Translate

Selasa, 20 Oktober 2015

Hukum Mengedit Foto

Sebelumnya perlu diterangkan dulu hukum memotret (mengambil foto dengan kamera). Para ulama kontemporer berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama mengharamkannya, karena dianggap sama dengan aktivitas mengambar dengan tangan, kecuali untuk foto yang sangat diperlukan (dharurah), seperti foto untuk identitas diri (KTP/paspor), untuk keperluan pendidikan, untuk mengungkap kejahatan, dan semisalnya. Yang berpendapat semacam ini misalnya Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aal Syaikh, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, Syaikh M. Ali Ash-Shabuni, dan Syaikh Nashiruddin Al-Albani.

Namun sebagian ulama lain membolehkannya, dengan alasan hadits yang mengharamkan menggambar tak dapat diterapkan pada aktivitas memotret. Mereka ini misalnya Rasyid Ridha, Syaikh Ahmad Al-Khathib, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Najib Al-Muthi’i, Syaikh Mutawalli Sya’rawi, Syaikh Sayyid Sabiq, Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi, dan Syaikh Taqiyuddin Nabhani.

Pendapat yang rajih menurut kami adalah yang membolehkan, sebab pendapat ini lebih cermat memahami fakta yang menjadi objek hukum (manath). Menurut Syaikh An-Nabhani, hadits yang melarang menggambar makhluk bernyawa tak dapat diterapkan untuk fakta memotret. Sebab orang yang memotret hanya sekedar memindahkan citra/bayangan dari fakta yang sudah ada ke dalam film melalui kamera, bukan menggambar suatu bentuk makhluk bernyawa dari ketiadaan.

Sesungguhnya Islam mengharamkan aktivitas menggambar (التَّصْوِيْرُ). Dalil yang menunjukkan haramnya menggambar adalah sebagai berikut;


صحيح مسلم (11/ 23)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ
 

“Dari Abdullah; Rasulullah SAW bersabda; Sesungguhnya manusia yang paling keras siksanya pada hari kiamat adalah para pelukis” (H.R.Muslim)

صحيح مسلم (11/ 9)

عَنْ أَبِي طَلْحَةَ

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا صُورَةٌ

“Dari Abu Thalhah, dari Nabi SAW beliau bersabda; Malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada anjing dan lukisan” (H.R.Muslim)

Hadis-Hadis yang maknanya senada jumlahnya cukup banyak. Semuanya menegaskan keharaman Tashwir/ التَّصْوِيْرُ (menggambar). Islam memang mengharamkan Tashwir dengan segala bentuknya, termasuk membuat patung (صُنْعُ التَّمَاثِيْلِ) atau memahat patung (النَّحْتُ). Namun keharaman  Tashwir ini hanya berlaku pada sesuatu yang memiliki ruh seperti manusia dan hewan. Jika obyeknya tidak mememiliki ruh seperti pohon, gunung, rerumputan, sungai, laut, danau dan sebagainya maka menggambarnya hukumnya mubah. Dalil yang menunjukkan mubahnya menggambar obyek yang tidak memiliki ruh adalah Hadis berikut;

صحيح مسلم (11/ 25)

عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي الْحَسَنِ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ إِنِّي رَجُلٌ أُصَوِّرُ هَذِهِ الصُّوَرَ فَأَفْتِنِي فِيهَا فَقَالَ لَهُ ادْنُ مِنِّي فَدَنَا مِنْهُ ثُمَّ قَالَ ادْنُ مِنِّي فَدَنَا حَتَّى وَضَعَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ قَالَ أُنَبِّئُكَ بِمَا

سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النَّارِ يَجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُورَةٍ صَوَّرَهَا نَفْسًا فَتُعَذِّبُهُ فِي جَهَنَّمَ

و قَالَ إِنْ كُنْتَ لَا بُدَّ فَاعِلًا فَاصْنَعْ الشَّجَرَ وَمَا لَا نَفْسَ لَهُ


“Dari Sa’id bin Abi Al-Hasan beliau berkata; seorang lelaki datang kepada Ibnu Abbas lalu berkata; Sesungguhnya aku adalah orang yang melukis lukisan-lukisan ini, berilah aku fatwa tentangnya. Maka Ibnu Abbas berkata; mendekatlah kepadaku. Maka dia mendekat kepadanya. Lalu Ibnu Abbas berkata lagi; mendekatlah kepadaku. Maka dia mendekat hingga Ibnu Abbas meletakkan tangannya di atas kepalanya dan berkata; Aku beritahu engkau sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah SAW. Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda; Semua pelukis di dalam Neraka. Setiap lukisan yang dia buat diberi jiwa, lalu makhluk itu menyiksanya di Neraka Jahannam.” Ibnu Abbas berkata; Jika engkau harus melukis, maka lukislah pepohonan dan benda yang tidak berjiwa” (H.R.Muslim)

Adapun foto (الصُّوْرَةُ الضَّوْئِيَّةُ/ الصُّوْرَةُ الشَّمْسِيَّةُ), maka ini tidak termasuk dalam cakupan pengertian Tashwir. Alasannya, fakta foto adalah نَقْلُ الظِّلِّ إلى اْلفِلْمِ (memindahkan bayangan ke film) bukan Tashwir, karena Tashwir adalah رَسْمُ صُوْرَةِ الشَّيْءِ (melukiskan gambaran sesuatu). Seorang Fotografer tidak pernah menggambar sesuatu, tetapi dia hanya memindahkan bayangan sesuatu ke dalam film untuk dicetak dengan memanfaatkan hukum-hukum cahaya, refleksi, dan hukum fisika lainnya. Fotografer hanya menggerakkan kamera untuk memindahkan bayangan tanpa melakukan aktivitas Tashwir apapun. Lagipula, fakta Tashwir adalah mengandung unsur إِبْدَاعٌ (kreatifitas), yaitu menciptakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Hal ini berbeda dengan foto yang hanya sekedar mencetak bayangan. Bayangan segala sesuatu di alam ini secara alami sudah ada, namun bayangan-bayangan tersebut ada yang ditangkap dan dicetak, adapula yang tidak ditangkap dan dicetak. Yang ditangkap dan dicetak itulah yang menjadi fakta foto.

Dengan demikian, memfoto hukumnya mubah tanpa membedakan apakah obyeknya memiliki nyawa ataukah tidak. Memfoto dihukumi mubah karena tidak termasuk  Tashwir dan tidak tercakup dalam pengertian Tashwir. Pembahasan tentang hukum foto adalah pembahasan Tahqiqul Manath (penelitian obyek hukum), bukan pembahasan hukum itu sendiri. Memfoto hukumnya mubah karena fakta memfoto bukanlah fakta Tashwir yang diharamkan Syara’. Hal ini mirip dengan pembahasan haramnya Ghibah (menggunjing). Keharaman menggunjing sudah disepakati, namun apakah suatu perbuatan sudah tepat disebut menggunjing ataukah tidak, maka ini masuk pembahasan Tahqiqul Manath. Sesuatu yang disangka menggunjing bisa saja bukan, misalnya aktivitas menasehati, mengambil pelajaran (i’tibar), mengkritik perawi (Jarh dan Ta’dil) dll.

Adapun hukum mengedit foto ( تَعْدِيْلُ الصُّوْرَةِ الضَّوْئِيَّةِ/ الصُّوْرَةِ الشَّمْسِيَّةِ) makhluk bernyawa, maka hal itu perlu diperinci.

Pertama; Jika aktifitas mengedit tersebut mengubah gambar bernyawa yang ada pada foto menjadi sesuatu yang tidak bernyawa, misalnya memenggal kepala manusia dalam foto sehingga tubuhnya menjadi seperti pohon, mengubah foto ayam menjadi seperti guci, membuat foto ular menajdi seperti aliran sungai dan semisalnya, maka aktivitas mengedit seperti ini hukumnya mubah. Hal itu dikarenakan aktivitas mengedit seprti ini tidak bisa dimasukkan dalam pengertian menggambar (التَّصْوِيْرُ) sebagaimana tidak bisa dimasukkan dalam cakupan makna menggambar yang dilarang oleh syariat. Mengedit jenis ini lebih mendekati memotong kepala patung untuk mengubahnya menjadi sesuatu yang tidak mirip dengan manusia yang bernyawa. Memotong kepala patung bukan hal yang dilarang dan justru diperintahkan syariat. Abu Dawud meriwayatkan;

سنن أبى داود – مكنز (12/ 237، بترقيم الشاملة آليا)

 عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَتَانِى جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ فَقَالَ لِى أَتَيْتُكَ الْبَارِحَةَ فَلَمْ يَمْنَعْنِى أَنْ أَكُونَ دَخَلْتُ إِلاَّ أَنَّهُ كَانَ عَلَى الْبَابِ تَمَاثِيلُ وَكَانَ فِى الْبَيْتِ قِرَامُ سِتْرٍ فِيهِ تَمَاثِيلُ وَكَانَ فِى الْبَيْتِ كَلْبٌ فَمُرْ بِرَأْسِ التِّمْثَالِ الَّذِى فِى الْبَيْتِ يُقْطَعُ فَيَصِيرُ كَهَيْئَةِ الشَّجَرَةِ وَمُرْ بِالسِّتْرِ فَلْيُقْطَعْ فَلْيُجْعَلْ مِنْهُ وِسَادَتَيْنِ مَنْبُوذَتَيْنِ تُوطَآنِ وَمُرْ بِالْكَلْبِ فَلْيُخْرَجْ ». فَفَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَإِذَا الْكَلْبُ لِحَسَنٍ أَوْ حُسَيْنٍ كَانَ تَحْتَ نَضَدٍ لَهُمْ فَأَمَرَ بِهِ فَأُخْرِجَ

Dari Mujahid ia berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jibril Alaihis Salam datang menemuiku dan berkata, “Tadi malam aku datang untuk menemuimu, dan tidak ada yang menghalangiku untuk masuk kecuali patung yang ada di atas pintu. Di dalam rumah juga ada kain satir tipis yang bergambar patung, serta terdapat anjing, makaperintahkanlah memotong kepala patung yang berada di rumah hingga berbentuk pohon, dan perintahkanlah memotong tirai untuk dijadikan dua bantal yang diduduki, dan perintahkanlah untuk mengeluarkan anjing.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun melakukan saran Jibril, namun tiba-tiba anjing milik Hasan atau Husain berada di bawah ranjang (rak), maka beliau memerintahkan untuk mengeluarkan hingga ia pun dikeluarkan. (H.R.Abu Dawud)

Hadis ini bermakna, mengubah gambar atau patung terlarang menjadi benda lain yang tidak bernyawa tidak dilarang syariat, dan justru malah diperintahkan.

Lagipula islam membolehkan menggambar sesuatu yang tidak bernyawa seperti pohon, batu, sungai, gunung dan semisalnya. Imam Muslim meriwayatkan;

صحيح مسلم (11/ 25)

عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي الْحَسَنِ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ إِنِّي رَجُلٌ أُصَوِّرُ هَذِهِ الصُّوَرَ فَأَفْتِنِي فِيهَا فَقَالَ لَهُ ادْنُ مِنِّي فَدَنَا مِنْهُ ثُمَّ قَالَ ادْنُ مِنِّي فَدَنَا حَتَّى وَضَعَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ قَالَ أُنَبِّئُكَ بِمَا

سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النَّارِ يَجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُورَةٍ صَوَّرَهَا نَفْسًا فَتُعَذِّبُهُ فِي جَهَنَّمَ

و قَالَ إِنْ كُنْتَ لَا بُدَّ فَاعِلًا فَاصْنَعْ الشَّجَرَ وَمَا لَا نَفْسَ لَه
 

“Dari Sa’id bin Abi Al-Hasan beliau berkata; seorang lelaki datang kepada Ibnu Abbas lalu berkata; Sesungguhnya aku adalah orang yang melukis lukisan-lukisan ini, berilah aku fatwa tentangnya. Maka Ibnu Abbas berkata; mendekatlah kepadaku. Maka dia mendekat kepadanya. Lalu Ibnu Abbas berkata lagi; mendekatlah kepadaku. Maka dia mendekat hingga Ibnu Abbas meletakkan tangannya di atas kepalanya dan berkata; Aku beritahu engkau sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah SAW. Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda; Semua pelukis di dalam Neraka. Setiap lukisan yang dia buat diberi jiwa, lalu makhluk itu menyiksanya di Neraka Jahannam.” Ibnu Abbas berkata; Jika engkau harus melukis, maka lukislah pepohonan dan benda yang tidak berjiwa” (H.R.Muslim)

 Mengedit foto yang menampilkan makhluk bernyawa menjadi benda yang tidak bernyawa bermakna menggambar sesuatu yang tidak bernyawa. Oleh karena mengambar sesuatu yang tidak bernyawa hukumnya mubah, maka Mengedit foto yang menampilkan makhluk bernyawa menjadi benda yang tidak bernyawa hukumnya mubah.

Kedua; Jika aktifitas mengedit foto itu tidak mengubah makhluk bernyawa yang ada dalam foto, namun hanya mengubah warnanya,atau mengatur pencahayaannya, atau menambah bayangan, atau menghilangkan kerutan-kerutannya, atau menghilangkan/menambah tahi lalat, menambahi topi, menambahi baju, menambahi kerudung dan yang semakna dengan ini maka aktifitas mengedit seperti ini juga masih mubah. Hal itu dikarenakan aktivitas edit jenis ini tidak bisa dimasukkan dalam definisi menggambar dan tidak termasuk cakupan makna menggambar. Tidak ada rupa baru yang diciptakan dan tidak ada pengubahan gambar menjadi makhluk lain. Hal ini mirip seperti orang yang menyapukan warna hitam pada kanvas, atau menyapukan warna cahaya, atau menggamabar titik, menggambar garis, menggambar bulatan, dan sebagainya yang hukumnya mubah karena termasuk menggambar sesuatu yang tidak bernyawa.

Ketiga; Jika aktivitas mengedit foto itu dilakukan dengan mengubah makhluk yang ada dalam foto menjadi makhluk bernyawa yang lain, seperti manusia diedit menjadi kera atau yang mirip dengannya, ular diedit menjadi jerapah, gajah diedit menjadi tikus dan yang semakna dengan ini, maka aktivitas mengedit jenis inilah yang lebih dekat pada larangan menggambar. Hal itu dikarenakan, mengedit jenis ini bermakna melakukan aktivitas menggambar suatu  makhluk bernyawa dengan memanfaatkan citra yang tercetak pada foto. Fakta seperti ini lebih dekat pada fakta menggambar makhluk bernyawa daripada fakta menggambar sesuatu yang tidak bernyawa. Dengan demikian mengedit jenis ini terlarang. Larangannya tidak membedakan apakah aktivitas mengedit tersebut dilakukan secara manual dengan tangan maupun dengan komputer melalui perantaraan mouse dan keyboard. Semuanya dihukumi menggambar yang terlarang secara syar’i.

Jika ada diantara kaum muslimin yang berpendapatmengedit foto haram secara mutlak, tetapi masih melakukannya untuk kepentingan dakwah misalnya, maka kemungkinan beliau tidak tahu atau lupa. Jadi sebaiknya diingatkan larangan tersebut. Perlu diingat pula bahwa Islam tidak mengenal prinsip “tujuan menghalalkan segala cara”. 

Wallahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar