Translate

Sabtu, 17 Oktober 2015

Hukum Puasa Rojab

Tidak ada puasa Rajab secara khusus, dan tidak ada pula anjuran berpuasa Rajab secara khusus. Semua riwayat yang memerintahkan puasa Rajab dan menjelaskan keutamaannya adalah riwayat Dhoif (lemah) dan Maudhu (palsu). Tidak ada pula Shalat khusus dibulan Rajab, Zakat khusus, Haji, khusus, Umroh khusus, Ziaroh kubur khusus dan doa khusus. Semuanya adalah amalan-amalan yang tidak dilandaskan dalil yang bisa diterima sehingga tidak dapat diamalkan.

Rajab adalah nama salah satu bulan dalam sistem penanggalan Hijriyyah yang terletak diantara bulan Jumada Ats-Tsaniyah dan bulan Sya’ban. Bulan Rajab memiliki 15 nama lain yaitu; Al-Ashomm (الأصم), Al-Ashobb (الأصب), Rojm (رجم), As-Syahru Al-Harom (الشهر الحرام), Al-Harom (الحرم), Al-Muqim (المقيم),Al-Mu’alla (المعلى), Al-Fard (الفرد), Munshilu Al-Asinnah (منصل الأسنة), Munshilu Al-Al (منصل الآل),  Munazzi’u  Al-Asinnah (منزع الأسنة),  Syahru Al-‘Atiroh (شهر العتيرة), Al-Mubro (المبرى), Al-Mu’asy-‘isy (المعشعش), dan Syahrullah (شهر الله). Istilah puasa Rajab yang berkembang di masyarakat, bermakna puasa khusus di bulan Rajab yang dianjurkan berdasarkan sejumlah riwayat yang diklaim diucapkan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam yang menerangkan keutamaannya.

Masalahnya, tidak ada satupun riwayat (yang diklaim diucapkan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam)  tentang keutamaan puasa bulan Rajab yang legal secara syar’I sehingga hukum puasa Rajab bisa dikatakan Sunnah/Mandub. Contoh riwayat bermasalah yang dijadikan dasar adalah riwayat berikut;

عن عمرو بن الأزهر، عن أبان ابن أبي عياش عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ” من صام ثلاثة أيام من رجب كتب الله له صيام شهر، ومن صام سبعة أيام من رجب أغلق الله سبعة أبواب من النار، ومن صام ثمانية أيام من رجب فتح الله له ثمانية أبواب من الجنة، ومن صام نصف رجب كتب الله له رضوانه، ومن كتب له رضوانه لم يعذبه، ومن صام رجب كله حاسبه الله حسابا يسيرا “.(رواه أبو القاسم السمرقندي في فضل رجب)

Dari ‘Amr bin Al-Azhar dari Aban bin Abi ‘Ayyasy dari Anas bin Malik dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “barang siapa berpuasa tiga hari di bulan Rajab, maka Allah akan menuliskan baginya pahala puasa selama sebulan penuh. Barang siapa berpuasa tujuh hari di bulan Rajab , maka Allah akan menutup tujuh pintu neraka. Barang siapa berpuasa delapan hari di bulan Rajab , maka Allah akan membuka delapan pintu surga untuknya. Barang siapa berpuasa separuh bulan di bulan Rajab , maka Allah akan menuliskan keridhaanNya untuknya. Barang siapa yang Allah menuliskan keridhaanNya untuknya, maka Allah tidak akan menyiksanya. Barang siapa berpuasa di bulan Rajab  sebulan penuh, maka Allah akan menghisabnya dengan hisab yang ringan”. (H.R.Abu Al-Qosim As-Samarqondi)

Problem pada riwayat di atas adalah adanya perawi yang bernama Aban bin Abi ‘Ayyasy, karena dia adalah seorang perawi yang Dhoif .Syu’bah berkata tentang Dhoif nya Aban dengan perkataannya: “aku lebih menyukai berzina daripada mengambil Hadist  dari Aban”. Ahmad, An Nasa’i dan Ad Daruqutni berpendapat bahwa Aban itu matruk (ditinggalkan). Selain itu ada pula perawi bernama ‘Amr bin Al Azhar dalam Hadist tersebut. Ia adalah perawi yang dikenal sering memalsukan Hadist. An Nasai berkata bahwa Amr bin Al Azhar adalah matruk (ditinggalkan). Yahya ibnu Ma’in juga mendustakannya.

Contoh riwayat lain yang dijadikan dasar adalah riwayat berikut;

حدثنا هيثم بن خلف نا الحسن بن شوكر ثنا يوسف بن عطية الصفار عن هشام بن حسان عن محمد بن سيرين عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يتم صوم شهر بعد رمضان إلا رجب وشعبان. (مجمع الزوائد) رواه الطبراني في الاوسط وفيه يوسف بن عطية الصفار وهو ضعيف

Kami diberitahu oleh Hitsam bin Kholaf, kami diberitahu oleh Al-hasan bin Syaukar, kami diberitahu oleh Yusuf bin ‘Athiyyah As-Shoffar, dari Hisyam bin Hassan, dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyempurnakan puasa selama sebulan penuh setelah Ramadhan kecuali puasa Rajab  dan Sya’ban. (H.R.At-Thobaroni)

Problem pada riwayat diatas adalah perawi yang bernama Yusuf Bin ‘Athiyyah As-Shoffar. Yahya bin Ma’in mengatakan “Laisa bissyai'” (orang yang tidak bisa dianggap apa-apa). ‘Amr bin ‘Ali mengatakan; “Katsirul Wahm wal Khotho’ (banyak tidak teliti dan banyak salah), Al-Juzajani mengatakan; “Laa Yuhmadu haditsuhu” (hadisnya tidak terpuji), Abu Zur’ah dan Abu Hatim mengatakan; lemah hadisnya, Bukhari mengatakan; Munkarul hadits, An-Nasai dan Abu Bisyr Ad-Dulabi mengatakan; Matrukul Hadits, Ibnu Hajar menilai; Matruk. Karena itu, riwayatnya tergolong hadis Dhoif.

Bahkan bisa dikatakan bahwa seluruh riwayat yang menerangkan keutamaan bulan Rajab tidak ada satupun yang Shahih atau Hasan sekalipun. Semua riwayat tentang keutamaan bulan Rajab hanya dua kualitasnya; jika tidak Dhoif (lemah), maka Maudhu (palsu). Ibnu Hajar Al-Asqolani telah mengumpulkan semua riwayat tentang anjuran puasa Rajab dalam kitabnya yang bernama

تَبْيِيْنُ الْعَجَبِ بِمَا وَرَدَ فِيْ شَهْرِ رَجَبَ

(Menjelaskan rasa heran mengenai nash yang datang tentang bulan Rajab)

dan membagi riwayat-riwayat yang ada hanya menjadi dua yaitu; riwayat-riwayat Dhoif dan riwayat-riwayat palsu.

Dengan demikian tidak ada syariat puasa Rajab dan tidak ada pula anjuran berpuasa Rajab secara  khusus karena riwayat-riwayat yang dijadikan dalil semuanya tidak sah digunakan sebagai hujjah.

Tidak bisa mengatakan bahwa puasa Rajab hukumnya sunnah berdasarkan anjuran umum puasa Tathowwu (sunnah) secara mutlak atau anjuran puasa di bulan bulan (4 bulan suci dalam islam, yaitu; Dzul Qo’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab). Hal itu dikarenakan yang jadi persolan dalam pembahasan ini adalah isu mengkhususkannya, bukan sekedar melakukan puasa sunnah pada waktu tertentu. Ketika Syara’ menganjurkan puasa Tathowwu’ secara mutlak selain bulan Ramadhan, lalu ada seorang mukallaf yang berpuasa Rabu secara rutin dan mengkhususkannya, maka tidak bisa dikatakan bahwa hukum puasa Rabu secara rutin dan mengkhususkannya hukumnya sunnah berdasarkan keumuman hadis anjuran puasa Tathowwu’. Penjelasan yang lebih  tepat; tidak ada anjuran puasa Rabu khusus karena tidak ada dalil yang menunjukkan, dan yang ada hanyalah Nash umum tentang anjuran puasa Tathowwu yang boleh dikerjakan pada hari Rabu, Selasa, Ahad, dll.  Lagipula mengkhususkan ibadah haruslah dinyatakan dengan Nash karena Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam melarang mengkhususkan puasa dan shalat pada hari Jumat padahal Nash-Nash yang memerintahkan puasa sunnah dan shalat malam bersifat mutlak sehingga bisa dilakukan di waktu kapanpun.

Tidak bisa pula berargumen bahwa riwayat Dhoif tentang anjuran puasa Rajab  bisa dipakai dalam kapasitas dalil untuk Fadhoil Amal. Hal itu dikarenakan isu yang dibahas disini adalah pembahasan hukum Syara, yakni membahas apakah hukum puasa Rojab sunnah ataukah tidak. Pembahasan hukum syara adalah hukum Ashl (induk) bukan Fadhoil Amal yang hanya dijadikan penguat terhadap hukum induk yang sudah mapan.

Ulama yang membolehkan hadis Dhoif dijadikan dasar Fadhoil Amal mensyaratkan cukup ketat dalam penggunaannya yaitu;

Pertama; ada nash Ashl/induk yang tidak diperdebatkan lagi keshohihannya tentang amal yang dijelaskan dalam Hadist Dhoif.

Kedua; Hadist Dhoif tersebut bukan Hadist yang terlalu Dhoif.

Ketiga; dalam mengamalkannya tidak boleh disertai keyakinan bahwa Rasulullah SAW mengucapkannya.

Pada kasus puasa Rajab, tiga syarat ini telah dilanggar semua.

Lebih dari itu, ada riwayat Mursal yang menunjukkan ketidak sukaan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam terhadap puasa Rajab. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;

عن زيد بن أسلم قال سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صوم رجب فقال : ” أين أنتم من شعبان “.( مصنف ابن أبي شيبة)

Dari Zaid bin Aslam dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah ditanya tentang puasa Rajab. Maka beliau menjawab, “di mana kalian dari bulan Sya’ban?”. (H.R. Ibnu Abi Syaibah)

Ketidaksukaan  Sejumlah Shahabat Terhadap Puasa Rajab Khusus

Ada sejumlah riwayat yang menunjukkan bahwa Shahabat-Shahabat besar tidak suka dilakukan puasa Rajab secara khusus. Diantara mereka adalah Abu Bakar. Dalam majmu’ Al-Fatawa disebutkan;

وَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ فَرَأَى أَهْلَهُ قَدْ اشْتَرَوْا كِيزَانًا لِلْمَاءِ وَاسْتَعَدُّوا لِلصَّوْمِ فَقَالَ : ” مَا هَذَا فَقَالُوا : رَجَبٌ فَقَالَ : أَتُرِيدُونَ أَنْ تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ ؟ وَكَسَرَ تِلْكَ الْكِيزَانَ” ( مجموع فتاوى ابن تيمية)

Abu Bakar masuk, dia melihat keluarganya telah membeli gelas-gelas untuk air dan mereka bersiap-siap untuk berpuasa. Maka dia berkata, “apa ini?!”. Mereka menjawab, “Rajab ”. Dia berkata, “apakah kalian menginginkan untuk menyamakan Rajab  dengan Ramadhan?”. Lalu beliaupun memecah gelas-gelas itu. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah)

Termasuk pula Umar bin Khattab. Ibnu Abi syaibah meriwayatkan;

مصنف ابن أبي شيبة (2/  513)

عن خرشة بن الحر قال : ( رأيت عمر يضرب أكف المترجبين حتى يضعوها في الطعام ويقول : كلوا فإنما هو شهر كانت تعظمه الجاهلية ) (أحمد)

Dari Kharasyah bin Hurr dia berkata, “aku melihat Umar memukul tangan orang-orang yang berpuasa Rajab  hingga mereka meletakkan tangan-tangan mereka pada makanan. Umar berkata, ‘makanlah karena Rajab hanyalah bulan yang diagungkan oleh orang-orang jahiliyyah”.

Demikian pula Abdullah bin ‘Umar. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;

حدثنا وكيع عن عاصم بن محمد عن أبيه قال كان ابن عمر إذا رأى الناس وما يعدون لرجب كره ذلك (مصنف ابن أبي شيبة)

Kami diberitahu oleh Waqi’ dari Ashim bin Muhammad dari ayahnya dia berkata, “apabila ibnu Umar melihat orang-orang dan apa yang mereka persiapkan untuk puasa Rajab  maka beliau membenci hal itu”. (H.R.Ibnu Abi Syaibah)

Demikian pula Abu Bakrah, Imam Ahmad meriwayatkan;

عن أبى بكرة : ( أنه دخل على أهله وعندهم سلال جدد وكيزان فقال : ما هذا ؟ فقالوا : رجب نصومه فقال : أجعلتم رجب رمضان ؟ ! فأكفا السلال وكسر الكيزان) (أحمد في إرواء الغليل)

Dari Abu Bakrah bahwasanya dia masuk menemui keluarganya dan di sisi mereka terdapat keranjang-keranjang baru dan gelas-gelas. Beliau berkata, “apa ini?”. Mereka menjawab, “ Rajab, dan kami akan mempuasainya (berpuasa di dalamnya)”. Beliau berkata, “apakah kalian akan menjadikan Rajab seperti Ramadhan?” lalu beliau menumpahkan keranjang-keranjang itu dan memecahkan gelas-gelas tersebut.(H.R.Ahmad)

Demikian pula Anas bin malik. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;

حدثنا وكيع عن يزيد مولى الصهباء عن رجل قد سماه عن أنس قال لا يكون اثنينيا ولا خميسيا ولا رجبيا. (مصنف ابن أبي شيبة)

Kami diberitahu oleh Waqi’ dari Yazid maulanya As Shahba’ dari seorang lelaki, dia melihat Anas berkata, “janganlah kalian menjadi istnainiyyan, jangan pula kalian menjadi khumaisiyyan, dan jangan pula kalian menjadi Rujaibiyyan”. (H.R.Ibnu Abi Syaibah)

Riwayat Lemah Doa Terkait Bulan Rajab

Sebagian kaum muslimin mengamalkan doa terkait bulan Rajab yang diklaim diajarkan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam. Doa tersebut berbunyi;

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَب وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

Ya Allah berilah kami berkah di bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikan kami pada bulan Ramadhan

Klaim bahwa doa ini diajarkan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam didasarkan pada riwayat berikut;

 

حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ عَنْ زَائِدَةَ بْنِ أَبِي الرُّقَادِ عَنْ زِيَادٍ النُّمَيْرِيِّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ رَجَب قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِي رَمَضَانَ وَكَانَ يَقُولُ لَيْلَةُ الْجُمُعَةِ غَرَّاءُ وَيَوْمُهَا أَزْهَرُ (أحمد) 

Kami diberitahu oleh Abdullah, kami diberitahu oleh Ubaidullah bin Umar dari Zaidah bin Abi Ar-Ruqaddari Ziyad An Numairi dari Anas bin Malik dia berkata, “nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila masuk pada bulan Rajab  beliau berdoa, ‘ya Allah berilah kami berkah di bulan Rajab  dan Sya’ban dan berilah kami berkah di bulan Ramadhan’. Beliau menyebut malam jumat sebagai Gharra’ dan hari jumat sebagai Azhar.

Pada riwayat At Thabarani, lafadznya diungkapkan  sebagai berikut:

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَب وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

Ya Allah berilah kami berkah di bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikan kami pada bulan Ramadhan

Hanya saja, klaim ini tidak boleh dilanjutkan karena riwayat diatas semuanya adalah riwayat Dhoif karena seorang perawi yang bernama Zaidah bin Abi Ar-Ruqod. Bukhari berkata dalam kitabnya At-Tarikh Al-Kabir;

التاريخ الكبير (3/ 433)

زائدة بن ابى الرقاد، عن زياد النميري وثابت، منكر الحديث

Zaidah bin Abi Ar-Ruqod dari Ziyad An-Numairi dan Tsabit; Munkarul hadits

Abu Ahmad Al-Hakim menilai Zaidah dengan statemen; “haditsuhu laisa bil Qoim” (hadisnya tidak tegak), Annasai mengatakan; Munkarul hadits, Ibnu Hibban mengatakan; Dia meriwayatkan hadis-hadis munkar dari perawi populer, Ibnu Hajar menilainya; Munkarul hadits.

Oleh kerena riwayatnya Dhoif, maka tidak boleh doa tersebut dinisbatkan kepada Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam. Sejauh-jauh yang bisa dilakukan hanyalah membaca doa tersebut dalam kapasitas doa buatan (Mashnu’), bukan doa Ma’tsur  (dinukil) dari Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam.

Atas dasar ini tidak ada puasa Rajab dan tidak ada anjuran melakukannya. Semua amalan khusus dibulan Rajab seperti shalat Roghoib, Zakat, Haji, umroh, Ziaroh kubur juga tidak dianjurkan. amalan-amalan shalih dibulan Rajab dikembalikan pada Nash-Nash umum tentang amalan tersebut dan diamalkan sebatas penunjukkan makna yang dinyatakan oleh lafadz Nash. Wallahua’lam.


Berikut pernyataan para ulama madzhab empat tentang puasa Rajab.
 
Madzhab Hanafi

Dalam al-Fatawa al-Hindiyyah (1/202) disebutkan:

في الفتاوي الهندية 1/202 : ( المرغوبات من الصيام أنواع ) أولها صوم المحرم والثاني صوم رجب والثالث صوم شعبان وصوم عاشوراء ) اه

“Macam-macam puasa yang disunnahkan adalah banyak macamnya. Pertama, puasa bulan Muharram, kedua puasa bulan Rajab, ketiga, puasa bulan Sya’ban dan hari Asyura.”
 
Madzhab Maliki

Dalam kitab Syarh al-Kharsyi ‘ala Mukhtashar Khalil (2/241), ketika menjelaskan puasa yang disunnahkan, al-Kharsyi berkata:

(والمحرم ورجب وشعبان ) يعني : أنه يستحب صوم شهر المحرم وهو أول الشهور الحرم , ورجب وهو الشهر الفرد عن الأشهر الحرم ) اه وفي الحاشية عليه : ( قوله : ورجب ) , بل يندب صوم بقية الحرم الأربعة وأفضلها المحرم فرجب فذو القعدة فالحجة ) اه

“Muharram, Rajab dan Sya’ban. Yakni, disunnahkan berpuasa pada bulan Muharram – bulan haram pertama -, dan Rajab – bulan haram yang menyendiri.” Dalam catatan pinggirnya: “Maksud perkataan pengaram, bulan Rajab, bahkan disunnahkan berpuasa pada semua bulan-bulan haram yang empat, yang paling utama bulan Muharram, lalu Rajab, lalu Dzul Qa’dah, lalu Dzul Hijjah.”
Pernyataan serupa bisa dilihat pula dalam kitabal-Fawakih al-Dawani (2/272), Kifayah al-Thalib al-Rabbani (2/407), Syarh al-Dardir ‘ala Khalil(1/513) dan al-Taj wa al-Iklil (3/220).
 
Madzhab Syafi’i

Imam al-Nawawi berkata dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (6/439),

قال الإمام النووي في المجموع 6/439 : ( قال أصحابنا : ومن الصوم المستحب صوم
الأشهر الحرم , وهي ذو القعدة وذو الحجة والمحرم ورجب , وأفضلها المحرم , قال الروياني في البحر : أفضلها رجب , وهذا غلط ; لحديث أبي هريرة الذي سنذكره إن شاء الله تعالى { أفضل الصوم بعد رمضان شهر الله المحرم ) اه

“Teman-teman kami (para ulama madzhab Syafi’i) berkata: “Di antara puasa yang disunnahkan adalah puasa bulan-bulan haram, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab, dan yang paling utama adalah Muharram. Al-Ruyani berkata dalam al-Bahr: “Yang paling utama adalah bulan Rajab”. Pendapat al-Ruyani ini keliru, karena hadits Abu Hurairah yang akan kami sebutkan berikut ini insya Allah (“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa bulan Muharram.”)”.

Pernyataan serupa dapat dilihat pula dalamAsna al-Mathalib (1/433), Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah (2/53),  Mughni al-Muhtaj (2/187),Nihayah al-Muhtaj (3/211) dan lain-lain.

Madzhab Hanbali

Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata dalam kitabal-Mughni (3/53):

قال ابن قدامة في المغني 3/53  فصل : ويكره إفراد رجب بالصوم . قال أحمد : وإن صامه رجل , أفطر فيه يوما أو أياما , بقدر ما لا يصومه كله … قال أحمد : من كان يصوم السنة صامه , وإلا فلا يصومه متواليا , يفطر فيه ولا يشبهه برمضان ) اه

“Pasal. Dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab dengan ibadah puasa. Ahmad bin Hanbal berkata: “Apabila seseorang berpuasa Rajab, maka berbukalah dalam satu hari atau beberapa hari, sekiranya tidak berpuasa penuh satu bulan.” Ahmad bin Hanbal juga berkata: “Orang yang berpuasa satu tahun penuh, maka berpuasalah pula di bulan Rajab. Kalau tidak berpuasa penuh, maka janganlah berpuasa Rajab terus menerus, ia berbuka di dalamnya dan jangan menyerupakannya dengan bulan Ramadhan.”

Ibnu Muflih berkata dalam kitab al-Furu’(3/118):

وفي الفروع لابن مفلح 3/118 : ( فصل : يكره إفراد رجب بالصوم نقل حنبل : يكره , ورواه عن عمر وابنه وأبي بكرة , قال أحمد : يروى فيه عن عمر أنه كان يضرب على صومه , وابن عباس قال : يصومه إلا يوما أو أياما … وتزول الكراهة بالفطر أو بصوم شهر آخر من السنة , قال صاحب المحرر : وإن لم يله .

“Pasal. Dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab dengan berpuasa. Hanbal mengutip: “Makruh, dan meriwayatkan dari Umar, Ibnu Umar dan Abu Bakrah.” Ahmad berkata: “Memuku seseorang karena berpuasa Rajab”. Ibnu Abbas berkata: “Sunnah berpuasa Rajab, kecuali satu hari atau beberapa hari yang tidak berpuasa.” Kemakruhan puasa Rajab bisa hilang dengan berbuka (satu hari atau beberapa hari), atau dengan berpuasa pada bulan yang lain dalam tahun yang sama. Pengarang al-Muharrar berkata: “Meskipun bulan tersebut tidak bergandengan.”
 
DALIL PUASA RAJAB

Dalil Mayoritas Ulama

Mayoritas ulama yang berpandangan bahwa puasa Rajab hukumnya sunnah sebulan penuh, berdalil dengan beberapa banyak hadits dan atsar. Dalil-dalil tersebut dapat diklasifikasi menjadi tiga:

Pertama, hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan puasa sunnah secara mutlak. Dalam konteks ini, al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami berkata dalam al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah(2/53) dan fatwa beliau mengutip dari fatwa al-Imam Izzuddin bin Abdussalam (hal. 119):

قال ابن حجر كما في الفتاوى الفقهية الكبرى 2/53  ويوافقه إفتاء العز بن عبد السلام فإنه سئل عما نقل عن بعض المحدثين من منع صوم رجب وتعظيم حرمته وهل يصح نذر صوم جميعه فقال في جوابه :نذر صومه صحيح لازم يتقرب إلى الله تعالى بمثله والذي نهى عن صومه جاهل بمأخذ أحكام الشرع وكيف يكون منهيا عنه مع أن العلماء الذين دونوا الشريعة لم يذكر أحد منهم اندراجه فيما يكره صومه بل يكون صومه قربة إلى الله تعالى لما جاء في الأحاديث الصحيحة من الترغيب في الصوم مثل: قوله صلى الله عليه وسلم { يقول الله كل عمل ابن آدم له إلا الصوم } وقوله صلى الله عليه وسلم { لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك } وقوله { إن أفضل الصيام صيام أخي داود كان يصوم يوما ويفطر يوما } وكان داود يصوم من غير تقييد بما عدا رجبا من الشهور ) اه

“Ibnu Hajar, (dan sebelumnya Imam Izzuddin bin Abdissalam ditanya pula), tentang riwayat dari sebagian ahli hadits yang melarang puasa Rajab dan mengagungkan kemuliaannya, dan apakah berpuasa satu bulan penuh di bulan Rajab sah? Beliau berkata dalam jawabannya: “Nadzar puasa Rajab hukumnya sah dan wajib, dan dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukannya. Orang yang melarang puasa Rajab adalah orang bodoh dengan pengambilan hukum-hukum syara’. Bagaimana mungkin puasa Rajab dilarang, sedangkan para ulama yang membukukan syariat, tidak seorang pun dari mereka yang menyebutkan masuknya bulan Rajab dalam bulan yang makruh dipuasai. Bahkan berpuasa Rajab termasuk qurbah (ibadah sunnah yang dapat mendekatkan) kepada Allah, karena apa yang datang dalam hadits-hadits shahih yang menganjurkan berpuasa seperti sabda Nabi SAW: “Allah berfirman, semua amal ibadah anak Adam akan kembali kepadanya kecuali puasa”, dan sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum menurut Allah dari pada minyak kasturi”, dan sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya puasa yang paling utama adalah puasa saudaraku Dawud. Ia berpuasa sehari dan berbuka sehari.” Nabi Dawud AS berpuasa tanpa dibatasi oleh bulan misalnya selain bula Rajab.”

Al-Syaukani berkata dalam Nail al-Authar(4/291):

وقال الشوكاني في نيل الأوطار 4/291 : ( وقد ورد ما يدل على مشروعية صومه على العموم والخصوص : أما العموم : فالأحاديث الواردة في الترغيب في صوم الأشهر الحرم وهو منها بالإجماع . وكذلك الأحاديث الواردة في مشروعية مطلق الصوم … ) اه

“Telah datang dalil yang menunjukkan pada disyariatkannya puasa Rajab, secara umum dan khusus. Adapun hadits yang bersifat umum, adalah hadits-hadits yang datang menganjurkan puasa pada bulan-bulan haram. Sedangkan Rajab termasuk bulan haram berdasarkan ijma’ ulama. Demikian pula hadits-hadits yang datang tentang disyariatkannya puasa sunnat secara mutlak.”
 
Kedua, hadits-hadits yang menganjurkan puasa bulan-bulan haram, antara lain hadits Mujibah al-Bahiliyah. Imam Abu Dawud meriwayatkan dalam al-Sunan (2/322) sebagai berikut ini:

عن مجيبة الباهلية عن أبيها أو عمها أنه : أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم انطلق فأتاه بعد سنة وقد تغيرت حالته وهيئته فقال يا رسول الله أما تعرفني قال ومن أنت قال أنا الباهلي الذي جئتك عام الأول قال فما غيرك وقد كنت حسن الهيئة قال ما أكلت طعاما إلا بليل منذ فارقتك فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم لم عذبت نفسك ثم قال صم شهر الصبر ويوما من كل شهر قال زدني فإن بي قوة قال صم يومين قال زدني قال صم ثلاثة أيام قال زدني قال صم من الحرم واترك صم من الحرم واترك صم من الحرم واترك وقال بأصابعه الثلاثة فضمها ثم أرسلها )

Dari Mujibah al-Bahiliyah, dari ayah atau pamannya, bahwa ia mendatangi Rasulullah SAW kemudian pergi. Lalu datang lagi pada tahun berikutnya, sedangkan kondisi fisiknya telah berubah. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, apakah engkau masih mengenalku?” Beliau bertanya: “Kamu siapa?” Ia menjawab: “Aku dari suku Bahili, yang datang tahun sebelumnya.” Nabi SAW bertanya: “Kondisi fisik mu kok berubah, dulu fisikmu bagus sekali?” Ia menjawab: “Aku tidak makan kecuali malam hari sejak meninggalkanmu.” Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Mengapa kamu menyiksa diri?” Lalu berliau bersabda: “Berpuasalah di bulan Ramadhan dan satu hari dalam setiap bulan.” Ia menjawab: “Tambahlah kepadaku, karena aku masih mampu.” Beliau menjawab: “Berpuasalah dua hari dalam sebulan.” Ia berkata: “Tambahlah, aku masih kuat.” Nabi SAW menjawab: “Berpuasalah tiga hari dalam sebulan.” Ia berkata: “Tambahlah.” Nabi SAW menjawab: “Berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah, berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah, berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Mengomentari hadits tersebut, Imam al-Nawawi berkata dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab(6/439): “Nabi SAW menyuruh laki-laki tersebut berpuasa sebagian dalam bulan-bulan haram tersebut dan meninggalkan puasa di sebagian yang lain, karena berpuasa bagi laki-laki Bahili tersebut memberatkan fisiknya. Adapuan bagi orang yang tidak memberatkan, maka berpuasa satu bulan penuh di bulan-bulan haram adalah keutamaan.” Komentar yang sama juga dikemukakan oleh Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari dalam Asna al-Mathalib (1/433) dan Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawa-nya (2/53).

Ketiga, hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan bulan Rajab secara khusus. Hadits-hadits tersebut meskipun derajatnya dha’if, akan tetapi masih diamalkan dalam bab fadhail al-a’mal, seperti ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawa-nya (2/53).

Di antara hadits yang menjelaskan keutamaan puasa Rajab secara khusus adalah hadits Usamah bin Zaid berikut ini:

في سنن النسائي 4/201 : ( عن أسامة بن زيد قال قلت : يا رسول الله لم أرك تصوم شهرا من الشهور ما تصوم من شعبان قال ذلك شهر يغفل الناس عنه بين رجب ورمضان ) اه

“Dalam Sunan al-Nasa’i (4/201): Dari Usamah bin Zaid, berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak melihatmu berpuasa dalam bulan-bulan yang ada seperti engkau berpuasa pada bulan Sya’ban?” Beliau menjawab: “Bulan Sya’ban itu bulan yang dilupakan oleh manusia antara Rajab dan Ramadhan.”

Mengomentari hadits tersebut, Imam al-Syaukani berkata dalam kitabnya Nail al-Authar(4/291): “Hadits Usamah di atas, jelasnya menunjukkan disunnahkannya puasa Rajab. Karena yang tampak dari hadits tersebut, kaum Muslimin pada masa Nabi SAW melalaikan untuk mengagungkan bulan Sya’ban dengan berpuasa, sebagaimana mereka mengagungkan Ramadhan dan Rajab dengan berpuasa.”

Keempat, atsar dari ulama salaf yang saleh. Terdapat beberapa riwayat yang menyatakan bahwa beberapa ulama salaf yang saleh menunaikan ibadah puasa Rajab, seperti Hasan al-Bashri, Abdullah bin Umar dan lain-lain. Hal ini bisa dilihat dalam kitab-kitab hadits seperti Mushannaf Ibn Abi Syaibah dan lain-lain.

Dalil Madzhab Hanbali

Sebagaimana dimaklumi, madzhab Hanbali berpendapat bahwa mengkhususkan puasa Rajab secara penuh dengan ibadah puasa adalah makruh. Akan tetapi kemakruhan puasa Rajab ini bisa hilang dengan dua cara, pertama, meninggalkan sehari atau lebih dalam bulan Rajab tanpa puasa. Dan kedua, berpuasa di bulan-bulan di luar Rajab, walaupun bulan tersebut tidak berdampingan dengan bulan Rajab.

Para ulama yang bermadzhab Hanbali, memakruhkan berpuasa Rajab secara penuh dan secara khusus, didasarkan pada beberapa hadits, antara lain:
Hadits dari Zaid bin Aslam, bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa Rajab, lalu beliau menjawab: “Di mana kalian dari bulan Sya’ban?” (HR. Ibnu Abi Syaibah [2/513] dan Abdurrazzaq [4/292]. Tetapi hadits ini mursal, alias dha’if).

Hadits Usamah bin Zaid. Ia selalu berpuasa di bulan-bulan haram. Lalu Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Berpuasalah di bulan Syawal.” Lalu Usamah meninggalkan puasa di bulan-bulan haram, dan hanya berpuasa di bulan Syawal sampai meninggal dunia.” (HR. Ibn Majah [1/555], tetapi hadits ini dha’if. Hadits ini juga dinilai dha’if oleh Syaikh al-Albani.).

Hadits dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW melarang puasa Rajab. (HR. Ibn Majah [1/554], tetapi hadits ini dinilai dha’if oleh Imam Ahmad, Ibnu Taimiyah dalam al-Fatawa al-Kubra[2/479], dan lain-lain).

Madzhab Hanbali juga berdalil dengan beberapa atsar dari sebagian sahabat, seperti atsar bahwa Umar pernah memukul orang karena berpuasa Rajab, atsar dari Anas bin Malik dan lain-lain. Tetapi atsar ini masih ditentang dengan atsar-atsar lain dari para sahabat yang justru melakukan puasa Rajab. Disamping itu, dalil-dalil para ulama yang menganjurkan puasa Rajab jauh lebih kuat dan lebih shahih sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya.

Kesimpulan 

‎Sudah jelas dari semua dalil bahwa bulan Rajab adalah salah satu bulan yang mulia serta termasuk dari 4 bulan haram (Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharam). Sehingga tak ada seorang muslim yang beriman menolak atau menyangsikan kemuliaan bulan-bulan haram tersebut. Namun bulan Rajab tidak lebih utama dari pemuliaan bulan haram lainnya selain itu Islam juga memuliakan selain bulan Haram seperti bulan Sya’ban dan Syawal.

Maka puasa di bulan Rajab jelas ada dan boleh. Adalah salah jika menyatakan tidak ada puasa Rajab. Akan lebih salah lagi jika menyatakan haram berpuasa bulan Rajab. Yang benar adalah Rasulullah s.a.w. pernah berpuasa di bulan Rajab dan juga pernah tidak berpuasa di bulan Rajab. Mengkhususkan diri hanya berpuasa di bulan Rajab adalah makruh. Letak makruhnya bukan soal berpuasanya namun soal mengkhususkan hanya menghormati bulan Rajab saja sedangkan tidak menghormati bulan bulan lainnya dengan berpuasa sunnah juga. 

Adapun Rasulullah s.a.w. sesungguhnya pada semua bulan beliau berpuasa dan andaikan mau dilebihkan, maka dari semua kesaksian para sahabatn beliau s.a.w. paling banyak berpuasa sunnah pada bulan Sya’ban dan bukan bulan Rajab  Juga tidak ada dasarnya meyakini tanggal tertentu atau haru tertentu di bulan Rajab. Yang benar adalah silakan berpuasa 2-3 hari di hari apa saja pada bulan Rajab sebagaimana berpuasa 2-3 hari di bulan haram lainnya. Puasa 2-3 hari ini berbeda dengan puasa senin kamis dan puasa ayamul bidh 3 hari tiap tengah bulan yang dilaksanakan pada semua bulan.

Adapun sikap memuliakan bulan Rajab tidak lantas dengan cara menerima begitu saja hadits-hadits yang berlebih-lebihan seperti terbebasnya dari penyakit, atau sama dengan puasa setahun penuh dan sholat malam setahun penuh atau akan disediakan telaga khusus di surga dll. Adapun kenyataannya hadits-hadits yang bombastis itu adalah hadits dla’if bahkan palsu. Orang yang melebih-lebihkan keutamaan bulan Rajab dengan membawakan hadits palsu sama buruknya dengan orang yang sama sekali menolak atau mengharamkan adanya puasa di bulan Rajab. Wallahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar