Translate

Minggu, 11 September 2016

Penjelasan Tentang Ijtihad Bukanlah Bid'ah Yang Sesat

Dalil kewajiban mengikuti Sunnah Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau (Khulafa’ur Rasyidin)

Kaum Salafi & Wahabi sering mengajukan dalil tentang perintah mengikuti Sunnah Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau dalam rangka mengharamkan bid’ah yang mereka tuduhkan. Dalil yang paling jelas adalah hadis Rasulullah Saw. berikut ini:

عَلَيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا وَسَتَرَوْنَ مِنْ بَعْدِيْ اخْتِلاَفاً شَدِيْدًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَاْلأُمُوْرَ الْمُحْدَثَاتِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه ابن ماجه)

“Hendaklah kamu bertakwa kepada Allah, dan mendengar serta taat (kepada pemimpin) meskipun ia seorang budak hitam. Dan kalian akan melihat perselisihan yang sangat setelah aku (tiada nanti), maka hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafa’ rasyidin mahdiyyin (pemimpin yang lurus dan mendapat petunjuk), gigitlah ia dengan gigi geraham (berpegang teguhlah padanya), dan jauhilah perkara-perkara muhdatsat (hal-hal baru dalam agama), sesungguhnya setiap bid’ah itu kesesatan” (HR. Ibnu Majah. Hadis senada diriwayatkan pula oleh At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).

Di dalam sabdanya yang lain, Rasulullah Saw. menyebutkan:

… وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةًً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً، قَالُوْا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ (رواه الترمذي)

“… dan akan terpecah umatku kepada 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu golongan.” Mereka (shahabat) bertanya, “siapakah itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu yang aku dan para shahabatku berada di atasnya” (yang mengikuti jalanku dan para shahabatku-red) (HR. Tirmidzi).

Perintah mengikuti sunnah Rasulullah Saw. dan para Khulafa’ur-Rasyidin itu tidak disangsikan kebenaran dan keutamaannya. Hanya dengan cara itulah kita dapat menjalani kehidupan dengan selamat di dunia dan di akhirat. Hal itu bukan saja karena Rasulullah Saw. dan para shahabat merupakan figur-figur teladan di dalam ketaatan terhadap agama, tetapi juga karena Allah sendiri telah memberikan mereka keutamaan secara khusus di dalam al-Qur’an.

Kaum Salafi & Wahabi lantas menjadikan hadis-hadis tersebut sebagai batasan bagi definisi bid’ah, sekaligus sebagai pembatasan sumber rujukan umat dalam memahami agama. Artinya, apa yang tidak pernah dikerjakan atau dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan para shahabat dalam urusan agama, baik prinsip maupun formatnya, langsung mereka golongkan ke dalam kategori bukan “sunnah/jalan Rasulullah Saw. dan para shahabatnya” alias bid’ahdan kesesatan. Ini tampak jelas dalam definisibid’ahyang mereka buat dengan pengertian: ”Sesuatu yang diada-adakan di dalam masalah agama yang menyelisihi apa yang ditempuh Nabi Saw. dan para Sahabatnya, baik berupa akidah ataupun amal” (lihat Ensiklopedia Bid’ah, hal. 71). Padahal, definisi ini pun sebentuk bid’ah, karena tidak pernah disebutkan oleh Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau.

Pada perkembangannya, mereka memberikan ruang lebih luas bagi umat Islam untuk mengikuti juga orang-orang yang hidup di masa setelah shahabat, yaitu para tabi’in yang kemudian disebut dengan generasi salaf.  Hal ini disimpulkan dari sabda Rasulullah Saw:

خَيْرُ أُمَّتِيْ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ (رواه البخاري)

“Sebaik-baik umatku adalah pada masaku, kemudian masa orang-orang sesudah mereka, kemudian masa orang-orang sesudah mereka” (HR. Bukhari)

  Pada hadis di atas disebutkan 3 masa terbaik (sejak masa Rasulullah sampai + masa 300 H. atau masatabi’in) dari kehidupan umat Rasulullah Saw. yang kemudian disebut dengan generasi salaf (terdahulu), dan kaum Salafi & Wahabi menjadikan generasi salaftersebut sebagai sumber rujukan yang mutlak dalam beragama. Itulah mengapa mereka merasa lebih utama dari selain golongan mereka dan dengan bangga menamakan diri dengan “Salafi” (pengikut generasi salaf).

Tidak ada yang salah dengan tekad mereka mengikuti generasi salaf, sepanjang mereka tidak menganggap bahwa setelah masa generasi salaf itu tidak ada lagi kebaikan yang pantas dijadikan teladan atau rujukan bagi umat dalam urusan agama. Permasalahannya bermula saat kaum Salafi & Wahabi seperti membatasi kebenaran dan kebaikan hanya ada pada generasi salaf tersebut (generasi umat Islam yang hidup antara masa Rasulullah Saw. sampai masa tabi’in) dan tidak ada lagi setelahnya, lalu mengobarkan semangat kembali kepada ajaran salaf bulat-bulat tanpa melihat mata rantai ulama pewaris mereka yang juga telah menghasilkan kebaikan-kebaikan untuk umat.

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu” (Qs. Muhammad: 33).

Ia juga berfirman:

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَإِنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ

“Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang” (Qs. At Taghabun: 12).

Allah Ta’ala juga berfirman:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59).

Ayat-ayat ini menegaskan wajibnya kita sebagai hamba Allah untuk mengikuti dalil, yaitu firman Allah dan sabda Rasul-Nya.

Karena itulah Allah Ta’ala mengutus Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam, dengan membawa petunjuk dari Allah. Dan Allah telah mewajibkan seluruh manusia untuk beriman kepada beliau, secara lahir dan batin. Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعاً الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لا إِلَهَ إِلاَّ هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Katakanlah (wahai Muhammad): “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk“” (QS. Al A’raf: 158).

Maka barangsiapa yang tidak mau taat kepada dalil, seolah ia tidak beriman bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam adalah utusan Allah dan seolah ia tidak mengimani bahwa apa yang dibawa oleh beliau adalah petunjuk dari Allah Ta’ala.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam juga bersabda:

عليكم بسنتي وسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ المَهْدِييْنَ مِنْ بَعْدِي ، تَمَسَّكُوا بها، وعَضُّوا عليها بالنَّوَاجِذِ ،وإيَّاكُم ومُحْدَثَاتِ الأمورِ؛ فإِنَّ كلَّ بدعةٍ ضلالةٌ

“Wajib bagi kalian untuk berpegang pada sunnahku dan sunnah khulafa ar rasyidin sepeninggalku. Peganglah ia erat-erat, gigitlah dengan gigi geraham kalian. Jauhilah dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. At Tirmidzi no. 2676. ia berkata: “hadits ini hasan shahih”).

Maka wajib bagi setiap hamba untuk taat dan patuh kepada sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam yang shahihah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Sunnah ini, jika shahih, maka semua kaum Muslimin bersepakat bahwa wajib untuk mengikutinya” (Majmu’ Al Fatawa, 19/85, dinukil dari Ushul Fiqh inda Ahlisunnah 120).

Dari potongan hadits yang ke-5 di atas dapat diambil maksud, “Ikutilah Sunnahku”, kata Nabi, “dan Sunnah Sahabatku baru”, bid’ah yang baru/menyimpang dari syari’at Islam yang baru dikatakan sesat, karena sangat banyak sekali bersangkutan dengan banyak hadits-hadits yang lain. Jika tidak asal bicara, usholli bid’ah, tahlil, maulid Nabi, yasinan sesat, baca burdah sesat. Kalau memahami hadits serampangan seperti ini semua sesat dengan sendirinya orang yang mengatakan sesat. Dia tidak merasa tiap hari melakukan kesesatan, mengapa tidak, Nabi pakai sorban, jubah, naik onta. Nah coba bayangkan sendiri, masjid pada saat itu, masjid Quba cuma dikelilingi tembok, tidak ada mihrob, menara dan sebagainya. Lebih jelas lagi sebagaimana yang termaktup hadits muslim.

Seorang hamba yang enggan untuk taat kepada sabda Rasul-Nya juga terancam untuk ditimpa fitnah (keburukan) dan adzab yang pedih. Allah Ta’ala berfirman:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” (QS. An Nuur: 63).

Wahai hamba Allah! Takutlah engkau akan fitnah dan adzab Allah, tundukkanlah jiwamu untuk patuh dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Dan tidak halal bagi seorang Mukmin, ketika disampaikan kepadanya firman Allah dan sabda Rasul-Nya, ia memiliki pilihan yang lain yang bukan berasal dari keduanya. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (Qs. Al Ahzab: 36).

Bahkan andaikan ‘pilihan yang lain‘ tersebut berasal dari para ulama, tidak halal diambil ketika berhadapan dengan firman Allah dan sabda Rasul-Nya. Imam Asy Syafi’i rahimahullah juga berkata:

أجمع الناس على أن من استبانت له سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يكن له أن يدعها لقول أحد من الناس

“Para ulama bersepakat bahwa jika seseorang sudah dijelaskan padanya sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak boleh ia meninggalkan sunnah demi membela pendapat siapapun” (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim  dalam  ‎Al I’lam 2/361. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 28 ).

Wahai hamba Allah, ikutilah dalil, taatilah firman Allah dan sunnah Rasul-Nya, sesuai dengan apa yang dipahami para sahabat Nabi dan orang-orang yang mengikuti mereka. Niscaya anda berada dalam petunjuk yang benar. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا

“Katakanlah: ‘Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk…‘” (QS. An Nuur: 54).

Mari kita kembali kepada permasalahan dalil. Pada dalil-dalil tersebut di atas, terdapat isyarat-isyarat yang sepertinya tidak dipahami dengan jelas oleh kaum Salafi & Wahabi, dan hal ini sekaligus menunjukkan kekeliruan-kekeliruan mereka dalam mengambil kesimpulan, yaitu:

1. Khulafa’ur-Rasyidin al-Mahdiyyin (pemimpin yang lurus dan mendapat petunjuk) sering dimengertikan sebatas 4 khalifah setelah Rasulullah Saw., yaitu: Abu Bakar ash-Shiddiq Ra., Umar bin Khattab Ra., Utsman bin ‘Affan Ra., dan Ali bin Abi Thalib Ra. padahal Rasulullah Saw. tidak menyebutkan demikian kecuali hanya isyarat-isyarat saja. Di dalam riwayat Abu Dawud,  Sufyan ats-Tsauri (ulama salaf) menambahkan Umar bin Abdul Aziz ke dalam lingkup khulafa’ tersebut sehingga jumlahnya menjadi 5. Ini menunjukkan bahwa pengertianKhulafa’ur-Rasyidin memang tidak ada kepastiannya kecuali hanya merupakan ijtihad dari para ulama karena melihat isyarat dari dalil-dalil yang ada serta karena memperhatikan keutamaan-keutamaan yang ada pada pribadi mereka. Dan itu tidak menutup kemungkinan adanya pengertian lain tentangnya.

Salah satunya adalah seperti yang disebutkan oleh as-Sindi ketika menjelaskan hadis tersebut di dalamSunan Ibnu Majah,

قيل هم الأربعة وقيل بل هم ومن سار سيرتهم من أئمة الإسلام المجتهدين في الأحكام فإنهم خلفاء الرسول عليه الصلاة والسلام في إعلاء الحق وإحياء الدين وإرشاد الخلق إلى الصراط المستقيم

“Dikatakan mereka itu (khulafa’ur-Rasyidin) adalah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman, & Ali), dan dikatakan bahkan mereka itu adalah khalifah yang empat dan siapa saja yang menempuh jejak mereka dari para Imam (pemimpin) Islam yang berijtihad (mujtahidin) dalam hal hukum, maka sesungguhnya mereka itu adalah khulafa’ur-Rasul (pengganti Rasulullah Saw.) yang meninggikan kebenaran, menghidupkan agama, dan membimbing umat kepada jalan yang lurus.”

Secara obyektif, kita memang tidak melihat pembatasan makna khulafaur-Rasyidin pada dalil-dalil yang ada, dan bahwa kata khalifah (jamak:khulafa’) tidak selalu diartikan sebagai pemimpin atau penguasa, tetapi ia secara mendasar dapat diartikan “pengganti” bila dilihat dari asal katanya. Maka,khulafa’ur-Rasyidin al-Mahdiyyin itu tidak hanya 4 khalifah tersebut atau tidak terbatas hanya di tingkat shahabat saja, melainkan dapat berlaku bagi generasi selanjutnya sampai hari kiamat bagi siapa yang memenuhi kriteria rasyidin (lurus) dan mahdiyyin(mendapat petunjuk) sehingga pantas disebut sebagai khalifah (pengganti/penerus) bagi panutan yang sebelumnya.

2. Pengertian kata Sunnah pada hadis-hadis di atas sangat umum , artinya bukan saja menyangkut format/bentuk tertentu dari perkataan, perbuatan, ketetapan, atau sifat yang dikaitkan kepada Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau, tetapi jugatermasukisyarat, prinsip dasar baik-buruk yang mereka pertimbangkan, dan cara memandang atau menyelesaikan masalah, yang semua itu dapat terus digunakan rumusannya sebagai acuan untuk menetapkan hukum pada perkara-perkara masa depan yang tidak ada format/bentuknya di masa para shahabat tersebut.

Di sinilah terdapat hikmah pada penyebutan sunnatil-khulafa’ ar-Rasyidin (sunnah/jalannya para khalifah yang lurus). Sebagaimana disebut di dalam Tuhfatul-Ahwadzi bi Syarhi Jami’ at-Tirmidzi, Imam asy-Syaukani menjelaskan:

        إذا كان ما عملوا فيه بالرأي هو من سنته لم يبق لقوله “وسنة الخلفاء الراشدين” ثمرة.

Jika apa yang mereka (Khulafa’ur-Rasyidin/para shahabat) lakukan dengan pendapat akalnya (dianggap) itu termasuk sunnah Rasulullah Saw., maka tidak akan tersisa tsamrah (buah/faidah) pada ucapan beliau “sunnah khulafa’ur-Rasyidin”.

Ya, jika para shahabat itu hanya mengikuti apa yang dicontohkan Rasulullah Saw., cukuplah itu disebut juga sebagai sunnah Rasulullah Saw. Tentunya penyebutan sunnahkhulafa’ur-Rasyidin secara khusus menunjukkan kondisi mandiri di saat para shahabat tidak menemukan contoh atau dalil dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw., maka mereka berijtihad untuk menentukan hukum sendiri dengan berpegang pada prinsip-prinsip dasar atau isyarat dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw. tersebut. Hasil ijtihad inilah yang secara mandiri disebut sebagaisunnah khulafa’ur-Rasyidin atau sunnah shahabat, dan cara berijtihad yang mereka jalani itu sah dan dapat ditiru oleh orang-orang setelah mereka di saat tidak menemukan contoh atau dalil dari sunnah (hasil ijtihad) para shahabat tersebut.

Otoritas terciptanya sunnah (hasil ijtihad) semacam itu ditunjukkan oleh riwayat hadis Rasulullah Saw. saat melepas kepergian Mu’adz bin Jabal Ra. ke Yaman, di mana beliau bertanya, “Dengan apa engkau menetapkan hukum?” Mu’adz menjawab, “Dengan Kitab Allah (al-Qur’an).” Rasulullah Saw. bertanya, “Bila tidak engkau temukan (di Kitab Allah)?” Mu’adz menjawab, “Dengan Sunnah Rasulullah.” Rasulullah Saw. bertanya, “Jika tidak engkau temukan (di Sunnah Rasulullah)?” Mu’adz menjawab, “Aku berijtihad dengan pendapatku.” Maka Rasulullah Saw. berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasul-Nya.”

Penyebutan suatu amalan atau ketetapan sebagai suatu sunnah juga ditunjukkan oleh hadis Rasulullah Saw. yang berbunyi “Man sanna fil-Islam sunnatan hasanatan…”(siapa yang menetapkan di dalam Islam suatu sunnah/ketetapan/kebiasaan yang baik …), danpenyebutan sunnah ini tidak terbatas hanya pada amalan Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau saja. Terbukti bahwa hadis tersebut juga menyebut adanya sunnah sayyi’ah(sunnah/ketetapan/kebiasaan yang buruk) yang tidak mungkin dialamatkan kepada Rasulullah Saw. atau para shahabat beliau. Lengkapnya hadis Rasulullah Saw. tersebut berbunyi:

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً  فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أََنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ (رواه مسلم)

“Barang siapa yang mensunnahkan (membuat/menetapkan) di dalam Islam suatu sunnah hasanah (ketetapan/kebiasaan baik) maka bagi dia pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya setelah dia tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun, dan barang siapa yang mensunnahkan (membuat/menetapkan) di dalam Islam suatu sunnah sayyi’ah (ketetapan/kebiasaan buruk) maka atas dia dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya setelah dia tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun” (HR. Muslim)  

لاَ تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلاَّ كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ اْلأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا ِلأَنَّهُ كَانَ أَوَّلَ مَنْ   سَنَّ  الْقَتْلَ (رواه مسلم)

“Tidaklah dibunuh satu orang secara zhalim, melainkan anak Adam yang pertama (Qabil) mendapat dosa dari (penumpahan) darah orang itu,karena ia adalah orang yang pertama mensunnahkan (membuat/menetapkan) pembunuhan” (HR. Muslim)

Bila kaum Salafi & Wahabi menafsirkan kata “sanna sunnatan hasanatan” di atas dengan makna “menghidupkan sunnah yang baik” dari sunnah atau ajaran Rasulullah Saw. yang telah ditinggalkan orang karena melihat asbab wurud (latar belakang dikeluarkannya hadis tersebut) yaitu berkenaan dengan sedekah, maka tafsiran itu sungguh keliru dan sangat menyimpang. Sebab kata “sanna” artinya “membuat, meletakkan, menetapkan”, dan untuk makna “menghidupkan” ada kata “ahyaa” yang jelas disebut di dalam riwayat hadis lain.

Kejanggalan tafsiran mereka akan lebih terlihat lagi bila dihubungkan dengan ungkapan “sanna sunnatan sayyi’atan” pada lanjutan hadis tersebut, yang bila diartikan menurut pemahaman mereka “menghidupkan sunnah yang buruk” dari sunnah atau ajaran Rasulullah Saw. Dengan begitu kita akan bertanya, apakah Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau mengajarkan keburukan yang juga harus ditiru oleh umatnya??!     

3. Bila lingkup rujukan agama hanya dibatasi pada generasi salaf saja (dari masa Rasulullah Saw. sampai masa tabi’in + 300 H.), lalu para ulama setelah mereka dianggap tidak memiliki otoritas untuk menjelaskan agama atau untuk mengijtihadkan hukum, terutama tentang perkara-perkara yang tidak ada di masa salaf tersebut, maka hal ini berartipengingkaran dan pendustaan terhadap hadis Rasulullah Saw. tentang akan datangnya ulamamujaddid (pembaharu) yang akan diutus oleh Allah pada setiap akhir masa satu abad (100 tahun). Perhatikanlah hadis Rasulullah Saw. berikut ini:

     إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا (رواه أبو داود والحاكم والبيهقي والطبراني)

“Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini setiap akhir masa seratus tahun, orang yang akan memperbaharui agama mereka” (HR. Abu Dawud, al-Hakim, al-Baihaqi, dan ath-Thabrani).

Disebutkan di dalam ‘Aunul-Ma’bud, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadis yang senada dengan redaksi yang berbeda, yaitu:

إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُقَيِّضْ فِيْ رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ

“Sesungguhnya Allah ta’ala menetapkan pada akhir setiap masa seratus tahun, orang yang mengajarkan manusia tentang agama mereka.

Hadis ini menandakan adanya legitimasi dan legalitas bagi umat untuk mendapatkan penjelasan tentang agama dari para ulama pewaris Rasulullah Saw. yang bukan hanya dari kalangan shahabat beliau saja atau para ulama salaf saja, tetapi juga para ulama pada tiap-tiap masa yang diakui keluasan ilmunya. Artinya, memahami al-Qur’an dan hadis/sunnah secara langsung tanpa melalui pemahaman dan penjelasan para ulama tersebut adalah tindakan yang bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga merupakan sebuah keteledoran yang dapat berakibat terjerumus ke dalam kesesatan. Itulah rahasia kenapa Rasulullah Saw. bersabda demikian, karena beliau menyadari betul keadaan umatnya di masa belakangan yang sangat jauh jaraknya dari masa hidup beliau dan sangat berbeda kualitas keimanannya dibandingkan para shahabat atau para tabi’in. Dan kita yakin, hadis itu pasti dilatarbelakangi oleh wahyu Allah, dan ini bisa dikatakan sebagai salah satu rencana-Nya bagi kelestarian Islam di masa depan.

‎Otoritas penjelasan ulama di setiap generasi dalam berijtihad (di antaranya ijtihad tentang pembagian bid’ah menjadi dua: Hasanah & sayyi’ah) legalitasnya tidak hanya ditunjukkan oleh dalil di atas, bahkan Rasulullah Saw. secara umum menyebut mereka sebagai “Pewaris Para Nabi” sebagaimana sabdanya:

إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ إِنَّ اْلأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ (رواه الترمذي وأبو داود وابن ماجه وأحمد وغيرهم)

  “Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi, sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Maka barang siapa mengambil (mengupayakan)nya, berarti ia telah mengambil bagian yang sangat banyak” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, dan lain-lain).

Bila ditanyakan, ulama yang manakah yang termasuk kategori mujaddid atau yang pantas mendapat label “pewaris para nabi” itu? Nama-nama para mujaddid dan para ulama yang terkenal seperti berikut ini dapat dikategorikan ke dalam golongan “pewaris para nabi” sebagaimana pengakuan umat terhadap keutamaan mereka, yaitu : Khalifah Umar bin Abdul Aziz (mujaddid abad ke-I), Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I (mujaddid abad ke-II), Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Abul Hasan Asy’ari, Imam Isfarayini, Imam Rafi’I, Imam abul-‘Abbas bin Suraij (Mujaddid abad ke-III), Imam Sahl ash-Sha’luki (mujaddid abad ke-IV), Imam Ghazali (mujaddid abad ke-V), Imam Fakhruddin ar-Razi (mujaddid abad ke-VI), Imam Nawawi (mujaddid abad ke-VII), dan para ulama lain yang mengikuti jejak mereka sampai hari kiamat.

Dari penjelasan di atas, kita dapat memahami bahwa mengikuti Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau secara umum tidak terbatas pada format/bentuk amalan yang mereka lakukan di masa itu saja (kecuali ibadah mahdhah seperti: shalat, puasa, zakat, atau lainnya), tetapi juga pada cara-cara mereka berijtihad, berinovasi, dan berkreasi untuk menetapkan atau menciptakan “sunnah hasanah”(ketetapan/kebiasaan yang baik) yang secara jelas telah diketahui kebaikan dan maslahatnya di dalam pandangan agama.

Berinovasi dan berkreasi dalam kebaikan adalah suatu kebutuhan, terlebih lagi di zaman-zaman belakangan di mana umat Islam sudah semakin rendah kualitas keberagamaannya dan kurang perhatian terhadap ajaran agama. Tentu landasannya bukan karena ingin membikin-bikin syari’at baru, bukan pula untuk menambah-nambah agama, karena batasan-batasan antara perkara pokok atau ibadah di dalam agama dengan amalan kebajikan yang universal adalah jelas, tidak mungkin hal itu diabaikan oleh para ulama. Lagi pula, dalam hal ini mereka tetap mendasarinya dengan dalil-dalil yang secara implisit atau eksplisit mengisyaratkan kebolehannya, bukan dengan dorongan hawa nafsu sebagaimana dituduhkan oleh kaum Salafi & Wahabi. Keprihatinan mereka terhadap keadaan umat lah yang membuat mereka perlu melakukan inovasi itu.

Fenomena menganggap baik dan mengamalkan bahkan menganjurkan kegiatan-kegiatan berbau agama seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., zikir berjamaah, tahlilan, ziarah kubur orang shalih, dan lain sebagainya adalah gambaran jelas dari upaya para ulama dalam memelihara kebaikan hidup umat Islam, sekaligus dalam rangka membuka peluang-peluang mendapat rahmat dan hidayah untuk mereka. Dengan mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut, entah sengaja atau tidak sengaja, umat terhitung melakukan kebaikan berupa: Zikir kepada Allah, bershalawat kepada Rasulullah Saw., silaturrahmi, mendengarkan nasihat dari ulama, dan berbagi rezeki antar sesama, dan kebaikan-kebaikan ini jelas ada dalilnya di dalam agama.

Luar biasanya, para ulama yang tawadhu’ itu hanya menyebut kegiatan-kegiatan tersebut sebagai bid’ah hasanah, padahal Rasulullah Saw. jelas-jelas menyebut kebiasaan baik yang semacam itu sebagai sunnah hasanah. Mengapa demikian? Kemungkinan alasannya adalah agar tidak terjadi kesimpang-siuran dalam pengertian sunnah; satu sisi (sebagaimana telah ditetapkan definisi khususnya oleh para ulama hadis) sunnah sebagai peninggalan Rasulullah Saw. berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, atau sifat; sisi lain (sebagaimana telah ditetapkan oleh para ulama Fiqh)sunnah sebagai hukum amalan ibadah yang bila dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa; satu sisi lagi (sebagaimana pengertian hadis di atas) sunnah sebagai ketetapan atau jalan yang menjadi contoh atau kebiasaan yang ditiru orang lain.

Jadi, apa saja yang oleh para ulama dikategorikan sebagai bid’ah hasanah sebenarnya adalahsunnah hasanah. Menolak adanya kategori bid’ah hasanah berarti juga secara tidak langsung menolak adanya kategori sunnah hasanah. Pada poin ini, kaum salafi & wahabi (dengan pandangan mereka membatasi kebaikan & kebenaran agama hanya ada pada generasi ulama salaf, dan dengan sikap penolakan mereka terhadap adanya bid’ah hasanah) bisa dianggap telah mencampakkan dua hadis Rasulullah Saw. (entah karena tidak mengerti atau karena tidak sengaja), yaitu: Hadis mengenai akan datangnya ulama mujaddid pada akhir setiap masa seratus tahun, dan hadis tentang adanya  sunnah hasanah yang tidak terbatas pada Rasulullah Saw. dan para shahabat saja.‎

Inilah faham ahlu sunnah wal jama’ah yang selalu berpegang teguh pada sunnah Rasul dan para sahabatnya juga tabi’it tabi’in, karena mereka puluhan tahun mendampingi Rasul. Lain halnya dengan faham selain ahlu sunnah wal jama’ah, yang selalu mengagungkan Ibnu Taimiyah, pindah ke Basyrah dan Kuffah. Dihujat karena fahamnya yang ganjil-ganjil ke sana kemari. Dihukum oleh penguasa. Dan yang terakhir ini dihukum 18 bulan, sampai meninggal dunia. Dalam tahanan, faham ini yang dibeking oleh seorang Yahudi, yang bernama Abu Saud. Kerajaan Saudi pada saat itu, jadi tidak heran kalau dalilnya selalu mengambil ayat-ayat kuffar, untuk menghantam kaum muslimin pada saat itu. Ziarah kubur syirik, tawassul syirik, sholawat, dzikir syirik. Faham ini dikembangkan oleh Abd. Wahab/Wahabi, dia sudah terkontaminasi oleh orang Inggris yang bernama Mr. Hemper. Umat Islam dihantam dari dalam Islam itu sendiri. Menabur fitnah kesana kemari, tuduhan-tuduhan bid’ah, khurafat, pemurnian tauhid pada intinya mau menghapuskan syareat Islam dari dalam. Faham ini dikembangkan oleh Imam Satibi yang membid’ahkan dzikir sesudah shalat, juga berjabat tangan sesudah sholat, padahal sudah jelas, sudah termaktub di dalam hadits Bukhori.

Lebih jauh lagi faham itu, dikembangkan oleh Wasil bin Athok dan Rasyid Ridho. Bahkan yang lebih ekstrim lagi menuduh Sayyidina Umar Ahli Bid’ah, akan tetapi kenapa pengikut-pengikut yang ada di Indoneisa ini rela sahabat kita tercinta dikatakan sesat, perampas kekuasaan dan sebagainya. Padahal sudah jelas firman Allah swt., “Dia dijamin masuk surga (QS. At-Taubah: 100) (“sahabat adalah Umat yang terbaik”) QS. Ali Imron: 110). Bahkan kata Nabi sahabat adalah pegangan bagi umatku (HR. Muslim). Sudah jelas kiranya kita ini termasuk golongan yang mana.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

1 komentar:

  1. Assalamualaikum Salam sejahtera untuk kita semua, Sengaja ingin menulis
    sedikit kesaksian untuk berbagi, barangkali ada teman-teman yang sedang
    kesulitan masalah keuangan, Awal mula saya mengamalkan Pesugihan Tanpa
    Tumbal karena usaha saya bangkrut dan saya menanggung hutang sebesar
    1M saya sters hampir bunuh diri tidak tau harus bagaimana agar bisa
    melunasi hutang saya, saya coba buka-buka internet dan saya bertemu
    dengan KYAI SOLEH PATI, awalnya saya ragu dan tidak percaya tapi selama 3 hari
    saya berpikir, saya akhirnya bergabung dan menghubungi KYAI SOLEH PATI
    kata Pak.kyai pesugihan yang cocok untuk saya adalah pesugihan
    penarikan uang gaib 4Milyar dengan tumbal hewan, Semua petunjuk saya ikuti
    dan hanya 1 hari Astagfirullahallazim, Alhamdulilah akhirnya 4M yang saya
    minta benar benar ada di tangan saya semua hutang saya lunas dan sisanya
    buat modal usaha. sekarang rumah sudah punya dan mobil pun sudah ada.
    Maka dari itu, setiap kali ada teman saya yang mengeluhkan nasibnya, saya
    sering menyarankan untuk menghubungi KYAI SOLEH PATI Di Tlp 0852-2589-0869
    agar di berikan arahan. Supaya tidak langsung datang ke jawa timur,
    saya sendiri dulu hanya berkonsultasi jarak jauh. Alhamdulillah, hasilnya sangat baik,
    jika ingin seperti saya coba hubungi KYAI SOLEH PATI pasti akan di bantu Oleh Beliau

    BalasHapus