Translate

Senin, 12 Oktober 2015

Hukum Menikah Wanita Yang Sedang Hamil

Pergaulan di kalangan remaja dan anak muda sekarang sudah sangat mengkhawatirkan. Tidak sedikit di antara mereka yang terjebak dalam pergaulan bebas yang diakibatkan salah satunya penyalah gunaan penggunaan fasilitas teknologi seperti internet. Sehingga tidak heran jika banyak remaja yang masih usia sekolah datang ke Pengadilan Agama untuk mengajukan dispensasi kawin karena harus secepatnya menikah demi status anak yang ada dalam kandungan hasil dari perbuatan zina.

Pada dasarnya, wanita baru boleh menikah jika ia sudah tidak dalam masa Iddah (masa tunggu setelah bercerai dengan suami). Salah satu macam iddah adalah bagi wanita yang hamil ialah sampai ia melahirkan. Sebagaimana Firman Allah swt dalam surat at-Talak ayat 4:

“Dan wanita-wanita yang hamil, iddah mereka itu adalah sampai ia melahirkan kandungannya“.

Lalu bagaimana hukumnya jika hamil akibat zina? apakah ia harus menunggu melahirkan baru boleh menikah seperti iddahnya wanita yang hamil karena menikah?
Hukum Menikahi Wanita/Pria pezina

Yang dimaksud pezina di sini adalah yang memang zina menjadi kebiasaannya (seperti pelacur atau lelaki hidung belang).

Para ulama membagi hukumnya menjadi dua bagian:
Pertama, jika yang menikahi adalah orang baik-baik (mukmin, shalih), maka hukumnya haram, kecuali si pezina itu tobat dahulu.

Larangan ini berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:

1. Al-Quran

Al-Maidah ayat ayat 5:

“Pada masa ini Dihalalkan bagi kamu (memakan makanan) Yang lezat-lezat serta baik-baik. dan makanan (sembelihan) orang-orang Ahli Kitab itu adalah halal bagi kamu, dan makanan (sembelihan) kamu adalah halal bagi mereka (tidak salah kamu memberi makan kepada mereka). dan (dihalalkan bagi kamu mengawini) dengan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya – di antara perempuan-perempuan yang beriman, dan juga perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya dari kalangan orang-orang Ahli Kitab dahulu daripada kamu apabila kamu beri mereka maskawinnya, sedang kamu (dengan cara yang demikian), bernikah bukan berzina, dan bukan pula kamu mengambil mereka menjadi perempuan-perempuan simpanan.”

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

لا يحل للرجل أن يتزوج بزانية، ولا يحل للمرأة أن تتزوج بزان، إلا أن يحدث كل منهما توبة

“Tidak halal bagi seorang pria menikahi wanita pezina, dan tidak halal seorang wanita menikahi seorang pria pezina, kecuali jika ia bertaubat.” 
Setelah itu Syaikh Sayyid Sabiq menjadikan ayat di atas sebagai dalil. 

Tentang ayat di atas Syaikh Sayyid Sabiq juga berkata:

أي أن الله كما أحل الطيبات، وطعام الذين أوتوا الكتاب من اليهود والنصارى، أحل زواج العفيفات من المؤمنات، والعفيفات من أهل الكتاب، في حال كون الازواج أعفاء غير مسافحين ولا متخذي أخدان

“Yakni sesungguhnya Allah sebagaimana Dia menghalalkan yang baik-baik, dan makanan orang-orang yang beri Al Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, (maka) Dia menghalalkan menikahi wanita yang menjaga kehormatan dari kalangan mukminat, dan juga wanita yang menjaga kehormatan dari kalangan Ahli kitab, dengan keadaan bahwa mereka sebagai suami istri yang sebelumnya sama-sama menjaga kehormatan, tidak berzina, dan tidak pernah sebagi gundik (simpanan).”

Imam Ibnu Katsir berkata tentang ayat, “dan (dihalalkan bagi kamu mengawini) dengan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya – di antara perempuan-perempuan yang beriman,”

أي: وأحل لكم نكاح الحرائر العفائف من النساء المؤمنات

“Yakni dihalalkan bagi kalian menikahi wanita merdeka yang menjaga kehormatan dari kalangan wanita beriman.”

Imam Abu Ja’far Ath-Thabari berkata tentang ayat tersebut:

أحل لكم، أيها المؤمنون، المحصنات من المؤمنات – وهن الحرائر منهن- أن تنكحوهن

“Dihalalkan bagi kalian, wahai orang-orang beriman, wanita-wanita merdeka dari kalangan beriman, untuk kalian menikahi mereka ..” 

Jadi, yang halal bagi orang baik-baik hanyalah menikahi wanita yang beriman yang menjaga kehormatannya, bukan pezina.

An-Nuur ayat 3:

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”

Ayat ini jelas-jelas menyebutkan bahwa yang layak menikahi pezina adalah pezina juga, tidak sepatutnya orang beriman menikahi orang pezina atau musyrik. Mereka pezina dan musyrik hanya layak dinikahi dengan pezina dan musyrik juga.


Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah tentang ayat ini:

ومعنى ينكح: يعقد. وحرم ذلك، أي وحرم على المؤمنين أن يتزوجوا من هو متصف بالزنا أو بالشرك، فانه لا يفعل ذلك إلا زان أو مشرك.

“Makna dari ‘mengawini’ adalah mengadakan akad. Yang demikian itu diharamkan, yaitu diharamkan atas orang-orang beriman menikahi orang-orang yang disifati sebagai pezina atau musyrik, karena tidak ada yang menikahi mereka kecuali pezina dan musyrik juga.”

2. As-Sunnah

Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya:

أَنَّ مَرْثَدَ بْنَ أَبِي مَرْثَدٍ الْغَنَوِيَّ كَانَ يَحْمِلُ الْأَسَارَى بِمَكَّةَ وَكَانَ بِمَكَّةَ بَغِيٌّ يُقَالُ لَهَا عَنَاقُ وَكَانَتْ صَدِيقَتَهُ قَالَ جِئْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْكِحُ عَنَاقَ قَالَ فَسَكَتَ عَنِّي فَنَزَلَتْ :وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ.  فَدَعَانِي فَقَرَأَهَا عَلَيَّ وَقَالَ لَا تَنْكِحْهَا

Bahwa Martsad bin Abi martsad al Ghanawi dahulu dia membawa keluarganya ke Mekkah, di Mekkah ada seorang pelacur bernama ‘Anaq, dia adalah teman dari Martsad. Dia (Martsad) berkata: Aku datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu aku berkata: “Wahai Rasulullah, bolehkah aku nikah dengan ‘Anaq?”, dia berkata: Rasulullah mendiamkan saya, maka turunlah ayat “Wanita pezina tidaklah menikah kecuali dengan laki-laki pezina atau musyrik.”
Lalu Rasulullah memanggil saya dan membacakan kepada saya, lalu bersabda: “Jangan kau menikahinya!”

Hadits ini tegas melarang pria baik-baik menikahi wanita pezina (pelacur). 

Dalam Aunul Ma’bud disebutkan:

فِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّهُ لَا يَحِلّ لِلرَّجُلِ أَنْ يَتَزَوَّج بِمَنْ ظَهَرَ مِنْهَا الزِّنَا

“Di dalamnya terdapat dalil, bahwa tidak halal bagi pria menikahi wanita yang terang-terangan darinya perzinaan (pelacur).” 

Hadits lainnya:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَنْكِحُ الزَّانِي الْمَجْلُودُ إِلَّا مِثْلَهُ

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Pezina laki-laki yang didera, tidaklah menikah kecuali dengan yang semisalnya.”

Dalam Fiqhus Sunnah disebutkan:

قال الشوكاني: هذا الوصف خرج مخرج الغالب باعتبار من ظهر منه الزنا.
وفيه دليل على أنه لا يحل للرجل أن يتزوج بمن ظهر منها الزنا.
وكذلك لا يحل للمرأة أن تتزوج بمن ظهر منه الزنا.

Berkata Asy Syaukani: Ini adalah sifat yang telah nampak dari kebiasaan, yaitu orang yang memang terbiasa berbuat zina. Dan di dalamnya terdapat dalil bahwa tidak halal bagi laki-laki menikahi wanita yang biasa melakukan zina, demikian pula tidak dihalalkan bagi wanita menikahi laki-laki yang terbiasa berzina.

Berkata penulis Aunul Ma’bud:

قَالَ الْعَلَّامَة مُحَمَّد بْن إِسْمَاعِيل الْأَمِير فِي سُبُل السَّلَام : فِي الْحَدِيث دَلِيل عَلَى أَنَّهُ يَحْرُم عَلَى الْمَرْأَة أَنْ تُزَوَّج بِمَنْ ظَهَرَ زِنَاهُ ، وَلَعَلَّ الْوَصْف بِالْمَجْلُودِ بِنَاء عَلَى الْأَغْلَب فِي حَقّ مَنْ ظَهَرَ مِنْهُ الزِّنَا . وَكَذَلِكَ الرَّجُل يَحْرُم عَلَيْهِ أَنْ يَتَزَوَّج بِالزَّانِيَةِ الَّتِي ظَهَرَ زِنَاؤُهَا

“Berkata Al ‘Allamah Muhammad bin Ismail Al Amir dalam Subulus Salam: “Di dalam hadits terdapat dalil bahwa haram bagi wanita menikah dengan laki-laki yang telah nampak perzinaannya, dan penyifatannya dengan mendapatkan dera, dikarenakan zina telah menjadi hal yang dominan (kebiasaan) baginya secara nyata. Demikian pula bagi laki-laki diharamkan baginya menikahi wanita yang telah nampak perzinaannya.” 

Dari uraian ini, maka jelaslah haramnya orang baik-baik, mu’min, shalih, menikahi orang yang terbiasa zina (pelacur).
Hukum Pernikahan Dua Orang yang Berzina

Masalah pernikahan dua orang yang berzina, tetapi mereka bukan pelacur atau bukan laki-laki hidung belang ini adalah yang paling banyak terjadi. Mereka berzina karena rayuan setan, dan tidak mampu menjaga diri, akibat pergaulan bebas (baca: pacaran). Namun, mereka bukanlah pezina dalam artian orang yang menjadikan zina adalah kebiasaan seperti pelacur, germo, atau laki-laki hidung belang. Apakah mereka berdua boleh dinikahkan?

Berkata Imam Asy-Syaukani Rahimahullah:

وقد اختلف في جواز تزوّج الرجل بامرأة قد زنى هو بها ، فقال الشافعي ، وأبو حنيفة : بجواز ذلك . وروي عن ابن عباس ، وروي عن عمر ، وابن مسعود ، وجابر : أنه لا يجوز . قال ابن مسعود : إذا زنى الرجل بالمرأة ثم نكحها بعد ذلك فهما زانيان أبداً ، وبه قال مالك

“Telah terjadi perbedaan pendapat tentang kebolehan seorang laki-laki menikah dengan wanita yang pernah berzina dengannya. Imam Asy Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berpendapat: boleh. Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, dan Jabir mereka berpendapat: tidak boleh. Berkata Ibnu Mas’ud: Jika laki-laki berzina dengan wanita, lalu dia menikahinya setelah itu, maka mereka berdua adalah pezina selamanya!, ini juga pendapat Imam Malik.” 

Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, dan Imam Ibnu Hazm, juga menguatkan pendapat yang mengharamkan.

Sebenarnya golongan yang mengharamkan, pada akhirnya membolehkan juga, dengan syarat pelakunya sudah bertaubat.

Imam Ahmad membolehkan dengan syarat dia bertaubat, dan masa iddahnya selesai. Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i berpendapat boleh mengawininya tanpa menunggu masa iddah. Bahkan Imam Asy Syafi’i membolehkan mengawini wanita zina sekalipun sedang hamil, sebab hamil semacam itu (karena pelakunya adalah laki-laki yang akan menikahinya) bukan alasan haramnya kawin. 

Wanita yang berzina, lalu menikah dan si Laki-Laki bukanlah pelakunya.
Ini berbeda dengan kasus di atas, ini yang menikahi wanita tersebut bukanlah laki-laki yang pernah berzina dengannya tetapi, laki-laki lain. Bolehkah pernikahan mereka berdua?

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Nikahnya orang zina itu haram hingga ia bertaubat, baik dengan pasangan zinanya atau dengan orang lain. Inilah yang benar tanpa diragukan lagi. Demikianlah pendapat segolongan ulama salaf dan khalaf, di antara mereka yakni Ahmad bin Hambal dan lainnya.

Tetapi kebanyakan ulama salaf dan khalaf membolehkannya, yaitu pendapat Imam Yang tiga, hanya saja Imam Malik mensyaratkan rahimnya bersih (kosong/tidak hamil).

Abu Hanifah membolehkan akad sebelum istibra’ (bersih dari kehamilan) apabila ternyata dia hamil, tetapi jika dia hamil tidak boleh jima’ (hubungan badan) dulu sampai dia melahirkan.

Asy Syafi’i membolehkan akad secara mutlak akad dan hubungan badan, karena air sperma zina itu tidak terhormat, dan hukumnya tidak bisa dihubungkan nasabnya, inilah alasan Imam Asy-Syafi’i.

Abu Hanifah memberikan rincian antara hamil dan tidak hamil, karena wanita hamil apabila dicampuri, akan menyebabkan terhubungnya anak yang bukan anaknya, sama sekali berbeda dengan yang tidak hamil.”

Nikahnya Wanita Hamil

Harus dirinci sebagai berikut:

1. Hamil karena suaminya sendiri, tetapi suaminya meninggal atau wafat, dia jadi janda. Bolehkah menikah dan dia masih hamil?

Adapun perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya, tidak boleh dinikahi sampai lepas ‘iddahnya. Dan ‘iddah-nya ialah sampai ia melahirkan sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS.Ath-Tholaq: 4)

Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:

وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ

“Dan janganlah kalian ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis ‘iddahnya.” (QS. Al-Baqarah: 235)

Berkata Ibnu Katsir dalam tafsir-nya tentang makna ayat ini: “Yaitu jangan kalian melakukan akad nikah sampai lepas ‘iddah-nya.” Kemudian beliau berkata: “Dan para ‘ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa ‘iddah.”‎


Sepakat kaum muslimin seluruhnya, wanita hamil dan dia menjanda ditinggal mati suami atau cerai, hanya baru boleh nikah setelah masa iddahnya selesai, yaitu setelah kelahiran bayinya. Tidak boleh baginya nikah ketika masih hamil, karena ‘iddahnya belum selesai.

2. Gadis Hamil karena berzina, bolehkah dia menikah?

Adapun perempuan hamil karena zina, kami melihat perlu dirinci lebih meluas karena pentingnya perkara ini dan banyaknya kasus yang terjadi di seputarnya. Maka dengan mengharap curahan taufiq dan hidayah dari Allah ‎Al-‘Alim Al-Khabir, masalah ini kami uraikan sebagai berikut: Perempuan yang telah melakukan zina menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam hal bolehnya melakukan pernikahan dengannya terdapat persilangan pendapat dikalangan para ‘ulama.

Secara global para ‘ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina.

Syarat yang pertama: Bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista.

Dalam pensyaratan taubat ada dua pendapat dikalangan para ‘ulama:

Satu: Disyaratkan bertaubat. Dan ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq dan Abu ‘Ubaid.

Dua: Tidak disyaratkan taubat. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi’iy dan Abu Hanifah.

Tarjih

Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang mengatakan disyaratkan untuk bertaubat.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa32/109: “Menikahi perempuan pezina adalah haramsampai ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah yang benar tanpa keraguan.”

Tarjih di atas berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:

الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

“Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mu`minin.” (QS.An-Nur: 3)

Dan dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, beliau berkata:

أَنَّ مَرْثَدَ بْنَ أَبِيْ مَرْثَدٍ الْغَنَوِيَّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يَحْمِلُ الْأَسَارَى بِمَكَّةَ وَكَانَ بِمَكَّةَ امْرَأَةٌ بَغِيٌّ يُقَالُ لَهَا عَنَاقٌ وَكَانَتْ صَدِيْقَتَهُ. قَالَ: فَجِئْتُ إِلىَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَنْكِحُ عَنَاقًا ؟ قَالَ: فَسَكَتَ عَنِّيْ فَنَزَلَتْ: ((وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ)) فَدَعَانِيْ فَقَرَأَهَا عَلَيَّ. وَقَالَ: لاَ تَنْكِحْهَا

Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy membawa tawanan perang dari Makkah dan di Makkah ada seorang perempuan pelacur disebut dengan (nama) ‘Anaq dan ia adalah teman (Martsad). (Martsad) berkata: “Maka saya datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam lalu saya berkata: “Ya Rasulullah, Saya nikahi ‘Anaq?” Martsad berkata: “Maka beliau diam, maka turunlah (ayat): “Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.” Kemudian beliau memanggilku lalu membacakannya padaku dan beliau berkata: “Jangan kamu nikahi dia.” (Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66 dan dalamAl-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745 dan disebutkan oleh Syeikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shohih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul)

Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram nikah dengan perempuan pezina. Namun hukum haramtersebut bila ia belum bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah hukum haram nikah dengan perempuan pezina tersebut berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam:

التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ

“Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa baginya.” (Dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Adh-Dho’ifah 2/83 dari seluruh jalan-jalannya)

Adapun para ‘ulama yang mengatakan bahwa kalimat ‘nikah’ dalam ayat An-Nur ini bermakna jima’ atau yang mengatakan ayat ini mansukh (terhapus hukumnya) ini adalah pendapat yang jauh dan pendapat ini (yaitu yang mengatakan bermakna jima’ atau mansukh) telah dibantah secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/112-116. Dan pendapat yang mengatakanharam nikah dengan perempuan pezina sebelum bertaubat, ini pula yang dikuatkan Asy-Syinqithy dalamAdwa Al-Bayan 6/71-84 dan lihat Zadul Ma’ad 5/114-115.

Dan lihat permasalahan di atas dalam: Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Mughny 9/562-563 (cet. Dar ‘Alamil Kutub), danAl-Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah 2/582-585.

Catatan:

Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa perlu diketahui kesungguhan taubat perempuan yang berzina ini dengan cara dirayu untuk berzina kalau ia menolak berarti taubatnya telah baik. Pendapat ini disebutkan oleh Al-Mardawy dalam Al-Inshof 8/133 diriwayatkan dari ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas dan pendapat Imam Ahmad. Dan Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/125 kelihatan condong ke pendapat ini.

Tapi Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 9/564 berpendapat lain, beliau berkata: “Tidak pantas bagi seorang muslim mengajak perempuan untuk berzina dan memintanya. Karena permintaannya ini pada saat berkhalwat (berduaan) dan tidak halal berkhalwatdengan Ajnabiyah (perempuan bukan mahram) walaupun untuk mengajarinya Al-Qur’an maka bagaimana (bisa) hal tersebut dihalalkan dalam merayunya untuk berzina?”

Maka yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan zinanya sebagaimana ia bertaubat kalau melakukan dosa besar yang lainnya. Yaitu dengan lima syarat:

1. Ikhlash karena Allah.‎
2. Menyesali perbuatannya.‎
3. Meninggalkan dosa tersebut.‎
4. Ber‘azam dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.‎
5. Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum matahari terbit dari Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan.

Dan bukan disini tempat menguraikan dalil-dalil lima syarat ini. Wallahu A’lam.

Syarat Kedua: Telah lepas ‘iddah.

Para ‘ulama berbeda pendapat apakah lepas ‘iddah, apakah merupakan syarat bolehnya menikahi perempuan yang berzina atau tidak, ada dua pendapat:


Pertama: Wajib ‘iddah.

Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry, An-Nakha’iy, Rabi’ah bin ‘Abdurrahman, Imam Malik, Ats-Tsaury, Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih.

Kedua: Tidak wajib ‘iddah.

Ini adalah pendapat Imam Syafi’iy dan Abu Hanifah, tapi ada perbedaan antara mereka berdua pada satu hal, yaitu menurut Imam Syafi’iy boleh untuk melakukanakad nikah dengan perempuan yang berzina dan boleh ber-jima’ dengannya setelah akad, apakah orang yang menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau selainnya. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya dan boleh ber-jima’ dengannya, apabila yang menikahinya adalah orang yang menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang menikahinya selain orang yang menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah tapi tidak boleh ber-jima’ sampai istibro` (telah nampak kosongnya rahim dari janin) dengan satu kali haid atau sampai melahirkan kalau perempuan tersebut dalam keadaan hamil.

Tarjih

Dan yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang wajib ‘iddah berdasarkan dalil-dalil berikut ini:

1. Hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda tentang tawanan perang Authos:

لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعُ وَلاَ غَيْرُ حَامِلٍ حَتَّى تَحِيْضَ حَيْضَةً

“Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali.” (HR. Ahmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224 Al-Hakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thobarany dalam Al-Ausath no. 1973 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 307 dan di dalam sanadnya ada rowi yang bernama Syarik bin ‘Abdullah An-Nakha’iy dan ia lemah karena hafalannya yang jelek tapi hadits ini mempunyai dukungan dari jalan yang lain dari beberapa orang shohabat sehingga dishohihkan dari seluruh jalan-jalannya oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 187)

2. Hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu dari Nabishollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, beliau bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ يَسْقِ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ

“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia menyiramkan airnya ke tanaman orang lain.”(HR. Ahmad 4/108, Abu Daud no. 2158, At-Tirmidzi no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qoni’ dalam Mu’jam Ash-Shohabah 1/217, Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thobaqot2/114-115, Ath-Thobarany 5/no.4482 dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 2137)

3. Hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabishollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam:

أَنَّهُ أَتَى بِامْرَأَةٍ مُجِحٍّ عَلَى بَابِ فُسْطَاطٍ فَقَالَ لَعَلَّهُ يُرِيْدُ أَنْ يُلِمَّ بِهَا فَقَالُوْا نَعَمْ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَلْعَنَهُ لَعْنًا يَدْخُلُ مَعَهُ قَبْرَهُ كَيْفَ يُوَرِّثُهُ وَهُوَ لاَ يَحِلُّ لَهُ كَيْفَ يَسْتَخْدِمُهُ وَهُوَ لاَ يَحِلُّ لَهُ.

Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda: “Barangkali orang itu ingin menggaulinya?” (Para sahabat) menjawab: “Benar.” Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda: “Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya.”

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah: “Dalam (hadits) ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang budak-pent.), syubhat (yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena ada kesamar-samaran-pent.) atau karena zina.”

Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang mengatakan wajib ‘iddah dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia). Wallahu A’lam.

Catatan:

Nampak dari dalil-dalil yang disebutkan di atas bahwa perempuan hamil karena zina tidak boleh dinikahi sampai melahirkan, maka ini ‘iddah bagi perempuan yang hamil karena zina dan ini juga ditunjukkan oleh keumuman firman Allah ‘Azza wa Jalla:

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS.Ath-Tholaq: 4)

Adapun perempuan yang berzina dan belum nampak hamilnya, ‘iddahnya diperselisihkan oleh para ‘ulama yang mewajibkan ‘iddah bagi perempuan yang berzina. Sebagian para ‘ulama mengatakan bahwa ‘iddahnya adalah istibro` dengan satu kali haid. Dan ‘ulama yang lainnya berpendapat: tiga kali haid yaitu sama dengan‘iddah perempuan yang ditalak.

Dan yang dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad dalam satu riwayat adalah cukup dengan istibro` dengan satu kali haid. Dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry di atas. Dan ‘iddah dengan tiga kali haid hanya disebutkan dalam Al-Qur’an bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya sebagaimana dalam firman Allah Jalla Sya`nuhu:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْءٍ

“Dan wanita-wanita yang dithalaq (hendaknya) mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru`(haid).”(QS. Al-Baqarah: 228)


Status Anak Dari Perbuatan Zina

Ada pun status anaknya adalah para ulama membagi dua kategori:

Jika lahirnya bayi tersebut setelah enam bulan pernikahan, maka laki-laki yang menikahinya boleh menjadi ayahnya secara nasab, sehingga boleh menjadi wali (jika anak itu perempuan), dan berhak mendapatkan waris.

Jika lahirnya bayi tersebut sebelum enam bulan pernikahan, maka bayi itu tidak bisa dinasabkan ke ayahnya, hanya ke ibunya. Konsekuensinya ayahnya tidak bisa menjadi wali (jika anak itu perempuan), dan tidak pula saling mewarisi.

Dua kategori di atas disampaikan oleh umumnya para ulama, kecuali Imam Abu Hanifah yang mengatakan sama saja, kapan pun bayi itu lahir, maka dia bisa dinasabkan kepada ayahnya itu. Wallahu A’lam.

Kesimpulan Pembahasan:

1. Tidak boleh nikah dengan perempuan yang berzina kecuali dengan dua syarat yaitu, bila perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan nistanya dan telah lepas ‘iddah-nya.

2. Ketentuan perempuan yang berzina dianggap lepas ‎‘iddah adalah sebagai berikut:

• Kalau ia hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai melahirkan.

• Kalau ia belum hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai ia telah haid satu kali semenjak melakukan perzinahan tersebut. Wallahu Ta’ala A’lam.

Lihat pembahasan di atas dalam: Al-Mughny 9/561-565, 11/196-197, Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Inshof 8/132-133, Takmilah Al-Majmu’ 17/348-349, Raudhah Ath-Tholibin 8/375, Bidayatul Mujtahid 2/40, Al-Fatawa32/109-134, Zadul Ma’ad 5/104-105, 154-155, Adwa` Al-Bayan 6/71-84 dan Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah Lisyaikhil Islam Ibnu Taimiyah 2/582-585, 847-850.

2. Telah jelas dari jawaban di atas bahwa perempuan yang hamil, baik hamil karena pernikahan sah, syubhat atau karena zina,‘iddahnya adalah sampai melahirkan. Dan para ‘ulama sepakat bahwa akad nikah pada masa ‘iddahadalah akad yang batil lagi tidak sah. Dan kalau keduanya tetap melakukan akad nikah dan melakukan hubungan suami-istri setelah keduanya tahu haramnya melakukan akad pada masa ‘iddahmaka keduanya dianggap pezina dan keduanya harus diberi hadd (hukuman) sebagai pezina kalau negara mereka menerapkan hukum Islam, demikian keterangan Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny11/242.

Kalau ada yang bertanya: “Setelah keduanya berpisah, apakah boleh keduanya kembali setelah lepas masa ‎‘iddah?”

Jawabannya adalah ada perbedaan pendapat di kalangan para ‘ulama.

Jumhur (kebanyakan) ‘ulama berpendapat: “Perempuan tersebut tidak diharamkan baginya bahkan boleh ia meminangnya setelah lepas ‘iddah-nya.”

Dan mereka diselisihi oleh Imam Malik, beliau berpendapat bahwa perempuan telah menjadi haram ‎baginya untuk selama-lamanya. Dan beliau berdalilkan dengan atsar ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu ‎yang menunjukkan hal tersebut. Dan pendapat Imam Malik ini juga merupakan pendapat dulu dari Imam Syafi’iy tapi belakangan beliau berpendapat bolehnya menikah kembali setelah dipisahkan. Dan pendapat yang terakhir ini zhohir yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir-nya dan beliau melemahkan atsar ‘Umar yang menjadi dalil bagi Imam Malik bahkan Ibnu Katsir juga membawakan atsar yang serupa dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan bolehnya. Maka sebagai kesimpulan pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah boleh keduanya menikah kembali setelah lepas ‘iddah. Wal ‘Ilmu ‘Indallah.‎

3. Laki-laki dan perempuan hamil yang melakukan pernikahan dalam keadaan keduanya tahu tentang ‎haramnya menikahi perempuan hamil kemudian mereka berdua tetap melakukan jima’ maka keduanya dianggap berzina dan wajib atas hukum hadd kalau mereka berdua berada di negara yang diterapkan di dalamnya hukum Islam dan juga tidak ada mahar ‎bagi perempuan tersebut.

Adapun kalau keduanya tidak tahu tantang haramnya menikahi perempuan hamil maka ini dianggap nikah ‎syubhat dan harus dipisahkan antara keduanya karena tidak sahnya nikah yang seperti ini sebagaimana yang telah diterangkan.

Adapun mahar, si perempuan hamil ini berhak mendapatkan maharnya kalau memang belum ia ambil atau belum dilunasi.

Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallambersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتُحِلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنْ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهَا

“Perempuan mana saja yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil, dan apabila ia telah masuk padanya (perempuan) maka baginya mahar dari dihalalkannya kemaluannya, dan apabila mereka berselisih maka penguasa adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali.” (HR. Syafi’iy sebagaimana dalam Munadnya 1/220,275, dan dalamAl-Umm 5/13,166, 7/171,222, ‘Abdurrazzaq dalamMushonnafnya 6/195, Ibnu Wahb sebagaimana dalamAl-Mudawwah Al-Kubra 4/166, Ahmad 6/47,66,165, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnadnya 2/no. 698, Ibnu Abi Syaibah 3/454, 7/284, Al-Humaidy dalamMusnadnya 1/112, Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no. 1463, Abu Daud no. 2083, At-Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo no. 700, Sa’id bin Manshur dalam Sunannya 1/175, Ad-Darimy 2/185, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar3/7, Abu Ya’la dalam Musnadnya no. 4682,4750,4837, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4074, Al-Hakim 2/182-183, Ad-Daruquthny 3/221, Al-Baihaqy 7/105,124,138, 10/148, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah6/88, As-Sahmy dalam Tarikh Al-Jurjan hal. 315, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1654 dan Ibnu ‘Abbil Barr dalam At-Tamhid 19/85-87 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` no.1840)

Nikah tanpa wali hukumnya adalah batil tidak sah sebagaimana nikah di masa ‘iddah hukumnya batil tidak sah. Karena itu kandungan hukum dalam hadits mencakup semuanya.

Demikian rincian Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim.

Adapun orang yang ingin meminang kembali perempuan hamil ini setelah ia melahirkan, maka kembali diwajibkanmahar atasnya berdasarkan keumuman firman AllahTa’ala:

وَآتُوا النِّسَاءَ صُدَقَاتِهِنَّ نِحْلَةً

“Berikanlah kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar mereka dengan penuh kerelaan.” (QS. An-Nisa`: 4)

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً

“Berikanlah kepada mereka mahar mereka sebagai suatu kewajiban.” (QS. An-Nisa`: 24)‎
Dan banyak lagi dalil yang semakna dengannya. Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar