid muridnya di seluruh dunia ini. Dan para mursyid membimbing muridnya melalui ruhnya yang disertakan Alloh Cahaya...(red.)

Thoriqoh Ijtiba' Dan Thoriqoh Hidayah 

Seseorang ketika telah berada dalam dunia kegelapan dan kesesatan, maka dengan kehendak Allah SWT bisa berpindah menuju dunia yang terang dan mengetahui Allah SWT (ma’rifat). Adapun untuk sampai pada derajat ma’rifat (mengetahui Allah SWT), ada dua thoriqoh

اذا فتح لك وجهة من التعرف فلا تبال أن قل عملك فانه مافتحها لك الا وهو يريد أن يتعرف اليك. الم تعلم أن التعرف هو مورده عليك والأعمال أنت مهديها اليه وأين ما تهديه اليه مما هو مورده عليك

"Ketika Allah membuka pintu ma’rifat untukmu, maka janganlah heran atas sedikitnya amalmu. karena sesungguhnya Allah tidak membuka pintu ma’rifat untukmu kecuali Allah berkehendak untuk mengenalmu"

1. Penjelasan
Seseorang ketika telah berada dalam dunia kegelapan dan kesesatan, maka dengan kehendak Allah SWT bisa berpindah menuju dunia yang terang dan mengetahui Allah SWT (ma’rifat).
Adapun untuk sampai pada derajat ma’rifat (mengetahui Allah SWT), ada dua thoriqoh :

a. Thariqah Al Hidayah.
Pada jalan ini seseorang harus menghadap Allah SWT dan memulai dengan menancapkan iman dan rukun-rukunnya di dalam hati, kemudian mengarahkan hatinya untuk mencintai Allah SWT serta takut akan adzab-adzab-Nya. Lalu menjalankan perintah-perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Dia juga harus memperbanyak dzikir dan membaca Al-Qur’an. Adapun hasil yang dicapai dari thariqah ini adalah timbulnya kemerosotan sifat duniawi dari diri seseorang secara bertahap dan mengagungkan urusan ukhrowi sedikit demi sedikit, sehingga akhirnya perhatian dalam masalah akhirat lebih banyak dari pada masalah duniawi. Thariqah ini juga disebut dengan thariqah inabah.

b. Thariqah Ijtiba’.
Pada thariqah ini Allah memilih hamba-Nya untuk mendapat hidayah karena suatu sebab yang tidak diketahui kecuali oleh Allah SWT.
Dari kedua thariqah ini, untuk thariqah hidayah permulaannya adalah dari seorang hamba, sedangkan pada thariqah ijtiba' adalah dari Allah SWT.

Sebelum sampai pada thariqah ijtiba', kebanyakan adalah orang-orang yang pernah melakukan kemaksiatan dan jauh dari Allah SWT serta menuruti hawa nafsu mereka. Namun dalam waktu yang sangat singkat ternyata Allah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada mereka karena suatu sebab yang tidak diketahui oleh seorang pun kecuali Allah SWT.

Dalil
Kedua thariqah di atas telah diterangkan Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Syura : 13 :


الله يجتبي اليه من يشاء ويهدي اليه من ينيب

Artinya :
"Allah memilih padanya orang yang dikehendaki dan Dia menunjukkan padaNya orang yang kembali"

Jadi ijtiba' merupakan pilihan Allah SWT terhadap hamba-Nya yang dia kehendaki. Sedangkan hidayah adalah suatu usaha seorang hamba dalam waktu yang panjang dengan melakukan ibadah dan taat kepada Allah SWT. Selain itu, di dalam thariqah ijtiba' terdapat bukti bahwa seseorang tidak memiliki ikhtiar dalam memperoleh jalan ini. Lain halnya dengan thariqah hidayah yang mana Allah SWT menggantungkan hidayah-Nya dengan melakukan ibadah-ibadah yang berat, sehingga hidayah merupakan hasil dari usaha-usaha ini.

Adapun thariqah ma’rifat yang dibahas di dalam hikmah ini adalah thariqah ijtiba'. Yakni ketika Allah telah memberi ijtiba’ kepada seseorang sehingga dia mengetahui Allah SWT dalam waktu yang singkat. Maka janganlah heran atas sedikitnya amal ibadah yang dilakukan seseorang. Karena jalan ijtiba' yang diberikan Allah kepada hamba-Nya itu tidak sama dengan usaha-usaha seseorang untuk memperoleh hidayah.

Aplikasi

Dalam sejarah islam banyak sekali kita jumpai para auliya’ yang telah dipilih Allah SWT lewat thariqah ijtiba'. Dalam waktu sekejap mereka bisa berpindah dari kegelapan dan kesesatan menuju cahaya yang terang benderang. Mereka berpindah dari cinta kepada dunia menuju cinta kepada Allah SWT.

Pada zaman Rasulullah SAW banyak orang-orang desa pedalaman yang datang ke kota Madinah. Sampai di sana mereka menuju majlis Rasulullah SAW, kedua matanya selalu memandang Rasulullah SAW dan kedua telinganya tidak henti-hentinya mendengarkan nasihat-nasihat dan perkataan Rasulullah SAW. Dalam waktu sekejap watak kasar dan sifat keras hatinya menghilang. Mereka keluar dari majlis tadi dengan hati penuh rasa cinta kepada Allah SWT dan bosan terhadap dunia.
Masih banyak lagi orang-orang yang dipilih Allah dan bisa berubah dalam waktu yang singkat.

Diantara mereka adalah Fudlail bin 'Iyad. Dulu kala dia adalah seorang begal yang mengganggu manusia di jalan. Namun dalam waktu sekejap di tengah malam yang gelap gulita dia mendapat hidayah dari Allah SWT, sehingga berubah menjadi orang yang tekun beribadah dan mengosongkan hatinya dari semua hal kecuali cinta kepada Allah SWT.

Salah satu contoh lagi adalah Abdullah bin Mubarak. Sebelum memperoleh hidayah dari Allah SWT, dia adalah seorang pemusik yang tidak pernah menjalankan perintah-perintah-Nya, tetapi atas izin dari Allah SWT di dalam waktu yang sangat singkat dia berubah menjadi ahli ibadah dan rela mengorbankan dunianya demi memperoleh ridla dari Allah SWT.

Demikian pula Malik bin Dinar. Mulanya dia adalah polisi yang mengumbar hawa nafsunya dan suka mabuk-mabukan. Namun setelah memperoleh hidayah dari Allah SWT, dalam waktu yang sangat cepat dia berubah menjadi salah satu pembesar ulama rabbani.

Dari semua kisah-kisah di atas dapat diketahui bahwa perpindahan yang mereka alami dari kegelapan menuju kebenaran pada hakikatnya bermula dari Allah SWT. Allah memberikan hidayah kepada mereka sehingga akhirnya mereka cinta kepada Allah SWT.

Di dalam Al-Qur’an surat Al- Maidah : 4, Allah berfirman :


فسوف يأتي الله بقوم يحبهم ويحبونه أذلة على المؤمنين أعزة على الكافرين

Artinya :
"Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang kafir"

Adapun sumber dan sebab para Auliya’ tesebut mendapat maqam yang tinggi adalah anugrah dari Allah SWT yang diberikan kepada hamba-Nya yang dia kehendaki. Sifat atau sebab tersebut tidak diketahui oleh seorang pun kecuali hanya Allah SWT.

Para auliya' yang dipilih Allah SWT lewat thariqah al-ijtiba' tidak disyaratkan harus melakukan ibadah-ibadah atau dzikir terlebih dahulu seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang ada pada maqam thariqah al-hidayah. Allah membawa mereka ke derajat yang tinggi dalam waktu yang sangat singkat. Setelah itu mereka baru menjalankan perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-larangan-Nya dengan sungguh-sungguh.

Jadi yang dimaksud sedikitnya amal dalam hikmah yang dikemukakan oleh Ibnu "Athaillah Al-Askandari adalah amal mereka sebelum sampai pada derajat ijtiba'. Adapun setelah mereka sampai pada derajat ijtiba', maka mereka akan banyak melakukan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Sebagian orang memaksakan diri menjadi ahli dakwah dan menyangka bahwa para Auliya' yang telah dipilih Allah SWT di dalam thariqah al- ijtiba itu memiliki ibadah atau amalan khusus sehingga mereka tidak perlu memperbanyak ibadah serta menghindar dari larangan-larangan-Nya. Itu adalah tipu daya (waswasah) dari syetan kepada para kekasihnya. Hal ini dikarenakan para Auliya' yang telah dipilih Allah SWT adalah orang-orang yang banyak melakukan taat dan ibadah kepada Allah SWT dan paling menjauhi larangan-larangan-Nya.
Seandainya perasaan itu benar, maka semestinya orang yang paling utama memperoleh maqam itu adalah Rasulullah SAW, karena dia adalah makhluk Allah yang paling utama. Akan tetapi realitanya beliau adalah manusia yang paling banyak melakukan taat, paling sabar melakukan hal-hal yang sunnah dan paling menjauhi shubhat. Apakah kita tidak melihat kedua kaki beliau melepuh karena banyak melakukan shalat? bukankah beliau adalah orang yang paling zuhud dalam masalah duniawi?. 

Demikian pula para Auliya' yang dipilih Allah SWT, mereka adalah orang-orang yang paling banyak melakukan taat dan ibadah setelah sampai pada derajat ijtiba'.
Mungkin dalam hati kita timbul sebuah pertanyaan, apakah mereka memiliki kekhususan atau sifat istimewa sehingga memperoleh derajat ini dalam waktu sangat-singkat sekali?

Thariqah ijtiba' adalah murni dari anugrah Allah SWT karena adanya suatu sebab yang tidak bisa dijangkau dan dibatasi oleh akal manusia. Hanya saja kalau kita amati dan kita cermati, orang-orang yang tersesat dan jauh dari Allah serta memiliki kesombongan dan menentang kebenaran adalah mereka yang terhalang untuk memperoleh hidayah dari Allah SWT.

Di dalam surat Al-A’raf : 40 Allah SWT, berfirman :


ان الذين كفروا بأياتنا واستكبروا عنها لا تفتح لهم أبواب السماء ولا يدخلون الجنة حتى يلج الجمل في سم الخياط وكذلك نجزي المجرمين
Artinya :
"Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami dan menyombongkan diri terhadap-Nya, sekali-kali tidak akan di bukakan bagi mereka pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta ada unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan"

Dari ayat di atas, bisa diambil pemahaman balik ( mafhum mukholafah ) bahwa orang yang merasa hina dan rendah diri di sisi Allah SWT karena maksiat-maksiat yang dilakukan serta menganggap bahwa orang-orang yang ada di sekitarnya lebih baik darinya, maka ia akan sangat mungkin memperoleh hidayah dari Allah SWT.

Keberkahan Waliyullah.

Yang dimaksud keberkahan adalah pengaruh positif dan produktif dari dzikir, doa dan amal amal dari seorang yang dekat kepada Allah, sebagaimana beberapa hadits yang menjadi bukti keberkahannya. Diriwayatkan oleh Ahmad bin Abi Bakr Abu Mush’ab dari Muhammad bin Ibrahim bin Dinar dari Abiy Dzi’bin dari Sa’id Al Maqburi :

عَنْ ‏ ‏أَبِي هُرَيْرَةَ‏ ‏قَالَ قُلْتُ ‏ ‏يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَسْمَعُ مِنْكَ حَدِيثًا كَثِيرًا أَنْسَاهُ قَالَ ‏ ‏ابْسُطْ رِدَاءَكَ فَبَسَطْتُهُ قَالَ فَغَرَفَ بِيَدَيْهِ ثُمَّ قَالَ ضُمَّهُ فَضَمَمْتُهُ فَمَا نَسِيتُ شَيْئًا بَعْدَهُ ‏‏حَدَّثَنَا ‏ ‏إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ ‏ ‏قَالَ حَدَّثَنَا ‏ ‏ابْنُ أَبِي فُدَيْكٍ ‏ ‏بِهَذَا ‏ ‏أَوْ قَالَ غَرَفَ بِيَدِهِ فِيهِ (رواه بن ماجه)

Dari Abi Hurairah ra; “ wahai Rasulullah sungguh saya ini telah mendengar banyak hadits darimu tetapi aku lupa semua”. Kemudian beliau bersabda: “gelarlah Rida Mu’ ( pakaian).”  Maka aku menggelarnya, kemudian beliau memindahkan dengan tangan nya (seolah-olah mengisinya dengan sesuatu kemudian berkata, ” Ambil dan bungkuslah  keatas badan mu.” Maka aku melakukannya dan setelah itu aku tidak pernah lupa apapun. (Hr Ibnu Majah).

Keberkahan doa Ibnu Mas’ud diterangkan sebagai berikut:

عن عبد الله بن هبيرة ، عن حنش الصنعاني ، عن عبد الله بن مسعود ، أنه قرأ في أذن مبتلى فأفاق ، فقال له رسول الله – صلى الله عليه وسلم – : ” ما قرأت في أذنه ؟ قال : قرأت ): أفحسبتم أنما خلقناكم عبثا ( حتى ختم السورة ، فقال رسول الله – صلى الله عليه وسلم – : ” لو أن رجلا موقنا قرأها على جبل لزال “

Diriwayatkan oleh Abdullah bin Hubairah dari Hanas As Shan’ani dari Abdullah bin Mas’ud bahwasanya ia membacakan ayat Quran di telinga orang yang pingsan maka sadarlah berkat doanya itu. Maka Rasulullah saw betanya kepada Ibnu Mas’ud: “apa yang kamu bacakan di telinganya”? ia menjawab saya membaca ayat : afahasibtum annamaa khalaqnaakum ‘abatsan …..hingga selesainya ayat,”  Maka Rasulullah bersabda : “ andai kata ada orang  yakin yang membacakannya pada gunung, niscaya gunung itu akan bergoncang.”  (Hilyatul Auliya hal 8)

Diriwayatkan oleh Abu Bakar Ahmad bin Ja’far bin Hamdan, diriwayatkan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Muhamad bin Yazid Al Kufi, diriwayatkan Muhamad bin Fadhil, diriwayatkan Shalat bin  Mathar dari Qudaamah bin Hamazhah bin Ukti Saham bin Munjab, ia berkata:

سمعت سهم بن منجاب قال : غزونا مع العلاء بن الحضرمي ، فسرنا حتى أتينا دارين والبحر بيننا وبينهم ، فقال : يا عليم يا حليم يا علي يا عظيم ، إنا عبيدك وفي سبيلك نقاتل عدوك ، اللهم فاجعل لنا إليهم سبيلا . فتقحم بنا البحر ، فخضنا ما يبلغ لبودنا الماء ، فخرجنا إليهم [ص 8 ]

Aku mendengar Saham berkata : kami menyerang musuh dengan Al ‘Ala bin Al-Hadrami, kami mengendarai kuda sampai di batas dua daratan yang terpisah oleh  laut yang membatasi  antara kami dan mereka, kemudian Al ‘Ala berdo’a: “Wahai Yang Maha lagi Maha Penyantun, Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung  sungguh Kami hamba-Mu di Jalan-Mu yang memerangi musuh-Mu, Ya Allah   buatkanlah jalan buat kami sehingga dapat mencapai mereka.” Maka kami melintasi di atas air laut  dan kami dapat mengejar dan mengalahkan mereka. ( Hilyatul Auliya hal 8).

Dua shahabat Nabi saw ketika itu mengejar musuh dari Persia yang naik perahu, dan mereka memacu kudanya berlari diatas air di lautan tanpa tenggelam bagaikan memacu kuda di atas daratan, hingga penumpang perahu dari pegawai kerajaan Persia itu keheranan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Mereka itulah waliyullah, lantaran keikhlasan mereka itulah umat itu ditolong dan karena keihlasan mereka itu Allah menurunkan hujan.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

2 komentar:

  1. Assalamualaikum Salam sejahtera untuk kita semua, Sengaja ingin menulis
    sedikit kesaksian untuk berbagi, barangkali ada teman-teman yang sedang
    kesulitan masalah keuangan, Awal mula saya mengamalkan Pesugihan Tanpa
    Tumbal karena usaha saya bangkrut dan saya menanggung hutang sebesar
    1M saya sters hampir bunuh diri tidak tau harus bagaimana agar bisa
    melunasi hutang saya, saya coba buka-buka internet dan saya bertemu
    dengan KYAI SOLEH PATI, awalnya saya ragu dan tidak percaya tapi selama 3 hari
    saya berpikir, saya akhirnya bergabung dan menghubungi KYAI SOLEH PATI
    kata Pak.kyai pesugihan yang cocok untuk saya adalah pesugihan
    penarikan uang gaib 4Milyar dengan tumbal hewan, Semua petunjuk saya ikuti
    dan hanya 1 hari Astagfirullahallazim, Alhamdulilah akhirnya 4M yang saya
    minta benar benar ada di tangan saya semua hutang saya lunas dan sisanya
    buat modal usaha. sekarang rumah sudah punya dan mobil pun sudah ada.
    Maka dari itu, setiap kali ada teman saya yang mengeluhkan nasibnya, saya
    sering menyarankan untuk menghubungi KYAI SOLEH PATI Di Tlp 0852-2589-0869
    agar di berikan arahan. Supaya tidak langsung datang ke jawa timur,
    saya sendiri dulu hanya berkonsultasi jarak jauh. Alhamdulillah, hasilnya sangat baik,
    jika ingin seperti saya coba hubungi KYAI SOLEH PATI pasti akan di bantu Oleh Beliau

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hadeuuh banyak orang terbalik otaknya skrg...lha wong di blog ini ngomongin ilmu,koq ini malah asyik ngajak orang dosa...inget yang bener tu kalau mau kaya kerja terus doa,bukan pesugihan...lewat kyai sholeh pati...emangnya dia Tuhan...lha dia aja kalau lapar makan...kalau ga punya duit puyeng...ini malah sok jadi pemberi rizqi... koplak ni orang...

      Hapus