Translate

Jumat, 23 September 2016

Pentingnya Belajar Ilmu Nahwu

Setiap muslim menyadari bahwa bahasa arab adalah bahasa al-Qur’an. Setiap orang yang akan mempelajari al-Qur’an dengan baik dan benar, tiada lain harus menggali dari sumber asalnya, yakni al-Qur’an. Sedangkan untuk mempelajari al-Qur’an yang dituliskan dalam bahasa arab tentu membutuhkan cara atau metode untuk memahami kajian bahara arab. Salah satunya cara adalah melalui pendalaman ilmu nahwu. Oleh karena itu, ada yang berpendapat bahwa menurut kaidah hukum Islam, mempelajari ilmu wahyu hukumnya wajib bagi siapapun  yang ingin mendalami al-Qur’an.

Seperti halnya bahasa-bahasa yang lain, Bahasa Arab juga mempunyai kaidah-kaidah tersendiri dalam mengungkapkan atau menuliskan sesuatu hal, baik berupa komunikasi atau penulisan. Pada jaman Jahiliyyah, kebiasaan orang-orang Arab ketika mereka berucap atau berkomunikasi dengan orang lain, mereka melakukannya dengan tabiat masing-masing, dan lafazh-lafazh yang muncul terbentuk dari peraturan yang telah ditetapkan mereka, di mana para junior belajar kepada senior, anak- anak belajar bahasa dari orang tuanya dan seterusnya.

Dari kondisi inilah mendorong adanya pembuatan kaidah-kaidah yang disimpulkan dari ucapan orang Arab yang fasih yang bisa dijadikan rujukan dalam mengharakati bahasa Arab, sehingga muncullah ilmu Nahwu.

Salah satu cara untuk mengenal dengan baik sebuah ilmu ialah dengan meninjau sejarahnya, perkembangannya, metode-metode para pakarnya dalam merumuskan prinsip-prinsipnya, membentuk hukum-hukumnya, dan menggali kaidah-kaidahnya. Dalam pembahasan ini, bukan akan membahas ilmu nahwu secara gramatikal, namun untuk mengetahui dan memahami ilmu nahwu dari perspektif sejarah kelahiran dan perkembangannya, prinsip-prinsip ilmu nahwu, dan aliran-aliran ilmu nahwu (Madaaris an-Nahwiyah) yang berkembang.

Dapat disimpulkan bahwa ilmu nahwu adalah suatu ilmu dimana pembahasan yang lebih di kedepankan tentang grammar (susunan kosakata) yang dalam bahasa arab mempunyai ribuan kaidah, namun hal itu belum menjamin keselamatan ungkapan dari kepahaman dan ketidakpahaman pendengar atau lawan berbicara yang disebabkan oleh kesalahan penggunaan suatu kaedah tersebut.

Dikisahkan pula dari Abul Aswad ad-Du'ali, ketika ia melewati seseorang yang sedang membaca al-Qur’an, ia mendengar sang qari membaca surat at-Taubah ayat 3 dengan ucapan :

(أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولِهُ)

Dengan mengkasrahkan huruf lam pada kata rasuulihi yang seharusnya di dhommah. Menjadikan artinya “…Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya...

Hal ini menyebabkan arti dari kalimat tersebut menjadi rusak dan menyesatkan. Seharusnya kalimat tersebut adalah,

(أَنَّ اللهَ بَرِىء مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُوْلُهُ)

“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.”

Karena mendengar perkataan ini, Abul Aswad ad-Du'ali menjadi ketakutan, ia takut keindahan Bahasa Arab menjadi rusak dan keistimewaan Bahasa Arab ini menjadi hilang, peristiwa tersebut terjadi di awal mula daulah Islam. Kemudian hal ini disadari oleh khalifah Ali Bin Abi Thalib, sehingga ia memperbaiki keadaan ini dengan membuat pembagian kata, bab inna waakhowatuha, bentuk idhofah (penyandaran), kalimat ta’ajjub (kekaguman), kata tanya dan selainnya, kemudian Ali bin Abi Thalib berkata kepada Abul Aswad ad-Duali, (اُنْحُ هَذَا النَّحْوَ) “Ikutilah jalan ini”.

Dari kalimat inilah, ilmu kaidah Bahasa Arab disebut dengan ilmu nahwu. Kemudian Abul Aswad Ad-Duali melaksanakan tugasnya dan menambahi kaidah tersebut dengan bab-bab lainnya sampai terkumpul bab-bab yang mencukupi.

Dalam riwayat lain disebutkan suatu ketika Abul Aswad melihat Khalifah Ali r.a termenung, maka ia mendekatinya dan bertanya “Wahai Amirul Mu’minin! Apa yang sedang engkau pikirkan?” Ali menjawab “Saya dengar di negeri ini banyak terjadi lahn, maka aku ingin menulis sebuah buku tentang dasar-dasar bahasa Arab”.

Selang beberapa hari Abul Aswad mendatangi Khalifah Ali r.a dengan membawa lembaran bertuliskan:

“Bismillahir rahmaanir rahiim. Al-kalaamu kulluhu ismun wafi’lun wa harfun. Fal ismu maa anbaa ‘anil musammaa, wal fi’lu maa anbaa ‘an harakatil musammaa, wal harfu maa anbaa ‘an ma’nan laisa bi ismin walaa fi’lin”.

“Dengan nama Allah yang maha pengasih dan penyayang. Ujaran itu terdiri dari isim, fi’il dan harf. Isim adalah kata yang mengacu pada sesuatu (nomina), fi’il adalah kata yang menunjukkan aktifitas, dan harf adalah kata yang menunjukkan makna yang tidak termasuk kategori isim dan fi’il”.

Hampir semua pakar bahasa Arab berpendapat bahwa gagasan Ali bin Abi Thalib r.a saat beliau menjadi khalifah ini muncul karena didorong faktor agama dan sosial budaya. Faktor agama terkait dengan usaha pemurnian Al-Qur’an dari lahn (kesalahan baca). Fenomena lahn semakin lama semakin marak terjadi seiring menyebarnya Islam ke wilayah-wilayah non-Arab. Pada saat itulah terjadi akulturasi bahasa Arab dengan bahasa lain. Para penutur non-Arab sering kali berbuat lahn dalam berbahasa Arab, sehingga hal itu dikhawatirkan terjadi juga saat mereka membaca Al-Qur’an.

Sebetulnya, fenomena lahn itu sudah muncul pada masa Nabi Muhammad masih hidup, tetapi frekuensinya masih jarang. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa ada seorang yang berkata salah (dari segi bahasa) dihadapan Nabi, maka beliau berkata kepada para sahabat:"Arsyiduu akhaakum fa innahu qad dlalla"(Bimbinglah teman kalian, sesungguhnya ia telah tersesat). Perkataan dlalla 'tersesat' pada hadits tersebut merupakan peringatan yang cukup keras dari Nabi. Kata itu lebih keras artinya dari akhtha'a 'berbuat salah' atau zalla 'keseleo lidah'. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa salah seorang gubernur pada pemerintahan Umar bin Khattab menulis surat kepadanya dan di dalamnya terdapat lahn, maka Umar membalasnya dengan diberi kata-kata "qannii kitaabak sawthan" 'berhati-hatilah dalam menulis'.

Dari sisi sosial budaya, bangsa Arab dikenal mempunyai kebanggaan dan fanatisme tinggi terhadap bahasa mereka. Hal ini mendorong mereka untuk memurnikannya dari pengaruh asing. Mereka mulai memikirkan langkah-langkah pembakuan bahasa dalam bentuk kaidah-kaidah. Dengan prakarsa Khalifah Ali dan dukungan para tokoh yang berkomitmen terhadap bahasa Arab dan Qur’an, sedikit demi sedikit disusun kerangka teoritis yang kelak menjadi cikal bakal pertumbuhan Ilmu Nahwu. Sebagaimana ilmu-ilmu lain, nahwu tidak langsung sempurna dalam waktu singkat, melainkan berkembang tahap demi tahap dalam kurun waktu yang panjang.

Mengenai tokoh yang dapat disebut sebagai peletak batu pertama Ilmu Nahwu yang paling populer dan diakui oleh mayoritas ahli sejarah adalah Abul Aswad. Pendukung pendapat ini dari golongan ahli sejarah terdahulu antara lain Ibnu Qutaibah (wafat 272 H), Al-Mubarrad (wafat 285 H), As-Sairafiy (wafat 368 H), Ar-Raghib Al-Ashfahaniy (502H), dan As-Suyuthiy (wafat 911 H), sedangkan dari golongan ahli nahwu kontemporer antara lain Kamal Ibrahim, Musthofa As-Saqa, dan Ali an-Najdiy Nashif (Al-Fadlali, 1986:9-17). Penokohan Abul Aswad ini didasarkan atas jasa-jasanya yang fundamental dalam membidani lahirnya Ilmu Nahwu.

Abul Aswad Ad-Duali memiliki nama asli Dzalam bin Amru bin Sufyan bin Jandal bin Yu'mar bin Du'ali. Ia adalah penduduk Bashrah yang jenius, berwawasan luas, dan mahir dalam bahasa Arab. Dia biasa dipanggil dengan nama Abul Aswad, sementara Ad-Duali merupakan nisbat dari kabilahnya yang bernama Du'al dari Bani Kinanah. Abul Aswad Ad-Duali merupakan seorang tabi'in, murid sekaligus sahabat Khalifah keempat Ali Bin Abi Thalib. Ia lahir pada 603 Masehi dan wafat pada 688 Masehi.

Sebelum menjadi pakar nahwu, Ad-Duali banyak berkiprah di dunia perpolitikan. Ia sempat menjadi hakim di Bashrah pada era kekhalifahan Umar bin Khattab, hingga kemudian diangkat menjadi gubernur kota tersebut di masa kepemimpinan Ali. Saat perang Jamal, Ad-Duali merupakan juru runding perdamaian antar kubu. Ia juga pernah diutus sahabat Rasulullah, Abdullah Ibn Abbas, untuk memerangi kaum Khawarij.

Abul Aswad adalah orang pertama yang meletakkan dasar ilmu bahasa Arab. Hal itu dilakukannya ketika ia melihat lahn mulai mewabah di kalangan orang arab. Dia menulis antara lain bab fa'il, maf'ul, harf jar, rafa', nashab, dan jazm." Selain itu juga Abul Aswad berjasa dalam memberi syakal (tanda baca) pada mushaf al-Qur'an. Sebagaimana diketahui pada mulanya tulisan Arab itu tidak bertitik dan tidak menggunakan tanda baca. Tidak ada tanda pembeda antara huruf dal dan dzal, antara hurufsin dan syin, dan sebagainya. Juga tidak ada perbedaan antara yang berharakat /a/, /i/, dan /u/. Demikian juga tulisan yang ada pada mushaf Al-Qur’an awal (Utsmani), sehingga banyak orang non Arab yang keliru dalam membaca Al-Qur’an terutama umat Islam non-Arab.

Karena khawatir kesalahan itu akan semakin mewabah, Ziad bin Abi Sufyan meminta Abul Aswad untuk mencari solusi yang tepat. Dan akhirnya Abul Aswad menemukan jalan, yaitu dengan memberi tanda baca dalam al-Qur'an. Namun, pada saat itu belum ada fathah, dhamah, ataupun kasrah. Ad-Duali mengunakan, sistem titik berwarna merah sebagai syakal kalimat. Titik-titik tersebut, yakni sebuah titik di atas huruf dimaknai /a/, yakni fathah, satu titik dibawah huruf dibaca /i/ atau kasrah, satu titik disebelah kiri huruf dibaca /u/, yakni dhamah. Adapun tanwin tinggal menambah titik tersebut menjadi dua buah. Titik-tik tersebut dicetak merah agar membedakan dengan tulisan Arab yang menggunakan tinta hitam. Karena tanda baca itu berupa titik-titik, maka dikenal dengan sebutan naqthul i'rab (titik penanda i'rab).

Prinsip-prinsip yang terkandung dalam ilmu Nahwu

Secara keseluruhan, ilmu bahasa meliputi ilmu nahwu, ilmu sharf, ilmu pelafalan, dan ilmu semantik. Ilmu sharf berbicara tentang aturan pembentukan kata. Ia mempelajari timbangan-timbangan kata (wazan) berikut indikasinya, serta bentuk-bentuk perubahan yang sangat beragam seperti penghapusan, penambahan, perentangan, pemendekan, peleburan, pembalikan, penggantian, pencacatan, serta keadaan saat terus dan saat berhenti. Dengan kata lain, kata kunci dalam ilmu sharf ialah kata.

Adapun ilmu nahwu, kata kuncinya ialah kalimat. Ia secara khusus berbicara tentang jabatan tiap elemen kalimat dan secara umum berbicara tentang aturan mengenai hubungan antar elemen tersebut. Demikianlah, ilmu nahwu telah digunakan untuk menganalisis secara sintaktik bagian-bagian sebuah kalimat serta hubungan antar bagian-bagian tersebut dalam apa yang dalam tradisi klasik kita sebut sebagai hubungan penyandaran. Jadi ilmu nahwu tidaklah hanya berbicara tentang harakat di akhir kata serta i’rabnya, namun ia juga mengatur tentang bagaimana cara yang baik dalam menyusun dan merangkai kalimat.

Semua cabang ilmu bahasa diatas saling melengkapi satu sama lain. Ilmu-ilmu tersebut dibeda-bedakan hanyalah untuk kemudahan mempelajarinya saja. Kita tidak bisa mengkaji bahasa secara sempurna dengan hanya menggunakan salah satu atau sebagian ilmu-ilmu tersebut dan meninggalkan ilmu yang lain.

Ilmu nahwu berbeda dari ilmu-ilmu ke-Arab-an yang lain, ia mempunyai sejarah yang cukup unik, dan juga ia mulia atas dasar ketinggian tujuannya yaitu menjaga otentisitas lisan (bahasa) orang Arab secara umum dan al-Qur’an secara khusus. Hal ini didapati banyak penyimpangan bahasa yang kemudian menggugah kesadaran setiap orang Arab yang takut kepada Allah bahwasanya mereka harus menjaga al-Qur’an yang tentangnya Allah berfirman, ”Sesungguhnya Kami telah menurunkan Peringatan (al-Qur’an) dan sesungguhnya Kami pulalah yang akan menjaganya”.

Bahwasanya di dalam kitab yang membahas tata bahasa Arab ini, ternyata kalau dikaji lebih dalam lagi ia memiliki filsafat-filsafat hidup dan nasehat yang sangat berharga bagi setiap generasi terutama bagi kita sebagai ummat Islam. Filsafat hidup yang termaktub dalam kitab itu sendiri merupakan “hukum” atas suatu kalam atau kalimat dalam ilmu nahwu. Berikut ini adalah contohnya:

1. Bersatu kita terhormat

Dalam ilmu nahwu, “dhommah” adalah salah satu tanda dari tanda-tanda “rofa’”. Secara lafdziah kata dhommah berarti bersatu. Sedang kata rofa’ berarti tinggi. Maksudnya, bila kita dapat bersatu dengan sesama, dapat menjaga kesatuan dan persatuan, dapat mempererat tali ukhuwah, bukan tidak mungkin kita akan menjadi umat yang terhormat dan tinggi (rofa’) di antara bangsa dan umat lain.

Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT : ”Bersatulah kalian pada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian berpecah belah” (Ali Imran: 103). Sementara untuk mendapatkan derajat tinggi harus memenuhi syarat, di antaranya adalah iman. Firman Allah SWT: “Janganlah kalian merasa hina dan sedih, padahal kamu tinggi jika kamu beriman” (Ali Imran: 139).

Ada beberapa kriteria sehingga orang bisa mendapatkan derajat rofa’ (tinggi). Sebagaimana dijelaskan dalam Al Jurumiyah, bahwa di antara kedudukan kalimat yang mendapat hukum rofa’ atau marfu’ (yang diberi penghargaan tinggi) adalah: fa’il, naib fa’il, mubtada’, khobar dan tawabi’ marfu’ (sesuatu yang mengikuti segala kalimat marfu’) seperti sifat (na’at), badal, taukid dan ‘atof. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Fa’il (aktivis). Bila kita ingin menjadi orang yang dihargai, tinggi dan tidak terhina, maka hendaklah kita berbuat, bekerja dan berusaha, tidak berpangku tangan atau hanya mengharap belas kasih orang lain. Hanya orang yang aktif dan proaktiflah (fa’il) yang membuahkan karya-karya dan amal dan menjadi terhormat di lingkungannya. Firman Allah SWT: “Dan katakanlah (hai Muhammad) : Bekerjalah kalian! sesungguhnya pekerjaan kalian akan dilihat oleh Allah, RasulNya dan kaum mu’minin” (At Taubah : 105). Sabda Nabi Muhammad SAW:“tangan di atas (pemberi) lebih baik dari tangan di bawah (peminta)”.

b.  Naib fa’il (mewakili tugas-tugas aktivis) adalah tipe kedua orang yang mendapat derajat tinggi. Meskipun ia berkedudukan sebagai wakil, tapi ia menjalankan pekerjaan yang dilakukan fa’il walau harus menjadi penderita dalam kedudukannya sebagai kalimat. Sebagai contoh dalam hal ini adalah sahabat Ali ra. Beliau pernah menggantikan Rasulullah di tempat tidurnya dengan resiko yang tinggi berupa pembunuhan yang akan dilakukan para pemuda musyrikin Makkah saat Rasulullah berencana melaksanakan hijrah ke Madinah.

Contoh lain adalah para huffadz yang diutus Rasulullah untuk mengajarkan agama atas permintaan salah satu suku di jazirah Arab, namun nasib mereka nahas dikhianati dan dibunuh para pengundang. Mendengar hal itu, Rasulullah pun membacakan do’a qunut nazilah sebagi rasa ta’ziyah. Dengan do’a dari Rasulullah tersebut, tentu saja mereka yang wafat mendapat kedudukan mulia di sisi Allah, juga oleh sejarah.

c. Mubtada (pioneer), orang yang pertama melahirkan ide-ide positif kemudian diaplikasikannya di tengah-tengah masyarakat sehingga berguna bagi kehidupan manusia adalah orang yang pantas mendapat derajat rofa’ (tinggi). Oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa memulai sunnah hasanah (ide positif dan konstruktif) maka baginya pahala dan pahala orang yang melakukan ide (sunnah) tersebut”.

Ada pepatah Arab mengatakan demikian:

الفضل للمبتدئ وان أحسن المقتدى

“Perhargaan itu hanyalah milik orang pertama memulai, walaupun orang yang datang kemudian dapat melakukannya lebih baik”

d.  Khobar (informasi). Mereka yang memiliki khobar (informasi) itulah orang yang menguasai. Demikian salah satu ungkapan dalam ilmu komunikasi. Di dunia ini sebenarnya tidak ada orang yang lebih banyak ilmunya dari seorang lain. Yang ada adalah karena orang itu lebih banyak mendapatkan dan menyerap informasi dari lainnya. Membaca buku, apapun buku itu, sebenarnya kita sedang menyerap sebuah informasi. Dan sebanyak itu informasi yang kita dapatkan sebesar itu pula kadar maqam kita. Informasi dapat kita peroleh melalui berbagai cara, termasuk di dalamnya pengalaman.

e. Tawabi’ Marfu’ (Mereka yang mengikuti jejak langkah orang yang mendapat derajar tinggi). Jelas, siapa saja yang mengikuti langkah dan perjuangan mereka yang mendapat derajat tinggi, maka mereka akan dihargai. Allah berfirman:“Sungguh dalam diri Rasulullah ada suri tauladan yang patut ditiru bagimu”. Ayat ini menegaskan kepada kita untuk mengikuti Rasulullah yang telah mendapatkan maqooman mahmuda (kedudukan terpuji) di sisi Allah agar kita mendapat hal yang sama di sisi-Nya. Di samping itu, salah satu orang yang akan mendapat derajat tinggi adalah para penuntut ilmu. Firman Allah SWT : “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan mereka yang diberi ilmu dengan beberapa derajat” (Al Mujadalah: 11). Ilmu adalah warisan para nabi, dan siapa yang mengikuti (tabi’) langkah nabi ia akan mendapat kehormatan (rofa’)

2. Berpecah belah adalah kerendahan

Tanda kasroh dalam ilmu nahwu adalah salah satu tanda hukum khofadh. Secara harfiah, kata kasroh bermakna pecah atau perpecahan. Sedangkan kata khofadh bermakna kerendahan atau kehinaan. Dengan demikian suatu umat akan mengalami kerendahan dan kehinaan apabila mereka melakukan perpecahan, tidak bersatu dan tidak berukhuwah. Wajar saja bila para musuh menyantap dengan lahapnya kekayaan kaum (muslimin) disebabkan mereka tidak mau bersatu dan menjaga persatuan. Inilah yang pernah dikhawatirkan oleh Nabi Muhammad SAW empat belas abad lalu, tatkala beliau menyatakan bahwa suatu saat umat Islam akan menjadi santapan umat lain seperti srigala sedang menyantap makanan. Para sahabat bertanya:“Apakah saat itu jumlah kita sedikit ?” Rasul menjawab: “Tidak, justru kalian saat itu menjadi mayoritas, tapi kualitas kalian seperti buih. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut dari musush-musuh kalian kepada kalian dan Allah akan mencampakkan dalam diri kalian penyakit al-wahan”. Sahabat bertanya: “apakah penyakit al-wahan itu?” Rasul SAW menjawab: “cinta dunia dan takut mati”.

Dengan penyakit itulah, umat Islam mengalami perpecahan. Diibaratkan seperti sifat buih, seberapa banyak dan sebesar apapun, ia akan terombang-ambing oleh angin yang meniupnya. Itulah tamsil umat Islam yang tidak memperkokoh persatuan. Sebab yang diperjuangkan bukan lagi agama mereka, tetapi materi dan keduniaan yang pada akhirnya tidak lagi mengindahkan persatuan dan kesatuan di antara sesama ummat Islam.

Hal inilah yang diisyaratkan oleh Al-Sonhaji, bahwa penyebab segala isim (nama) menjadi makhfudh (rendah dan hina) adalah karena tunduk dan ikut-ikutan terhadap huruf khofadh (faktor kerendahan). Atau dalam istilah nahwu lain, isim menjadi majrur (objek yang terseret-seret/mengikuti arus) karena disebabkan mengikuti hurf jar (faktor yang menyeret-nyeretnya) .

Karena itu, hendaknya umat Islam selalu menjadi ikan hidup di tengah samudera. Meskipun air samudera terasa asin, namun sang ikan hidup tetap terasa tawar. Sebaliknya, jika umat ini bagaikan ikan mati, maka ia dapat diperbuat apa saja sesuai keinginan orang lain. Bila diberi garam ia akan menjadi ikan asin dan lain sebagainya.

3. Berusahalah, Maka Jalan Akan Terbuka

Dalam kaidah ilmu nahwu, di antara tanda nashob adalah fathah. Secara lafdziah, kata nashob bermakna bekerja dan berpayah-payah. Sedang kata fathah bermakna terbuka. Dalam hal ini, maka mereka yang mau bekerja dan berupaya serta berpayah-payah (nashob) dalam usaha, maka mereka akan mendapatkan jalan yang terbuka (fathah). Sesulit apapun problem yang dihadapi, jika berusaha dan berpayah-payah untuk mengatasinya, maka insya Allah akan menemukan jalan keluarnya. Oleh karena itu Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang berbuat di antara kalian dari laki-laki dan wanita”. (Ali Imran: 195).

4. Kepastian akan menimbulkan rasa tenang

Kaidah lain yang terdapat dalam ilmu nahwu adalah, bahwa di antara tanda jazm adalah sukun. Secara lafdziah, kata jazm bermakna kepastian. Sedang kata sukun berarti ketenangan. Ini mengajarkan kepada kita, bahwa kepastian (jazm) akan melahirkan rasa ketenangan (sukun). Orang yang tidak mendapatkan kepastian dalam suatu urusan akan merasakan kegelisahan.Misalnya seorang remaja yang ingin melamar seorang gadis kemudian tidak mendapatkan kepastian, dia akan mengalami kegelisahan. Demikian juga orang yang hidupnya sendiri,ia tidak mendapatkan ketenangan. Oleh karena itu Allah SWT mengisyaratkan kita agar mempunyai teman pendamping dalam hidup ini agar mendapat ketenangan. Firman Allah SWT:

ومن آياته ان خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا اليها

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan Allah adalah Ia menjadikan bagimu pasangan dari jenismu (manusia) agar kalian merasa tenteram kepadanya” (Ar Rum: 21).

Dari keterangan di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa ilmu Nahwu mempunyai keistimewaan dalam filsafat hidup, begitu juga sebagai ilmu tata bahasa Arab yang masyhur digunakan oleh para ulama’ dalam mendalami Al Quran selain itu, juga dipelajari di madrasah-madrasah, pondok pesantren, sampai pada perguruan tinggi.

Ada tiga prinsip atau tepatnya elemen utama dalam pembentukan nahwu yaitu: al-simâ’, al-istishâb dan al-qiyâsyang juga biasa disebut sebagai “adillatun nahwi”.

1.   Al-Simâ’ secara harfiah berarti mendengar atau mendengarkan (informasi). Al-Simâ’, dalam konteks nahwu berarti sebuah penelitian atas suatu peristiwa bahasa yang dilakukan oleh para ahli dengan cara mencari informasi dari sumber aslinya untuk memastikan keotentikannya dan baru kemudian dijadikan sebagai landasan teoretis.

2. Al-Istishâb, adalah mempertahankan atau setia pada suatu kaidah kebahasaan yang dirumuskan atau ditetapkan para ahli nahwu berdasarkan Al-Simâ’ pada bentuk aslinya.

3. Al-Qiyâs adalah menganalogikan suatu hal (kaidah bahasa) yang belum ada keputusan kaidahnya kepada bahasa yang telah ada ketetapan kaidahnya. Atau menurut Ibrahim Anis al-Qiyâs dalam nahwu adalah:”menjadikan bahasa yang dianggap benar (fasih) sebagai ukuran atau analogi dan model pembentukan suatu kalimat tertentu”. Jadi, al-Qiyas adalah membentuk pola bahasa dengan mengikuti pola bahasa yang telah ada sebelumnya, baik dalam segi struktur kalimatnya maupun ketentuan I’rabnya. 

Namun demikian, dalam perkembangannya lebih lanjut, khusunya mulai akhir abad kedua hingga keempat hijriyah, prinsip utama dan paling dominan dan bahkan paling inti adalah “al-‘Âmil”, sebab prinsip-prinsip lain pada akhirnya hanya bersifat komplementer saja setelah adanya prinsip ‘amil ini. Itu sebabnya, Tamâm Hassân menyebutkan bahwa“Sesungguhnya nahwu dibangun di atas prinsip “al-‘Âmil”. Menurut Tamam, prinsip inipun sebenarnya juga hanya merupakan perumusan konkrit atau teoritisasi dari penemuan atau perumusan tiga jenis harakat (fathah, dhommahdan kasrah) oleh Abu al-Aswad al-Du’ali. ‘Amil dianggap sebagai penyebab atau penentu bunyi harakat pada akhir sebuah kata yang kemudian dikenal dengan istilah “nashab, rafa’,dan jarr”.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa nahwu secara epistemologis adalah sebuah ilmu yang telah memenuhi kriteria sebagai pengetahuan yang ilmiah, karena ia telah melengkapi diri dengan prinsip-prinsip sebagai tatabangunnya sehingga menjadi salah satu disiplin yang berdiri kokoh yang dapat dikaji secara ilmiah. Adapun prinsip-prinsip nahwu adalah: Al-Simâ’, al-Qiyâs, al-Istishâb dan al-‘Âmil.

Di dalam memahami redaksi ayat dari ayat-ayat al-Quran sangat dibutuhkan beberapa fan ilmu yang berkaitan dengannya. Terutama ilmu Nahwu, shorof, balaghah dan ilmu lughatil arabiyyah. Karena Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab :

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“ Sesungguhnya kami menurunkannya dengan berupa al-Quran berbahasa arab agar kalian menegrti “ (QS; Yusuf : 2)

Imam Ibnu Katsir mengomentari ayat tsb sebagai berikut :

وذلك لأن لغة العرب أفصح اللغات وأبينها وأوسعها ، وأكثرهاتأدية للمعاني التي تقوم بالنفوس; فلهذا أنزل أشرف الكتببأشرف اللغات ،

“ Demikian itu karena bahasa arab adalah paling fasehnya dari seluruh bahasa, paling jelas dan luasnya.  Dan paling banyak membawa makna-makna yang sesuai kalimatnya. Oleh karena itu Allah menurunkan paling mulianya kitab dengan paling mulianya bahasa “

Para ulama salaf kita telah memberikan pemahaman isi kandungan Al-Quran yang penuh makna hikmah dan mu’jizat dengan jalan tuntunannya yaitu tafsirannya, dengan proses melalui berbagai macam fan ilmu yang berkaitan dengannya seperti :

1. Ilmu alat (nahwu, shorof, balaghah dan lughah)
2. Ilmu qiraat
3. Ilmu naskhil utsmani
4. Ilmu tafsir
5. Ilmu nasikh wal mansukh
6. Ilmu ghoribil quran
7. Ilmu i’jazil quran
8. Ilmu i’rabil quran
9. Dan selainnya yang berkaitan

Demi menjaga al-Quran dan telah masuk dalam realisasi firman Allah Swt :

انا نحن نزلنا الذكر وانا له لحافظون

“ Sesungguhnya Kami menurunkan al-Quran dan Kamilah yang menjaganya “.

Maka bermunculan lah kitab-kitab tafsir para ulama untuk memberikan sumbangsih bagi umat muslim di dalam memahami makna ayat-ayat al-Quran yang sesuai maksud Allah dan Rasul-Nya.

Sehingga memahami al-Quran tidak cukup dengan hanya mengandalkan terjemah tanpa mau merujuk tafsiran para ulama salaf yang berkompeten dibidang tafsir, agar kita tidak jauh memahami makna ayatnya dari pemahaman yang sebenarnya. Sehingga sebuah keharusan mengikuti / taqlid pada pemahaman ulama salaf. 

Bagaimana kita bisa memahami al-Quran yang berbahasa arab tanpa memepelajari bahasa arab ??

Terjemahan al-Quran yang ada merupakan hasil dari pemahaman bahasa arab pada al-Quran itu sendiri. Namun tidak cukup memahami terjemahan lafadz per lafadznya saja tanpa menjelaskan maksudnya. Nah maksud dar ayat al-Quran dibutuhkan penafsiran sedangkan penafsiran butuh pada ilmu yang berkaitan dengannya. Dan para ulama tafsirlah yang mampu melakukan ini semua, kita hanya tinggal menikmati hasilnya.

Dan kitab-kitab tafisr merupakan hasil dari penafsiran para ulama yang berkompeten di bidangnya. Untuk kita yang berbangsa ajami (non arab), membutuhkan penerjemahannya ke dalam bahasa masing-masing penduduk. Atau mempelajari ilmu bahasa arab untuk mempelajari kitab-kitab tafsir tersebut. Namun masih dibutuhkan seorang guru yang benar-benar menguasai ilmu bahasa arab agar kita tidak salah paham dalam memaknainya. Dan seorang guru yang memiliki sanad (mata rantai) keilmuan yang bersambung sampai pada ulama pengarang kitab tafsir tersebut, agar tidak menyimpang dari pemahaman yang dimaksud oleh para ulama tsb.

Sungguh amat keliru dan ceroboh orang yang beranggapan bahwa ilmu alat adalah tidak penting, hanya memperlambat umat muslim untuk memahami al-Quran.

Jawabanya :
Rasul Saw bersabda :

تعلموا العربيية وعلموها الناس‎

“ Pelajarilah bahasa arab dan ajarkanlah ia pada orang-orang “

Tidak semua kaum muslimin berkecimpung dalam ilmu bahasa arab atau ilmu alat dan ilmu tafsir. Mereka memiliki tahapannya masing-masing.

Semisal, anak kecil yang baru baligh, maka kita tidak ajarkan ilmu alat melainkan kita ajarkan ilmu fiqih yang berkaitan pada kewajibannya semisal sholat dan puasa ramadhan di samping ia juga membaca al-Qurannya. Dan itu pun sama dengan dia mempelajari al-Quran, sebab ilmu fiqih merupakan ilmu yang dihasilkan dari al-quran dan al-Hadits yang telah di racik oleh para ulama.  

Bisa juga melalui pengajian-pengajian, majlis-majlis ilmu atau majlis mauidzhah, atau lainnya.  Ini  mrupakan salah satu media untuk memahami ilmu al-Quran dan hadits Nabi Saw. Karena materi yang disampaikan sipenceramah merupakan suguhan matengnya yang telah diracik dari al-Quran dan hadits. Ibaratnya pergi ke warung untuk makan, maka dia tidak perlu membuat hidangan makan sndiri yang butuh bahan-bahan dan meraciknya sendiri.

Namun juga harus hari-hati, karena bisa jadi hidangan di warung terdapat racun atau unsure ksengajaan untuk mencelakakan org lain.

Setelah lebih dewasa dan memahami tentang ilmu fardhu ainnya, maka ia mnginjak tahapan selanjutnya, yaitu berusaha memahami ilmu fardhu ainnya dengan dalil-dalilnya.

Kemudian tahap selanjutnya memahami wasilah atau perantara dalam memahami dalil-dalil ilmu tersebut yaitu ilmu alat. Apalgi yang berhubungan lansgung dengan ayat al-Qurannya atau nash haditsnya.

Seandainya umat muslim tanpa tahapan-tahapan ini, maka bisa dibayangkan bagaimana jadinya agama Islam ini. Karena akan banyak timbul pemahaman-pemahamn keliru, salah bahkan menyimpang dari maksud yang sebenarnya, maka rusaklah Islam dan hal ini telah banyak kasusnya dalam aliran-aliran sempalan Islam.

 Ibnu Taimiyyah berkata :

 ولو سقط علم النحو لسقط فهم القرآن، وفهم حديث النبي ولوسقط لسقط الإسلام

“ Seanadainya ilmu nahwunya jatuh (apalagi tdk mau mempelajarinya), maka akan jatuh juga pemahaman al-Quran dan pemahaman hadits, dan seandainya pemahaman alquran dan hadits jatuh, maka jatuhlah Islam “

Bahkan Ibnu Taimiyyah sendiri pun lebih mengetatkannya dalam hal ini, sampai-sampai ia melarang umat muslim membawakan ayat al-Quran tanpa bahasa arab, misalnya dengan huruf latinnnya. Berikut pendapatnya :

واما الاتيان بلفظ يبين المعنى كبيان لفظ القرأن فهذا غير ممكنوعلى هذا كان ائمة الدين على انه لا يجوز ان يقرأ بغير العربيةلا مع القدرة و لا مع العجز لان ذالك يخرجه عن ان يكون  هوالقرأن المنزل‎

“ Membawakan Al-Quran dengan lafadz yang menjelaskan makna Al-Quran, ini tidaklah mungkin bisa dilakukan. Oleh karena itu para imam Agama berpendapat tidak boleh membaca Al-Quran tanpa bahasa arab, walaupun dia mampu atau pun tidak mampu membaca arabnya. karena yang demikian itu akan mengeluarkan al-Quran dari Al-Quran yang diturunkan sebenarnya “

Umar bin Khoththob Ra berkata :

تعلموا اللحن والفرائض والسنن كما تعلموا القران

“ Belajarlah ilmu nahwu, faraidh dan sunnah sebagaiman kamu belajar al-Quran “.

Yahya bin Atiq berkata kepada Hasan “ Wahai Abu Sa’id, seseorang belajar bahasa arab yang dengannya ia memperbagus manthiqnya / cara bicaranya dan bacaan qurannya? Maka Hasan menjawab :

حسن يا ابن اخي فتعلمها فان الرجل يقرأ الاية فيعيى بوجههافيهلك فيها

“ Itu bagus wahai putra saudaraku, maka pelajarilah bahasa arab, karena seseorang membaca ayat lalu ia tidak cakap dalam cara membacanya maka dia celaka di dalamnya “.

Dari Ibnu Mas’ud beliau berkata :

من اراد العلم فعليه بالقران فان فيه هلم الاولين والاخرين

“ Barangsiapa yang ingin ilmu,maka hendaknya ia mempelajari al-Quran “

Imam Baihaqi mengomentari hadits ini sebgai berikut :

يعني اصول العلم

“ Maksudnya adalah mempelajari ushul-ushul ilmi / pokok-pokok ilmu (yaitu kaidah-kaidah ushul tafsir) “. (Zubdatul itqan; 143)

Saya akan berikan contoh memahami ayat al-Quran tanpa ilmunya :

Contoh pertama;

لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْيَفْعَلُوا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“ Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang yang gembira  dengan apa yang telah mereka kerjakan  dan mereka suka dipuji atas perbuatan yang tidak mereka lakukan, jangan sekali-kali kamu mengira bahwa mereka akan lolos dari adzab, mereka akan medapat adzab yang pedih “. (Al-Imran : 188)

Jika kita artikan sesuai dhahirnya saja maka kita pahami bahwa kita semua akan kena adzab Allah yang pedih, kenapa, karena kita semua pasti merasa senang dengan apa yg kita perbuat dan selalu ingin dipuji atas karya kita.

Namun sangat berbeda jika kita pahami ayat tersebut dengan sesuai ilmunya yaitu sebagaimana tafisran Ibnu Abbas Ra dalam shohih Bukhari dan Muslim berikut :

 “ Ayat tersebut turun kepada Ahlul kitab ketika Nabi Saw bertanya pada mereka tentang sesuatu, lalu mereka menyembunyikannya dan memberitahukannya dengan selainnya dan mereka berkata bahwa mereka telah memberitahukan pada nabi dan mereka minta dipuji atas demikian itu “. (HR. bukhari dan Muslim)

Contoh kedua :

لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا

 “ Tidak berdosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan tentng apa yang mereka makan “ (Al-Maidah : 93)

Dengan ayat ini Utsman bin Madh’un dan Amr bin Ma’ad berkata “ Khomr itu mubah bagi kita “

Padahal pemahaman yang benar bukanlah demikian jika mengetahui sebab nuzulnya yaitu “ Bahwa orang-orang berkata saat khomr itu diharamkan “ Bagaimana dengan orang-orang yang wafat di jalan Allah dan mereka minum khomr ?” Maka turunlah ayat tsb. Artinya Allah memaafkan perbuatan yang dilakukan pada masa dahulu yang belom diturunkannya pelarangan khomr.

Contoh ketiga :

افرايت من اتخذ الهه هواه

“ Sudahkah engkau melihat orang yang menjadikan Tuhannya sebagai hawa nafsunya / keinginannya ? ” (Al-Furqan : 43)

Ayat tsb jika kita lihat secara dhahirnya, maka akan menimbulkan bahwa tidak boleh menjadikan Tuhan sebagai keinginannya dan ini sungguh bertentangan dengan perintah-perintah ayat lainnya. Artinya tidaklah mengapa menjadikan Tuhan sebgai keinginannya dan ini hal terpuji.

Namun maksud ayat tsb bukanlah demikian, maka ayat tsb mengandung Taqdimul kalam wa takhirihi, makna yang sebenarnya adalah :

افرايت من اتخذ هواه الهه

“ Apakah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya ? ”

Inilah maksud yang sebenarnya. Lafadz ilahahu mrupakan taqdim dan lafadz hawahu merupakan takhir.

Dan tak akan habis jika saya beberkan contohnya, karena setiap contoh akan terikat dengan fan ilmu yang berkaitan dengannya. Demikian pula dalam memahami hadits-hadits Nabi Saw, sangat dibutuhkan ilmu alat karena ucapan Nabi Saw merupakan syarah dari ayat-ayat al-Quran yang memiliki kesempurnaan bahasa.

Sejarah dan tokoh. Awalnya, kefasihan berbahasa Arab adalah ketrampilan yang diwariskan turun-temurun, tanpa kaidah yang ditetapkan secara ilmiah dan terinci. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat dan bangsa Arab bertebaran ke berbagai penjuru, mereka pun bercampur dengan berbagai bangsa lainnya. Pada generasi berikutnya, kefasihan itu meluntur dan bahkan nyaris hilang. Para ulama’ pun merasa khawatir jika bahasa Arab rusak dan ditinggalkan, yang berakibat terkuncinya pintu untuk memahami Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karenanya mereka merumuskan berbagai kaidah yang diambil dari tradisi percakapan sehari-hari, seperti fa’il itu harus dibaca rafa’ dan maf’ul harus dibaca nashab. Mereka juga melihat bahwa perubahan maksud suatu kata tergantung perubahan harakat-nya. Mereka menyebut perubahan-perubahan tersebut sebagai i’rab, sementara faktor-faktor yang mendorongnya disebut ‘amil. Kaidah-kaidah tersebut kemudian semakin berkembang dan berbagai karya ditulis untuk mengumpulkannya, sehingga tumbuh menjadi disiplin ilmu tersendiri.

Tokoh pertama yang menulis di bidang ini adalah Abu al-Aswad Zhalim bin ‘Amr bin Sufyan ad-Du’ali al-Bashri (w. 69 H) dari Bani Kinanah. Konon hal itu diperintahkan oleh Imam ‘Ali bin Abi Thalib radhiya-llahu ‘anhu. Setelah itu tampil berturut-turut Maimun al-Aqran, ‘Anbasah bin Ma’dan al-Mahri, ‘Abdullah bin Abi Ishaq al-Hadhrami dan Abu ‘Amr bin al-‘Ala’, dimana masing-masing menambahkan ke dalam ilmu ini aspek-aspek yang belum disentuh pendahulunya. Demikianlah ilmu ini terus tumbuh sampai tampilnya Abu ‘Abdirrahman al-Khalil bin Ahmad al-Azdi al-Farahidi al-Bashri (wafat sesudah tahun 160-an hijriyah), di zaman kekhilafahan Harun ar-Rasyid. Pada masa ini kefasihan asli bangsa Arab sudah nyaris punah sehingga nahwu menjadi kebutuhan mutlak.

Setelah tahap seleksi dan penyempurnaan oleh al-Farahidi, tampillah muridnya yang paling cemerlang dalam bidang ini, yakni Abu Bisyr ‘Amr bin ‘Utsman bin Qunbur al-Bashri, atau lebih dikenal sebagai Sibawaih (w. 180 H atau 188 H). Karyanya yang diberi judul al-Kitab merupakan induk seluruh karya nahwu yang ditulis setelahnya, sehingga al-Mazini – salah seorang muridnya – berkata, “Siapa pun yang ingin menulis sebuah kitab besar di bidang nahwu setelah (adanya) kitab Sibawaih, maka hendaklah ia merasa malu.” Dan, setiap kali ada orang yang ingin membaca kitab tersebut di hadapan al-Mubarrad (Abu al-‘Abbas Muhammad bin Yazid al-Azdi al-Bashri) – ulama’ nahwu di Baghdad setelah Sibawaih – beliau selalu berkata, “Saya rela menyeberangi lautan karena menghormati beliau (Sibawaih), dan karena mengakui kehebatan isi kitab ini.”

Di belakang mereka ada Abu Ishaq az-Zajjaj (w. 311 H) dan Abu ‘Ali al-Farisi (w. 377 H) yang menulis karya-karya ringkas sebagai pegangan bagi para pelajar. Metodenya masih menganut metode Sibawaih. Setelahnya bermunculan karya-karya dengan berbagai ukuran, aliran dan metode pengajaran. Jumlahnya nyaris tak terhitung. Aliran-aliran klasik, modern, Kufah, Bashrah, Baghdad, maupun Andalusia berbeda satu sama lain. Diantara ulama’ nahwu yang paling menonjol pada masa lebih akhir adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdillah bin Malik ath-Tha’iy (w. 672 H), penyusun Alfiyah Ibnu Malik yang termasyhur; lalu Abu Muhammad ‘Abdullah bin Yusuf bin Ahmad al-Anshari (w. 761 H di Mesir), atau lebih dikenal sebagai Jamaluddin Ibnu Hisyam an-Nahwi, penulis kitab Mughni al-Labib.

Nama. Selain nahwu, disebut juga Ilmu I’rab. Konon, sebab penamaan dengan nahwu adalah agar dalam berbicara orang memperhatikan atau mengarahkan pandangannya kepada tradisi bangsa Arab, baik dalam i’rabmaupun bina’-nya. Sebab, arti kata nahwu adalah “menuju”. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa nama itu berasal dari kata-kata Imam ‘Ali radhiya-llahu ‘anhu, dimana setelah mendiktekan pokok-pokok kaidah bahasa Arab kepada Abu al-Aswad ad-Du’ali, beliau kemudian menyuruhnya membuatnahwu (contoh, misal, padanan) untuk masing-masing kaidah tersebut.

Sumber bahan kajian. 
Studi dalam disiplin ilmu ini berpangkal kepada berbagai premis (muqaddimah) yang diperoleh dari penelusuran yang cermat terhadap berbagai pola kalimat yang dipergunakan oleh bangsa Arab dalam kehidupan mereka sehari-hari. Oleh karenanya, dalam kitab-kitan nahwusangat sering kita dapati syawahid atau bukti otentik dari suatu kaidah tertentu yang berasal dari syair-syair Arab klasik. Sebab, syair merupakan salah satu "bukti arkeologis" paling otoritatif dalam penelusuran akar kebahasaan mereka.

Hukum mempelajarinya. 
Mengkaji ilmu nahwu adalah fardhu kifayah,sebab diantara fungsinya adalah meraih kemampuan menarik dalil dari suatunash Al-Qur’an dan Sunnah untuk masalah-masalah yang ada; dan menarik dalil adalah tugas para ulama’.

Masalah yang dikaji. 
Ilmu Nahwu membahas berbagai definisi atau batasan yang dijadikan dasar untuk mengupas masalah-masalah di dalamnya, seperti definisi tentang mubtada’ dan khabar, atau premis-premis yang mendasari penentuan suatu bentuk kaidah. Premis tersebut, misalnya mengapa fa’il (subyek, pelaku) harus dibaca rafa’? Argumen yang diberikan: sebab fa’il adalah pilar kalimat yang paling kuat dan dominan, sementara rafa’ sendiri merupakan harakat yang paling kuat.

Dari sinilah dibangun hukum-hukum yang ditetapkan terhadap masing-masing obyek kajiannya, misalnya “setiap kata itu bisa mu’rab (berubah-ubah akhirnya) dan bisa pula mabni(selalu tetap akhirnya)”; atau bagian dari obyek tersebut, misalnya “akhir kata adalah tempat bagi i’rab(perubahan keadaan akibat adanya faktor tertentu)”; atau bersifat partikular (juz’iyyah), seperti “suatu isim (kata benda) itu tidak bisa menerima tanwin dikarenakan dua sebab”; atau berisi paparan obyek kajiannya, seperti “khabar itu bisa berupa satu kata atau satu susunan kalimat”; atau kekhususan obyek kajiannya, seperti “idhafah (susunan kalimat majemuk) itu akan mendesak keberadaan tanwin, walau dengan perantara”; atau pendahuluan yang menjadi penyebab timbulnya hukum lain, misalnya “suatu perintah itu menjadi wajib jika ada fa’ di dalam kalimatnya”; perintah adalah bagian dari kalimat insya’, dan insya’ sendiri merupakan bagian dari kalam; dan lain sebagainya.

Literatur penting. 
Diantara rujukan penting di bidang ini adalah al-Jumal fi an-Nahwi karya al-Khalil bin Ahmad, al-Kitaab karya Sibawaih, al-Luma’ fi al-‘Arabiyyah karya Ibnu Jinniy, al-Kafiyah karya Ibnu al-Hajib yang sangat populer, Lubb al-I’rab karya Taajuddin al-Isfara’ini, al-Mishbah karya al-Mathrizi, al-‘Umdah dan Alfiyah karya Ibnu Malik, Alfiyah karya Jalaluddin as-Suyuthi, Asraru al-‘Arabiyyah karya Abu al-Barakat al-Anbari, dan Muushilu ath-Thullab ila Qawa’idi al-I’rab karya Khalid bin ‘Abdillah al-Azhari. Masih banyak lagi kitab lainnya yang jumlahnya tak terhitung.

Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda 

1 komentar:

  1. Assalamualaikum Salam sejahtera untuk kita semua, Sengaja ingin menulis
    sedikit kesaksian untuk berbagi, barangkali ada teman-teman yang sedang
    kesulitan masalah keuangan, Awal mula saya mengamalkan Pesugihan Tanpa
    Tumbal karena usaha saya bangkrut dan saya menanggung hutang sebesar
    1M saya sters hampir bunuh diri tidak tau harus bagaimana agar bisa
    melunasi hutang saya, saya coba buka-buka internet dan saya bertemu
    dengan KYAI SOLEH PATI, awalnya saya ragu dan tidak percaya tapi selama 3 hari
    saya berpikir, saya akhirnya bergabung dan menghubungi KYAI SOLEH PATI
    kata Pak.kyai pesugihan yang cocok untuk saya adalah pesugihan
    penarikan uang gaib 4Milyar dengan tumbal hewan, Semua petunjuk saya ikuti
    dan hanya 1 hari Astagfirullahallazim, Alhamdulilah akhirnya 4M yang saya
    minta benar benar ada di tangan saya semua hutang saya lunas dan sisanya
    buat modal usaha. sekarang rumah sudah punya dan mobil pun sudah ada.
    Maka dari itu, setiap kali ada teman saya yang mengeluhkan nasibnya, saya
    sering menyarankan untuk menghubungi KYAI SOLEH PATI Di Tlp 0852-2589-0869
    agar di berikan arahan. Supaya tidak langsung datang ke jawa timur,
    saya sendiri dulu hanya berkonsultasi jarak jauh. Alhamdulillah, hasilnya sangat baik,
    jika ingin seperti saya coba hubungi KYAI SOLEH PATI pasti akan di bantu Oleh Beliau

    BalasHapus