Translate

Minggu, 25 September 2016

Penyelewengan Aliran Mu'tazilah

Kaum Mu`tazilah merupakan sekelompok manusia yang pernah menggemparkan dunia Islam selama lebih dari 300 tahun akibat fatwa-fatwa mereka yang menghebohkan, selama waktu itu pula kelompok ini telah menumpahkan ribuan darah kaum muslimin terutama para ulama Ahlus Sunnah yang bersikukuh dengan pedoman mereka. Dalam sejarah tercatat bahwa kaum Mu’tazilah pernah membunuh ribuan ulama Islam, di antaranya adalah ulama Islam yang terkenal Syeh Buaithi, imam pengganti Imam Syafi’i, dalam peristiwa yang dinamai “Peristiwa Qur’an Makhluk”

Imam Ahmad bin Hanbal, pembangun Madzhab Hanbali, juga mengalami siksaan dalam penjara selama 15 tahun akibat peristiwa itu.
Maka dengan kejadian di atas kita perlu mengetahui dan mengenal sejarah asal-usul aliran Mu’tazilah.
Sejarah munculnya aliran Mu’tazilah oleh para kelompok pemuja aliran Mu’tazilah tersebut muncul di kota Basrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 - 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin ‘Atha  Al-Makhzumi Al-Ghozzal.
Secara umum, aliran Mu’tazilah melewati dua fase yang berbeda. Fase Abbasiyah (100 H - 237 M) dan fase Bani Buwaihi(334 H). Generasi pertama mereka hidup di bawah pemerintahan Bani Umayah untuk waktu yang tidak terlalu lama. Kemudian  memenuhi zaman awal Daulah Abbasiyah dengan aktivitas, gerak, teori, diskusi dan pembelaan terhadap agama, dalam suasana yang dipenuhi oleh pemikiran baru. Dimulai di Basrah. Kemudian di sini berdiri cabang sampai ke Baghdad. Orang-orang Mu’tazilah Basrah bersikap hati-hati dalam menghadapi masalah politik, tetapi kelompok Mu’tazilah Baghdad justru terlibat jauh dalam politik. Mereka ambil bagian dalam menyulut dan mengobarkan api inquisisi bahwa “Al Qur’an adalah makhluk”.

Memang pada awalnya Mu’tazilah menghabiskan waktu sekitar dua abad untuk tidak mendukung sikap bermazhab, mengutamakan sikap netral dalam pendapat dan tindakan. Konon ini merupakan salah satu sebab mengapa mereka disebut Mu’tazilah. Mu’tazilah tidak mengisolir diri dalam menanggapi problematika imamah –sebagai sumber perpecahan pertama- tetapi mengambil sikap tengah dengan mengajukan teori “al manzilah bainal manzilatain”. Akan tetapi di bawah tekanan Asy’ariah nampaknya mereka berlindung kepada Bani Buwaihi.
PEMBAHASAN

Pengertian Mu’tazilah.

Kata “Mu’tazilah” berasal dari kata “اِعْتَزَلَ” yang artinya menyisihkan diri. Yaitu kaum yang menyisihkan diri. ‎Kata-kata ini diulang dalam Al-quran sebanyak  sepuluh kali yang kesemuanya mempunyai arti sama yaitu al ibti’âd ‘ani al syai-i : menjauhi sesuatu. Seperti dalam satu redaksi ayat :

فَاِنِ اعْتَزَلُوْكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ وَأَ لْقُوْا اِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ الله ُلَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيْلاً  (النساء 90)

“Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk melawan dan membunuh) mereka.” (QS. 4:90)

Aliran Mu’tazilah dalam menetapkan prinsip-prinsipnya selalu berpegang kepada akal (ratio). Sebab itu mereka sangat mengutamakan ratio dan menempatkannya pada tingkat yang tinggi. Pada masa berikutnya mereka bersandar kepada filsafat, terutama setelah timbul kebangkitan dan kemajuan dalam bidang ilmiyah dalam Alam Islami juga sesudah filsafat diterjemahkan dari berbagai bangsa ke dalam bahasa Arab. Pada masa itu filsafat merupakan senjata ampuh bagi musuh-musuh Islam untuk menyerangnya. Maka kaum Mu’tazilah pun memekai filsafat sebagai senjata mereka untuk mempertahankan Islam terhadap orang yang menyerang dan menantangnya.

Munculnya golongan atau kelompok Mu’tazilah

Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).

Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan.

Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebahai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari.

Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji dalam bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki banyak versi.

Tokoh-Tokoh Aliran Mu’Tazilah

Wasil bin Atha.

Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.

Abu Huzail al-Allaf.

Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kotaBashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam.

Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.

Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah.

Al-Jubba’i.

Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wãjibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).

An-Nazzam

An-Nazzam : pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-quran terletak pada kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa) dan balāgah (retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim.

Al- jahiz

Al- jahiz : dalam tulisan-tulisan al-jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham naturalism atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum muktazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, malainkan ada pengaruh hukum alam.

Mu’ammar bin Abbad

Mu’ammar bin Abbad : Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad. pendapatnya tentang kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya ini sama dengan pendapat al-jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-‘arad atau accidents (sesuatu yang datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.

Bisyr al-Mu’tamir

Bisyr al-Mu’tamir : Ajarannya yang penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan manusia. Anak kecil baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum *mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.

Abu Musa al-Mudrar

Abu Musa al-Mudrar : al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin muktazilah yang sangat ekstrim, karena pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain.Menurut Syahristani,ia menuduh kafir semua orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala.

Hisyam bin Amr al-Fuwati

Hisyam bin Amr al-Fuwati : Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alas$an yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga dan neraka.

Sejarah Lahirnya Aliran Mu’tazilah.

Ada beberapa sebab yang menerangkan kaum ini dinamakan kaum Mu’tazilah, yaitu:

a)          Dijelaskanoleh Al-Bagdadi 

وَخَرَجَ وَاصِلُ ابْنِ عَطَاءَ عَنْ قَوْلِ جَمِيْعِ الْفِرَقِ الْمُتَقَدِّمَةِ وَزَعَمَ اَنَّ الْفَاسِقَ مِنْ هَذِهِ الْاُمَّةِ لَامُؤْمِنٌ وَلَاكَافِرٌ وَجَعَلَ الْفِسْقَ مَنَزِلَةً بَيْنَ مَنْزِلَتَيَ الْكُفْرِ وَلْاِيْمَانِ فَلَمَّا سَمِعَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ مِنْ وَاصِلٍ بِدْعَتَهُ هَذِهِ الَّتِى خَلَفَ بِهَا اَقْوَالُ الْفِرَقِ قَبْلَهُ طَرَدَهُ عَنْ مَجْلِسِهِ، فَاعْتَزَلَ عِنْدَ سَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِيْ مَسْجِدِ الْبَصْرَةِ وَانْضَمَ اِلَيْهِ قَرِيْنُهُ فِيْ الضَّلَالَةِ عَمْرُوبْنُ عُبَيْدِ بْنِ بَابَ كَعَبْدٍ صَرِيْخُهُ اَمَةً سُمِيَ اَتْبَا عُهُمَا يَوْمَئِذٍ مُعْتَزِلَةً.

Artinya: “Washil bin ‘Atho berbeda pendapat dengan golongan-golongan yang sudah ada (Syi’ah, Khawarij, Salaf. Pen.). Dia berpendapat bahwa orang yang fasiq dari umat islam ini tidaklah mukmin dan tidak pula kafir, menjadikannya fasiq berada pada suatu tempat antara dua tempat antara kafir dan iman. Tatkala Imam Hasan Al-Bashri mendengar bid’ahnya, Wsahil ini yang bertentangan dengan golongan-golongan sebelumnya, dia lalu mengusir dari majlisnya. Dia (Washil) menyendiri pada suatu sudut diantara sudut-sudut masjid kota Bashrah. Dia didukung oleh temannya dalam kesesatan bid’ah ini yaitu Amr bin Uabaid bin Bab seperti layaknya seorang budak laki-laki yang ditolong oleh budak perempuan. Mulai waktu itu masyarakat mengatakan bahwa keduanya telah mengasingkan diri dari pendapat ummat. Dan sejak itu pula pengikut-pengikut keduanya dinamakan Mu’tazilah.”‎

حُكْمُ اْلمُؤْمِنِ اْلعَاصِى بَعْدَ اْلحِسَابِ اِنْ غَفَرَاللهُ لَهُ اَنْ يَدْخُلَ اْلجَنَّةَ مِنْ
 اَوَّلِ اْلاَمْرِ خَالِدًا فِيْهَا اَبَدًا وَاِنْ لَمْ يَغْفِرْ لَهُ اَنْ يُعَذَّبَ فِى النَارِ مُدَّةً
عَلَى مِقْدَارِ ذَنْبِهِ ثُمَّ يَخْرُجُ مِنْهَا وَ يَدْخُلُ اْلجَنَّةَ خَالِدًا فِيْهَا اَبَدًا.
        
Wasil bin Atha’ tidak sependapat dengan gurunya, lantas ia membentak, lalu keluar dari halaqah gurunya dan kemudian mengadakan majlis lain di suatu pojok dari masjid Basrah itu.
        
Oleh karena itu, maka Wasil bin Atha’ dinamai kaum Mu’tazilah, karena ia mengasingkan diri dari gurunya. Dan diikuti oleh temannya Umar bin Ubaid(wafat 145 H).
        
Sejarah tidak mencatat tanggal, hari dan bulan perceraian, tetapi ketika itu usia Wasil 40 tahun, yaitu usia seseorang yang sudah bertanggung jawab, maka gerakan ini dimulai tahun 120 H, karena lahirnya Wasil bin Atha’ adalah pada tahun 80 H.
        
Jadi dapat dikatakan bahwa permulaan munculnya faham Mu’tazilah adalah pada permulaan abad ke II Hijriyah, dengan guru besarnya Wasil bin Atha’dan Umar bin Ubaid. Dan yang berkuasa saat itu Khalifah Hisyam bin Abdul Muluk dari Bani Umayyah (100-125 H).

Bila kita memperhatikan kisah diatas, akan nampak subjektif, namun kisah diatas merupakan salah satu pendapat tentang kemunculan  aliran mu’tazilah berdasarkan peristiwa antara Washil dengan gurunya Hasan Al-Bashri.

b)          ‎Ada pula yang mengatakan sebab dinamakan Mu’tazilah karena mengasingkan diri dari masyarakat. Orang-orang Mu’tazilah pada mulanya adalah orang-orang Syi’ah yang patah hati akibat menyerahnya Khalifah Hasan bin Ali bin Abi Thalib kepada Khalifah Mu’awiyah dari Bani Umaiyah.
        
Mereka menyisihkan diri dari siasah (politik) dan hanya mengadakan kegiatan dalam bidang ilmu pengetahuan. Demikian dikatakan oleh Abdul Hasan Thara’ifi, pengarang buku “Ahlul Hawa wal Bida”, yang dikutip oleh Muhammad Abu Zaharah dalam bukunya “Asy Syafi’i” , page 117.
        
Kalau ucapan Tharaifi ini benar, maka tanggal permulaan gerakan Mu’tazilah ini adalah sekitar tahun 40 H, karena penyerahan pemerintahan Sayidina Hasan kepada Sayidina Mu’awiyah adalah pada tahun 40 H.
        
Baik dari Tharaifi maupun Muhammad Abu Zaharah tidak menerangkan nama orang-orang yang patah hati itu dan juga tidak menerangkan tahun-tahunnya. Karena itu dalil Tharaifi ini tidak begitu kuat, apalagi dilihat dalam kenyataannya, bahwa orang-orang  Mu’tazilah dalam prakteknya bukan patah hati tetapi banyak sekali mencampuri soal-soal politik dan bahkan sampai mendominasi Khalifah Al Ma’mun, Khalifah al Mu’tashim dan Khalifah Al Watsiq. Dan bahkan di antara mereka ada yang duduk mendampingi Kepala Negara sebagai penasehatnya.

c)          Ada penulis-penulis lain yang mengatakan bahwa kaum Mu’tazilah itu adalah kaum yang mengasingkan diri dari keduniaan. Mereka memakai pakaian yang jelek-jelek, memakai kain yang kasar-kasar, tidak mewah dan dalam hidupnya sampai kederajat kaum minta-minta (Darawisy).
        
Keterangan ini pun sangat lemah, karena dalam kenyataannya kemudian, banyak kaum Mu’tazilah yang gagah-gagah, pakai rumah mewah-mewah, pakai kendaraan mewah-mewah, sesuai dengan kedudukan mereka di samping Khalifah-khalifah.

d)         Pengarang buku “Fajarul Islam” Ahmad Amin, tidak begitu menerima semuanya itu. Persoalan kaun Mu’tazilah bukan sekedar menyisihkan diri dari majlis guru, bukan sekedar menyisihkan diri dari masyarakat atau sekedar tidak suka memakai pakaian mewah, tetapi lebih mendalam dari itu. Mereka menyisihkan fahamnya dan I’tiqadnya dari paham dan I’tiqad umat Islam yang banyak.
        
Pendapat ini dikuatkan oleh pengarang kitab “al Farqu bainal Firaq”, yang menyatakan bahwa Syeh Hasan Basri mengatakan ketika kedua orang itu menyisihkan diri bahwa mereka telah menjauhkan diri dari pendapat umum.
        
Pendapat ini memang dekat pada kebenaran, karena dari dulu sampai sekarang fatwa-fatwa kaum Mu’tazilah banyak yang ganjil-ganjil, banyak yang di luar dari faham Nabi dan sahabat-sahabat beliau. Jadi mereka itu benar-benar Mu’tazilah (tergelincir) dalam arti kata sebenarnya.

Pokok-Pokok Ajaran Mu’tazilah.
Secara umum karakteristik dan pokok pikiran dari aliran ini tertuang dalam lima prinsip ajaran Mu’tazilah atau yang lebih dikenal dengan “Al-Ushul Al-Khomsah.” Al-Khayyat, seorang tokoh mu’tazilah pada abad ke III menegaskan:

وَلَيْسَ يَسْتَحِقُّ اَحَدُ مِنْهُمْ اِسْمَ الَاِعْتِزَالِ حَتَّى يَجْمَعَى الْقَوْلُ بِالْاُصُوْلِ الْخَمْسَةِ : التَّوْحِيْدُ وَالْعَدْلُ وَالْوَعْدُ وَالْوَعِيْدُوَالْمَنْزِلَةُ بَيْنَ الْمَنْزِلَتَيْنِ وَالْاَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَ النَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ، فَاءِذَا كَمُلَتْ فِيْهِ هَذِهِ الْخَصْلَةُ فَهُوَ مُعْتَزِلِيُّ.

Artinya: “Seseorang tidak berhak dinamakan mu’tazilah, sehingga bersatu padanya lima pokok ajaran , yaitu: Tauhid, Adil, Janji dan Ancaman, Tempat diantara dua tempat dan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar. Apabila padanya telah sempurna kelimaajaran ini maka dinamakan mu’tazilah.”

Dasar-dasar pokok ajaran Mu’tazilah berkisar pada 5 soal:

1)      Tauhid
Tauhid kaum Mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat-sifat Tuhan, tetapi Tuhan adalah Zat yang tunggal tanpa sifat. Mereka menganut pendapat yang meniadakan sifat-sifat yang Qadim itu sama sekali. Sebab, kalau seandainya memang ada sifat-sifat yang Qadim, tentulah akan ada beberapa “Yang Qadim”. Dan ini adalah kepercayaan syirik. Mereka berkata bahwa Allah adalah ‘Alim (Mengetahui) dengan dzat-Nya, Qadir (Kuasa) dengan dzat-Nya, Haiyun (Hidup) dengan dzat-Nya, Mutakallim (Berbicara) dengan dzat-Nya. Bardasarkan keterangan tersebut maka mereka berkata, bahwa Al Qur’an adalah “makhluk”, karena tak ada Yang Qadim kecuali Allah.

Karena adanya prinsip-prinsip ini, maka musuh-musuh Mu’tazilah menggelari mereka dengan “Mu’attilah”, sebab mereka telah meniadakan sifat-sifat Tuhan dan menghapuskannya. Dan karena prinsip ini pula maka kepada orang-orang yang menetapkan adanya sifat-sifat Tuhan lalu diberikan gelar“Shifatiyah”. Dan karena prinsip pertama dan kedua tersebut di atas, maka kaum Mu’tazilah sendiri menyebut diri mereka dengan “Ahlul ‘adli wat tauhid”(pengemban keadilan dan ketauhidan).

2)      Keadilan.
Kaum Mu’tazilah menggunakan istilah keadilan yaitu karena manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya sendiri, yang baik ataupun yang jelek. Dan karenanya ia berhak mendapatkan pahala dan siksa. Dan Tuhan sama sekali bersih dari hal-hal yang jelek, aniaya dan perbuatan yang dipandang kekafiran dan kemaksiatan. Sebab, kalau seandainya Tuhan memang menciptakan kezaliman, berarti Ia adalah zalim. Mereka sepakat bahwa Allah Ta’ala hanyalah berbuat yang patut dan baik.

Berdasarkan kepada prinsip tersebut, maka kaum Mu’tazilah ini juga disebut“Al’adliyah”, yaitu orang-orang yang menganut pendapat tentang keadilan. Dan karenanya mereka juga disebut kaum“Qadariyah” yaitu orang-orang yang menentang adanya Qadha dan Qadar.

Kaum Mu’tazilah sendiri tidak pernah menyebut-nyebut kedua istilah itu. Mereka bahkan membenci akan gelar-gelar tersebut. Dan mereka tidak senang kalau kedua perkataan itu dipakai sebagai nama mereka. Bahkan mereka berpendapat bahwa gelar-gelar tersebut sepantasnya dipakaikan kepada orang yang menganut pendapat tentang adanya Qadar, dan bukan kepada orang-orang yang mengingkari pendapat itu.

Yang menyebabkan kaum Mu’tazilah benci kepada gelar tersebut ialah sabda Rasulullah SAW:
“Kaum Qadariyah adalah kaum Majusi Ummat ini”, dan sabda: “Kaum Qadariyah adalah musuh-musuh Allah mengenai Qadar”.

Itulah sebabnya kita dapati orang-orang yang menganut pendapat tentang adanya Qadar melekatkan gelar tersebut kepada kaum Mu’tazilah dan sebaliknya kaum Mu’tazilahpun melekatkan gelar tersebut kepada orang-orang yang menganut pendapat tentang adanya Qadar.

3)      Janji baik dan janji buruk.
Tuhan telah berjanji – kata Mu’tazilah, bahwa siapa yang durhaka akan dihukum-Nya dan siapa yang mengerjakan pekerjaan baik akan diberi-Nya upah. Oleh karena itu, sekalian orang yang berbuat dosa tidak akan diampuni-Nya lagi kalau ia wafat sebelum taubat, dan akan terus masuk neraka tak keluar lagi. Ini sesuai dengan Janji-Nya.

Oleh sebab itu mereka mengingkari adanya Syafaat. Mereka mengatakan:

يَجِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُثْبِتَ الْمُطِيْعَ وَيُعَاقَبَ مُرْتَكِبَ الْكَبِيْرَةِ . فَصَاحِبُ الْكَبِيْرَةِ إِذَا مَاتَ وَلَمْ يَتُبْ لَايَجُوْزُ أَنْ يَعْفُوَ اللهُ عَنْهُ لِاَنَّهُ أَوْعَدَ بِالْعِقَابِ عَلَى الْكَبَاءِرِ وَأَخْبَرَبِهِ . فَلَوْ لَمْ يُعَاقِبْ لَزَمَ الْخَلْفُ فَى وَعِيْدِهِ وَلِأَنَّ الطَّاعَاتِ وَالْأَمْرَبِهَا وَ الْمَعَاصِى وَالنَّهْرَ عَنْهَا.

Artinya: “Wajib bagi Allah memberi pahala bagi orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat dosa besar. Orang yang berdosa besar apabila meninggal dan tidak bertobat, Allah tidak boleh mengampuninya, karena Allah telah mengancam siksaan atas orang yang berdosa besar. Kalau seandainya tidak menyiksanya, berarti Allah mengingkari ancaman-Nya. Taat kepada-Nya adalah perintah-Nya dan maksiat adalah larangan-Nya.”

4)      Tempat di antara dua tempat
Apabila orang Mu’min berbuat dosa maka ia dihukum dalam neraka disuatu tempat, lain dari tempatnya orang kafir. Nerakanya agak dingin, mereka tinggal di antara dua tempat, yakni antara surga dan neraka.

Pendapat mereka tentang seorang muslim yang melakukan dosa besar adalah tidak muslim lagi dan tidak pula kafir, tetapi di antara keduanya, yaitu Fasiq.

وَالْكَبَاءِرُ يُسَمَّى مُرْتَكِبُهَا فَاسِقًا وَالْفِسْقُ مَنْزِلَةٌ بَيْنَ الْمَنْزِلَتَيْنِ لَاكُفْرَ وَلَا إِيْمَانَ . فَلْفَاسِقُ لَيْسَ مُؤْمِنًا وَلَاكَافِرًا بَلْ هُوَ فِى مَنْزِلَةٍ بَيْنَ الْمَنْزِلَتَيْنِ.

Artinya: “Dosa-dosa besar ini pelakunya dinamakan fasik. Fasik itu berada pada suatu tempat di antara dua tempat, tidak kufur tidak pula beriman. Orang fasik bukan mukmin bukan pula kafir, tetapi dia berada pada suatu tempat di antara dua tempat.”

5)      Amar ma’ruf nahi munkar
Adapun “amar ma’ruf” dan “nahi munkar” adalah wajib bagi setiap orang Islam, sama dengan kepercayaan kaum Ahlussunnah, akan tetapi yang ma’ruf bagi kaum Mu’tazilah ialah hanya pendapat mereka, bukan ma’ruf yang sesuai dengan Al Qur’an dan Hadits.

Prinsip ini bukanlah monopoli dari aliran mu’tazilah, artinya aliran yang lainpun mengakui prinsip atau ajaran ini. Di dalam Al-Qur’an juga terdapat keterangan tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar ini seperti

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْراً لَّهُمْ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُوْنَ

Artinya:“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُوْرِ

Artinya: “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).”

Perbedaannya dengan aliran yang lain mengenai ajaran ini ialah pada tatanan pelaksanaannya. Menurut mereka dalam menjalankan asas kelima ini bisa dengan kekerasan jika memang diperlukan. Mereka mengatakan:

“Sesungguhya menghunus pedang dalam urusan Amar Ma’ruf Nahi Munkar itu wajib apabila tidak mungkin menolak kemungkaran dengan cara itu. Barang siapa berpendirian benar, wajib atasnya memperjuangkannya. Apabila merealisir tujuan ini dengan cara lemah lembut dan lisan dipandangnya cukup, dan bila tidak cukup, maka harus mempergunakan pedang.”

Sebab itulah dalam menerapkan paham mereka tentang kemakhlukan Al-Qur’an, mereka melakukan “Mihnah” yang banyak memakan korban dari golongan Muhadditsin dan Fuqaha.Dari sinilah mereka mulai dipandang radikal dan dibenci oleh sebagian besar orang saatitu, dari golongan ulama ataupun awam.Namun meskipun mereka berpendapat demikian, 

Kaum Mu’tazilah sepakat mengatakan bahwa akal manusia sanggup membedakan yang baik dari yang buruk, sebab sifat-sifat dari yang baik dan yang buruk itu dapat dikenal. Dan manusia berkewajiban memilih yang baik dan menjauhi yang buruk. Untuk ini, Tuhan tidak perlu mengutus Rasul-Nya. Apabila orang tidak mau berusaha untuk mengetahui yang baik dan yang buruk itu ia akan mendapat siksaan dari Tuhan. Begitu pula apabila ia tahu akan yang baik tetapi tidak diikutinya, atau ia tahu mana yang buruk tetapi tidak dihindarinya.

Adapun mengutus Rasul, adalah merupakan pertolongan tambahan dari Tuhan. “Agar orang-orang yang binasa itu, binasanya adalah dengan alasan, dan orang yang hidup itu, hidupnya adalah dengan alasan pula”.
Di antara aliran-aliran yang terbesar dari kaum Mu’tazilah adalah:

1.      Aliran Washiliyah, yaitu aliran Washil bin ‘Atha’.
2.      Aliran Huzailiyah, yaitu aliran Huzel al ‘Allaf.
3.      Aliran Nazamiyah, yaitu aliran Sayyar bin Nazham.
4.      Aliran Haitiyah, yaitu aliran Ahmad bin Haith.
5.      Aliran Basyariyah, yaitu aliran Basyar bin Mu’atmar.
6.      Aliran Ma’mariyah, yaitu aliran Ma’mar bin Ubeid as Salami
7.      Aliran Mizdariyah, yaitu aliran Abu Musa al Mizdar.
8.      Aliran Tsamariyah, aliran Thamamah bin Ar rasy.
9.      Aliran Hisyamiyah, yaitu aliran Hisyam bin Umar al Fathi.
10.  Aliran Jahizhiyah, yaitu aliran Utsman al Jahizh.
11.  Aliran Khayathiyah, yaitu aliran Abu Hasan al Khayath.
12.  Aliran Jubaiyah, yaitu aliran Abu Ali al Jubai.
13.  Aliran-aliran lain yang banyak lagi.‎

Beberapa kesalahan dan kekeliruan yang diperbuat kaum Mu’tazilah, yaitu:

Pertama. Kaum Mu’tazilah amat berlebih-lebihan dalam menghormati dan mengagungkan akal, sedang akal sering keliru dan salah.

Kedua. Agama Islam terkenal dengan sifat yang mudah dan gampang, akan tetapi Mu’tazilah telah menyebabkan aqidah Islam menjadi ruwet dan berbelit-belit, yaitu dengan memasukkan filsafat-filsafat dan pelajaran-pelajaran mengenai ketuhanan dan alam, yang tidak dapat memperjelas ajaran-ajaran Islam, bahkan membuatnya jadi kabur.

Ketiga. Kaum Mu’tazilah menyelami lautan filsafat untuk mempertahankan agama Islam, akan tetapi banyak di antara mereka itu memakai senjata tersebut untuk menikam diri sendiri.

Keempat. Ketika kaum Mu’tazilah membahas masalah kekacauan-kekacauan yang terjadi pada permulaan Islam, maka kebanyakan mereka membolehkan untuk mencela para sahabat Nabi.

Ustadz Ahmad Amin berkata: “Pada hakekatnya, kaum Mu’tazilah-lah yang menciptakan Ilmu Kalam dalam Islam. Dan merekalah yang mula-mula dalam kalangan Muslimin memakai senjata seperti yang dipakai oleh musuh-musuh mereka, dalam mempertahankan agama. Pada permulaan abad kedua Hijriyah, tampaklah pengaruh orang-orang bekas penganut agama Yahudi, Nasrani, Majusi dan Dahriyah yang telah memeluk Islam. Banyak di antara mereka memeluk Islam tetapi pikiran mereka masih dipenuhi oleh ajaran-ajaran agama mereka yang lama. Dan agama tersebut sebelumnya telah bersenjatakan filsafat dan logika Yunani, dan telah menyusun sistem pembahasannya, dan menyelaminya sampai sedalam-dalamnya. Kemudian mereka menyerang Islam, yaitu agama yang terkenal dengan kesederhanaan akidahnya, sehingga mereka berhasil memasukkan keragu-raguan ke dalam agama Islam.”‎

ANALISIS DAN REFLEKSI
 
Jika kita merunut kembali dari sejarah kemunculan dari aliran ini, maka kita akan mendapatkan bahwa Mu’tazilah yang muncul pada masa Ali merupakan orang-orang yang zuhud, ahli ibadah dan tidak terpedaya dengan kemolekan dunia politik. Selain itu mereka juga adalah orang-orang yang bijak, tidak memihak pihak manapun serta tidak tergesa-gesa dalam menentukan siapa yang salah. Hal tersebut dapat kita dapati dari pernyataan mereka, ‘Kami bergelut dengan ilmu dan ibadah’.” 

Sedangkan Mu’tazilah yang kedua, murni lahir dari suasana dan lingkungan serta masalah keilmuan. Washil keluar dari majlis gurunya karena mempertahankan argumernnya,bukan kaerna memberontak atau ingin merusak islam sebagaimana ditujukan terhadap beberapa aliran. Dengan begitu, kita mengetehui bahwa Washi merupakn sosok yang tegas dan bukan pentaklid. Hal ini terbukti dari sikap dari pengikutnya yang juga menempuh jalan yang dilaluinya. Mereka tidak menerima begitu saja suatu pendapat tanpa berusaha membuktikan kebenarannya walaupun itu dari gurunya.

Selain itu, mereka juga sangat berjasa dalam membangun peradaban Islam, terbukti dengan pendapat-pendapat mereka yang agak keluar dari pendapat yang umum, telah memaksa para ulama dan cendikiawan untuk mengkaji ulang dan mendalam tentang hal-hal yang berkaitan. Disamping itu, kegemaran mereka berdebat di muka umum sedikit banyak juga mendongkrak mental keilmuan dari umat islam saat itu. Keadaan ini berimbas dan berkembang pada aspek lainnya sehingga membawa kepada puncak kemajuan dan kejayaan islam terutama dari segi perkembangan ilmu pengetahuan.

Selain jasa-jasa tersebut, mu’tazilah juga turut melindungi islam dari pencemaran aqidah. Mereka melindungi islam dari kelompok-kelompok sesat seperti Syi’ah Ekstrim (Ashab Al-Qulat),[41] dan serangan agama lain seperti Yahudi, Nasrani, Majusi, penyembah berhala, ahli bid’ah, zindiq dan sebagainya. Selain itu, Abu Zahrah juga menjelaskan:

“Lima dasar (Al-Ushul Al-Khamsah) paham mu’tazilah  yang mereka dukung dan pertahankan hanya merupakan hail serangkaian perdebatan sengit yang terjadi antara mereka dan lawan-lawan mereka tersebut. Prinsip tauhid mereka, dimaksudkan untuk menolak paham Al-Muajassimah dan Al-Musyabbihah, prinsip keadilan dimaksudkan untuk menolak paham Al-Jahmiyyah, dan prinsip janji dan ancaman untuk membantah paham Murji’ah. Adapun tempat di antara dua tempat untuk menolak paham Murji’ah dan Khawarij sekaligus.

Dalam hal ajaran yang mereka gaungkan, merka mengeluarkan fatwa-fatwa yang digali dengan dominasi akal atau logika filsafat murni. Bahkan dalam menentukan dalil aqidah, mereka meletakan akal diatas nash. Menurut mereka, Al-Qur’an merupakan pelengkap dalam menentukan suatu hukum setelah akal. Jika ada ayat-ayat Al-Qur’an yang bertentangan dengan akal, maka mereka melakukan penafsiran ulang sampai selaras dengan akal. Mereka berdalih bahwa Al-Qur’an sebagai kitab yang diturunkan Allah tidak mungkin bertentangan dengan akal.

Hal itu memang benar, namun kemampuan akal itu terbatas dan kesimpulan dari akal banyak dipengaruhi oleh kerangka berpikir dari setiap orang yang setiap orangpun tidak mesti sama kerangka berpikirnya. Berangkat dari hal tersebut, maka kita perlu mendapatkan atau menggunakan kerangka berpikir yang benar. Oleh sebab itu Allah menurunkan Al-Qur’an dan mengutus Rasul-Nya untuk membimbing kita bagaimana menempuh hidup didunia ini termasuk menempuh kerangka berpikir yang benar. Maka bukanlah Al-Qur’an yang harus sesuai dengan kehendak akal, namun akallah yang harus diarahkan sesuai dengan arahan Al-Qur’an. Selain itu Nabi juga pernah bersabda:

مَنْ فَسَّرَ الْقُرْآنَ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّاءْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رواه الترميذي والنساء)

Artinya: “Barang siapa menafsirkan Al-Qur’an dengan pikiran saja, maka hendaklah menyiapkan dirinya dalam neraka.” (HR Turmudzi dan Nasa’i)

Selain itu, jika akal menempati tempat di atas nash, tentu sudah ada yang memecahkan tantangan unutk membuat satu atau beberapa surah atau ayat yang seumpama dengan Al-Qur’an. Penolakan mereka terhadap Isra’ dan Mi’raj Nabi serta kebangkitan dari kubur dengan jasad, seolah-olah meregukan kekuasaan Allah. Padahal Allah telah berfirman:

أَوْ كَالَّذِي مَرَّ عَلَى قَرْيَةٍ وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَى عُرُوشِهَا قَالَ أَنَّىَ يُحْيِـي هَـَذِهِ اللّهُ بَعْدَ مَوْتِهَا فَأَمَاتَهُ اللّهُ مِئَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَهُ قَالَ كَمْ لَبِثْتَ قَالَ لَبِثْتُ يَوْماً أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ قَالَ بَل لَّبِثْتَ مِئَةَ عَامٍ فَانظُرْ إِلَى طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ وَانظُرْ إِلَى حِمَارِكَ وَلِنَجْعَلَكَ آيَةً لِّلنَّاسِ وَانظُرْ إِلَى العِظَامِ كَيْفَ نُنشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوهَا لَحْماً فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ قَالَ أَعْلَمُ أَنَّ اللّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Artinya: “Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: ‘Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?’ Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya:‘Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?’Ia menjawab: ‘Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari.’ Allah berfirman: ‘Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang-belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.’ Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) dia pun berkata:‘Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu’.”

Takhtimah

Ada dua pendapat munculnya aliran ini. Pertama, sebagai suatu kelompok yang bersikap netral atas kekacauan diantara ‘Ali dan Mu’awiyah. Kedua, peristiwa Washil bin Atha’(w. 131 H) dan ‘Amir bin Ubaid (w. 144 H) dengan guru mereka, Hasan Al-Bashri (w. 110 H) yang membicarakan perihal pelaku dosa besar dari orang islam.

Tokoh dan figur dari aliran ini yang paling terkenal dan utama ialah Washil bin ‘Atho dan Amr bin Ubaid sebagai pendiri aliran ini. Sedangkan dari kalangan khalifah ialah Yazid bin Walid (125-126 H) seorang khalifah Dinasti Umayyah, Al-Makmun bin Harun Al-Rasyid (198-218 H), Al-Mu’tashim bin Harun Al-Rasyid (218-227 H) dan khalifah Al-Watsiq bin Al-Mu’tashim (227-232 H) dari Dinasti Abasyiah.

Secara umum karakteristik dan pokok pikiran dari aliran ini tertuang dalam lima prinsip ajaran Mu’tazilah atau (Al-Ushul Al-Khomsah) yaitu: Tauhid, Adil, Janji dan Ancaman, Tempat diantara dua tempat dan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar.

Aliran mu’tazilah terpecah menjadi beberapa golongan, yaitu: Washiliyah, Huzailiyah, Nazamiah, Hiathiyah, Basyariyah, Ma’mariyah, Mizdariyah, Tsamamiyah, Hisyamiah, Khayaithiyah, Jubaiyah,Hasyimiyah, Jahizhiyah‎, Aswariyah, Iskafiyah, Shalihiyah, Hadabiyah, Ja’fariyah, Al-Kabiyah dan Bahsyamiyah.

Aliran mu’tazilah lahir dari dan oleh orang-orang yang hebat serta berkomitmen baik. Aliran ini sangat berjasa kepada islam. Banyak hal mereka lakukan unutk islam. Namun, karena dalam pengambilan dalil dengan mengedepankan akal diatas nash, sedikit banyak merekapun keliru dalam beberapa hal. Selain itu, dengan adanya Mihnah, banyak orang dari ulama ataupun awam yang membenci mereka sehingga melupakan jasa-jasa mereka.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

1 komentar:

  1. Assalamualaikum Salam sejahtera untuk kita semua, Sengaja ingin menulis
    sedikit kesaksian untuk berbagi, barangkali ada teman-teman yang sedang
    kesulitan masalah keuangan, Awal mula saya mengamalkan Pesugihan Tanpa
    Tumbal karena usaha saya bangkrut dan saya menanggung hutang sebesar
    1M saya sters hampir bunuh diri tidak tau harus bagaimana agar bisa
    melunasi hutang saya, saya coba buka-buka internet dan saya bertemu
    dengan KYAI SOLEH PATI, awalnya saya ragu dan tidak percaya tapi selama 3 hari
    saya berpikir, saya akhirnya bergabung dan menghubungi KYAI SOLEH PATI
    kata Pak.kyai pesugihan yang cocok untuk saya adalah pesugihan
    penarikan uang gaib 4Milyar dengan tumbal hewan, Semua petunjuk saya ikuti
    dan hanya 1 hari Astagfirullahallazim, Alhamdulilah akhirnya 4M yang saya
    minta benar benar ada di tangan saya semua hutang saya lunas dan sisanya
    buat modal usaha. sekarang rumah sudah punya dan mobil pun sudah ada.
    Maka dari itu, setiap kali ada teman saya yang mengeluhkan nasibnya, saya
    sering menyarankan untuk menghubungi KYAI SOLEH PATI Di Tlp 0852-2589-0869
    agar di berikan arahan. Supaya tidak langsung datang ke jawa timur,
    saya sendiri dulu hanya berkonsultasi jarak jauh. Alhamdulillah, hasilnya sangat baik,
    jika ingin seperti saya coba hubungi KYAI SOLEH PATI pasti akan di bantu Oleh Beliau

    BalasHapus