Tidak ada aqiqah setelah baligh. Aqiqah disyariatkan hanya untuk bayi, bukan untuk yang sudah baligh atau dewasa. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda;
مَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَنْسُكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
“Barangsiapa diantara kalian ada yang suka berkurban (mengaqiqahi) untuk anaknya, maka silakan melakukan. Untuk satu putra dua kambing dan satu putri satu kambing” (H.R.Ahmad)
Ketika Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menganjurkan Aqiqah dalam Hadis di atas, beliau menyebut Aqiqah itu adalah untuk walad (anak) dengan ketentuan anak lelaki (ghulam) du kambing sementara anak wanita (Jariyah) adalah satu kambing. Penyebutan istilah Ghulam, dan Jariyah adalah istilah untuk menyebut anak yang belum baligh.
Aqiqoh disyariatkan pada hari ke tujuh. Abu Dawud meriwayatkan;
سنن أبى داود (8/ 17)
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى
“Dari Samurah bin Jundub bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Setiap anak digadaikan dengan Aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur dan diberi nama (H.R.Abu Dawud)
Aisyah berpendapat Aqiqah bisa dilaksanakan sampai maksimal hari ke 21. Ishaq bin Rohawaih meriwayatkan;
مسند إسحاق بن راهويه (3/ 692)
أخبرنا يعلى بن عبيد نا عبد الملك عن عطاء عن أبي كرز عن أم كرز قالت قالت امرأة من أهل عبد الرحمن بن أبي بكر إن ولدت امرأة عبد الرحمن غلاما نحرنا عنه جزورا فقالت عائشة : لا بل السنة عن الغلام شاتان مكافئتان وعن الجارية شاة يطبخ جدولا ولا يكسر لها عظم فيأكل ويطعم ويتصدق يفعل ذلك في اليوم السابع فإن لم يفعل ففي أربع عشرة فإن لم يفعل ففي إحدى وعشرين
“Dari Ummu Karz beliau berkata; Seorang wanita dari keluarga Abdurrahman bin Abubakar berkata;Jika istri Abdurrahman melahirkan seorang putra maka kita akan menyembelihkan untuknya seekor unta. Maka Aisyah berkata; tidak, tetapi sunnahnya adalah; untuk putra dua kambing yang setara dan untuk putri satu kambing. Dimasak dalam keadaan sudah dipotong-potong dan tidak dipatahkan tulangnya. Lalu dimakan, dibuat menjamu, dan dishodaqohkan. Hal itu dilakukan pada hari ke-7, jika tidak maka hari ke-14 jika tidak maka hari ke 21″ (Musnad Ishaq bin Rahawaih)
Seandainya Aqiqah setelah dewasa disyariatkan maka tidak ada gunanya memberikan batasan hari ketujuh, atau maksimal 21 dalam ijtihad Aisyah. Seharusnya pula ada riwayat shahih yang lugas menunjukkan disyariatkannya Aqiqah setelah baligh. Masalahnya, tidak ada satupun Nash shahih yang menunjukkan disyariatkannya Aqiqah setelah baligh, sehingga bisa dikatakan tidak ada kesunnahan melakukan Aqiqah setelah baligh sebagaimana tidak ada anjuran mengaqiqahi diri sendiri.
Adapun riwayat Al-Bazaar yang menyebutkan bahwa Nabi mengaqiqahi dirinya sendiri setelah masa kenabian, yaitu riwayat yang berbunyi;
مسند البزار (2/ 345)
عَن أَنَس ؛ أَن النبي صلى الله عليه وسلم عق عن نفسه بعدما بعث نبيا.
Dari Anas; Bahwasanya Nabi saw mengaqiqahi dirinya sendiri sesudah diutus menjadi Nabi (H.R.Al-Bazzar)
riwayat ini tidak bisa dijadikan sebagai Hujjah karena ada perawi yang bernama Abdullah bin Al-Muharror. Al-Bazzar mengatakan; dia Dhaif Jiddan (sangat lemah). An-Nawawi mengatakan; Hadis ini bathil, Al-Baihaqy menilainya Munkar.
Adapun pendapat yang menshahihkan Hadis ini dengan memakai riwayat At-Thobarony dalam Al-Mu’jam Al-Ausath atau yang semisal dengannya, yakni riwayat yang berbunyi;
المعجم الأوسط (1/ 298)
حدثنا أحمد قال حدثنا الهيثم قال حدثنا عبد الله عن ثمامة عن أنس : أن النبي عق عن نفسه بعد ما بعث نبيا
Ahmad memberitahu kami, beliau berkata; Al Haitsam memberitahu kami, beliau berkata: Abdullah memberitahu kami dari Tsumamah dari Anas: Bahwasanya Nabi SAW mengaqiqahi dirinya sendiri setelah diutus menjadi Nabi (H.R.At-Thobarony dalam Al-Mu’jam Al-Ausath)
Maka penilaian shahih itu tidak dapat diterima berdasarkan sejumlah argumen;
Pertama:
Di dalam Sanadnya ada perawi yang bernama Al-Haitsam. Al-Haitsam yang dimaksud dalam Sanad ini adalah Abu Sahl Al-Haitsam bin Jamil Al-Baghdady. Perawi ini, meskipun dikategorikan sebagai perawi adil, namun sejumlah ulama dan kritikus Hadis mengkritiknya dari sisi kedhobitannya. Ibnu Ady mensifatinya sebagai berikut;
تهذيب التهذيب (11/ 81)
ليس بالحافظ يغلط على الثقات وارجو انه لا يتعمد الكذب
“Bukan Hafidh, melakukan kekeliruan terhadap para perawi tsiqot, dan aku berharap dia tidak sengaja berdusta” (Tahdzib At-Tahdzib, vol 11, hlm 81)
Ibnu Hajar mengutip penilaian Abu Nu’aim Al-Ashbahany sebagai berikut;
تهذيب التهذيب (11/ 81)
وقال أبو نعيم الاصبهاني أنه…متروك
“Abu Nu’aim Al-Ashbahani berkata bahwa dia itu Matruk -ditinggalkan- (Tahdzib At-Tahdzib, vol 11, hlm 81)
Ad-Dzahaby mengatakan dalam Al-Mughni Fi Adh-Dhu’afa’;
المغني في الضعفاء (2/ 716)
الهيثم بن جميل حافظ له مناكير وغرائب
“Al-Haitsam bin Jamil: Hafidh, meriwayatkan sejumlah Hadis Munkar dan Ghorib” (Al-Mughni Fi Adh-Dhu’afa, vol 2, hlm 716)
Dari penilaian para kritikus Hadis di atas, bisa difahami bahwa problem Al-Haitsam bin Jamil bukanlah dari sisi keadilannya, namun dari sisi kedhobitannya yang disifati Ibnu ‘Ady melakukan kekeliruan periwayatan dari para perawi Tsiqot dan disifati Adz-Dzahaby meriwayatkan sejumlah Hadis Ghorib dan Hadis-Hadis yang bertentangan dengan perawi yang lebih Tsiqoh. Perawi dengan kualifikasi seperti ini sulit untuk dijamin keamanannya dari sisi kemungkinan kekeliruan menisbatkan, membalik, menukar, menambahi, mengurangi, dan semua cacat-cacat yang terkait dengan persoalan hafalan. Bukhari memilih tidak memasukkannya dalam Shahihnya, dan hanya memakainya dalam kitabnya Al-Adab Al-Mufrod dan itupun oleh Al-Albani riwayatnya dari Muhammad bin Muslim dari Ibnu Abi Husain tentang doa istighfar didhoifkan. Imam Ahmad, meskipun memberikan statemen positif terhadap Al-Haitsam, namun terkait riwayat Abdullah bin Al-Muharror yang meriwayatkan Hadis bahwa Nabi mengaqiqohi dirinya sendiri setelah diangkat menajdi Nabi, Imam Ahmad menilainya sebagai Hadis Munkar. Hal ini tidak mungkin terjadi jika Imam Ahmad menerima riwayat Al-Haitsam terkait Hadis ini. Seandainya beliau memang menerima riwayat Al-Haitsam, seharusnya riwayat Al-Haitsam dijadikan penguat riwayat Abdullah bin Al-Muharror sehingga statusnya bisa naik menjadi Hadis Hasan atau Shahih, bukan Munkar. Diamnya imam Ahmad terhadap riwayat Al-Haitsam tidak bisa ditafsiri bahwa beliau menerimanya, namun justru lebih dekat jika ditafsiri bahwa beliau menolaknya karena beliau tidak menjadikannya sebagai Syahid (penguat).
Kedua;
Di dalam Sanadnya ada perawi yang bernama Abdullah. Abdullah di sini yang dimaksud adalah Abdullah bin Al-Mutsanna bin Abdillah bin Anas bin Malik. Perawi ini level kedho'ifannya lebih perlu mendapat catatan daripada sebelumnya.
Burhanuddin Abu Al-Wafa Al-Halaby dalam kitabnya Al-Ighthibath menukil penilaian Abu Dawud;
الاغتباط بمن رمي من الرواة بالاختلاط (ص: 326)
محمد بن عبد الله بن المثنى الأنصاري قال أبو داود تغير تغيرا شديدا
“Muhammad bin Abdillah bin Al-Mutsanna al-Anshory, Abu Dawud mengomentarinya: berubah (hafalannya) secara drastis” (Al-Ighthibath Biman Rumiya min Ar-Ruwat bi Al-Ikhthilath, hlm 326)
Dalam kitab Ikmal Tahdzib Al-Kamal dinukil penilaian Abu Salamah;
إكمال تهذيب الكمال (8/ 163)
وفي كتاب أبي الفرج البغدادي قال أبو سلمة: كان ضعيفا في الحديث.
“dalam Kitab Abu Al-Faroj Al-Baghdady: Abu Salamah berkata: Beliau itu Dhoif dalam Hadis (Ikmal Tahdzib Al-Kamal, vol 8, hlm 163)
Dalam kita tersebut juga dinukil ucapan Al-Uqoily;
إكمال تهذيب الكمال (8/ 163)
وفي كتاب العقيلي: لا يتابع على أكثر حديثه، وقال أبو سلمة: ضعيف منكر الحديث
“Dalam kitab Al’Uqoily: mayoritas Hadisnya tidak disertai Mutaba’at. Abu salamah berkata: Dho’if, Munkarul Hadits” (Ikmal Tahdzib Al-Kamal, vol 8, hlm 163)
Ibnu Hajar menukil ucapan An-Nasai;
تهذيب التهذيب (5/ 339)
ابن المثنى بن عبدالله …وقال النسائي ليس بالقوي
Ibnu Al-Mutsanna bin Abdillah….An-Nasa’I menilai: Tidak kuat” (Tahdzib At-Tahdzib, vol 5, hlm 339)
Juga ucapan Ibnu Hibban;
تهذيب التهذيب (5/ 339)
ابن المثنى بن عبدالله …وذكره ابن حبان في الثقات وقال ربما اخطأ
Ibnu Al-Mutsanna bin Abdillah….Ibnu Hibban menyebutkannya dalam barisan perawi Tsiqot dan menilainya: kadang-kadang melakukan kesalahan (Tahdzib At-Tahdzib, vol 5, hlm 339)
Juga sikap Abu Dawud;
تهذيب التهذيب (5/ 339)
ابن المثنى بن عبدالله …وقال الآجري عن أبي داود لا أخرج حديثه
Ibnu Al-Mutsanna bin Abdillah….Al Ajurry meriwayatkan Abu Dawud mengatakan; Saya tidak meriwayatkan Hadisnya (Tahdzib At-Tahdzib, vol 5, hlm 339)
Juga riwayat lain tentang ucapan Ibnu Ma’in;
تهذيب التهذيب (5/ 339)
ابن المثنى بن عبدالله …وقال ابن أبي خيثمة عن ابن معين ليس بشئ
Ibnu Al-Mutsanna bin Abdillah….Ibnu Abi Khoitsamah meriwayatkan dari Ibnu Ma’in yang menilainya: Bukan apa-apa –tidak bisa jadi tumpuan- (Tahdzib At-Tahdzib, vol 5, hlm 339)
Juga ucapan As-Sajy;
تهذيب التهذيب (5/ 339)
ابن المثنى بن عبدالله …
وقال الساجي فيه ضعف لم يكن من اهل الحديث روى مناكير وبنحوه قال الازدي
Ibnu Al-Mutsanna bin Abdillah….As-Sajy berkata: beliau memiliki kelemahan, bukan termasuk Ahli Hadis, dan meriwayatkan sejumlah riwayat Munkar. Al-Azdy berpendapat senada (Tahdzib At-Tahdzib, vol 5, hlm 339)
Dari keterangan para kritikus Hadis di atas, bisa difahami bahwa problem Abdullah bin Al-Mutsanna juga terkait dengan kedho'ifan. Beliau dihitung lemah dari sisi kedho'ifan, meriwayatkan sejumlah Hadis-Hadis Munkar, mayoritas Hadisnya tidak dikuatkan dengan Mutabi’at dan bahkan dikatakan As-Sajy bukan ahli Hadis. Perawi yang dijelaskan sebab kelemahannya lebih layak dinilai lemah daripada yang mentsiqohkannya.
Ketiga;
Sejumlah ahli Hadis menegaskan bahwa Abdullah bin Al-Muharror bertafarrud (bersendirian) dalam meriwayatkan Hadis berAqiqohnya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ setelah diutus menjadi Nabi. Al Bazzar mengatakan;
مسند البزار (2/ 345)
وحديثا عَبد الله بن محرر لا نعلم رواهما أحد ، عَن قَتادة ، عَن أَنَس غيره وهو ضعيف الحديث جِدًّا ، وَإنَّما يكتب من حديثه ما ليس عند غيره.
Dua Hadis Abdullah bin Al-Muharror ini, kami tidak mengetahui seorangpun yang meriwayatkannya dari Qotadah dari Anas selain dia. Dia sendiri sangat lemah. Dia adalah orang yang tidak lebih ditulis darinya Hadis yang tidak ada pada selainnya (Musnad Al-Bazzar)
Ibnu Al-Qoisarony memasukkan Hadis ini dalam kumpulan Hadis-Hadis Ghorib pada kitabnya Athrof Al-Ghoroib Wa Al-Afrod. Beliau juga menukil ucapan Syu’bah;
أطراف الغرائب والأفراد (2/ 159)
قال أبو قتادة هذا أفادناه شعبة عن هذا الشيخ يعني عبد الله عن قتادة وقال: ليس يروي هذا الحديث غيره
Abu Qotadah berkata: Ini adalah apa yang dinyatakan oleh Syu’bah tentang Syaikh ini, yakni Abdullah (bin Al Muharror) dari Qotadah. Beliau mengatakan; tidak ada yang meriwayatkan Hadis ini selain dia (Athrof Al-Ghoro-ib wa Al-Afrod, vol 2, hlm 159)
Al-Baihaqi telah menegaskan bahwa tidak ada jalur selain jalur Abdullah bin Al Muharror dari Qotadah dari Anas yang bisa dijadikan Hujjah. Artinya jalur Al-Haitsam bin Jamil juga tidak bisa dijadikan sebagai Hujjah. Al-Baihaqi berkata;
السنن الكبرى للبيهقي وفي ذيله الجوهر النقي (9/ 300)
وَقَدْ رُوِىَ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ عَنْ قَتَادَةَ وَمِنْ وَجْهٍ آخَرَ عَنْ أَنَسٍ وَلَيْسَ بِشَىْءٍ.
“Telah diriwayatkan dari jalur yang lain dari Qotadah, dan dari jalur yang lain dari Anas, dan itupun bukan apa-apa –tidak bisa jadi tumpuan- (As-Sunan Al-Kubro)
Di antara Qorinah-Qorinah lain yang menunjukkan kelemahan Hadis berAqiqoh setelah baligh adalah;
Pertama; Aisyah berfatwa bahwa waktu Aqiqoh maksimal adalah hari ke 21, bukan tanpa batasan. Seandainya memang ada syariat Aqiqoh setelah baligh, seharusnya tidak ada batasan waktu maksimal Aqiqoh. Adalah suatu hal yang sulit diterima jika aisyah tidak tahu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ,mengaqiqohi dirinya sendiri padahal beliau tinggal serumah dengan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dalam waktu yang lama dan bergaul rapat dengan Nabi. Dan juga merupakan hal yang sulit diterima jika Aisyah berfatwa dengan sesuatu yang bertentangan dengan perbuatan nabi,
Kedua;
Tidak ada riwayat Shahabat mengaqiqahi dirinya sendiri setelah masa tua, padahal mereka adalah kaum yang sangat haus dan bersemangat menjalankan Sunnah. Tidak ada riwayat Abubakar, tidakpula Umar, tidak pula Utsman dan tidak pula Ali. Hal ini menjadi hal yang aneh mengingat Aqiqoh hukumnya sunnah Muakkadah, dan sebagaian ulama malah memandangnya sebagai kewajiban
Ketiga;
Riwayat Aqiqoh setelah dewasa bertentangan dengan riwayat-riwayat yang lebih shahih dan lebih kuat bahwa Aqiqoh disyariatkan untuk bayi pada hari ke tujuh, bukan untuk orang dewasa.
Sejumlah ulama Hadis telah melemahkan riwayat bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengaqiqohi dirinya setelah diangkat menajdi Nabi. Diantaranya adalah Al-Bazzar. Al-Bazzar mengatakan;
مسند البزار (2/ 345)
وحديثا عَبد الله بن محرر لا نعلم رواهما أحد ، عَن قَتادة ، عَن أَنَس غيره وهو ضعيف الحديث جِدًّا ، وَإنَّما يكتب من حديثه ما ليس عند غيره.
Dua Hadis Abdullah bin Al-Muharrorini, kami tidak mengetahui seorangpun yang meriwayatkannya dari Qotadah dari Anas selain dia. Dia sendiri sangat lemah. Dia adalah orang yang tidak lebih ditulis darinya Hadis yang tidak ada pada selainnya (Musnad Al-Bazzar)
Termasuk pula Al-Baihaqy;
السنن الكبرى للبيهقي وفي ذيله الجوهر النقي (9/ 300)
وَقَدْ رُوِىَ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ عَنْ قَتَادَةَ وَمِنْ وَجْهٍ آخَرَ عَنْ أَنَسٍ وَلَيْسَ بِشَىْءٍ.
“Telah diriwayatkan dari jalur yang lain dari Qotadah, dan dari jalur yang lain dari Anas, dan itupun bukan apa-apa –tidak bisa jadi tumpuan- (As-Sunan Al-Kubro)
Termasuk pula Ibnu Al-Qoisarony;
معرفة التذكرة (ص: 115)
إن النبي صلى الله عليه وسلم عق عن نفسه بعدما بعثه الله : فيه عبد الله بن محرر هو متروك الحديث
Hadis; Sesungguhnya Nabi SAW mengaqiqahi dirinya sendiri setelah diutus Allah, di dalamnya terdapat Abdullah bin Al-Muharror dan dia Matrukul Hadits (Ma’rifah At-Tadzkiroh, hlm 115)
Termasuk pula An-Nawawi, bahkan beliau menilainya sebagai Hadis bathil;
المجموع شرح المهذب (8/ 431)
وأما) الحديث الذي ذكره في عق النبي صلى الله عليه وسلم عن نفسه فرواه البيهقي باسناده عن عبد الله ابن محرر بالحاء المهملة والراء المكررة عن قتادة عن أنس ان النبي صلى الله عليه وسلم (عق عن نفسه بعد النبوة) وهذا حديث باطل
Adapun Hadis yang disebutkan terkait Nabi Saw yang mengaqiqahi dirinya sendiri, maka Al-Baihaqy meriwayatkannya dari Abdullah bin Al-Muharror –dengan huruf Ha’ dan Ro’ yang diulang- dari Qotadah dari Anas yang lafadznya: bahwasanya Nabi SAW mengaqiqahi dirinya sendiri setelah jadi Nabi”. Dan ini adalah Hadis Bathil (Al majmu’ Syarah Al-Muhadz-Dzab, vol 8, hlm 431)
Termasuk pula Ibnu Al-Mulaqqin;
البدر المنير في تخريج الأحاديث والأثار الواقعة في الشرح الكبير (9/ 339)
رُوِيَ «أنَّه – صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم – [ عق ] عَن نَفسه بعد النُّبُوَّة» .
هَذَا الحَدِيث رَوَاهُ الْبَيْهَقِيّ فِي «سنَنه» من حَدِيث عبد الله بن مُحَرر – بالراء الْمُهْملَة المكررة فِي آخِره – عَن قَتَادَة ، عَن أنس «أَن النَّبِي – صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم – عق عَن نَفسه بعد النُّبُوَّة» . وَهُوَ حَدِيث ضَعِيف بِمرَّة
Diriwayatkan bahwasanya Nabi SAW mengaqiqahi dirinya sendiri setelah jadi nabi. Hadis ini diriwayatkan Al-Baihaqy dalam Sunannya dari Hadis Abdullah bin Al-Muharror –dengan memakai huruf Ro’ yang didobelkan pada akhir kata- dari Qotadah dari Anas dengan lafadz; bahwasanya Nabi SAW mengaqiqahi dirinya sendiri setelah jadi nabi”. Ini adalah Hadis yang sangat lemah.
Termasuk pula Ibnu Hajar Al-‘Asqolany;
فتح الباري – ابن حجر (9/ 595)
وكأنه أشار بذلك إلى أن الحديث الذي ورد أن النبي صلى الله عليه و سلم عق عن نفسه بعد النبوة لا يثبت وهو كذلك
Seakan-akan beliau memberi isyarat bahwa Hadis yang menyatakan bahwa Nabi Saw mengaqiqahi dirinya sendiri setelah menjadi Nabi adalah tidak shahih, dan memang benar demikian-bahwa Hadis itu tidak Shahih- (Fathu Al-Bary, vol 9, hlm 595)
Terkait tuduhan bahwa ucapan Ibnu Hajar dalam hal ini adalah kontradiktif, karena dalam kalimat lain Ibnu Hajar menyebut riwayat Al-Haitsam sebagai riwayat yang Qowiyyu Al-Isnad (kuat Sanadnya), maka tuduhan ini tidak bisa diterima. Sikap Ibnu Hajar sudah jelas, yakni menilai Hadis itu tidak Shahih. Statemen Qowiyyul Isnad tidak bisa difahami bahwa Hadis tersebut selalu bisa dijadikan Hujjah karena kondisi Sanad belum menunjukkan kualitas Hadis secara final. Sanad yang shahih saja, bisa jatuh status Hadisnya menjadi Hadis Syadz yang terkategori Hadis lemah, jika matannya bertentangan dengan perawi yang lebih kuat, apalagi ungkapan Qowiyyul Isnad yang lebih rendah dari Shohihul Isnad karena bisa jatuh menjadi Hadis Munkar. Lagi pula Ibnu Hajar menjelaskan sebab kenapa statemen Qowiyyul isnad itu belum cukup menunjukkan keshahihan Hadis, yakni karena adanya faktor Abdullah bin Al-Mutsanna. Ibnu Hajar setuju bahwa Abdullah bin Al-Mutsanna termasuk bertafarrud dalam Hadis ini sehingga tidak bisa diterima riwayatnya. Berikut pernyataan Ibnu Hajar yang menunjukkan bahwa beliau tidak menshahihkan riwayat Al-Haitsam karena faktor Abdullah bin Al-Mutsanna;
فتح الباري – ابن حجر (9/ 595)
فلولا ما في عبد الله بن المثنى من المقال لكان هذا الحديث صحيحا لكن قد قال بن معين ليس بشيء وقال النسائي ليس بقوي وقال أبو داود لا أخرج حديثه وقال الساجي فيه ضعف لم يكن من أهل الحديث روى مناكير وقال العقيلي لا يتابع على أكثر حديثه قال بن حبان في الثقات ربما أخطأ ووثقه العجلي والترمذي وغيرهما فهذا من الشيوخ الذين إذا انفرد أحدهم بالحديث لم يكن حجة
“seandainya bukan karena faktor Abdullah bin Al-Mutsanna yang diperbincangkan, niscaya Hadis ini Shahih. Masalahnya, Ibnu Ma’in telah menilainya; Dia bukan apa-apa. An-Nasai menilai; Tidak kuat. Abu Dawud bersikap: Aku tidak meriwayatkan Hadis darinya. As-Saji menilai; Dia memiliki kelemahan, bukan termasuk Ahli Hadis, dan meriwayatkan sejumlah riwayat Munkar. Al-Uqoili mengatakan; Mayoritas Hadisnya tidak dikuatkan dengan Mutaba’at. Ibnu Hibban menilainya dalam kitab Ats-Tsiqot; kadang-kadang melakukan kesalahan. Al-‘Ijly dan At-Tirmidzi mentsiqohkannya. Jadi, orang ini adalah termasuk Syaikh yang jika meriwayatkan Hadis secara sendirian maka dia tidak bisa menjadi Hujjah (Fathu Al-Bari, vol 9, hlm 595)
Demikian pula kritikan terhadap Ibnu Hajar yang memutlakkan kelemahan Abdullah bin Al-Mutsanna jika meriwayatkan Hadis secara bertafarrud, yakni dikritik; Seharusnya tidak boleh dimutlakkan karena Bukhari menerima riwayat Abdullah bin Al-Mutsanna jika meriwayatkan dari pamannya Tsumamah. Kritikan ini bisa dijawab; Bukhari memiliki syarat-syarat ketat, yang mana ketika menerima riwayat Abdullah bin Al-Mutsanna tidak mungkin beliau menerima riwayat orang yang diperbincangkan dari sisi kedho'ifan yang bertafarrud. Sudah diketahui bahwa Bukhari sangat perhatian dalam penguatan Sanad, yang mana Bukhari sering mengulang Hadis dengan maksud diantara fungsinya adalah menguatkan Sanad.
Termasuk klaim bahwa Abdullah bin Al-Mutsanna tidak bertafarrud karena ada Mutaba’ah dari Isma’il bin Muslim. Klaim ini tidak bisa diterima karena Isma’il bin Muslim sudah dijelaskan sendiri oleh Ibnu Hajar sebagai perawi Dhoif. Tingkat kekacauan Isma’il bin Muslim dalam menukil perawi cukup besar sehingga analisis dugaan Ibnu Hajar yang menduga riwayat nabi mengaqiqohi dirinya saat sudah diangkat jadi utusan itu ia dapatkan melalui hasil mencuri dari Abdullah bin Al-Muharror lebih kredibel untuk dipercaya. Ibnu Hajar menukil ucapan Sufyan terkait Isma’il bin Muslim;
تهذيب الكمال (3/ 201)
عن إسحاق بن أبي إسرائيل سمعت سفيان يقول وذكر إسماعيل بن مسلم فقال كان يخطئ في الحديث جعل يحدث فيخطئ أسأله عن الحديث من حديث عمرو بن دينار فلا يدري
Dari Ishaq bin Abi Isroil: Aku mendengar Sufyan mengatakan saat disebut Isma’il bin Muslim: dia melakukan kesalahan dalam Hadis. Dia meriwayatkan Hadis dan melakukan kesalahan. Aku menanyakan kepadanya tentang sebuah Hadis dari Hadis ‘Amr bin Dinar dan dia tidak tahu juga. (Tahdzib Al-Kamal, vol 3, hlm 201)
Ibnu Hajar menukil ucapan Abu Ahmad bin ‘Ady;
تهذيب الكمال (3/ 204)
وقال أبو أحمد بن عدي أحاديثه غير محفوظة عن أهل الحجاز والبصرة والكوفة إلا أنه ممن يكتب حديثه
Abu Ahmad bin ‘Ady menilai; Hadis-Hadisnya dari penduduk Hijaz, Bashroh, dan Kufah tidak Mahfudh. Namun, Hadisnya boleh ditulis (Tahdzib Al-Kamal, vol 3, hlm 204)
Ibnu Hajar juga menukil ucapan Ibnu Hibban;
تهذيب التهذيب (1/ 289)
وقال ابن حبان كان فصيحا وهو ضعيف يروى المناكير عن المشاهير ويقلب الاسانيد
Ibnu Hibban mensifati: dia fasih namun Dhoif, meriwayatkan sejumlah Hadis-Hadis Munkar dari perawi-perawi Masyhur dan membolak-balik Sanad (Tahdzib At-Tahdzib, vol 1, hlm 289)
Dari penilaian sejumlah kritikus Hadis di atas, tampaklah bahwa Isma’il bin Muslim adalah perawi yang sungguh bermasalah dalam meriwayatakan Hadis dari sisi kedhobitan. Dia dikenal meriwayatkan Hadis-Hadis Munkar dari perawi-perawi masyhur, tidak bisa dipegang riwayat-riwayatnya dari penduduk Hijaz, Bashroh, dan Kufah, dan memebolak-balik Sanad. Bagaimana bisa perawi yang reputasinya dalam membolak-balik Sanad sudah dikenal dijadikan Mutaba’ah?
Oleh karena itu, benarlah Ibnu Hajar yang tidak menajdikan Isma’il bin Muslim sebagai Mutaba’ah dan tetap menilai riwayat Al-Haitsam sebagai Hadis yang lemah.
Dari sini, jelaslah, bahwa ulama-ulama besar Hadis dari berbagai masa telah menilai dhoif Hadis yang meriwayatkan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengaqiqohi dirinya setelah diangkat menjadi Nabi. Para ulama-ulama Hadis besar ini bukanlah ulama yang tidak mengetahui jalur Al-Haitsam bin Jamil, namun justru karena kedalaman mereka terhadap ilmu Hadis dan penyelidiakan mereka yang teliti, justru ksimpulan akhirnya adalah riwayat Al-Haitsam termasuk riwayat yang lemah sebagaimana riwayat Abdullah bin Al-Muharror sehingga tidak bisa dijadikan sebagai Hujjah. Dari sisi kredibilitas, ulama-ulama terdahulu ini jauh lebih mumpuni dan krdibel dalam hal pengalaman menyeleksi dan menilai Hadis, sehingga penilaiannya lebih layak dijadikan tumpuan.
Terkait riwayat bahwa Ibnu Sirin, Qotadah, dan Al-Hasan Al-Bishry yang berpendapat bahwa Aqiqoh boleh dilakukan setelah baligh, maka ucapan manusia bukanlah dalil. Jika ucapan shahabat saja bukan dalil, tentu lebih utama selain shahabat tidak dipertimbangkan.
Dengan asumsi bisa diterimapun, Aqiqoh Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ masih bisa difahami bentuk kekhususan beliau dengan bukti tidak ada shahabat yang meneladaninya.
Atas dasar ini, tidak ada Aqiqoh setelah baligh. Aqiqoh hanya untuk bayi. Waktu yang paling afdhol adalah hari ketujuh. Wallahu a'lam
Jika Luput dari Hari Ketujuh
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa akikah jadi gugur jika luput dari hari ketujuh.
Ulama Hambali berpendapat bahwa jika luput dari hari ketujuh, akikah dilaksanakan pada hari ke-14, jika tidak pada hari ke-21.
Sedangkan ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa akikah masih jadi tanggung jawab ayah hingga waktu si anak baligh. Jika sudah dewasa, akikah jadi gugur. Namun anak punya pilihan untuk mengakikahi diri sendiri. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 30: 279.
Penulis kitab Mughnil Muhtaj, Asy Syarbini rahimahullah berkata, “Jika telah mencapi usia baligh, hendaklah anak mengakikahi diri sendiri untuk mendapati yang telah luput.” (Mughnil Muhtaj, 4: 391).
Akikah Ketika Dewasa
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Hukum akikah adalah sunnah mu’akkad. Akikah bagi anak laki-laki dengan dua ekor kambing, sedangkan bagi wanita dengan seekor kambing. Apabila mencukupkan diri dengan seekor kambing bagi anak laki-laki, itu juga diperbolehkan. Anjuran akikah ini menjadi tanggung jawab ayah (yang menanggung nafkah anak).
Apabila ketika waktu dianjurkannya akikah (misalnya tujuh hari kelahiran, pen), orang tua dalam keadaan fakir (tidak mampu), maka ia tidak diperintahkan untuk akikah. Karena AllahTa’ala berfirman (yang artinya), “Bertakwalah kepada Allah semampu kalian” (QS. At Taghobun: 16). Namun apabila ketika waktu dianjurkannya akikah, orang tua dalam keadaan berkecukupan, maka akikah masih tetap jadi perintah bagi ayah, bukan ibu dan bukan pula anaknya.” (Liqo-at Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, kaset 214, no. 6)
Kesimpulan
Kesimpulan dari penulis, akikah ketika dewasa tidak perlu ada dengan alasan:
1- Akikah jadi gugur ketika sudah dewasa.
2- Mengakikahi diri sendiri tidaklah perlu karena tidak ada hadits yang mendukungnya, ditambah akikah menjadi tanggung jawab orang tua dan bukan anak.
3- Jika ingin mengakikahi ketika dewasa, maka tetap jadi tanggungan orang tua. Dilihat apakah saat kelahiran, orang tua dalam keadaan mampu ataukah tidak. Jika tidak mampu saat itu, maka tidaklah perlu ada akikah karena akikah tidaklah bersifat memaksa. Jika mampu saat itu, maka hendaklah orang tua menunaikan akikah untuk anaknya.
Pendapat Ulama Mengenai Mengakikahi Diri Sendiri setelah dewasa
Dalam madzhab Syafi’i, penulis kitab Fathul Qorib, Muhammad bin Qosim Al Ghozzi berkata, “Akikah tidaklah luput jika diakhirkan setelah itu. Jika akikah diakhirkan hingga baligh, maka gugurlah tanggung jawab akikah dari orang tua terhadap anak. Adapun setelah baligh, anak punya pilihan bisa untuk mengakikahi dirinya sendiri.”
Beberapa ulama menganjurkan mengakikahi diri sendiri seperti Ibnu Sirin dan Al Hasan Al Bashri. Ibnu Sirin berkata,
لو أعلم أنه لم يعق عني لعققت عن نفسي
“Seandainya aku tahu bahwa aku belum diakikahi, maka aku akan mengakikahi diriku sendiri.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf, 8: 235-236. Sanadnyashahih kata Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 2726).
Al Hasan Al Bashri berkata,
إذا لم يعق عنك ، فعق عن نفسك و إن كنت رجلا
“Jika engkau belum diakikahi, maka akikahilah dirimu sendiri jika engkau seorang laki-laki.” (Disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 8: 322. Sanadnya hasan kata Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 2726)
Imam Malik rahimahullah berpendapat tidak perlunya mengakikahi diri sendiri. Imam Malik berkata, “Tidak perlu mengakikahi diri sendiri karena hadits yang membicarakan hal tersebut dho’if. Lihatlah saja para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang belum diakikahi di masa jahiliyah, apakah mereka mengakikahi diri mereka sendiri ketika telah masuk Islam? Jelaslah itu suatu kebatilan.” (Al Mudawanah Al Kubro karya Imam Malik dengan riwayat riwayat Sahnun dari Ibnu Qosim, 5: 243. Dinukil dari Fathul Qorib, 2: 252).
Penulis lebih cenderung dengan alasan yang dikemukakan oleh Imam Nawawi bahwa tidak perlu mengakikahi diri sendiri. Alasan penulis menguatkan pendapat ini:
1- Hadits yang membicarakan Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam mengakikahi diri sendiri adalah hadits dho’if (lemah).
2- Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang belum diakikahi di masa jahiliyah, tidak mengakikahi diri mereka sendiri ketika telah masuk Islam.
3- Akikah menjadi tanggung jawab orang tua dan bukanlah anak.
4- Hukum akikah menurut jumhur (mayoritas) ulama adalah sunnah dan bukanlah wajib.
Wallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar