Lima puluh tahun setelah jasad Rasulullah SAW dibaringkan disamping Masjid Nabawi, dunia Islam telah terbentang meliputi hampir setengah bumi. Gembala-gembala onta kini berpesta pora di istana-istana. Mereka telah menaklukkan Romawi dan Persia. Suara azan bergema mulai dari kota Alexandria di Mesir sampai ke dusun-dusun kecil di Azerbaijan. Berkat perjuangan Muhammad Rasulullah SAW, orang-orang Arab yang miskin kini menjadi penguasa dunia. Bangsa yang semula terasing disahara sekarang menentukan sejarah umat manusia.
Di Madinah, tidak jauh dari para Rasul yang agung, putera pendiri Islam tinggal dalam gubuk yang sederhana. Pada malam-malam yang dingin, ia menghabiskan waktunya dalam ruku’ dan sujud. Zikirnya menyobek kesepian malam, melantunkan lagu-lagu suci para Nabi. Lihatlah, ia datang berziarah ke pusara kakeknya. Ia merintih, mengadukan keadaan ummat yang Ia saksikan. Dalam gemerlap istana para penguasa, cahaya Islam telah padam, dalam bentangan daerah kekuasaan mereka, kaum mukminin yang saleh menderita karena penindasan. Istana-istana telah didirikan dengan merampas hak orang-orang yang lemah. Anggur yang diedarkan dalam cawan-cawan merah diperah dari keringat dan darah kaum muslimin.
Musik-musik dimainkan dengan membungkam suara pejuang kebenaran.
Ia sampaikan kepada Nabi apa yang dilakukan umamatnya. Nabi pernah berpesan agar ummatnya memelihara dua pusaka yang ditinggalkannya: Kitabullah dan Keluarganya, Ahlul Bayt-nya. Sekarang Al-Qur’an hanya tinggal bacaan. Para ulama sewaan memutarbalikkan maknanya. Lalu, dimana keluarga Nabi yang agung, dimana bahtera Nabi Nuh (a.s.), dimana gemintang petunjuk jalan ? Imam Ali (a.s.) dikhianati bekas pengikutnya. Ketika ruku’ pedang menebas kepalanya dan darah membasahi jenggotnya. Padahal di zaman Rasul yang agung, ketika ruku’ Imam Ali (a.s.) menyerahkan sedekahnya kepada peminta-pemintanya.
Masih terngiang ucapan Rasulullah kepada Imam Ali (a.s.), “Hai Ali, tidak akan mencintaimu kecuali orang mukmin, dan tidak akan membencimu kecuali orang munafik.” Ketika Imam Ali (a.s.) berperang tanding dengan Amer bin Abdul Wudd di Khandaq, Nabi sujud dan berdo’a: “Ya Allah, Engkau telah mengambil Ubaidah pada perang Badar dan Hamzah pada perang Uhud, jangan Engkau mengambil Ali, jangan tinggalkan aku sendirian.” Imam Ali menang, Rasulullah memeluknya, air mata, deras membasahi pipinya.
Kini putera Imam Ali, Al-Husein mendengar para khatib melaknat ayahnya di mimbar-mimbar. Imam Ali (a.s.) yang meruntuhkan benteng Khaibar, yang memenangkan perang Badar, kini dicaci maki. Imam Ali, suami puteri kesayangan Rasulullah dianggap murtad dari agama. Imam Ali yang tidur di ranjang Nabi ketika Nabi berangkat hijrah, yang mengantarkan hijrah keluarga Nabi dengan berjalan kaki ratusan kilo meter sehingga melepuh kedua telapak kakinya, kini dimusuhi kaum muslimin.
Imam Hasan (a.s.) bersedia berdamai asalkan Muawiyah menghentikan kecaman terhadap ayahnya, Ia dikhianati. Muawiyah melanggar janji. Bahkan Imam Hasan, penghulu surga ini diserang diatas kendaraannya dan diracun oleh orang yang terdekat dengannya. Para pecinta Imam Ali dikejar-kejar dan dianiaya. Lihatlah, Hujur bin Adi dan sahabat-sahabatnya dikubur hidup-hidup. Puluhan orang jama’ah Masjid dipotong tangannya karena tidak mau melaknat Imam Ali (a.s.).
Imam Husein (a.s.) menangis, merintih di depan pusara kakeknya. Ia mengadukan semua kezaliman ummat terhadap Ahlul Bayt dan para pengikutnya. Dengarkan Al-Husein berkata kepada kakeknya, “Salam bagimu, ya Rasulullah. Inilah aku, Al-Husein puteri fathimah. Kesayanganmua, cucumu dan pusaka yang kau tinggalkan kepada umatmu. Saksikan, ya Nabi Allah, mereka telah menghinaku, menyia-nyiakan aku, dan tidak menjagaku.
Aku mengadu kepada mu, sampai aku bertemu dengan mu”. Kemudian Imam Husein shalat beberapa rakaat. Setelah shalat, Ia berdo’a: “Ya Allah, inilah kubur Nabi-Mu, Muhammad SAW. Aku anak dari puteri Nabi-Mu. Telah terjadi padaku peristiwa yang telah Engkau ketahui. Ya Allah, aku mencintai kebaikan dan membenci kejahatan. Aku bermohon pada-Mu, wahai pemilik keagungan dan kemuliaan, dengan hak kubur inidan penghuninya. Pilihkan bagiku urusan yang Engkau ridhai, yang diridhai Rasul-Mu, yang diridhai kaum mukminin”. Ia menangis terus sampai menjelang waktu subuh.
Ia meletakkan kepalanya di atas pusara kakeknya sampai tertidur. Tiba-tiba Ia melihat Nabi yang mulia datang, dikawal para Malaikat disebelah kiri dan kanan, dimuka dan di belakang. Nabi merapatkan Al-Husein ke dadanya dan mencium diantara kedua matanya, sambil berkata, “Husein sayangku, seakan telah kulihat tubuhmu bersimbah darah, terbantai di Karbala, ditengah-tengah ummat-ku. Waktu itu engkau kehausan dan tidak diberi minum, engkau dahaga dan tidak dipuaskan. Padahal mereka mengharap syafa’at-ku. Tidak, mereka sama sekali tidak akan mendapat syafa’at-ku pada hari kiamat. Mereka binasa disisi Allah. Kasihku, Husein, ayahmu, ibumu dan saudaramu menitipkan salam padaku, mereka merindukannmu. Bagimulah derajat tinggi di surgayang tak tercapai kecuali dengan kesyahidan mu”.
Di makam Rasulullah, Imam Husein berjanji untuk menegakkan kembali Islam yang sebenarnya, Islam yang diajarkan oleh kakeknya. Islam yang menentang kezaliman, Islam yang melawan penindasan, Islam kaum mustadh’afin. Esoknya Ia menghimpun keluarganya, berangkat menuju Kufah. kepergiannya mengguncangkan hati banyak sahabat Nabi.
Ummu Salamah, Ummul Mukminin, isteri Rasulullah SAW mengantarkannya dengan linangan air mata. Ummu Salamah terkenang saat ia bersama Rasulullah. Dengarkan cerita Ummu Salamh: “Pada suatu malam Rasulullah berbaring untuk tidur, kemudian bangun kembali dalam keadaan resah, berbaring kembali lalu bangun kembali. Di tangannya ada segenggam tanah merah.
Ia mencium tanah itu. Aku bertanya, tanah apakah ini ya Rasulullah ?, Rasulullah menjawab, baru saja Jibril memberitakan padaku bahwa Al-Husein akan terbunuh di Karbala. Inilah tanah, tempat darahnya tumpah. Kemudian ia memberitakan padaku seraya berkata: Tanah ini berasal dari tanah tempat Al-Husein akan terbunuh. Kalau tanah ini nanti berubah menjadi darah, ketahuilah Al-Husein sudah terbunuh. Kemudian aku menyimpan tanah itu didalam botol. Aku bertanya, hari itu hari berkabung bila tanah ini telah berubah menjadi darah”.
Detik-detik Saat Darah Suci Mewarnai Tanah Karbala
Suasana kota Kufah tercekam kezaliman dan ketidak-adilan, ajaran Islam diselewengkan oleh penguasa zalim Ibnu Ziyad, Gubernur kepercayaan Yazid bin Muawiyah. Penduduk Kufah tidak tahan menghadapi kenyataan itu. Mereka mengirim surat kepada Imam Husein (a.s.), isinya mengharapkan bimbingan ruhani dari cucu kesayangan Rasulullah SAW. Mereka berjanji akan membai’at kepadanya sebagai khalifah mereka.
Setelah melakukan ibadah haji, Imam Husein beserta rombongannya pergi meninggalkan Makkah menuju Kufah untuk memenuhi harapan penduduk Kufah.
Menjelang senja tanggal 2 Muharram, Imam Husein dan rombongannya tiba di suatu tempat kurang lebih 70 km dari kota Kufah, tempat itu adalah Karbala. Di tempat itu Imam dan rombongannya berhenti. Selesai shalat dan berdo’a, Imam memerintahkan rombongannya memancangkan kemah-kemah untuk istirahat dan melepaskan lelah karena perjalanan yang cukup jauh.
Pengawasan yang begitu ketatnya oleh penguasa zalim, sehingga berita keberangkatan Imam Husein (a.s.) dan rombongan terdengar oleh Gubernur Kufah, Ibnu Ziyad mempersiapkan 4.000 orang yang merupakan pasukan dengan peralatan perang yang lengkap untuk menghadang Imam Husein (a.s.) dan rombongannya yang berjumlah 72 orang.
Matahari ketika itu sudah condong ke Barat, waktu Ashar sudah hampir lewat untuk digantikan oleh maghrib. Di perkemahan Alhusain r.a. suasana diliputi oleh kehausan dan kelesuan karena kekurangan air dan pangan. Suasana panas terik di petang hari itu tambah mencekam. Alhusain r.a. sendiri sedang duduk dengan tenang di depan kemahnya untuk sekedar melepaskan lelah dan mengendorkan ketegangan pikiran. Ia sama sekali tidak memperhatikan dan mengetahui apa yang sedang terjadi di kalangan pasukan Ubaidillah. Ia tidak mengetahui, bahwa seorang kurir dari Kufah telah datang membawa jawaban Ubaidillah bin Ziyad atas usul-usul yang dikemukakannya melalui Umar bin Saad.
Dan lebih-lebih lagi ia tidak mengetahui apa isi surat jawaban penguasa Kufah itu. Karena terlalu lelah dan payah, akhirnya Alhusain r.a. jatuh tertidur.
Sitti Zainab, adik perempuan yang selalu berada tidak begitu jauh dari tempatnya, tiba-tiba datang setengah berlari dan segera membangunkannya.
“Kak Husain! Kak Husain!” kata Sitti Zainab sambil menggoncang-goncangkan tangan kakaknya yang tertidur di depan kemahnya. Alhusain r.a. yang terkejut karena dibangunkan dengan tiba-tiba itu sebelum sempat menanyakan apa-apa yang telah ditukaskan oleh adiknya.
“Apakah kau tidak mendengar suara gemuruh yang makin mendekat itu?”
Suara Sitti Zainab yang mengandung ketakutan itu mendapat jawaban yang tenang dari kakaknya:
“Adikku,” kata Alhusain r.a. sambil memandang dengan kasih sayang kepada adik yang sangat disayanginyaitu, “Aku baru saja bermimpi bertemu dengan kakek kita, Rasul Allah s.a.w.”
Tanpa memperdulikan apa yang dikatakan oleh adiknya, Alhusain r.a. kemudian melanjutkan: “Dalam mimpi tersebut beliau mengatakan kepadaku demikian: ‘Wahai Husain, engkau akan datang menyusul aku!’…”
Mendengar mimpi kakaknya itu, Sitti Zainab tidak dapat menahan perasaannya lagi. Sambil memukuli wajahnya sendiri ia berteriak-teriak: “Aduh, alangkah celaka aku ini!”
Tetapi Alhusain r.a. tetap bersikap tenang, bahkan ia berusaha menenteramkan adiknya dengan kata-kata: “Engkau tidak akan celaka, Zainab. Diamlah, adikku. Tenanglah. Semoga Allah s.w.t. memberikan rahmat-Nya kepada engkau!”
Selesai mengucapkan kata-kata penenang bagi Sitti Zainab itu, Alhusain r.a. kemudian berdiri dan berjalan menuju ke tempat adiknya, yaitu Al-Abbas bin Ali. Kepada adik lelakinya itu Alhusain r.a. memerintahkan untuk mengecek apa sebenarnya suara gemuruh itu dan apakah memang benar bahwa suara itu adalah suara derap kuda-kuda musuh yang datang untuk menyerang mereka. Tidak perlu lama Alhusain r.a. menunggu jawaban, sebentar kemudian Al-Abbas bin Ali telah datang dengan tergesa-gesa.
“Musuh benar-benar telah mendekat dan siap untuk melakukan penyerangan guna membinasakan rombongan kita!” Demikian dilaporkan oleh Al-Abbas bin Ali.
Menerima laporan ini Alhusain r.a. segera mengirimkan seorang utusan untuk menemui komandan pasukan penyerbu itu. Ia mengusulkan agar supaya pertempuran ditunda sampai esok hari.
“Berikanlah kesempatan kepada kami pada hari ini untuk melakukan sholat dan ibadah kepada Allah s.w.t. untuk memohon do’a dan istighfar…” Demikian kata Alhusain r.a. kepada komandan pasukan ibnu Ziyad itu.
Menghadapi usul yang tiba-tiba itu, Umar bin Saad kemudian melakukan perundingan sebentar dengan komandan-komandan dan bawahannya dan beberapa orang perwira. Akhirnya pertempuran yang hampir saja pecah pada petang itu mereka mufakati untuk ditunda sampai esok pagi.
Malam hari itu juga setelah melakukan sholat Isya bersama-sama, maka Alhusain r.a. yang tahu betul bahwa pertumpahan darah sudah tidak akan bisa dielakkan lagi, segera mengumpulkan sahabat-sahabatnya yang masih tetap setia. Orang tahu betul bahwa pertempuran yang akan terjadi itu adalah sama sekali tidak seimbang. Tidak seorang pun di antara rombongan Alhusain r.a. yang punya harapan untuk menang.
Delapan puluh orang, termasuk anak-anak dan perempuan, untuk menghadapi empat batalyon pasukan yang terlatih dan lengkap persenjataannya! Hanya suatu keajaiban saja yang mungkin bisa membalikkan keadaan.
Kepada sejumlah kecil sahabatnya itu berkatalah cucu Rasul Allah s.a.w. sebagai berikut:
“Sungguh, belum pernah aku mengenal ada sahabat-sahabat yang melebihi kesetiannya (kepadaku) daripada kalian ini. Demikian pula, aku belum pernah tahu, ada suatu keluarga yang kebaikan hati mereka melebihi daripada keluargaku ini. Semoga Allah s.w.t. memberikan imbalan yang baik bagi kalian atas kebaikan dan kesetiaan kalian terhadap diriku…” Demikian ucap Alhusain r.a. pada malam menjelang pertempuran di tempat yang bernama Karbala itu.
Suasana hening, keprihatinan mencekam. Dengan beratapkan langit yang cerah dan berbintang, kelompok kecil itu dengan sungguh-sungguh memperhatikan Alhusain r.a.
“Ketahuilah saudara-saudaraku,” kata Alhusain r.a. melanjutkan, “bahwa aku memberikan ijin kepada kalian untuk berpisah dengan aku. Karena itu, berangkatlah. Biarlah kita berpisah dalam keadaan yang baik. Selamatkan diri kalian. Aku melepaskan kalian dengan baik dan tiada lagi ikatan antara kalian dengan aku…”
Kata-kata tersebut diucapkan dengan penuh rasa haru. Beberapa orang lelaki tidak dapat menahan perasaannya, melelehkan airmata. Sedangkan perempuan-perempuan yang merapatkan telinga di dinding tenda untuk mendengarkan apa yang diucapkan Alhusain r.a., terisak-isak. Malahan ada yang jadi histeris, berteriak-teriak melengking memecah kesepian malam. Tetapi tanpa memperdulikan semuanya itu, berkatalah Alhusain r.a. lebih jauh:
“… kini kita telah diselubungi oleh kegelapan malam. Nah, jadikan kegelapan ini sebagai tabir yang kiranya dapat melindungi kalian dalam perjalanan yang akan kalian lakukan. Aku mengharapkan agar tiap seorang di antara kalian bersedia membawa dan menuntun salah seorang anggota keluargaku. Kemudian pergilah menyebar di bumi Allah ini sehingga Allah s.w.t. memberikan jalan keluar bagi kalian semua…”
Berhenti sejenak ia mereguk rasa haru yang tersendat dalam kerongkongannya untuk kemudian melanjutkan dengan kata-kata:
“Hendaknya saudara-saudara mengetahui, bahwa pasukan musuh yang akan datang menyerang (esok pagi) tidak lain tujuannya kecuali untuk mencari aku. Kalau mereka kemudian sudah berhasil menangkap dan membunuh aku, maka aku yakin mereka tidak akan lagi memperdulikan orang-orang lain…”
Perasaan para pendengar yang sudah lama tertekan mendengarkan kata-kata Alhusain r.a. yang mengharukan itu akhirnya tidak dapat mereka endapkan lagi, dengan serentak, seolah-olah ada suatu perintah ajaib, mereka berseru:
“Ya, Subhanallaaah!” Lalu kemudian menyusul beberapa orang yang berkata dengan berbagai bentuk kalimat, tetapi satu juga maknanya demikian:
“Apa yang akan dikatakan orang kelak mengenai diri kami apabila kami meninggalkan Imam dan pemimpin kami sebelum kami melepaskan sepucuk anak panah dan belum menghunjamkan tombak dan menebaskan pedang-pedang kami terhadap musuh-musuh kita? Apakah kami akan mengatakan bahwa kami telah meninggalkan pemimpin kami, Alhusain, untuk menjadi umpan panah dan sasaran tombak musuh? Dan kemudian jenazah pemimpin kami itu kami biarkan dikoyak-koyak oleh binatang-binatang buas? Apakah kemudian kami akan mengatakan bahwa kami telah lari untuk menyelamatkan diri kami agar kami dapat terus hidup? Apa yang hendak kami katakan kepada kakekmu, Rasul Allah s.a.w., apabila kami bertemu dengan beliau di alam baqa nanti? Dan bagaimana pertanggungan jawab yang harus kami berikan kepada Allah s.w.t….?”
Suasana tenang yang mula-mula bersifat monolog mendengarkan ucapan Alhusain r.a. sekarang berubah menjadi ucapan reaksi bermacam-macam.
“Demi Allah,” kata beberapa orang, “kami tidak akan melakukan perbuatan demikian itu. Kami telah bertekad bulat untuk mengurbankan jiwa raga dan harta kami bahkan juga keluarga kami untuk bertempur bersama-sama dengan engkau sehingga kita bersama-sama menemui tempat yang memang disediakan untuk kita. Kami tidak dapat membayangkan, betapa buruknya kehidupan kami sepeninggal engkau!”
Bahkan salah seorang sahabat Alhusain r.a. itu dengan suara paling keras mengatakan: “Demi Allah, kami tidak akan berpisah dengan engkau selama pedangku masih berada di tanganku!”
Tidak dapat lagi Alhusain r.a. yang keras hati itu menahan airmata harunya mendengarkan kata-kata penuh keberanian yang dilandasi oleh ketulusan dan kecintaan pada dirinya itu. Melihat Alhusain r.a. meneteskan airmata, suasana emosionil penuh keberanian itu berubah menjadi tangis bersama. Bukan tangis hati yang kecut, tetapi ungkapan kesatuan perasaan yang tak dapat dibendung.
Tetapi Alhusain r.a. segera menyadari, bahwa malam itu tidak boleh dihabiskan dengan ungkapan emosi. Besok pagi telah menunggu tugas berat dan menentukan. Segera dimintanya segenap anggota rombongan untuk beristirahat dan sebagian orang lagi berjaga-jaga bergantian. Malam makin mendalam, sunyi makin mencekam. Ternyata orang-orang dewasa hampir tak ada yang dapat memejamkan mata. Mereka bukan dihinggapi kengerian, tetapi masing-masing dalam batin maupun ucapan menyampaikan do’a dan berzikir ke hadirat Yang Maha Esa. Mereka mohon agar iman mereka diteguhkan untuk menghadapi cobaan yang sudah menunggu di ambang pagi hari esok.
Di tengah-tengah kesepian yang mencekam di perkemahan Alhusain r.a. dan rombongannya itu, tiba-tiba memecah suara teriakan yang memilukan. Suara yang keluar dari kerongkongan seorang wanita itu seperti suatu keluhan:
“Ah, Husain, pemimpin kami, pemuka yang jadi harapan kami! Oh, alangkah menyedihkan hidupku ini. Alangkah baiknya apabila aku mati daripada harus memikul beban kesedihan ini. Datang kini perasaanku oleh wafat Rasul Allah s.a.w., berpulangnya Sitti Fatimah bundaku, meninggalnya ayahku dan matinya saudaraku Alhasan…”
Orang-orang segera mengetahui bahwa suara memilukan itu adalah keluhan Sitti Zainab, puteri Sitti Fatimah r.a. dan adik kandung Alhusain r.a. sendiri.
JALAN PERTEMPURAN KARBALA
imageSeorang penulis sejarah dan tokoh Islam, Atthobari, telah menulis bahwa dalam pertempuran antara dua kekuatan yang tidak seimbang itu, seorang demi seorang sahabat Alhusain r.a. maju mendesak ke depan menghadapi hujan panah dan sasaran tombak serta kibasan pedang. Kegagah-beranian mereka yang luar biasa saja yang memungkinkan mereka untuk bertahan melawan gelombang ribuan pasukan Umar bin Saad itu sampai tengah hari. Padahal pertempuran dimulai pada lepas fajar. Ketika saat dzohor tiba, Alhusain r.a. tidak lupa segera memerintahkan anggota pasukannya untuk menghentikan perlawanan sebentar guna dapat melaksanakan sholat dzohor.
Segera setelah selesai melakukan sholat itu, mereka kembali melanjutkan pertempuran. Tetapi sebagaimana sudah diduga semula, betapapun juga kegagah-beranian para pengikutnya, tetapi jumlah mereka yang kecil menghadapi lawan yang demikian besar, akhirnya tak dapat berlanjut. Pasukan Alhusain r.a. yang selalu mengelilingi putera Rasul Allah s.a.w. itu akhirnya satu per satu gugur hingga habis semua.
Tinggal lagi di antara rombongan Alhusain r.a. itu kemudian para anggota keluarga Alhusain r.a. sendiri. Majulah kemudian yang pertama di antara keluarga Alhusain r.a. itu, Abdullah,putera Muslim bin Aqil. Dengan penuh ketabahan ia menyerbu ke depan sambil mengucapkan syair yang berbunyi:
Bertemu ayahku aku hari ini
dan pemuda-pemuda yang gugur membela Nabi
Mereka adalah keturunan yang mulia
berbudi pekerti, bukan pendusta…
Menyusul kemudian tampil maju ke depan Abdullah, putera Alhasan bin Ali yang langsung disusul oleh Ali Al-akbar putera Alhusain r.a., seorang muda remaja yang baru mencapai usia 19 tahun. Mereka menerjang tanpa mengenal takut sedikit pun menghadapi musuh yang jauh lebih kuat. Dengan wajah yang memancar sebagai pencerminan suatu keberanian, putera Alhusain r.a. tersebut maju dengan pedang terhunus di tangan kanan. Juga di tengah bahaya maut ini ia terus bersyair dengan mengatakan:
Aku putera Husain bin Ali
Dari ahlul-bait yang terdekat pada Nabi
kutebaskan pedangku hingga melengkung
pukulan pemuda Bani Hasyim yang patut
hingga kini tetap aku pelindung ayahku,
Demi Allah, diperintah anak Ziyad aku tak mau.
Dengan mendendangkan syair ini ia terus menggebu-gebu menebaskan pedangnya ke tangah-tengah musuh. Riwayat menyatakan bahwa demikian kuat tenaga anak muda ini dan tangkas ia memainkan pedangnya, sehingga menurut taksiran tidak kurang dari 200 anggota pasukan Umar bin Saad yang berhasil dibunuhnya. Selesai menjalankan tugasnya dengan gagah berani itu Ali Al-akbar kemudian menyempatkan diri untuk menghadap ayahnya sambil berseru:
“Oh, ayah, aku haus sekali …”
Mendengar permintaan anaknya itu Alhusain r.a. yang tengah memusatkan tenaga dan keberaniannya menghadapi musuh sempat meneteskan air mata.
“Sabarlah, anakku sayang. Tidak lama lagi kakekmu Rasul Allah akan memberimu minum dari gelasnya…,” kata Alhusain r.a. dengan penuh kasih sayang. Mendengar jawaban ini, tanpa menghiraukan lagi kehausan yang mencekiknya, Ali Al-akbar kembali terjun ke medan laga. Segenap tenaganya dikerahkan untuk dapat lebih banyak menghabiskan riwayat musuh-musuhnya. Tetapi sepucuk anak panah tak lama kemudian menembus dadanya. Ia terjatuh tersungkur sambil memegangi bagian dada yang ditembus anak panah itu tepat di hadapan ayahnya.
Tanpa menghiraukan keadaan di sekelilingnya, Alhusain r.a. segera mendekati anaknya dan sambil memegang badan Ali Al-akbar berkatalah ia:
“Semoga Allah s.w.t. membunuh mereka yang membunuh engkau, anakku. Oh, alangkah beraninya mereka menentang Allah s.w.t. dan menginjak-injak kehormatan Rasul-Nya…”
Kata-kata Alhusain r.a. ini rupanya tak sempat lagi didengar oleh Ali Al-akbar, karena ia telah mendahului gugur di medan perang Karbala ini.
Rupanya para wanita yang berada dalam kemah-kemah rombongan Alhusain r.a. terus-menerus mengintip jalan pertempuran itu dari jarak yang begitu jauh. Tanpa menghiraukan bahaya desingan panah, Sitti Zainab yang melihat dengan jelas apa yang terjadi atas diri Ali Al-akbar, segera ia berlari meninggalkan kemahnya dan menuju ke tempat putera Alhusain r.a. itu gugur. Dengan berteriak-teriak:
“Oh, kekasihku… Ooooh, anak saudaraku,” ia kemudian memegang kepala Ali Al-akbar yang penuh berlumuran darah. Dipeluk dan diciumnya tubuh yang bermandikan darah itu dengan disertai tangis dan ratap yang mengibakan tanpa menghiraukan sama sekali bahwa di sekelilingnya sedang berkecamuk suatu pertempuran antara kekuatan yang kecil sekali melawan kekuatan besar. Alhusain r.a. yang segera menyadari bahaya ini segera memegang tangan adiknya dan membawanya kembali untuk masuk ke dalam kemah.
Adegan ini menjadi bertambah memilukan karena dari dalam kemah terdengar tangis bayi yang tiada henti-hentinya. Tangisan itu keluar dari mulut Ali Al-Asghar yang masih sangat kecil karena merasakan haus yang luar biasa. Alhusain r.a. yang datang mengantar adiknya seketika lupa akan tugasnya dalam pertempuran. Tangisan kesedihan anak bayinya itu telah menggerakkan hati seorang ayah. Segera diangkatnya anaknya dan dibawanya ke luar. Sambil menggendong anaknya itu Alhusain r.a. dengan berteriak mengatakan kepada orang-orang Kufah:
“Wahai warga Kufah! Tidakkah kalian takut pada siksaan Allah? Jika aku ini dalam pandanganmu adalah seorang yang dholim dan layak untuk dihukum mati, apa salah anak kecil yang masih menyusu ini, yang belum tahu apa-apa sama sekali? Mengapa kalian haramkan dia untuk mendapat setetes air untuk diminumnya? Tidakkah kalian lihat betapa kejam kehausan yang telah mencekam dirinya? Tidakkah kalian takut pada siksaan Allah kelak?” Demikian teriakan Alhusain r.a. penuh rasa kejengkelan dan kegemasan sambil mengacungkan bayi di bawah terik matahari dan kepulan debu akibat pertempuran yang masih terus berlangsung, meskipun sudah mulai mereda karena makin habis anggota rombongan Alhusain r.a. Bayi itu terus menangis melampiaskan suara memilukan.
Ternyata Alhusain r.a. telah berteriak pada orang-orang yang membuta dan memekak. Mereka sudah tidak mendengar lagi kata-kata “Allah”. Syaithan rupanya sudah terlalu dalamt merasuki jiwa mereka. Bahkan seorang prajurit Kufah telah menyambut pandangan berupa anak kecil dan tangisan yang minta dibelas-kasihani itu dengan merentangkan panahnya dan melepaskan anak panah langsung ditujukan kepada bayi yang berada di tangan Alhusain r.a. tersebut. Sambil melepaskan anak panah yang lepas dari busurnya itu prajurit yang sudah menjadi syaithan bertubuh manusia itu berseru dengan geram:
“Inilah air minum yang dimintanya itu!”
Anak panah itu lepas dari busurnya dan menembus perut anak yang masih suci bersih. Suatu jeritan pendek menandai kesakitan sekejap keluar dari mulut Ali Al-asghar, karena sebentar kemudian anak itu meninggal dunia. Hilang kehausannya bersama dengan hilangnya nyawa dari tubuhnya yang terkena anak panah tersebut. Terkejut dan tertegun Alhusain r.a. memandangi anaknya yang berlumuran darah dan masih berada dipelukannya itu. Tak percaya ia bahwa manusia bisa berbuat sedemikian kejam. Lagi-lagi, tanpa disadarinya air mata mengucur dari matanya bercampur dengan keringat dan debu yang sudah mengotori wajahnya. Dibiarkannya air mata itu mengalir dan sambil memandang ke langit ia berkata:
“Ya Allah, jika Engkau memang telah menahan kemenangan bagi kami di dunia ini, maka berilah kiranya kami kemenangan yang lebih baik. Ya Allah, jatuhkanlah pembalasan-Mu yang setimpal terhadap orang-orang yang durhaka dan dholim itu…” Kemudian dengan perlahan-lahan ia berjongkok dan meletakkan anaknya yang sudah tidak bernyawa itu di tanah berpasir, di samping saudara-saudaranya yang telah terlebih dahulu gugur.
ALHUSAIN R.A. DIKEROYOK
Pemandangan yang seharusnya mengharukan orang-orang yang normal, ternyata sama sekali tidak merubah semangat orang-orang Kufah, anggota tentara Yazid itu. Segera dari berbagai jurusan mereka mengepung Alhusain r.a.. Alqasim, putera Al-hasan bin Ali melihat bahaya besar yang sedang mengancam pamannya, segera ia menyerbu untuk melindungi pamannya itu. Padahal Alqasim sebenarnya belum layak untuk maju ke medan pertempuran. Ia masih seorang kanak-kanak dan usianya baru pada awal belasan tahun. Sitti Zainab yang melihat tindakan Alqasim itu segera berdiri untuk mencoba menghalang-halangi. Tetapi ternyata gerakannya kalah cepat dengan gerakan seorang prajurit Kufah yang mengayunkan pedangnya ke arah Alhusain r.a. Pedang besar itu berayun ke leher Alhusain r.a. sedang Alqasim yang kecil itu berusaha menahan tebasan tersebut dengan tangannya sambil berseru:
“Hai bedebah! Apakah engkau akan membunuh pamanku?”
Dengan mata kepalanya sendiri Sitti Zainab menyaksikan pedang besar yang hendak menebas leher Alhusain r.a. itu ternyata telah menebas tangan anak kecil tersebut. Sitti Zainab memekik melihat pemandangan yang mengerikan itu. Melihat salah satu tangannya putus, maka Alqasim berteriak kesakitan:
“Oh, ibu…, aduh ibu…” Ia kemudian jatuh tertelentang ke tanah. Mendengar keluh kesakitan anak itu Sitti Zainab kemudian menyahut dari jauh:
“Anakku! Aku datang, anakku!” Segera ia berlari mendekati Alqasim. Tetapi tiba-tiba ia menengadah dan melihat Alhusain r.a. sudah berdiri tegak di dekat kepala Alqasim. Berkatalah Alhusain r.a. kepada anak yang sudah kehilangan salah satu tangannya itu:
“Sabarlah, wahai putera saudaraku, menghadapi apa yang telah menimpa dirimu. Sebentar lagi engkau pasti akan bertemu dengan ayahmu dan orang-orang soleh yang bersama dengan ayahmu. Demi Allah, berat sekali bagi pamanmu ini untuk mendengar panggilanmu itu tanpa dapat memberikan pertolongan kepadamu. Demi Allah…, hari ini benar-benar hari yang banyak sekali dengan pembunuh dan sedikit sekali dengan penolong…”
Perlahan-lahan kemudian diangkatnya Alqasim dan didekapkannya di dadanya Sesudah itu anak yang juga telah meninggal dunia itu dilktakkan di samping putera-puteranya yang telah terlebih dahulu gugur.
Gugurlah kemudian satu per satu putera-putera saudara-saudara Alhusain r.a. yang lain laksana gugurnya bunga-bunga yang masih segar ditimpa kekeringan yang tiba-tiba menghiasi persada Karbala yang gersang dan kering itu. Al-Abbas, Ja’far, Abdullah, Usman, Muhammad Al-asghar dan Abubakar beserta kedua anak Sitti Zainab, masing-masing On dan Muhammad berguguran. Menyusul kemudian putera Alhasan bin Ali r.a., yaitu Abubakar dan putera paman Alhusain r.a., Aqil bin Abitholib, yaitu Ja’far, Abdurrahman dan Abdullah. Belum pernah pada suatu tempat demikian banyak yang gugur keluarga Rasul Allah s.a.w. pada waktu yang demikian singkat. Sebagian besar mereka itu adalah orang-orang yang masih sangat muda, bahkan anak-anak, bunga-bunga yang sedang kuncup.
Walaupun pertempuran makin tidak seimbang, tetapi perkelahian tidak kalah dahsyatnya. Sisa-sisa rombongan Alhusain r.a. yang makin kecil itu memberikan perlawanan yang makin sengit. Darah membasahi bumi Karbala. Udara dipenuhi oleh debu dan bau darah segar yang anyir. Burung-burung yang semula tidak nampak segera terbang berputar-putar di angkasa Karbala setelah mencium bau darah manusia yang segar itu. Perempuan-perempuan yang ada di kemah-kemah sudah tidak terdengar lagi tangisnya; airmata rupanya telah kering dan duka sudah terlalu mendalam. Segenap anggota keluarga Alhusain r.a. sekarang telah gugur semua. Pada saat itulah maka tiba-tiba sepuluh orang anggota pasukan Kufah maju menyerbu ke kemah kediaman Alhusain r.a. dengan tujuan untuk melakukan perampokan dan perampasan atas harta Alhusain r.a. yang masih ada. Mereka berpesta pora mengambili dan mengangkuti apa saja yang ada dalam kemah tersebut.
Melihat tindakan biadab itu, Alhusain r.a. segera meloncat dan menyerbu orang-orang yang sedang berpesta pora itu.
“Cilaka kalian. Kalau kalian sudah tidak punya agama lagi, berlakulah seperti orang merdeka yang berjiwa luhur dan jangan bertingkah laku seperti budak-budak belian yang berjiwa hina!” kata Alhusain r.a. dengan penuh kegeraman.
Kemarahan itu ternyata telah menaikkan lagi tenaga dan semangat Alhusain r.a. Serbuannya membuat kalang kabut mereka yang sedang berebut harta itu. Peristiwa ini merupakan puncak dari pertempuran Karbala. Tiga orang, Alhusain r.a. dan dua sahabatnya, berhadapan dengan 3.000 orang prajurit musuh.
GUGURNYA ALHUSAIN R.A
Pertempuran di Karbala yang bermula sejak fajar itu berlangsung terus sampai petang. Pasukan kecil yang dipimpin oleh Alhusain r.a. makin habis. Ketika habis Asar tinggal 3 orang yang masih mampu memberikan perlawanan. Dan ketika sinar matahari sudah mulai melembut menjelang rembang petang, akhirnya tinggal Alhusain r.a. sendiri yang terus melakukan perlawanan. Seorang dikerubuti oleh tidak kurang dari 3.000 orang.
Ketika melihat bahwa dari rombongan Alhusain r.a. tinggal seorang, yaitu Alhusain r.a. sendiri, maka pasukan Ubaidillah ibn Ziyad yang sudah kerasukan setan tiba-tiba seperti ragu-ragu. Tetapi Alhusain r.a. tidak memperdulikan sikap musuhnya itu. Dengan pedang di tangan yang sudah penuh berlumuran darah, baju yang sudah lusuh, berdebu dan koyak-koyak serta muka hitam mengkilat karena keringat dan debu, Alhusain r.a. terus melakukan penyerangan. Siapa saja yang ada di hadapannya, pasukan pejalan kaki atau berkuda diserangnya. Bagaikan seekor harimau yang sudah luka disertai teriakan membesarkan nama Allah s.w.t., ia mengibaskan pedangnya ke kanan dan ke kiri, ke depan dan ke belakang. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung.
Tak seorang pun di antara tentara Kufah yang beribu jumlahnya itu berani menyerbu dan mendekati. Mereka mencoba menghindar dan dari jarak agak jauh baru mereka melepaskan anak-anak panah. Petang itu medan Karbala seolah-olah kejatuhan hujan. Tetapi bukan hujan air. Yang dihujani adalah tubuh Alhusain r.a. seorang diri dan yang menghujani adalah anak-anak panah yang berdesing lepas dari busur-busur orang-orang Kufah itu. Demikian hebat anak panah menghujani tubuh cucu Rasul Allah s.a.w., sehingga orang yang menyaksikan peristiwa tersebut melihat Alhusain r.a. seolah-olah berselubung kulit landak.
Matahari makin condong ke barat, udara makin menyejuk. Tetapi hati Alhusain r.a. semakin panas dan juga darah panas mengalir dari luka-lukanya. Bagaimanapun hebat syaitan telah menyelusup ke dalam tubuh orang-orang Kufah itu, rupanya ada juga sebetik ketakutan di hati kecil mereka menghadapi turunan langsung Rasul Allah s.a.w. itu. Mereka dihinggapi kebimbangan untuk menjadi pembunuh Alhusain r.a.. Dalam keadaan yang berlarut-larut inilah kemudian seorang bernama Syammar dzil Jausyan, seorang pembenci ahlul-bait khususnya Alhusain r.a. akhirnya tidak dapat mengekang nafsu haus-darahnya. Ia makin panas melihat Alhusain r.a. tidak juga sudi menyerah, sedangkan kawan-kawannya ragu-ragu untuk memberikan “tembakan akhir” untuk mematikan Alhusain r.a. Dengan suara lantang ia kemudian berseru:
“Hayo, apa kalian! Kepung dan seranglah dengan serentak dia!”
Hujan anak panah makin menghebat. Kuda tunggangan Alhusain r.a. akhirnya tak dapat bertahan lagi dan jatuh tertelungkup dengan mengeluarkan ringkikan maut yang mengerikan. Tanpa memperdulikan kejatuhan kudanya, Alhusain r.a. kemudian tegak berdiri terus melanjutkan perlawanannya. Sekarang bukan lagi anak panah, tetapi tebasan pedang dan tusukan tombak bertubi-tubi menyerangnya dari segala jurusan. Darah membasahi seluruh tubuhnya. Jubah yang dikenakannya sudah berubah warna merah kecoklat-coklatan. Sehari ia bertempur tiada hentinya. Suatu dorongan ajaib rupanya telah membuat ia tidak kenal lelah dan tak ingat haus. Tetapi, bagaimanapun juga batas kekuatannya tidak bisa terlewati lagi. Sepucuk anak panah beracun tiba-tiba menancap dalam tubuhnya tepat mengenai jantungnya. Pertama kali orang mendengar ia mengeluarkan erangan kesakitan. Masih sempat ia memegang anak panah yang menancap itu dan dengan sisa tenaga yang masih ada ia mencabut anak panah tersebut sambil mengeluarkan suara mengerang, karena darah telah memenuhi kerongkongannya:
“Oh, Tuhanku, ya Ilahi, engkau tahu mereka telah membunuh putera nabi-Mu…, dan di dunia ini tiada putera nabi lain daripada aku…” Anak panah itu tercabut juga diikuti oleh darah yang menyembur. Badannya terasa makin lemah dan lesu. Akhirnya Alhusain r.a., putera Sitti Fatimah Azzahra, cucu Rasul Allah s.a.w. itu roboh mencium bumi Karbala yang sudah disirami oleh darah banyak ahlul-bait dan putera-putera Bani Hasyim.
Gugurlah cucu Rasul Allah s.a.w, itu setelah melakukan perlawanan mati-matian sampai pada detik yang terakhir. Suasana tiba-tiba hening. Burung-burung gagak pemakan mayat yang berterbangan di atas medan pertempuran Karbala dengan mengeluarkan suara-suara bergaok yang mengerikan. Juga anggota-anggota pasukan Umar bin Saad yang semula hiruk pikuk tiba-tiba berhenti berteriak-teriak dan menyaksikan rubuhnya putera Rasul Allah s.a.w. itu.
Tetapi peristiwa yang mencekam itu tidak berlangsung lama. Syammar bin Dzil Jausyan yang sangat membenci ahlul bait itu segera berteriak:
“Hayo! Mengapa kalian melongo saja? Hayo habiskan jiwanya!” Perintah nya ini segera menyadarkan anak buahnya yang tengah terpukau itu. Seorang yang bernama Zar’ah bin Syarik tiba-tiba maju dan menebaskan pedangnya. ke arah pundak Alhusain r.a. yang sebelah kiri hingga tercerai dari badannya. Alhusain r.a. yang sudah tidak berdaya makin bermandikan darah yang masih hangat. Melihat itu Syammar ibnu Dzil Jausyan kemudian datang mendekati tubuh Alhsain r.a. yang sudah tergeletak tak berdaya itu. Pedang yang ada di tangannya kemudian diangkat tinggi-tinggi dan dengan kuat diayunkannya ke leher Alhusain r.a. yang tertelungkup di tanah. Sekali tebas terpisahlah kepala dari tubuh. Tanpa ragu-ragu segera dipegangnya rambut Alhusain r.a. dan diangkatnya kepala itu tinggi-tinggi. Dengan lagak kemenangan dan sinar mata yang mencerminkan jiwa kesetanan, kepala itu kemudian dibawanya menuju ke tempat komandan pasukan, yaitu Umar bin Saad. Ribuan pasang mata prajurit Kufah mengikuti peristiwa mengerikan ini. Sampai di dekat Umar bin Saad. Syammar kemudian menyerahkan kepala Alhusain r.a. Komandan pasukan Kufah menerimanya untuk “dipersembahkannya” kepada Ubaidillah bin Ziyad di Kufah.
URGENSI SANAD
Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan dalam kitab Aqidah al-Wasithiyyah : "Ahlussunnah menahan lidah dari permasalahan atau pertikaian yang terjadi diantara para Sahabat Radhiyallahu 'anhum. Dan mereka juga mengatakan: “Sesungguhnya riwayat-riwayat yang dibawakan dan sampai kepada kita tentang keburukan-keburukan para Sahabat Radhiyallahu 'anhum (pertikaian atau peperangan) ada yang dusta dan ada juga yang ditambah, dikurangi dan dirubah dari aslinya (serta ada pula yang shahih). Riwayat yang shahih. menyatakan, bahwa para Sahabat Radhiyallahu 'anhum ini ma'dzûrûn (orang-orang yang diberi udzur). Baik dikatakan karena mereka itu para mujtahid yang melakukan ijtihad dengan benar ataupun juga para mujtahid yang ijtihadnya keliru.”
Ahlussunah wal Jama'ah memposisikan riwayat-riwayat ini. Ketiga riwayat ini bertebaran dalam kitab-kitab tarikh (sejarah). Dan ini mencakup semua kejadian dalam sejarah Islam, termasuk kisah pembunuhan Husain bin Ali Radhiyallahu 'anhuma di Karbala. Sebagian besar riwayat tentang peristiwa menyedihkan ini adalah kebohongan belaka. Sebagian lagi dhaif dan ada juga yang shahih. Riwayat yang dinyatakan shahih oleh para ulama ahli hadits yang bersesuaian dengan kaidah ilmiah dalam ilmu hadits, inilah yang wajib dijadikan pedoman dalam mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Dari sini, kita dapat memahami betapa sanad itu sangat penting untuk membungkam para pendusta dan membongkar niat busuk mereka.
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah mengatakan, "Sanad itu senjata kaum muslimin, jika dia tidak memiliki senjata lalu apa yang dia pergunakan dalam berperang" Perkataan ini diriwayatkan oleh al-Hâkim dalam kitab al-Madkhal.
'Abdullah bin Mubârak rahimahullah mengatakan, "Sanad ini termasuk bagian dari agama. kalau tidak ada isnad, maka siapapun bisa berbicara semaunya." Perkataan ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah kitab Shahih beliau rahimahullah.
Di tempat yang sama, Imam Muslim raimahullah juga membawakan perkataan Ibnu Sîrin, "Dahulu, mereka tidak pernah bertanya tentang sanad. Ketika fitnah mulai banyak, mereka mengatakan, "Sebutkanlah nama orang-orangmu yang meriwayatkannya" !
KRONOLOGI TERBUNUHNYA SAYIDINA HUSAIN RADHIYALLAHU 'ANHU
Berkait dengan peristiwa Karbala, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, "Orang-orang yang meriwayatkan pertikaian Husain Radhiyallahu 'anhu telah memberikan tambahan dusta yang sangat banyak, sebagaimana juga mereka telah membubuhkan dusta pada peristiwa pembunuhan terhadap 'Utsman Radhiyallahu 'anhu, sebagaimana mereka juga memberikan tambahan cerita (dusta) pada peristiwa-peristiwa yang ingin mereka besar-besarkan, seperti dalam riwayat mengenai peperangan, kemenangan dan lain sebagainya. Para penulis tentang berita pembunuhan Husain Radhiyallahu 'anhu, ada diantara mereka yang merupakan ahli ilmu (ulama) seperti al-Baghawi rahimahullah dan Ibnu Abi Dun-ya dan lain sebagainya. Namun demikian, diantara riwayat yang mereka bawakan ada yang terputus sanadnya. Sedangkan yang membawakan cerita tentang peristiwa ini dengan tanpa sanad, kedustaannya sangat banyak"
Oleh karenanya, dalam pembahasan tentang peristiwa ini perlu diperhatikan sanadnya.
RIWAYAT SHAHIH TENTANG PERISTIWA KARBALA
Riwayat yang paling shahih ini dibawakan oleh Imam al-Bukhâri, no, 3748 :
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنِي حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مُحَمَّدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أُتِيَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ بِرَأْسِ الْحُسَيْنِ فَجُعِلَ فِي طَسْتٍ فَجَعَلَ يَنْكُتُ وَقَالَ فِي حُسْنِهِ شَيْئًا فَقَالَ أَنَسٌ كَانَ أَشْبَهَهُمْ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ مَخْضُوبًا بِالْوَسْمَةِ
"Aku diberitahu oleh Muhammad bin Husain bin Ibrâhîm, dia mengatakan : aku diberitahu oleh Husain bin Muhammad, kami diberitahu oleh Jarîr dari Muhammad dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu 'anhu, dia mengatakan : Kepala Husain dibawa dan didatangkan kepada 'Ubaidullah bin Ziyâd. Kepala itu ditaruh di bejana. Lalu 'Ubaidullah bin Ziyâd menusuk-nusuk (dengan pedangnya) seraya berkomentar sedikit tentang ketampanan Husain. Anas Radhiyallahu 'anhu mengatakan, "Diantara Ahlul bait, Husain adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam." Saat itu, Husain Radhiyallahu 'anhu disemir rambutnya dengan wasmah (tumbuhan, sejenis pacar yang condong ke warna hitam)"
Kisahnya, Husain bin Ali Radhiyallahu 'anhuma tinggal di Mekah bersama beberapa Shahabat, seperti Ibnu 'Abbâs dan Ibnu Zubair Radhiyallahu 'anhuma. Ketika Muawiyah Radhiyallahu 'anhu meninggal dunia pada tahun 60 H, anak beliau Yazîd bin Muâwiyah menggantikannya sebagai imam kaum muslimin atau khalifah. Saat itu, penduduk Irak yang didominasi oleh pengikut 'Ali Radhiyallahu 'anhu menulis surat kepada Husain Radhiyallahu 'anhuma meminta beliau Radhiyallahu 'anhuma pindah ke Irak. Mereka berjanji akan membai'at Husain Radhiyallahu 'anhuma sebagai khalifah karena mereka tidak menginginkan Yazîd bin Muâwiyah menduduki jabatan Khalifah. Tidak cukup dengan surat, mereka terkadang mendatangi Husain Radhiyallahu 'anhuma di Mekah mengajak beliau Radhiyallahu 'anhu berangkat ke Kufah dan berjanji akan menyediakan pasukan. Para Sahabat seperti Ibnu Abbâs Radhiyallahu 'anhuma kerap kali menasehati Husain Radhiyallahu 'anhuma agar tidak memenuhi keinginan mereka, karena ayah Husain Radhiyallahu 'anhuma, Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu, dibunuh di Kufah dan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu khawatir mereka membunuh Husain juga disana. Husain Radhiyallahu 'anhuma mengatakan, "Saya sudah melakukan istikharah dan akan berangkat kesana".
.
Sebagian riwayat menyatakan bahwa beliau Radhiyallahu 'Anhu mengambil keputusan ini karena belum mendengar kabar tentang sepupunya Muslim bin 'Aqil yang telah dibunuh di sana.
Akhirnya, berangkatlah Husain Radhiyallahu 'anhu bersama keluarga menuju Kufah.
Sementara di pihak yang lain, 'Ubaidullah bin Ziyâd diutus oleh Yazid bin Muawiyah untuk mengatasi pergolakan di Irak. Akhirnya, 'Ubaidullah dengan pasukannya berhadapan dengan Husain Radhiyallahu 'Anhu bersama keluarganya yang sedang dalam perjalanan menuju Irak. Pergolakan ini sendiri dipicu oleh orang-orang yang ingin memanfaatkan Husain Radhiyallahu 'Anhu. Dua pasukan yang sangat tidak imbang ini bertemu, sementara orang-orang Irak yang membujuk Husain Radhiyallahu 'Anhu, dan berjanji akan membantu dan menyiapkan pasukan justru melarikan diri meninggalkan Husain dan keluarganya berhadapan dengan pasukan Ubaidullah. Sampai akhirnya, terbunuhlah Husain Radhiyallahu 'Anhu sebagai orang yang terzhalimi dan sebagai syahid. Kepalanya dipenggal lalu dibawa kehadapan 'Ubaidullah bin Ziyâd dan kepala itu diletakkan di bejana.
Lalu 'Ubaidullah yang durhaka ini kemudian menusuk-nusuk hidung, mulut dan gigi Husain, padahal di situ ada Anas bin Mâlik, Zaid bin Arqam dan Abu Barzah al-Aslami Radhiyallahu 'anhum. Anas Radhiyallahu 'anhu mengatakan, "Singkirkan pedangmu dari mulut itu, karena aku pernah melihat mulut Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mencium mulut itu!" Mendengarnya, orang durhaka ini mengatakan, "Seandainya saya tidak melihatmu sudah tua renta yang akalnya sudah rusak, maka pasti kepalamu saya penggal."
Dalam riwayat at- Tirmidzi dan Ibnu Hibbân dari Hafshah binti Sirîn dari Anas Radhiyallahu 'anhu dinyatakan :
فَجَعَلَ يَقُوْلُ بِقَضِيْبٍ لَهُ فِي أَنْفِهِ
"Lalu 'Ubaidullah mulai menusukkan pedangnya ke hidung Husain Radhiyallahu 'anhu".
Dalam riwayat ath-Thabrâni rahimahullah dari hadits Zaid bin Arqam Radhiyallahu 'anhu :
فَجَعَلَ قَضِيْبًا فِي يَدِهِ فِي عَيْنِهِ وَأَنْفِهِ فَقُلْتُ ارْفَعْ قَضِيْبَكَ فَقَدْ رَأَيْتُ فَمَّ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَوْضِعِهِ
"Lalu dia mulai menusukkan pedang yang di tangannya ke mata dan hidung Husain Radhiyallahu 'anhu. Aku (Zaid bin Arqam) mengatakan, "Angkat pedangmu, sungguh aku pernah melihat mulut Rasulullah (mencium) tempat itu".
Demkian juga riwayat yang disampaikan lewat jalur Anas bin Mâlik Radhiyallahu 'anhu :
فَقُلْتُ لَهُ إِنِّي رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَلْثِمُ حَيْثُ تَضَعُ قَضِيْبَكَ , قَالَ : " فَانْقَبَضَ
Aku (Anas bin Malik) mengatakan kepadanya, "Sungguh aku telah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mencium tempat dimana engkau menaruh pedangmu itu." Lalu Ubaidullah mengangkat pedangnya.
Demikianlah kejadiannya, setelah Husain Radhiyallahu 'anhuma terbunuh, kepala beliau Radhiyallahu 'anha dipenggal dan ditaruh di bejana. Dan mata, hidung dan gigi beliau Radhiyallahu 'anhu ditusuk-tusuk dengan pedang. Para Sahabat Radhiyallahu anhum yang menyaksikan hal ini meminta kepada 'Ubaidullah orang durhaka ini, agar menyingkirkan pedang itu, karena mulut Rasulullah pernah menempel tempat itu. Alangkah tinggi rasa hormat mereka kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan alangkah sedih hati mereka menyaksikan cucu Rasulullah Shallallahu 'aiahi wa sallam, orang kesayangan beliau dihinakan di depan mata mereka.
Dari sini, kita mengetahui betapa banyak riwayat palsu tentang peristiwa ini yang menyatakan bahwa kepala Husain Radhiyallahu 'anhuma diarak sampai diletakkan di depan Yazid rahimahullah. Para wanita dari keluarga Husain Radhiyallahu 'anhuma dikelilingkan ke seluruh negeri dengan kendaaraan tanpa pelana, ditawan dan dirampas. Semua ini merupakan kepalsuan yang dibuat Rafidhah (Syiah). Karena Yazid saat itu sedang berada di Syam, sementara kejadian memilukan ini berlangsung di Irak.
Syaikhul Islam Taimiyyah rahimahullah mengatakan, "Dalam riwayat dengan sanad yang majhul dinyatakan bahwa peristiwa penusukan ini terjadi di hadapan Yazid, kepala Husain Radhiyallahu 'anhuma dibawa kehadapannya dan dialah yang menusuk-nusuknya gigi Husain Radhiyallahu 'Anhu. Disamping dalam cerita (dusta) ini terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa cerita ini bohong, maka (untuk diketahui juga) para Sahabat yang menyaksikan peristiwa penusukan ini tidak berada di Syam, akan tetapi di negeri Irak. Justru sebaliknya, riwayat yang dibawakan oleh beberapa orang menyebutkan bahwa Yazid tidak memerintahkan 'Ubaidullah untuk membunuh Husain."
Yazid rahimahullah sangat menyesalkan terjadinya peristiwa menyedihkan itu. Karena Mu'awiyah berpesan agar berbuat baik kepada kerabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka, saat mendengar kabar bahwa Husain dibunuh, mereka sekeluarga menangis dan melaknat 'Ubaidullah. Hanya saja dia tidak menghukum dan mengqisas 'Ubaidullah, sebagai wujud pembelaan terhadap Husain secara tegas.
Jadi memang benar, Husain Radhiyallahu 'Anhu dibunuh dan kepalanya dipotong, tapi cerita tentang kepalanya diarak, wanita-wanita dinaikkan kendaraan tanpa pelana dan dirampas, semuanya dhaif (lemah). Alangkah banyak riwayat dhaif serta dusta seputar kejadian menyedihkan ini sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di atas.
Kemudian juga, kisah pertumpahan darah yang terjadi di Karbala ditulis dan diberi tambahan-tambahan dusta. Tambahan-tambahan dusta ini bertujuan untuk menimbulkan dan memunculkan fitnah perpecahan di tengah kaum muslimin. Sebagian dari kisah-kisah dusta itu bisa kita dapatkan dalam kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Minhâjus Sunnah IV/517 dan 554, 556 :
- Ketika Hari pembunuhan terhadap Husain, langit menurunkan hujan darah lalu menempel di pakaian dan tidak pernah hilang dan langit nampak berwarna merah yang tidak pernah terlihat sebelum itu.
- Tidak diangkat sebuah batu melainkan di bawahnya terdapat darah penyembelihan Husain Radhiyallahu 'anhuma.
- Kemudian mereka juga menisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebuah perkataan yang berbunyi :
هَؤُلَاءِ وَدِيْعَتِيْ عِنْدَكُمْ
Mereka ini adalah titipanku pada kalian, kemudian Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat :
"Katakanlah:"Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan" [asy Syûrâ/42:23]
Riwayat ini dibantah oleh para ulama diantaranya Ibnu Taimiyyah rahimahullah dengan mengatakan, "Apa masuk di akal, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menitipkan kepada makhluk padahal Allah Azza wa Jalla tempat penitip yang terbaik. Sedangkan ayat di atas yang mereka anggap diturunkan Allah Azza wa Jalla berkenaan dengan peristiwa pembunuhan Husain Radhiyallahu 'Anhu, maka ini juga merupakan satu bentuk kebohongan. Karena ayat ini terdapat dalam surat as-Syûrâ dan surat ini Makkiyah. Allah Azza wa Jalla menurunkan surat ini sebelum Ali Radhiyallahu 'anhu dan Fathimah Radhiyallahu anha menikah.
SAYIDINA HUSAIN RADHIYALLAHU 'ANHU TERBUNUH SEBAGAI ORANG YANG TERZHALIMI DAN MATI SYAHID
Ini merupakan keyakinan Ahlussunnah. Pendapat ini berada diantara dua pendapat yang saling berlawanan. Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, "Tidak disangsikan lagi bahwa Husain Radhiyallahu 'anhuma terbunuh dalam keadaan terzhalimi dan syahid. Pembunuhan terhadap Husain Radhiyallahu 'anhuma merupakan tindakan maksiat kepada Allah Azza wa Jalla dan rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dari para pelaku pembunuhan dan orang-orang yang membantu pembunuhan ini. Di sisi lain, merupakan musibah yang menimpa kaum muslimin, keluarga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang lainnya. Husain Radhiyallahu 'anhuma berhak mendapatkan gelar syahid, kedudukan dan derajat ditinggikan".
Kemudian, di halaman yang sama, Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Husain Radhiyallahu 'anhuma tidak lebih besar daripada pembunuhan terhadap para rasul. Allah Azza wa Jalla telah memberitahukan bahwa bani Israil telah membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Pembunuhan terhadap para nabi itu lebih besar dosanya dan merupakan musibah yang lebih dahsyat. Begitu pula pembunuhan terhadap 'Ali Radhiyallahu 'anhu (bapak Husain Radhiyallahu 'anhuma) lebih besar dosa dan musibahnya, termasuk pembunuhan terhadap 'Utsman juga Radhiyallahu 'anhu.
Ini merupakan bantahan telak bagi kaum Syi'ah yang meratapi kematian Husain Radhiyallahu 'anhuma, namun, tidak meratapi kematian para nabi . Padahal pembunuhan yang dilakukan oleh bani Israil terhadap para nabi tanpa alasan yang benar lebih besar dosa dan musibahnya. Ini juga menunjukkan bahwa mereka bersikap ghuluw (melampau batas) kepada Husain Radhiyallahu 'anhu.
Sikap ghuluw ini mendorong mereka membuat berbagai hadits palsu. Misalnya, riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan, pembunuh Husain Radhiyallahu 'anhu akan berada di tabut (peti yang terbuat dari api), dia mendapatkan siksa setengah siksa penghuni neraka, kedua tangan dan kakinya diikat dengan rantai dari api neraka, ditelungkupkan sampai masuk ke dasar neraka dan dalam keadaan berbau busuk, penduduk neraka berlindung dari bau busuk yang keluar dari orang tersebut dan dia kekal di dalamnya.
Syaikhul Islam Ibnu Tamiyyah rahimahullah mengomentari riwayat ini dengan mengatakan, "Hadits ini termasuk di antara riwayat yang berasal dari para pendusta".
MENYIKAPI PERISTIWA KARBALA
Menyikapi peristiwa wafatnya Husain Radhiyallahu 'anhuma, umat manusia terbagi menjadi tiga golongan. Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, "Dalam menyikapi peristiwa pembunuhan Husain Radhiyallahu 'anhuma, manusia terbagi menjadi tiga : dua golongan yang ekstrim dan satu berada di tengah-tengah.
Golongan Pertama : Mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Husain Radhiyallahu 'anhuma itu merupakan tindakan benar. Karena Husain Radhiyallahu 'anhuma ingin memecah belah kaum muslimin. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ جَاءَكُمْ وَأَمْرُكُمْ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيْدُ أَنْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوْهُ
"Jika ada orang yang mendatangi kalian dalam keadaan urusan kalian berada dalam satu pemimpin lalu pendatang hendak memecah belah jama'ah kalian, maka bunuhlah dia"
Kelompok pertama ini mengatakan bahwa Husain Radhiyallahu 'anhuma datang saat urusan kaum muslimin berada di bawah satu pemimpin (yaitu Yazid bin Muawiyah) dan Husain Radhiyallahu 'anhuma hendak memecah belah umat.
Sebagian lagi mengatakan bahwa Husain Radhiyallahu 'anhuma merupakan orang pertama yang memberontak kepada penguasa.. Kelompok ini melampaui batas, sampai berani menghinakan Husain Radhiyallahu 'anhuma. Inilah kelompok 'Ubaidullah bin Ziyâd, Hajjâj bin Yusûf dan lain-lain. Sedangkan Yazid bin Muâwiyah rahimahullah tidak seperti itu. Meskipun tidak menghukum 'Ubaidullah, namun ia tidak menghendaki pembunuhan ini.
Golongan Kedua : Mereka mengatakan Husain Radhiyallahu 'anhu adalah imam yang wajib ditaati; tidak boleh menjalankan suatu perintah kecuali dengan perintahnya; tidak boleh melakukan shalat jama'ah kecuali di belakangnya atau orang yang ditunjuknya, baik shalat lima waktu ataupun shalat Jum'at dan tidak boleh berjihad melawan musuh kecuali dengan idzinnya dan lain sebagainya.
Kelompok pertama dan kedua ini berkumpul di Irak. Hajjâj bin Yûsuf adalah pemimpin golongan pertama. Ia sangat benci kepada Husain Radhiyallahu 'anhuma dan merupakan sosok yang zhalim. Sementara kelompok kedua dipimpin oleh Mukhtâr bin Abi 'Ubaid yang mengaku mendapat wahyu dan sangat fanatik dengan Husain Radhiyallahu 'anuhma. Orang inilah yang memerintahkan pasukannya agar menyerang dan membunuh 'Ubaidullah bin Ziyad dan memenggal kepalanya.
Golongan Ketiga : Yaitu Ahlussunnah wal Jama'ah yang tidak sejalan dengan pendapat golongan pertama, juga tidak dengan pendapat golongan kedua. Mereka mengatakan bahwa Husain Radhiyallahu 'anhuma terbunuh dalam keadaan terzhalimi dan mati syahid. Inilah keyakinan Ahlussunnah wal Jama'ah, yang selalu berada di tengah antara dua kelompok.
Ahlussunnah mengatakan Husain Radhiyallahu 'anhuma bukanlah pemberontak. Sebab, kedatangannya ke Irak bukan untuk memberontak. Seandainya mau memberontak, beliau Radhiyallahu 'anhuma bisa mengerahkan penduduk Mekah dan sekitarnya yang sangat menghormati dan menghargai beliau Radhiyallahu 'anhuma. Karena, saat beliau Radhiyallahu 'anhuma di Mekah, kewibaannya mengalahkan wibawa para Sahabat lain yang masih hidup pada masa itu di Mekkah. Beliau Radhiyallahu 'anhuma seorang alim dan ahli ibadah. Para Sahabat sangat mencintai dan menghormatinya. Karena beliaulah Ahli Bait yang paling besar.
Jadi Husain Radhiyallahu 'anhuma sama sekali bukan pemberontak. Oleh karena itu, ketika dalam perjalanannya menuju Irak dan mendengar sepupunya Muslim bin 'Aqîl dibunuh di Irak, beliau Radhiyallahu 'anhuma berniat untuk kembali ke Mekkah. Akan tetapi, beliau Radhiyallahu 'anhuma ditahan dan dipaksa oleh penduduk Irak untuk berhadapan dengan pasukan 'Ubaidullah bin Ziyâd. Akhirnya, beliau Radhiyallahu 'anhuma tewas terbunuh dalam keadaan terzhalimi dan mati syahid.
SETAN MENYEBARKAN BID'AH
Syaikhul Islam mengatakan, "Dengan sebab kematian Husain Radhiyallahu 'anhuma, setan memunculkan dua bid'ah di tengah manusia.
Pertama : Bid'ah kesedihan dan ratapan para hari Asyûra (di negeri kita ini, acara bid'ah ini sudah mulai diadakan) seperti menampar-nampar, berteriak, merobek-robek, sampai-sampai mencaci maki dan melaknat generasi Salaf, memasukkan orang-orang yang tidak berdosa ke dalam golongan orang yang berdosa. (Para Sahabat seperti Abu Bakar dan Umar dimasukkan, padahal mereka tidak tahu apa-apa dan tidak memiliki andil dosa sedikit pun. Pihak yang berdosa adalah yang terlibat langsung kala itu). Mereka sampai mereka berani mencaci Sâbiqûnal awwalûn. Kemudian riwayat-riwayat tentang Husain Radhiyallahu 'anhu dibacakan yang kebanyakan merupakan kebohongan. Karena tujuan mereka adalah membuka pintu fitnah (perpecahan) di tengah umat.
Kemudian Syaikhul Islam rahimahullah juga mengatakan , "Di Kufah, saat itu terdapat kaum yang senantiasa membela Husain Radhiyallahu 'anhuma yang dipimpin oleh Mukhtâr bin Abi 'Ubaid al-Kadzdzâb (karena dia mengaku mendapatkan wahyu-pen). Di Kufah juga terdapat satu kaum yang membenci 'Ali dan keturunan beliau Radhiyallahu 'anhum. Di antara kelompok ini adalah Hajjâj bin Yûsuf ats-Tsaqafi. Dalam sebuah hadits shahîh dijelaskan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
سَيَكُوْنُ فِي ثَقِيْفٍ كَذَّابٌ وَمُبِيْرٌ
"Akan ada di suku Tsaqif seorang pendusta dan perusak"
Orang Syi'ah yang bernama Mukhtâr bin Abi 'Ubaid itulah sang pendusta . Sedangkan sang perusak adalah al-Hajjaj. Yang pertama membuat bid'ah kesedihan, sementara yang kedua membuat bid'ah kesenangan. Kelompok kedua ini pun meriwayatkan hadits yang menyatakan bahwa barangsiapa melebihkan nafkah keluarganya pada hari 'Asyûra, maka Allah Azza wa Jalla melonggarkan rezekinya selama setahun itu."
Juga hadits, "barangsiapa memakai celak pada hari 'Asyûra, maka tidak akan mengalami sakit mata pada tahun itu dan lain sebagainya.
Kedua : Bida'ah yang kedua adalah bid'ah kesenangan pada hari Asyura : Karena itu, para khatib yang sering membawakan riwayat ini - karena ketidaktahuannya tentang ilmu riwayat atau sejarah - , sebenarnya secara tidak langsung, masuk ke dalam kelompok al-Hajjâj, kelompok yang sangat membenci Husain Radhiyallahu 'anhuma. Padahal wajib bagi kita meyakini bahwa Husain Radhiyallahu 'anhuma terbunuh dalam keadaan terzhalimi dan mati syahid. Dan wajib bagi kita mencintai Sahabat yang mulia ini dengan tanpa melampaui batas dan tanpa mengurangi haknya, tidak mengatakan Husain Radhiyallahu anhuma seorang imam yang ma'sum (terbebas dari semua kesalahan), tidak pula mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Husain Radhiyallahu anhuma itu adalah tindakan yang benar. Pembunuhan terhadap Husain Radhiyallahu 'anhuma adalah tindakan maksiat kepada Allah dan RasulNya.
Itulah sekilas mengenai beberapa permasalahan yang berhubungan dengan peristiwa pembunuhan Imam Husain Radhiyallahu 'Anhu. Semoga bermanfaat dan memberikan pencerahan. Kita memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar menghindarkan kita semua dari berbagai fitnah yang disebarkan oleh setan dan para tentaranya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar