Wakaf adalah salah satu akad mu’amalah sesama manusia yang tidak pernah dikenal dalam sejarah sebelum Islam, sehingga orang-orang jahiliah pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak mengenalnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi petunjuk kepada para sahabatnya berupa anjuran untuk mewakafkan harta dengan cara yang berbeda dengan shadaqah secara umum.
Apabila seorang menyedekahkan hartanya di jalan Alloh kepada orang miskin, maka harta itu akan habis dimanfaatkan oleh orang miskin itu karena harta itu telah menjadi haknya, sehingga suatu ketika apabila datang orang miskin yang lain, maka dia tidak bisa memanfaatkan harta tadi karena telah habis. Berbeda dengan harta yang diwakafkan, ia tidak akan habis karena yang dimanfaatkan hanyalah kegunaan harta itu saja, sedangkan barang asalnya diabadikan, tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak pula diwariskan.
Definisi wakaf
Menurut bahasa Arab (literal), kata “al-waqaf” bermakna “al-habsu” (menahan). Bentuk mutaradif (sinonim) dari kata “waqaf” adalah tahbiis dan tasbiil.
Sedangkan menurut syariat, “al-waqaf” adalah menahan benda yang menjadi milik pewaqaf dan menyedekahkan kemanfaatannya di jalan Allah. Menurut Abu Yusuf dan Mohammad, wakaf adalah menahan benda agar tidak bisa dimiliki , dan agar manfaatnya bisa disedekahkan. Oleh karena itu, kepemilikan benda tersebut beralih kepada kepemilikan Allah.
Menurut ‘ulama-ulama Syafi’iyyah, waqaf dalam konteks syariah adalah menahan harta yang mungkin bisa dimanfaatkan selama bendanya masih langgeng (awet) dengan cara memutuskan hak kepemilikan atas harta tersebut, dan dialihkan untuk kepentingan-kepentingan yang dibolehkan.
Apa Status Hukum Wakaf?
Hukum wakaf adalah sunnah (mandub); dan ia termasuk sarana mendekatkan diri kepada Allah swt yang sangat disukai dan dianjurkan di dalam Islam[6]. Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalaniy menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya menurut Imam Asy Syafi’iy, waqaf merupakan kekhususan bagi umat Islam, dan belum pernah dikenal pada masa jahiliyyah. [Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalaniy,Fath al-Baariy, juz 8/350]
Apa Dasar Hukum Penetapan Wakaf Di Dalam Islam?
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalaniy, asal pensyariatan waqaf didasarkan pada hadits riwayat Ibnu Umar ra tentang kisah waqafnya Umar bin Khaththab ra:
أَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ
“Sesungguhnya Umar ra pernah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Lalu, beliau mendatangi Nabi saw dan meminta nasehat mengenai tanah itu, seraya berkata, “Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, yang saya tidak pernah mendapatkan harta lebih baik dari pada tanah itu”. Nabi saw pun bersabda, “Jika engkau berkenan, tahanlah batang pohonnya, dan bersedekahlah dengan buahnya. Ibnu Umar berkata, “Maka bersedekahlah Umar dengan buahnya, dan batang pohon itu tidak dijual, dihadiahkan, dan diwariskan. Dan Umar bersedekah dengannya kepada orang-orang fakir, para kerabat, para budak, orang-orang yang berjuang di jalan Allah, Ibnu Sabil , dan para tamu. Pengurusnya boleh memakan dari hasilnya dengan cara yang makruf, dan memberikannya kepada temannya tanpa meminta harganya…” [HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Ketika menjelaskan hadits di atas, Imam Ibnu Hajar menuturkan sebuah riwayat dari Imam Ahmad bahwasanya Ibnu Umar berkata, ”Waqaf pertama kali di dalam Islam adalah sedekahnya (waqafnya) Umar”. Riwayat ini diperkuat oleh hadits yang dituturkan dari ’Amru bin Sa’ad bin Mu’adz, bahwasanya ia berkata, ”Kami bertanya tentang waqaf pertama kali di dalam Islam. Kaum Muhajirin menjawab, ”Waqafnya Umar”. Sedangkan kaum Anshor menjawab, ”Waqafnya Rasulullah saw”.
Pensyariatan waqaf juga disandarkan para sebuah hadits yang dituturkan Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya, kecuali tiga hal; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang selalu mendoakannya.”[HR. Muslim, Imam Abu Dawud, dan Nasa’iy]
Imam Ibnu Katsir mengatakan,”Pada hakekatnya, tiga amal perbuatan ini termasuk usaha dan perbuatannya sendiri; seperti yang telah disebutkan di dalam sebuah hadits shahih, “Sesungguhnya, rejeki yang paling baik adalah apa yang dimakan seorang laki-laki dari hasil usahanya sendiri; dan anaknya termasuk hasil usahanya.” Sedekah jariyah, seperti wakaf dan lain sebagainya, merupakan bekas-bekas amal perbuatannya dan peninggalannya. Allah swt berfirman, “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan“ [TQS. Yaasiin (36) :12]. Ilmu yang ia sebarkan ke tengah-tengah manusia, kemudian diikuti oleh manusia setelah kematiannya; ini juga merupakan usaha dan amal perbuatannya. Telah disebutkan dalam hadits shahih, bahwa Rasulullah saw bersabda,”Siapa saja yang mengajak kepada petunjuk, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikuti petunjuk itu, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.”
Imam Nawawiy, dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan hadits di atas sebagai berikut:
“Para ulama menyatakan, bahwa amal perbuatan orang yang telah meninggal dunia terputus dengan kematiannya, kecuali tiga hal ini. Sebab, tiga perkara tersebut berasal dari usaha orang yang telah meninggal itu sendiri. Sesungguhnya, anak shaleh termasuk hasil usahanya; demikian pula dengan ilmunya yang terus diajarkan atau dikaji setelah kematiannya, dan sedekah jariyah, yakni wakaf.. Pahala doa akan sampai kepada orang yang mati, demikian juga sedekah.“
Menurut Imam Mubarakfuriy dalam Tuhfat al-Ahwadziy ; yang dimaksud dengan terputusnya amal seseorang, adalah terputusnya ganjaran dan pahala dari amal perbuatannya, kecuali tiga perkara. Pahala dari tiga perkara ini tidak akan terputus; yakni sedekah jariyah yang berujud wakaf dan sedekah-sedekah yang tidak hilang manfaatnya; ilmu pengetahuan yang ditinggalkannya; dan anak sholeh yang selalu mendoakan dirinya. Menurut Ibnu Malik anak di sini ditaqyid (dibatasi) dengan anak sholeh. Sebab, pahala tidak akan didapatkan dari anak yang tidak sholeh.
Imam al-Sanadiy dalam Syarah Sunan al-Nasaiy mengatakan; maksud terputusnya amal di sini adalah terputusnya pahala dari seluruh perbuatannya, kecuali pada tiga perbuatan. Ada sebagian ulama yang berpendapat, bahwa bentuk semacam ini adalah pengecualian yang dikaitkan dengan mafhum. Artinya, seluruh amal perbuatan anak Adam terputus kecuali tiga amal perbuatan tersebut.
Al-Hafidz al-Suyuthiy mengatakan,” Syaikh Waliy al-Diin berpendapat, bahwa pahala dari tiga perkara ini tetaplah mengalir setelah kematian seseorang, dikarenakan adanya buah perbuatan mereka setelah dirinya meninggal, persis seperti ketika ia hidup di dunia. Adapun yang dimaksud dengan sedekah jariyah di sini adalah wakaf. Menurut Qadliy ‘Iyadl, amal perbuatan seseorang terputus berbarengan dengan kematiannya. Akan tetapi, selama orang tersebut menjadi sebab atau yang mengusahakan tiga perkara ini, yakni memiliki anak sholeh, dan ilmunya tetap disebarkan di tengah-tengah manusia, atau ia memiliki karangan yang tetap digunakan setelah kematiannya, atau melakukan sedekah jariyah, maka pahalanya akan tetap mengalir selama ketiga hal itu masih ada.”
Dalam kitab ‘Aun Ma’bud disebutkan, bahwa faedah atau pahala baru amal perbuatan seseorang telah terputus kecuali, pahala dari tiga hal Pahala dari tiga hal ini — sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh–, akan tetap mengalir.
Senada pengertiannya dengan hadits di atas, Imam Ibnu Majah juga meriwayatkan sebuah hadits bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ
”Sesungguhnya, diantara perbuatan dan kebaikan-kebaikan yang akan mengikuti seorang Mukmin setelah kematiannya adalah, ilmu yang disebarkannya, anak shaleh yang ditinggalkannya, mushhaf yang diwariskannya, masjid yang didirikannya, rumah yang didirikannya untuk ibnus sabil, sungai yang dialirkannya, atau sedekah yang dikeluarkan dari hartanya sewaktu sehatnya dan hidupnya; semuanya akan mengikutinya setelah kematiannya”.[HR. Ibnu Majah]
Hadits lain yang menunjukkan bahwa waqaf termasuk sunnah Nabi saw adalah hadits yang dituturkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata;
أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالصَّدَقَةِ فَقِيلَ مَنَعَ ابْنُ جَمِيلٍ وَخَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ وَعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَنْقِمُ ابْنُ جَمِيلٍ إِلَّا أَنَّهُ كَانَ فَقِيرًا فَأَغْنَاهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَأَمَّا خَالِدٌ فَإِنَّكُمْ تَظْلِمُونَ خَالِدًا قَدْ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُدَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“Rasulullah saw telah memerintahkan para shahabat untuk membayar zakat. Lalu, dikatakan bahwasanya Ibnu Jamil, Khalid bin Walid, dan ‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib ra menolak membayar zakat. Nabi saw pun bersabda, “Tidaklah Ibnu Jamil menolak (membayar zakat) kecuali karena ia adalah fakir. Lalu, Allah swt dan RasulNya mengayakan dirinya. Adapun Khalid; sesungguhnya kalian telah mendzalimi Khalid. Sungguh, Khalid telah menahan (mewaqafkan) baju besinya, dan menyediakannya untuk berperang di jalan Allah……”[HR. Bukhari dan Muslim]
Apa Perbedaan Antara Zakat Dengan Wakaf?
Dari sisi hukumnya, zakat berhukum wajib sedangkan waqaf berhukum sunnah (mandub).
Orang yang diberi harta zakat, maka ia berhak atas kepemilikan benda dan manfaatnya sekaligus. Fakir miskin, ketika mendapatkan seekor kambing zakat misalnya, maka ia berhak memiliki kambing itu, dan semua manfaat dari kambing tersebut. Sedangkan pada kasus waqaf; penerima waqaf hanya berhak mengambil manfaat dan guna dari harta waqaf, dan ia tidak berhak memiliki atau menghabiskan harta waqafnya. Pada waqaf hewan ternak, misalnya waqaf kambing, maka penerima waqaf hanya berhak mengambil air susunya, atau manfaat dari kambing tersebut; sedangkan kambingnya tidak berhak ia miliki.
Zakat hanya diperuntukkan bagi 8 golongan yang telah disebutkan di dalam al-Quran. Sedangkan waqaf diperuntukkan tidak hanya bagi 8 golongan itu saja.
Pada harta zakat tertentu disyaratkan adanya haul dan nishab. Adapun pada waqaf, tidak ada syarat haul dan nishab.
Jumlah zakat yang harus dikeluarkan dari harta-harta yang wajib dizakati telah ditentukan; misalnya, zakat emas dan perak sebesar 1/40, dan lain sebagainya. Dalam kasus waqaf, tidak ada ketentuan spesifik mengenai jumlah harta yang meski diwaqafkan.
Apa Perbedaan Waqaf Dengan Sedekah?
Waqaf termasuk bagian dari sedekah. Hanya saja, pada waqaf yang diambil hanyalah manfaat atau guna dari harta waqaf tersebut, tanpa melenyapkan harta waqafnya. Dengan kata lain, orang yang diberi waqaf hanya berhak atas manfaatnya belaka. Sedangkan sedekah dalam pengertian umum, adalah menyerahkan harta dan gunanya sekaligus kepada orang lain. Dengan demikian, penerima waqaf hanya berhak atas manfaat dan gunanya saja, tidak pada bendanya. Berbeda dengan sedekah; penerima sedekah berhak atas benda dan manfaatnya sekaligus.
Apa Perbedaan Wakaf Dengan Hibah (Hadiah)?
Hibah (hadiah) adalah pemberian harta milik seseorang pada saat masih hidup kepada orang lain. Hibah terjadi pada benda-benda yang mubah apapun; mulai dari makanan, minuman, uang, baju, rumah, tanah, dan lain sebagainya. Sedangkan harta yang diwaqafkan disyaratkan harus tetap utuh atau awet ketika dimanfaatkan. Tidak boleh mewakafkan harta yang mudah rusak, habis atau lenyap saat dimanfaatkan. Syarat seperti ini tidak berlaku pada harta yang hendak dihibahkan.
Harta yang dihibahkan maupun manfaatnya berhak dimiliki oleh penerima hibah. Adapun pada kasus waqaf, penerima waqaf hanya berhak atas manfaat dan gunanya saja.
Dengan dasar hadits-hadits di atas maka kita mengetahui bahwa hukum asal wakaf adalah sunnah apabila dengan niat mencari pahala dari Alloh Ta’ala. Akan tetapi suatu ketika wakaf hukumnya bisa berubah sesuai dengan niatnya, karena setiap amalan tergantung pada niatnya.
Sebagai contoh:
Seorang yang mewakafkan tanahnya dengan maksud supaya mendapatkan pujian manusia maka hukum wakafnya menjadi haram, karena ini termasuk riya’ yang diharamkan dalam Islam.
Seorang yang bernadzar mewakafkan sebagian hartanya di jalan Alloh, maka hukum wakafnya menjadi wajib. karena ini termasuk nadzar sebuah ketaatan, dan nadzar ketaatan wajib dilaksanakan.
wakaf dianggap sah dengan dua perkara
Ada dua cara/jalan yang dapat dianggap sebagai wakaf yang sah, yaitu:
1. Dengan perbuatan
Apabila seseorang mewakafkan sebagian hartanya dengan cara melakukan sesuatu yang bermakna wakaf maka cara ini juga dianggap sebagai wakaf yang sah, walaupun dia tidak mengucapkan kata “wakaf” dengan lisannya.
Sebagai contoh: Apabila seseorang membangun masjid kemudian membiarkan siapa saja yang shalat dalarn masjid itu maka ini sama halnya orang tersebut mewakafkan tanahnya di jalan Alloh shallallahu ‘alaihi wa sallam walaupun dia tidak mengucapkan: “Tanah ini aku wakafkan untuk masjid.”
Contoh lain: Apabila seorang menjadikan sebagian tanahnya untuk pekuburan umum dan tidak melarang siapa saja yang menguburkan jenazah di sana, maka ini sama halnya orang tersebut mewakafkan sebagian tanahnya di jalan Alloh Ta’ala, walaupun dia tidak mengucapkan: “Tanah ini aku wakafkan menjadi kuburan umum.”
2. Dengan perkataan
Wakaf dengan perkataan dibagi menjadi dua macam:
a. Perkataan yang jelas (sharih), maksudnya adalah dengan perkataan yang bermakna wakaf secara jelas dan tidak mengandung arti selain wakaf. Contohnya, seorang berkata: “Aku wakafkan tanahku ini untuk pesantren.”
b. Perkataan kiasan (kinayah), yaitu dengan perkataan yang mengandung kemungkinan bermakna wakaf dan mengandung kemungkinan makna yang lain.
Contohnya, seorang berkata: “Aku sedekahkanrumah ini untuk para penuntut ilmu.”
Maka perkataan “Aku sedekahkan” dalam contoh di atas mengandung kemungkinan bermakna sedekahsebagaimana lafazh yang tersurat dan mengandung kemungkinan bermakna wakaf sebagaimana yang tersirat dan sebagaimana yang sering digunakan lafazh ini untuk maksud wakaf.
Untuk membedakan dua makna yang terkandung di dalamnya maka orang yang mengucapkan kalimat tersebut harus disertai niat salah satu dari dua maksud/makna tersebut, kalau dia mengatakan: “Aku sedekahkan” tetapi niatnya adalah mewakafkan maka ini dihukumi sebagai wakaf, tetapi kalau dia menginginkan/berniat sedekah maka perkataannya dihukumi sebagai sedekah.
Faidah. Perlu dibedakan antara wakaf dan sedekah, dikarenakan ada perbedaan yang sangat jelas antara keduanya. Di antara perbedaan yang sangat jelas adalah kalau wakaf berarti harta itu tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan. Berbeda dengan sedekah, maka orang yang diberi sedekah berhak melakukan apa saja terhadap harta itu karena sudah menjadi hak miliknya, sehingga boleh baginya menjual, menghibahkan, atau yang lainnya.
Wakaf boleh ditujukan kepada dua pihak
1. Kepada perwujudan ketaatan secara umum, dan tidak ditunjuk personilnya (al-waqfu ‘ala jihhatil birr)
Seperti kepentingan masjid, madrasah, fakir miskin, para mujahidin, ibnu sabil, orang-orang yang terlilit hutang, untuk mencetak buku-buku yang bermanfaat, untuk kepentingan memerdekakan budak yang ada, dan sebagainya. Hal ini disebabkan, maksud dari wakaf adalah untuk mengharap pahala Alloh dengan melaksanakan ketaatan, sedang hal-hal yang tersebut di atas semuanya termasuk ketaatan, sehingga membantu terwujudnya ketaatan adalah sebuah ketaatan, dan merupakan tolong-menolong dalam ketaatan, sebagaimana dalam firman-Nya:
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebajikan dan taqwa, dan jangan to-long-menolong dalam perkara dosa dan permusuhan. (QS. al-Maidah [5]: 2)
Apabila seseorang mewakafkan hartanya untuk pembangunan gereja atau untuk mencetak buku-buku bid’ah dan kesyirikan, maka wakaf seperti ini tidak sah karena di dalamnya merupakan tolong-menolong dalam mewujudkan kemaksiatan dan dosa.
2. Kepada orang-orang tertentu yang ditunjuk personilnya (al-Waqfu ‘ala syahsin mu’ayyanin)
Seperti wakaf untuk seorang yang bernama Muhammad, atau yang lainnya.
Adapun kriteria personil yang boleh diberi wakaf, maka mereka adalah setiap orang yang diperbolehkan untuk diperlakukan dengan baik.
Maka boleh bagi seseorang mewakafkan hartanya kepada setiap muslim, karena seorang muslim dibolehkan -bahkan disyari’atkan- untuk berbuat baik kepada muslim/sesamanya.
Seandainya seseorang mewakafkan hartanya untuk para penjahat dan pelaku kriminal yang jelas-jelas belum bertaubat dan akan bertambah kemaksiatannya dengan adanya wakaf tersebut, maka wakaf seperti ini tidak diperbolehkan karena termasuk tolong-menolong dalam kemaksiatan.
Adapun wakaf kepada orang kafir, maka hal ini perlu diperinci. Apabila orang kafir tersebut termasuk orang kafir yang boleh diperlakukan dengan baik (seperti kafir dzimmi dan kafir musta’min maka dibolehkan wakaf kepada mereka, karena apabila kita dibolehkan bersedekah kepada mereka, maka dibolehkan juga wakaf kepada mereka, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Shafiyah binti Huyai istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau pernah mewakafkan sesuatu kepada saudaranya yang bukan muslim, sebagaimana dalam sebuah hadits:
Bahwasanya Shafiyah binti Huyai radhiyallahu ‘anhaistri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau pernahmewakafkan (sesuatu) kepada saudara yahudinya.(HR. al-Baihaqi dan lainnya, lihat Irwa’ al-Ghalil6/1590,
Akan tetapi berbeda dengan kafir harbi tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk mewakafkan hartanya kepada mereka, karena seorang muslim tidak boleh berbuat baik kepada mereka lantaran mereka memerangi agama Islam, sebagaimana mafhum mukhalafah (makna kebalikan) dari firman Alloh Ta’ala:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Alloh tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak me-merangimu karena agama(mu) dan orang-orang yang tidak mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Alloh mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS. al-Mumtahanah [60]: 8)
Ayat di atas menunjukkan bahwa kita boleh berbuat baik dan berlaku adil kepada siapa saja yang berbuat baik kepada kita dan tidak memerangi agama kita, walaupun mereka orang kafir.
Adapun orang kafir yang selalu memerangi agama kita (kafir harbi), maka kita tidak boleh ber-buat baik kepada mereka. Bahkan kita diperintahkan memerangi mereka sebagaimana dalam berbagai ayat dalam al-Qur’an, seperti firman-Nya:
وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُم مِّنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ – وَقَاتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُواْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبِّ الْمُعْتَدِينَ
Dan perangilah di jalan Alloh orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah melampaui batas, sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah dari tempat mereka telah mengusir kamu. (QS. al-Baqarah [2]: 190-191)
Syarat sah wakaf
l.Hendaknya orang yang mewakafkan adalah pemilik sah harta tersebut
Hal ini dikarenakan harta seorang muslim haram hukumnya bagi yang lainnya kecuali dengan kerelaannya, sehingga tidak diperkenankan bagi seseorang untuk menggunakan harta orang lain dengan cara apa pun seperti menjual atau mewakafkan kecuali dengan seizin pemiliknya, sebagaimana dalam sebuah hadits panjang yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, di dalarnnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
Sesungguhnya darah dan harta kalian haram hukumnya atas sesama kalian. (HR. Muslim 2/886)
2. Barang yang diwakafkan dapat dimanfaatkan
Hal ini dikarenakan apabila sesuatu itu tidak dapat dimanfaatkan, maka tidak ada gunanya sesuatu itu diwakafkan dan menjadi sia-sia, sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma yang telah lalu (HR. Bukhari-Muslim).
Misal, seandainya seseorang mewakafkan seekorhimar ahli (keledai jinak) yang sudah tua dan tidak dapat digunakan sama sekali maka wakaf ini tidak sah; karena keledai seperti ini tidak bisa dimanfaatkan, baik itu kegunaannya -karena telah tua- atau dagingnya pun tidak boleh dimakan karena keledai jinak termasuk hewan yang diharamkan, sebagaimana sabda Rasulullah:
Dari Abu Tsa’labah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengharamkan daging keledai jinak.” (HR. Bukhari dalam adh-Dhaba’ih wa ash-Shaid 9/570, Muslim dalam ash-Shaid wa adh-Dhaba’ih 5/13/90)
3. Barang yang diwakafkan tetap ada dan tidak habis walaupun telah dimanfaatkan.
Hal ini karena makna wakaf adalah mengabadikan suatu barang dan menjalankan kemanfaatannya di jalan Alloh. Sehingga kalau sesuatu yang diwakafkan itu habis, maka hal itu bukan dinamakan wakaf .
Misal, seandainya seseorang mewakafkan makanan dan minuman untuk fakir miskin, maka wakaf seperti ini tidak sah dikarenakan makanan dan minuman akan habis apabila dimanfaatkan.
4.Hendaknya mewakafkan sesuatu di jalan Alloh untuk selama-lamanya.
Hal ini dikarenakan makna wakaf adalahmengabadikan suatu barang dan menjalankan kegunaannya di jalan Alloh. Sehingga apabila mewakafkan hartanya untuk sementara waktu, misalnya setahun atau dua tahun, maka wakaf seperti ini tidak sah.
Misal, seseorang mengatakan: “Aku wakafkan rumahku untuk asrama para penuntut ilmu selama dua puluh tahun saja.” Maka wakaf ini tidak sah karena tidak diabadikan oleh pemiliknya.
5. Hendaknya pemilik harta tidak memberi syarat dalam wakafnya dengan syarat yang menyelisihi sahnya wakaf atau membatalkan wakaf tersebut.
Misalnya, apabila seseorang mengatakan: “Aku wakafkan rumahku untuk fakir miskin dengan syarat setelah berlalu setahun rumah itu kembali menjadi milikku” maka wakaf tersebut tidak sah dikarenakan adanya syarat yang membatalkan wakaf itu sendiri, sedangkan pemilik wakaf tidak boleh menjual atau memiliki kembali harta yang telah diwakafkan.
Beberapa hal yang berkaitan dengan sahnya wakaf
1. Wakaf yang telah sah -baik dengan cara perbuatan atau perkataan- harus dijalankan dan tidak boleh dibatalkan (dengan kata lain: orang yang mewakafkan tidak boleh rujuk/kembali kepada apa yang diwakafkan). Hal ini dikarenakan seseorang yang mewakafkan sebagian hartanya bermaksud mengeluarkan harta tersebut dari kepemilikannya dan mengabadikannya demi mendapat pahala dari Alloh Ta’ala, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan bahwa orang yang telah mewakafkan hartanya maka dia tidak boleh menjual, menghibahkan, dan tidak boleh mewariskan harta wakaf itu kepada ahli warisnya apabila dia meninggal dunia, sebagaimana hadits yang akan dijelaskan pada point berikutnya.
2. Orang yang mewakafkan hartanya tidak dapat menjual, menghibahkan, dan mewariskan kepada ahli warisnya apabila dia meninggal dunia, sebagaimana dalam hadits yang telah disebutkan:
Tidak boleh dijual, tidak boleh dibeli (oleh orang lain), tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan.(HR. Bukhari-Muslim)
3. Orang yang mewakafkan hartanya tidak boleh ditujukan pada dirinya sendiri.
Hal ini karena maksud wakaf adalah mengeluarkan harta dari dirinya di jalan Alloh ‘azza wa jalla, sehingga kalau dia mewakafkan hartanya untuk dirinya sendiri, maka hakikatnya dia tidak berbuat apa-apa atas hartanya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau berkata:
Aku tidak mengetahui adanya wakaf kecuali harta yang dikeluarkan (oleh pemiliknya) untuk Alloh Ta’ala atau di jalan-Nya.
4. Apabila seseorang mewakafkan hartanya untuk para fakir dan miskin, kemudian ternyata dia termasuk fakir atau miskin, maka dia boleh memanfaatkan dan menggunakan wakaf tersebut. Hal ini didasari oleh hadits Utsman radhiyallahu ‘anhubeliau mengatakan:
Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, sedangkan di sana tidak ada air segarkecuali air sumur Rumah, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang mau membeli sumur Rumah. kemudian (diwakafkan) dan timbanya diletakkan di sumur itu bersama timba kaummuslimin, maka dia akan mendapatkan pahala (sebab wakaf itu) berupa kebaikan di surga?” Maka aku membelinya dengan hartaku sendiri. (Hadits ini dihasankan oleh Imam Tirmidzi kitab al-Manaqib 18, dan disebutkan oleh Imam Bukhari secaraTa’liq/tanpa sanad)
Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa seorang yang mewakafkan sebuah sumur untuk kaum muslimin yang sedang membutuhkan air, maka dia (orang yang mewakafkan sumur tersebut) boleh juga memanfaatkan air sumur itu karena dia juga termasuk kaum muslimin yang membutuhkan air dari sumur tersebut. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “… dan timbanya diletakkan di sumur itu bersama timba kaum muslimin” yaitu dia bersama-sama kaum muslimin menggunakan air sumur tersebut dengan memakai timbanya atau timba kaum muslimin.
Begitu juga seseorang yang mewakafkan tanahnya untuk sebuah masjid, sekolah, atau pesantren, maka tidak diragukan lagi bagi orang yang mewakafkan tanahnya tersebut boleh memanfaatkan masjid untuk shalat di dalamnya, boleh juga belajar di sekolah dan pesantren tersebut.
5. Sesuatu yang sudah diwakafkan di jalan Alloh, maka tidak ada zakat atas harta tersebut, karena harta yang telah diwakafkan di jalan Alloh tidak menjadi milik siapa pun kecuali Alloh ‘azza wa jalla, sebagaimana dalam hadits riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Umar radhiyallahu ‘anhu sebagai petugas penarik zakat. Dalam hadits itu dijelaskan bahwa tidak ada kewajiban zakat atas Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu karena beliau telah mewakafkan hartanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
Adapun Khalid, dia telah mewakafkan harta dan senjata perangnya di jalan Alloh. (HR. Bukhari-Muslim)
6. Pengurus wakaf yang ditunjuk boleh memanfaatkan (menggunakan) wakaf dengan sewajarnya sebagai ganti pekerjaannya, hal ini sebagaimana dalam kelanjutan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma yang telah lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Boleh bagi pengurus wakaf untuk makan dari (harta wakaf) dengan sewajarnya.
7. Apabila harta wakaf sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi, maka boleh dipindahkan atau dijual harta wakaf tersebut kemudian diwujudkan lagi berupa wakaf yang semisalnya supaya wakaf tersebut tetap berjalan kegunaannya sesuai dengan maksud orang yang mewakafkan harta tersebut..
Misalnya, sebuah rumah wakaf yang telah rusak dan tidak dapat dipakai lagi, atau karena sudah ditinggalkan oleh penduduk tempat tersebut, maka boleh rumah itu dijual kemudian hasilnya dibelikan rumah kemudian dijadikan wakaf sebagaimana rumah yang telah dijual tadi, hal ini didasari oleh perkataan dan perintah Amirul Mu’minin Umar bin Khaththabradhiyallahu ‘anhu tatkala beliau mendengar bahwa baitul mal di negeri Kufah telah rusak:
Bahwasanya Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhumenulis surat kepada Sa’d radhiyallahu ‘anhu tatkala beliau mendengar bahwa baitul mal yang ada di negeri Kufah telah rusak: “Hendaknya engkaupindahkan masjid yang ada di Tamarin, dan jadikan (buatlah) baitul mal di sebelah kiblat masjid, karena sesungguhnya di masjid itu orang yang shalat senantiasa ada. “
Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah berkata: “(Karena tidak diketahui seorang sahabat Nabi yang mengingkari perintah Umar radhiyallahu ‘anhu ini), maka hal ini adalah ijma’/kesepakatan para sahabat Nabi.”
Syarat menjadi pengurus wakaf
1. Hendaknya seorang pengurus wakaf adalah seorang muslim. Karena asal hukum seorang muslim adalah amanah, sedangkan selaih muslim mempunyai sifat khianat. Oleh karena itu, Alloh melarang kaum muslimin memberi kesempatan untuk orang kafir mengkhianati orang muslim dengan jalan apa pun, sebagaimana firman-Nya:
وَلَن يَجْعَلَ اللّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً
Dan Alloh sekali-kali tidak memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk (mengalahkan) orang-orang yang beriman. (QS. an-Nisa’ [4]: 141)
2. Hendaknya pengurus wakaf adalah orang yang mengerti kemaslahatan harta, sehingga harta yang diwakafkan tidak segera habis atau tidak sia-sia. Oleh karena itu, Alloh berfirman:
فَإِنْ آنَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْداً فَادْفَعُواْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
Kemudian jika menurutmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkan kepada mereka harta-harta mereka. (QS. an-Nisa’ [4]: 6)
Dalam ayat ini Alloh melarang kita menyerahkan harta anak yatim kepada mereka (padahal harta itu milik mereka), kecuali kalau mereka telah pandai memelihara harta. Maka demikian juga, dilarang kita menyerahkan harta wakaf kepada pengurus wakaf yang tidak memiliki harta tersebut kecuali kalau mereka pandai memelihara harta.
3. Hendaknya pengurus wakaf memiliki kemampuan dan sifat amanah dalam mengurusi wakaf. Hal ini dikarenakan seseorang yang dibebani suatu amanah, dia harus menjalankan amanahnya dengan cara yang paling baik, dan hal ini tidak akan terwujud kecuali dengan adanya pengurus wakaf yang memiliki kemampuan dalam pengurusan wakaf tersebut. Sedangkan dibutuhkan sifat amanah karena kemampuan mengurusi wakaf saja tidak cukup untuk mewujudkan maksud orang yang mewakafkan hartanya. Oleh karena itu, Alloh Ta’ala berfirman:
إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
Sesungguhnya orang paling baik yang kamu ambil sebagai pekerja adalah orang yang kuat (mampu) lagi dapat dipercaya. (QS. al-Qashash [28]: 26)
Demikian yang dapat kami himpun dari pembahasan wakaf menurut syari’at Islam. Mudah-mudahan dapat memberi gambaran dan tambahan ilmu kepada kita semua sehingga kita dapat melakukan segala amalan di atas dasar ilmu yang benar sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Wallohu A’lam
Khotimah
Wakaf adalah sunnah Nabi saw dan generasisalafush shalih. Di dalamnya terkandung manfaat yang sangat besar, baik bagi waaqif, naadzir (pengurus waqaf), maupun orang-orang yang menerima dan berhak memanfaatkan waqaf.
Bagi waaqif, wakaf adalah investasi berharga di akherat kelak. Pasalnya, ketika banyak orang sudah tidak memiliki lagi “penghasilan akherat” akibat kematiannya, waaqif akan tetap mendapatkan aliran “penghasilan itu” sampai hari kiamat. Tentunya, hal ini merupakan kesuksesan luar biasa!
Waqaf juga menunjukkan kesempurnaan kebaikan seseorang. Jika kebaikan telah ada pada diri seseorang, niscaya hidupnya akan selalu dilimpahi kemudahan dan keberkahan dari Allah swt. Lantas, di saat kita masih diberi kesempatan hidup dan kelebihan harta oleh Allah, mengapa kita tidak bergegas untuk mewaqafkan harta kita di jalan Allah?
Wallohu A'lam
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
BalasHapusKAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.